Toleransi Sunni Syiah

Rate this item
(0 votes)
Toleransi Sunni Syiah

 

Belajar toleransi itu tidak cukup dengan membaca buku. Menghadiri seminar-seminar bertema toleransi. Atau mendengarkan ceramah dosen di kelas. Semua cara ini tidak akan efektif jika kita enggan berinteraksi secara langsung dengan kelompok yang berbeda. Dalam ungkapan lain, kita harus lebih sering melakukan perjumpaan dengan liyan. Tidak sekadar berjumpa dan “say hello” tentunya. Tapi berusaha memahami detil jengkal perbedaan yang ada pada setiap kali kesempatan bersua.

Setidaknya itulah pengalaman saya sore kemarin ketika melakukan safari dari Jepara menuju Yogyakara bersama dengan teman-teman Gusdurian. Di tengah perjalanan, Kiai Fuad Allatifi mengingatkan kami serombongan agar mampir di masjid terdekat untuk menunaikan shalat Ashar. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 Wib. Akhirnya, juru mudi menghentikan kendaraan yang kami tumpangi di salah satu pom bensin di kawasan Secang Magelang.

Ternyata, di antara kami bertujuh, hanya 3 orang yang “asharan”. Saya, Kiai Fuad, dan Mas Ahis, santri dari pesantren Nailun Najah Kalinyamatan Jepara. Sementara empat orang lainnya hanya istrahat, sekadar melepas lelah. Karena penasaran, Kiai Fuad memberanikan diri bertanya kepada Ustad Mana Kala, “Gak shalat, tad?”

“Kami sudah shalat, tadi!” Jawab Ustad Manakala.

“Kalau saya juga sudah. Dijamak dari Jepara,” sambung Bu Nyai Ikfina Maufuriyah.

Selepas shalat berjamaah, saya bilang kepada Kiai Fuad, “Orang Syi’ah itu waktu shalatnya beda dengan kita. Makanya mereka gak shalat.”

“Maksudnya?” Kiai Fuad tampak semakin kepo.

“Nanti kamu bisa minta kepada Ustad Manakala buat menjelaskan persoalan ini secara langsung,” sahutku sambil perlahan meninggalkan area surau.

Ekspidisi pun dilanjutkan. Sembari menikmati perjalanan, Kiai Fuad mendapatkan wejangan dari Ustad Manakala mengenai pembagian waktu shalat perspektif penganut Syi’ah. Ternyata, terdapat perbedaan antara kelompok pecinta “ahlulbait” ini dengan kalangan Sunni tentang rincian waktu shalat. Jika kita sebagai mayoritas orang Indonesia yang berpaham ahlusunnah wal jamaah memiliki lima waktu shalat, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh, maka tidak dengan Syi’i. Fiqh Syi’ah menyederhanakan waktu shalat yang lima tersebut menjadi tiga saja. Pertama, waktu untuk menunaikan dua salat wajib di siang hari, yaitu Zuhur dan Ashar. Kedua, waktu untuk dua shalat wajib di malam hari, Maghrib dan Isya’. Ketiga, waktu untuk shalat Subuh.

Ketidaksamaan klasifikasi waktu ibadah shalat antara Sunni-Syi’ah ini disebabkan oleh perbedaan “fiqhiyyah” dalam menafsirkan ayat:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 78).

Dari ayat tersebut, ahli fiqih Syi’ah menyimpulkan bahwa waktu shalat wajib hanya terbagi menjadi tiga, bukan lima sebagaimana pendapat “fuqoha'” Sunni. Jadi, Sunni-Syi’i tetap sama-sama berkewajiban menunaikan shalat Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’, akan tetapi tata-caranya yang berlainan.

Secara teknis, shalat Zuhur, menurut Fiqh Syiah, dimulai saat matahari tergelincir. Sedangkan waktu shalat Ashar dimulai setelah dilakukan salat Zuhur hingga menjelang matahari terbenam. Dengan kata lain, salat Zuhur dan Ashar memiliki batas waktu yang khusus. Pelaksanaan shalat Maghrib dimulai setelah hari benar-benar gelap. Kamudian disambung shalat Isya’. Rentang waktunya berakhir sampai menjelang fajar, tanda Subuh tiba. Dengan demikian waktu salat wajib harian bisa dibagi menjadi tiga ufuk waktu; syuruq, zawal dan ghurub.

Kiai Fuad pun manggut-manggut mendengar ulasan singkat Ustad Manakala. Melalui perjumpaan dalam satu mobil, tumbuh sikap saling memahami. Sunni-Syi’ah bergandeng mesra dalam bingkai toleransi. Jau

Read 1503 times