Sebuah studi yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang diumumkan pada hari Selasa, 19 November 2019 menyebutkan bahwa Republik Islam Iran memiliki kekuatan rudal terbesar di kawasan Timur Tengah meskipun beberapa dekade disanksi oleh Gedung Putih.
"Iran memiliki program pengembangan rudal yang luas, dan ukuran dan kecanggihan pasukan misilnya terus tumbuh meskipun puluhan tahun upaya kontra-proliferasi ditujukan untuk mengekang kemajuannya," kata Badan Intelijen Pertahanan AS seperti dilansir Press TV.
Namun Departemen Pertahanan AS juga mengulang tuduhan tak berdasar bahwa program rudal Iran bukan untuk tujuan damai dan defensif.
"Iran telah mengandalkan rudal balistik sebagai kemampuan serangan jarak jauh untuk mencegah musuh-musuhnya di kawasan, khususnya Amerika Serikat, Israel dan Arab Saudi, dari menyerang negara itu," kata laporan tersebut.
Disebutkan pula bahwa Iran telah mengembangkan serangkaian rudal yang bisa menyerang pada jarak 2.000 km, yang mampu mencapai Tel Aviv atau Riyadh.
Sejak awal, pemerintah Iran telah berulang kali menegaskan bahwa program rudalnya tidak diproduksi untuk tujuan non-konvensional dan hanya dimaksudkan sebagai bagian dari kemampuan pencegahan.
AS meningkatkan tekanan terhadap Iran sejak tahun lalu setelah menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) yang disepakati pada 2015.
Sejak itu, pemerintahan Presiden AS Donald Trump berusaha mengurangi ekspor minyak Iran hingga ke angka nol, dan mengirim kapal-kapal induk dan kapal perang serta penambahan sekitar 1.500 pasukan ke kawasan untuk menangkal apa yang mereka sebut sebagai ancaman dari Iran.
Iran telah menolak langkah-langkah seperti perang psikologis, dan menegaskan bahwa Tehran memiliki cara sendiri untuk menghadapi permusuhan AS. Para pejabat Iran menegaskan bahwa pihaknya tidak menimbulkan ancaman bagi negara mana pun, tetapi akan mempertahankan diri jika diserang.