Orang yang beriman dengan makrifat dan menghambakan diri dengan tulus, tentu ia lebih memahami tentang kedudukan shalat. Mereka tahu bahwa shalat – di samping sebagai ibadah yang ditunaikan oleh seluruh nabi – juga merupakan perintah langsung Allah ketika mengutus para nabinya.
Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw dengan berfirman, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan." (QS. Ibrahim, ayat 31)
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa para pendiri shalat hakiki memiliki hubungan dengan Tuhan dan sekaligus membangun ikatan dengan masyarakat lemah sehingga bisa merasakan penderitaan, dan kemudian berinfak untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Para pendiri shalat hakiki selain memandang dirinya sebagai hamba Allah Swt, juga menyadari bahwa amal ibadah dan menolong orang lain akan menjadi bekalnya di hari kiamat.
Ketika buku amal manusia telah ditutup dan ikhtiyar mereka dicabut, maka mereka tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari setiap perbuatan buruk melalui suap atau nepotisme.
Jadi, shalat akan bernilai ketika disertai dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta mampu menghidupkan rasa empati dalam dirinya sehingga tergerak untuk membantu orang-orang yang lemah.
Allah Swt tentu saja akan memberikan balasan kepada hambanya yang berbuat kebajikan dan membantu orang lain. Dia berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah, ayat 277)
Suasana Masjidil Haram dan Ka'bah di tengah pandemi Corona. (dok)
Pada dasarnya, shalat akan mendekatkan manusia kepada Tuhan dan memberikan ketenangan kepada jiwanya. Nuansa jiwa seperti ini tentu tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak beriman. Allah mewajibkan shalat kepada manusia dengan tujuan mendekatkan mereka kepada-Nya. Imam Ali as berkata, "Shalat merupakan wasilah setiap orang bertakwa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt." (Bihar al-Anwar, jilid 10, hal 99)
Rasulullah Saw menganggap shalat sebagai penyejuk matanya dan beliau sangat mencintai amal ibadah. Rasulullah bersabda, "Shalat adalah bagian dari hukum Ilahi dan keridhaan-Nya bergantung pada shalat, dan ia merupakan tradisi para nabi. Para malaikat mencintai orang-orang yang shalat. Shalat berarti melangkahkan kaki di jalan hidayah dan iman kepada Allah dan ia mendatangkan berkah dalam rezeki, ketenangan dalam jiwa, kebencian syaitan, dan senjata untuk berperang dengan kaum kafir."
Salah satu kedudukan lain shalat dalam budaya Islam adalah memainkan peran kunci dalam kehidupan di akhirat. Ketika banyak manusia berada dalam kegelisahan, ketakutan, dan tidak tahu bagaimana nasib amalnya, maka amalan pertama yang menjadi penolongnya pada hari itu adalah shalat.
Sebab, shalat merupakan manifestasi sempurna dari keyakinan, akhlak, pendidikan, spiritualitas, serta dimensi individual dan sosial pelakunya. Ini juga menunjukkan tingkat komitmennya kepada landasan keyakinan dan ajaran agama.
Rasulullah Saw menaruh perhatian besar dalam masalah penegakan shalat dan bersabda, "Perbuatan pertama yang akan dihisab adalah shalat. Jika ia diterima, maka seluruh amal manusia akan diterima dan jika ia ditolak, maka semua amalan lain juga akan ditolak."
Shalat Jumat di Tehran, 30 Agustus 2019.
Mungkin karena alasan ini, shalat dianggap sebagai tiang agama yang memainkan peran fundamental dalam menegakkan agama dan nilai-nilai di tengah masyarakat.
Dengan memperhatikan peran konstruktif shalat, maka ia harus didirikan dengan sempurna dan tidak lagi hanya sebagai rutinitas. Dalam berbagai ayat dan riwayat, para hamba saleh tidak hanya diperintahkan untuk mendirikan shalat, tetapi juga diminta untuk menanamkan budaya shalat di tengah masyarakat.
Imam Muhammad al-Baqir as dalam menjelaskan peran sentral shalat, berkata, "Shalat adalah tiang agama atau seperti tiang kemah yaitu jika tiang-tiangnya kokoh, maka seluruh tiang lain (rukun) akan tegak berdiri dan jika ia lemah, maka seluruh tiang lain akan roboh."
Perlu dipahami bahwa shalat bukan sebuah kewajiban yang biasa, tetapi jika ia didirikan dengan tulus dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka shalat dapat menjadi sarana untuk memperbaiki masyarakat, menciptakan persatuan, dan membangun ukhuwah, dan menanamkan budaya ibadah di masyarakat.