Salah satu karakteristik Abad ke-11 Hijriah Qamariyah adalah konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat.
Oleh karena itu beberapa ulama besar Syiah terjun menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat ini, dan berhasil membangun fondasi pemikiran filsafat Syiah dengan metode, dan sumber-sumbernya yang khas. Dalam hal ini Mir Damad memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun pemikiran filsafat Syiah dan Dunia Islam.
Sejarah Syiah dan kehidupan para ulamanya di masa keghaiban Imam Mahdi af, merupakan sejarah yang sarat dengan pasang surut, namun dalam sejarah yang penuh peristiwa itu, ajaran Syiah berhasil mempertahankan keasliannya sebagai ajaran yang independen dan hidup di hadapan serbuan berbagai pemikiran. Kemampuan ini bagi sebuah ajaran yang selama berabad-abad dimusuhi oleh para penguasa Muslim, dan non-Muslim, lahir berkat tiang-tiang pemikiran Syiah yaitu Imamah dan Wilayah.
Mir Damad adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Mir Damad merupakan ahli di bidang ilmu-ilmu Islam terutama fikih, tafsir Al Quran, dan hadis, dan ia memiliki pandangan mandiri dalam ilmu-ilmu ini. Akan tetapi keahlian yang lebih menonjol dalam dirinya sebagai ilmuwan adalah hikmah dan filsafat.
Ia adalah hakim terbesar di era Safavi yang kemunculannya di bidang pemikiran Isfahan, berhasil “mengguncang” filsafat. Oleh karena itu ia dikenal sebagai Guru Ketiga. Sebelumnya Aristoteles disebut sebagai Guru Pertama, kemudian Al Farabi, sebagai Guru Kedua. Mir Damad percaya aliran-aliran pemikiran terdahulu sangat sederhana dan pemula sekali, oleh karena itu ia berusaha menggabungkan sumber filsafat Yunani dengan visi Irfani, dan dengan menggunakan ajaran akidah Syiah, ia menyuguhkan sistem filsafat Islam yang dinamainya sendiri sebagai “Hikmah Yamani”.
Mir Mohammad Bagher Astarabadi yang lebih dikenal dengan Mir Damad termasuk tokoh penting dalam aliran filsafat Isfahan. Karya monumentalnya di bidang filsafat adalah Al Qabasat, dan murid terbaiknya adalah Mulla Sadra. Mir Mohammad lahir pada tahun 969 Hijriah Qamariyah. Ayahnya Sayid Mohamad Hossein Astarabadi, dan ibunya adalah putri dari Mohaghegh Karaki atau yang lebih dikenal sebagai Mohaghegh Sani.
Oleh karena itu sejak kanak-kanak Mir Damad sudah mendapatkan pendidikan dari ayah dan ibu yang unggul serta bertakwa, di sebuah keluarga berilmu. Mir Mohammad setelah menempuh pendidikan dasar berangkat ke kota Mashhad, dan di sana ia belajar kepada sejumlah guru terkemuka di Hauzah Ilmiah. Kemudian dengan maksud meraih cita-cita lebih tinggi dalam ilmu dan penelitian, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di kota Qazvin, Herat dan Isfahan yang kala itu ketiganya merupakan pusat ilmu penting di Iran.
Guru-guru terpenting Mir Damad di antaranya adalah Sayid Ali Mousavi Amoli, Abdolali Amoli yang merupakan pamannya, dan Syeikh Ezzoddin Hossein Amoli, ayah dari Syeikh Bahai. Sepertinya perjalanan Mir Damad ke Qazvin, Herat dan Mashhad mengikuti gurunya Syeikh Ezzoddin yang karena faktor politik dan sosial, beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal.
Syeikh Bahai putra Syeikh Ezzoddin merupakan teman dekat Mir Damad, banyak cerita yang mengisahkan kedekatan mereka berdua. Di antara cerita itu, dalam sebuah perjalanan kedua ulama besar ini pergi bersama Syah Abbas. Syeikh Bahai bertubuh langsing, dan menunggangi sebuah kuda ramping, dan berada paling depan dari semuanya. Sebaliknya Mir Damad memiliki tubuh tinggi besar, yang meski berusaha keras, namun kudanya tidak bisa berjalan lebih cepat. Syah Abbas yang menyaksikan hal ini kemudian ingin menguji kedekatan atau kecemburuan dua sahabat tersebut.
Setelah itu ia mendekati Mir Damad, dan dengan tersenyum menunjuk kepada Syeikh Bahai dan berkata, “Mir, lihatlah Syeikh Bahai tidak punya sopan santun, tanpa memperhatikan kita, pergi lebih cepat.” Mir Damad menjawab, “Bukan begitu, Syeikh Bahai adalah ilmuwan besar, dan kudanya karena mengetahui ditunggangi oleh orang semacam itu, bergairah dan bergerak lebih cepat.”
Lalu Syah Abbas memacu kudanya sampai mendekati Syeikh Bahai dan berkata kepadanya, “Sejauh yang saya lihat, para pemikir tidak terlalu banyak makan, tapi Mir Damad karena begitu rakus pada makanan, sampai badanya gemuk seperti itu.” Syeikh Bahai menjawab, “Bukan begitu, Mir Damad hanya rakus melahap ilmu, dan badannya yang gemuk itu tidak ada hubungannya dengan rakus makan. Kuda Mir Damad lelah dan berjalan lambat karena ditunggangi oleh orang mulia yang bahkan gunung pun tak sanggup menahan beratnya ilmu pengetahuan yang dimiliki orang itu.”
Masa-masa menempuh ilmu yang dijalani Mir Damad di Herat di bawah pengajaran Syeikh Ezzoddin Hossein adalah masa-masa yang kaya ilmu pengetahuan. Di akhir masa pembelajaran itu, Mir Damad kemudian dikenal sebagai seorang ulama unggul, dan ahli di bidang filsafat, fikih dan hadis. Setelah Syah Tahmaseb meninggal dunia, dan Syah Esmail Kedua naik tahta, kondisi bagi para ulama Syiah bertambah sulit, dan di masa ini para ulama berusaha menjauh dari pusat kekuasaan yaitu Qazvin.
Oleh karena itu Mir Damad dan Syeikh Bahai berpindah tempat dari Qzvin ke Isfahan, dan sibuk mengajar di sana. Hingga ketika kekuasaan sampai ke tangan Syah Abbas, dan menjadikan Isfahan sebagai pusat kekuasaan. Karena Syah Abbas sangat menyukai ilmu pengetahuan, para ulama Syiah kembali merasakan kebebasan dan keamanan, selain itu ilmu pengetahuan juga mengalami pertumbuhan cepat di masa ini. Isfahan di masa Syah Esmail memiliki banyak sekolah bagus, dan pelajar agama bekerja keras menuntut ilmu, dan ajaran Islam. Mir Damad mengajar filsafat di Madrasah Khoja Isfahan, dan Syeikh Bahai mengajar tafsir, fikih dan hadis di madrasah yang sama.
Mir Damad di masa hidupnya mendidik banyak murid, di antaranya yang kelak menjadi orang besar adalah Mulla Sadra, Abdolrazaq Lahiji, Mulla Mohammad Feiz Kashani, dan Mohaghegh Khansari. Mir Damad sendiri yang memilih murid, dan sebelum menerima mereka sebagai murid, Mir Damad akan menguji dan mewawancarai mereka. Orang-orang yang dianggap layak belajar hikmah akan diterimanya menjadi murid. Hakim bijaksana ini percaya bahwa hikmah jika berada di tangan orang-orang yang tidak bisa memahami dengan benar, maka akan menyebabkan kesesatan pada mereka, dan orang lain.
Salah satu murid terhebat Mir Damad adalah Sadr Al Motaalihin yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, filsuf paling berpengaruh di era Safavi dan pencetus Hikmah Mutaaliyah. Hakim besar ini menganggap akal saja tidak akan cukup menjadi alat untuk mencapai hakikat hikmah, ia percaya wahyu Ilahi dan penyingkapan-penyingkapan Irfani harus menjadi sumber asli dan terpercaya bagi filsafat. Hikmah Mutaaliyah dalam tiga abad terakhir merupakan ajaran filsafat paling menonjol di Dunia Islam, dan menjadi perhatian para filsuf Barat.
Mir Damad menghasilkan lebih dari 50 karya besar dan berharga, yang kebanyakan ditulis tangan oleh dirinya sendiri. Karya terbesar Mir Damad di antaranya adalah Al Qabasat, Taqdisaat, Jazwaat, dan Sadruhul Muntaha. Buku Al Qabasat membahas tentang penciptaan alam semesta, buku Taqdisaat membahas Hikmah Ilahi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan serta kerancuan tentang Tauhid, dan Keesaan Tuhan.
Jazwaat mencakup pendapat Mir Damad tentang filsafat, dan buku Sadruhul Muntaha adalah kitab tafsir Al Quran. Mir Damad juga menulis buku lain yang diberi judul “Al Rawasyih Al Samawiah” yang menjelaskan hadis, riwayat dan perkataan Imam Maksum as. Hakim besar ini juga menulis syair dengan tema-tema Irfani dan falsafi.
Mir Damad selain keunggulannya dalam teori, dalam akhlak dan sifat baik termasuk yang terdepan. Ia menganggap upaya manusia menjalankan perintah agama, dan mematuhi adab perjalanan spiritual atau suluk, sebagai penjamin kebahagiaan dan kesempurnaan manusia, dan ia sangat menaruh perhatian besar padanya. Ia sangat cinta membaca Al Quran, setiap malam ia membaca setengah Al Quran.
Ia juga sangat menekankan hal-hal mustahab termasuk shalat nafilah, tidak meninggalkan munajat kepada Allah Swt di malam hari, dan ia banyak berzikir, menyucikan diri. Ia makan dan tidur secukupnya, hanya sebagai upaya memulihkan tenaga untuk kembali menjalankan ibadah, meneliti, dan mengajar, tidak pernah menjadikan tidur dan makan untuk bersenang-senang dan mencari kenikmatan.
Kita sering menemukan nama tokoh-tokoh semacam Al Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra dan yang lainnya di buku-buku sejarah filsafat, namun kita tidak pernah melihat nama Mir Damad. Kita akan terkejut karena orang yang telah mendidik murid semacam Mulla Sadra, dan menulis ratusan buku serta makalah ilmiah, namun sangat sedikit ditulis tentang pemikirannya.
Salah satu alasan mengapa sedikit sekali yang menulis tentang pemikiran Mir Damad adalah karena tingkat kedalaman dan kerumitan pemikirannya tentang filsafat yang tinggi, sehingga sulit untuk mengulasnya. Mir Damad percaya pemikiran luhur filsafat tidak boleh diberikan kepada orang bodoh yang tidak memiliki batin yang bersih, perasaan yang lurus, tekad yang kuat, dan kecerdasan yang memadai, karena orang-orang semacam ini ketika belajar hikmah yang melampaui pemahamannya, tidak diragukan akan menuju kesesatan, dan membawa orang lain ke dalam kesesatan.
Filsuf terkemuka Prancis, Henry Corbin menyebut alasan sulitnya penulisan karya-karya Mir Damad adalah upayanya menghindari pengkafiran dan pengejaran musuh yang di kemudian hari menyebabkan muridnya Mulla Sadra diasingkan.