Sejumlah WNI di Arab Saudi mendemonstrasikan meminum air kencing unta yang diklaim sebagai terapi kesehatan sesuai dengan hadis Nabi dalam Sahih Bukhari-Muslim. Bagaimana menurut ulama Syiah?
Dalam fikih Syiah, mengenai najis tidaknya air kencing hewan, hewan terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, hewan yang dagingnya haram dimakan, air kencingnya dihukumi najis. Kelompok kedua, hewan yang dagingnya halal dimakan, air kencingnya dihukumi suci, tidak najis.
Unta, berada dalam kelompok kedua. Yang karena dagingnya halal dimakan, maka air kencingnya tidak najis. Karena tidak najis, hukum awalnya, tidak haram untuk diminum. Hanya saja, ulama Syiah mengkategorikan air kencing unta termasuk dalam khabaits, sesuatu yang kotor dan menjijikkan, sehingga haram untuk diminum.
Dalilnya?
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan dia mengharamkan bagi mereka segala yang khabaits” (QS Al A’raf: 157).
Bagaimana dengan meminum air kencing unta untuk terapi penyembuhan?
Dalam kitab Syiah, juga terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan kebolehannya. Misalnya, Imam Shadiq as berkata, "Tidak masalah, meminum air kencing sapi, unta dan kambing untuk terapi penyembuhan." (Tahzibul Ahkam, jld. 1, hlm. 284; Wasail al-Syiah, jld. 3, hlm. 410).
Seseorang bernama Mufdhal bin 'Umar menyampaikan kepada Imam Shadiq as mengenai seseorang yang terkena asma, Imam Shadiq as berkata, "Minumkan dia urine unta muda, jika dia meminumnya, demi Allah sakitnya akan sembuh." (Wasail al-Syiah, jld. 25, hlm. 115)
Jadi bagaimana, menyambungkan dua hukum ini?
Ulama Syiah memfatwakan:
Ayatullah Sistani: Hukumnya haram, kecuali untuk pengobatan
Ayatullah Makarim: Kotoran unta tidak najis, namun jika tidak dalam kondisi darurat, meminumnya haram.
Ayatullah Sadeq Rohani: Kotoran unta termasuk khabaits, meminumnya selain untuk pengobatan tidak diizinkan.
Mengapa menurut ulama Syiah, meminum air kencing unta hanya dibolehkan dalam kondisi darurat dan untuk terapi penyembuhan yang dengan itu tentu saja harus melalui prosedur medis? Sebab, air kencing unta bagaimanapun adalah zat-zat hasil buangan yang besar kemungkinan berasal dari ginjal dan saluran kencing yang terinfeksi sehingga memungkinkan mengandung bakteri. Syukur-syukur tidak mengandung racun atau virus.
Minum air kencing unta, perlukah?
Memang disebutkan, Imam Shadiq as menganjurkan minum air kencing unta untuk yang terkena asma, namun tidak lantas berarti, setiap terkena asma langsung mengkonsumsi urine unta. Sebab sebagaimana obat lainnya, ada aturan pakainya, ada petunjuk medisnya, ada efek sampingnya dan setiap obat tidak selalu cocok untuk semua orang, ada kategori usia, kondisi tubuh dan lain sebagainya. Jadi tidak lantas, hanya karena hadisnya sahih, lalu dengan motivasi mengamalkan sunnah, secara serampangan dan provokatif meminum air kencing unta.
Karena itu, sebelum memutuskan minum air kencing unta, pertimbangkan beberapa hal berikut:
Pertama, air kencing unta untuk terapi penyembuhan, bukan terapi pencegahan dari penyakit. Sehingga jika kondisi tubuh anda masih sehat, ya pertahankan itu. Untuk mencegah datangnya penyakit banyak alternatif lain dari mencoba-coba meminum air kencing unta.
Kedua, kalau akhirnya tidak ada alternatif lain selain meminum air unta untuk menyembuhkan penyakit yang didera, harus dipastikan air kencing yang akan diminum itu terjamin kesterilannya, berasal dari unta yang tidak penyakitan dan sesuai dengan aturan minum. Ini tentu saja, sudah sesuai dengan petunjuk dokter atau ahli medis yang profesional. Bukan sekedar 'terprovokasi' ustad demi menjalankan sunnah atau hadis Nabi namun mengabaikan aturan-aturan medis.
Ketiga, perlu anda ketahui, virus korona penyebab penyakit MERS (Middle East Respiratory Syndrome/Sindrom Pernafasan Timur Tengah) pertama kali ditemukan di Arab Saudi. Kemunculannya menghebohkan dan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi. Virus korona tersebar melalui unta. Mengkonsumsi daging unta kurang matang saja seseorang beresiko tertural MERS, apalagi kalau dengan serampangan meminum air kencingnya. Silakan cek data-datanya. Penderita MERS terbanyak di dunia, ada di Arab Saudi. Dan hingga saat ini, masih belum ada vaksin atau perawatan khusus untuk merawat para penderitanya.