Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Mohammad Javad Zarif Senin (27/4) dalam pertemuannya dengan Yukiya Amano, dirjen Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di New York mengisyaratkan peluang yang ada saat ini untuk memperkokoh kredibilitas dan posisi lembaga atom internasional.
Zarif menandaskan, ÔÇ£Kredibilitas IAEA diuji secara serius selama proses negosiasi nuklir antara Iran dan Kelompok 5+1 dan kesuksesannya membutuhkan perhatian lebih besar petinggi IAEA serta penempuhan langkah-langkah praktis dan serius dalam masalah ini.ÔÇØ
Statemen ini merupakan isyarat kritikan atas kinerja Amano selama menjabat sebagai dirjen IAEA. Badan Energi Atom Internasional di tahun 2011 melontarkan klaim terkait kemungkinan uji coba di program nuklir Iran yang mengarah ke militer. Namun IAEA di klaimnya tersebut tidak menyertakan bukti untuk mendukung dakwaannya tersebut.
Babak baru negosiasi nuklir antara Iran dan Kelompok 5+1 pasca kesepakatan sementara Jenewa 24 November 2013 untuk menggapai kesepakatan final, maka mulailah ditempuh langkah-langkah oleh Tehran dan IAEA. Iran dan IAEA pada November 2013 menandatangani statemen bersama untuk menggalang kerjasama.
Berdasarkan statemen bersama ini, di langkah awal dan kedua terkait 13 langkah yang ada serta dilangkah ketiga terkait lima langkah praktis lainnya, keduanya mencapai kata sepakat. Yukiya Amano tahun lalu di laporannya kepada Dewan Gubernur membenarkan pelaksanaan 16 langkah praktis secara penuh oleh Republik Islam Iran dan menyatakan bahwa pelaksanaan dua langkah praktis yang tersisa juga tengah dilakukan.
Ini artinya IAEA mampu melakukan misi pengawasannya, namun dalam statemen Amano senantiasa ada catatan yang diselipkan. Artinya dalam pandangan Amano penyelesaian isu-isu yang tersisa bergantung pada peningkatan kerjasama Iran dan akses terhadap seluruh infomasi serta data dan situs di Iran. Hal ini sejatinya muncul akibat represi politik yang selalu disisipkan di laporan Amano.
Amano di jumpa pers pada hari Ahad (26/4) mengatakan, dirinya tidak mampu mengatakan penyidikan ini akan berjalan berapa lama. Namun klaim-klaim tak berdasar dirjen IAEA terkait program nuklir sipil Iran berulang kali menjadi alasan, meski program nuklir Iran terbukti transparan, namun ia tetap merilis laporan ambigu dalam kasus ini.
Di pembukaan Konferensi Penunjauan Ulang Traktat Non Proliferasi Nuklir (NPT), Amano masih tetap menggunakan metode usangnya untuk mengaburkan aktivitas nuklir Iran. Ia berkata, meski Iran tidak memiliki senjata pemusnah massal, namun saat ini kita tidak mendapat kepastian bahwa seluruh aktivitas nuklir Iran sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan damai, kami mengharapkan Iran memberi jawaban atas sejumlah ambiguitas yang dilontarkan IAEA dengan transparansi penuh hingga laporan diserahkan kepada negara-negara anggota dan Dewan Gubernur.
Amano juga tidak mengingkari kedekatan hubungannya dengan negara-negara Barat dan mengatakan, IAEA adalah organisasi teknis dan meski adanya data dan bukti dilaporan lembaga ini, Dewan Gubernur dan data dari negara-negara anggota, sampai saat ini belum dirilis laporan final yang membenarkan status damai program nuklir Iran. Oleh karena itu, kami meminta Iran untuk transparansi penuh juga ada sisi militer di program nuklirnya. Amano menyebut lembaga yang dipimpinnya legal untuk membuktikan status damai program nuklir Iran.
Statemen seperti ini sangat bertentangan dengan realita dan kinerja Amano dalam kapasitasnya sebagai dirjen IAEA. Sejaitnya IAEA dengan dalih ini harus memiliki penilaian yang benar atas seluruh kemungkinan masalah yang akan diraih supaya mampu memberikan laporan yang disertai penyidikan tepat kepada Dewan Gubernur. Namun sebaliknya malah memberikan laporan terkait program nuklir sipil Iran yang disertai klaim ambigu, yang bahkan IAEA sendiri tidak bersedia membenarkan klaim tersebut.
Oleh karena itu, masih perlu diperdebatkan sejauh mana IAEA menjalankan tugasnya secara netral. Realitanya adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir saat ini malah berlomba-lomba memodernisasi persenjatan nuklirnya dan rezim Zionis Israel dengan memiliki 200-300 hulu ledak nuklir masih tetap menjadi ancaman bagi Timur Tengah.
Sementara itu, Gerakan Non Blok (GNB) dengan 120 negara anggota yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat internasional, berulang kali meminta IAEA menjalankan tugasnya termasuk tanpa diskriminasi dalam menjalankan NPT. Namun IAEA tidak menjalankan tugas teknisnya dan malah berubah menjadi alat politik sejumlah negara Barat.