Di hadapan masyarakat dan diaspora Indonesia di Amerika Serikat (AS), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan Indonesia tidak sedang dalam keadaan krisis karena ekonomi masih tumbuh bahkan termasuk dalam lima besar dunia.
Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan masyarakat dan diaspora Indonesia di AS di Wisma Tilden Washington DC, Minggu sore, membandingkan kondisi ekonomi Indonesia yang sangat jauh berbeda dibandingkan pada 1998.
"Krisis-krisis, mana yang namanya krisis kalau moneter jatuh pertumbuhan (ekonomi) minus. Negara-negara lain iya, kita masuk lima besar pertumbuhan ekonominya. Senengnya kok menjelekkan diri sendiri," katanya yang disambut dengan tawa dan tepuk tangan lebih dari 1.250 masyarakat Indonesia yang tinggal di AS.
Menurut dia, perlu dibangun rasa optimistis karena kompetisi setiap negara semakin ketat sehingga jika tidak satu visi atau satu gagasan besar maka sulit untuk memenangkan persaingan.
Ia memaparkan perbandingan perekonomian Indonesia pada 1998 dibandingkan saat ini.
"Jadi kalau melihat posisi ekonomi kita tidak ada rasa pesimistis tidak ada dalam keadaan krisis, contoh dengan tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 13,1 persen saat ini kita masih plus 4,7 persen bahkan kuartal ketiga menurut BI bisa 4,85 persen," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat Indonesia tidak pesimistis.
Inflasi saat 1998 mencapai 28 persen tapi saat ini di bawah 4 persen padahal tahun lalu 8,5 persen.
Sedangkan nilai tukar pada 1998 pernah mencapai Rp15.000 perdolar AS sekarang Rp13.600 meskipun sempat menyentuh angka Rp14.700 perdolar AS.
"Saya sampaikan bahwa negara kita perlu transformasi fundamental ekonomi yang dulunya bertumpu pada konsumsi, penjualan bahan mentah kita mulai ke produksi, industri, dan investasi. Memang diawal sulit, pahit ya tapi dalam jangka menengah panjang bahwa jalan yang akan kita lalui adalah jalan yang benar," katanya.
Menurut dia, Indonesia pernah melewatkan booming mulai dari booming minyak, booming kayu, dan booming minerba.
Ia mengatakan booming minerba Indonesia bisa sedikit memanfaatkan peluang meskipun jika diteruskan maka sumber daya alam tersebut akan habis.
Pemerintahnya kemudian fokus pada infrastruktur dan pangan, oleh sebab itu sebulan setelah dilantik Jokowi langsung mengalihkan subsidi BBM kepada faktor-faktor produktif meskipun banyak yang mengingatkan langkah tersebut akan membuat anjlok popularitasnya.