Bismihi Ta'la
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad
Al-Quran menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).
Rasulullah saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. h. 178)
Saat menjelaskan ayat di atas, Imam Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Lihat Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13; al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3, h. 175-178).
Imam Khumaini menambahkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. (Imam Khomeini. 40 Hadis: h. 207).
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan. Maksud dari dîn (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. jadi, manusia adalah makhluk beragama. (Lihat Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan Jilid 16. h. 182-186; Nashir Makarim Syirazi. Tafsir al-Amtsal Jilid 12. h. 471-473).
Begitu pula, di alam gaib, sebelum manusia dilahirkan, dalam suatu acara ‘tatap muka’, ia bersaksi akan keberadaan dan keesaan allah. Allah berfirman : “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172)
Makna ayat ini berarti bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam gaib (malakuti) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) langsung dengan Allah swt. yang mengikat hingga sampai hari akhir nanti dan harus dipertanggungjawabkan, dimana manusia tidak dapat mengingkarinya dengan alasan apapun. Ini berarti bahwa setiap orang secara genetik telah cenderung mengakui adanya Tuhan. (Lihat Yazdi. Filsafat Tauhid, h. 45-47; Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan jilid 8, h. 311-330; Syeikh Nashir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal jilid 5, h. 262-267; Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir jilid 15, h. 40-49; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran jilid 3, h. 670)
Pandangan al-Quran ini diakui oleh banyak ilmuwan yang saat ini. Mereka menyatakan bahwa manusia dilahirkan membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant misalnya, mengatakan : “agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita” (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings).
Alexis Carrel menulis : ‘Perasaan beragama terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan” (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).
Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia, yaitu : 1. Perasaan beragama (religious sense) 2. Kebenaran (truth), 3. Kebaikan (goodness), 4. Keindahan (beauty). (lihat Musawi Lari, Knowing God, h. 20; Musawi Lari. Ushul al-Aqaid fi al-Islam Juz I. h. 28-29)
Fitrah manusia dibagi dua pada dasarnya di bagi pada dua jenis :
1. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)
2. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.
Adapun ciri-ciri fitrah adalah :
a. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.
b. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia.
c. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada selama manusia hidup.
d. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan.
Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. ‘Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan menemukan Tuhan dengan cinta’, ucapk Sayid Mujtaba Musawi Lari. Muhammad Taqi Falsafi menambahkan, “selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.” Jadi, agama adalah fitrah yang telah tertanam kuat pada diri manusia, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu. Fitrah tersebut merupakan model penciptaan yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Wallahu a'lam