Arena penting lainnya dan sekaligus baru dalam konflik Rusia-Amerika adalah untuk melancarkan perang diplomatik melawan Rusia dengan mencegah atau tidak memberikan visa kepada diplomat Rusia yang menghadiri pertemuan dan komunitas PBB serta organisasi-organisasi internasional yang berbasis di AS.
Langkah Washington telah memicu protes keras dari Moskow. Amerika Serikat selalu menggunakan masalah visa untuk delegasi dan pejabat yang menghadiri sidang dan pertemuan sebagai sarana untuk menekan negara-negara yang berselisih sejak markas besar PBB di New York. Wakil Tetap Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Vasily Nebenzya, 10 Februari 2020, menyinggung berlanjutnya upaya penjegalan Amerika Serikat dalam mengeluarkan visa diplomatik kepada para diplomat Rusia dan menyerukan penghentian perilaku AS ini. Nebenzya menuduh Amerika Serikat melanggar apa yang disebut "Markas Besar PBB" karena melanggar persyaratan visa untuk misi diplomatik dan mengancam akan membawa masalah ini agar ditengahi jika proses itu tidak dihentikan.
Wakil Tetap Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Vasily Nebenzya
Watap Rusia Rusia untuk PBB dalam sebuah pernyataan mengatakan, "Ada kesepakatan bahwa Amerika Serikat sebagai tuan rumah harus mengikuti. Amerika melanggarnya. Menolak mengeluarkan visa karena alasan apa pun, bahkan untuk alasan keamanan yang ingin dirujuk Amerika Serikat, tidak dapat dibenarkan. Jika kondisi tidak berubah, kita harus menggunakan arbitrasi."
Padahal, pada awal Desember 2019, Nebenzya mengatakan bahwa ia telah mengangkat masalah hambatan bagi delegasi Rusia yang menghadiri pertemuan PBB dengan Presiden AS Donald Trump dan ia berjanji untuk mengatasi masalah tersebut. Sekarang jelas bahwa janji Trump termasuk dalm janji-janji bohongnya, dan bahwa pemerintah Trump telah dengan sengaja melakukan pendekatan meningkatkan tekanan pada diplomat Rusia dan negara-negara lain, seperti Iran, Venezuela dan Kuba. Menurut Vladimir Ermakov, Direktur Biro Non-Proliferasi dan Kontrol Senjata Kementerian Luar Negeri Rusia, Amerika Serikat telah mengabaikan atau memblokir banyak delegasi perwakilan negara asing ke PBB, dengan demikian sebenarnya AS telah melanggar tanggung jawabnya sebagai negara tuan rumah PBB."
Tujuan pemerintah AS untuk menghalangi penerbitan visa adalah menciptakan kebingungan dan ketidakjelasan para delegasi dan pejabat negara asing tentang kemungkinan bepergian ke Amerika Serikat dan benar-benar mengobarkan perang psikologis. Tujuan Washington yang lain adalah untuk menunjukkan apa yang disebut otoritasnya dengan tidak memberikan jalan bagi para delegasi negara-negara asing ke Amerika Serikat untuk menghadiri pertemuan-pertemuan PBB. Pemerintahan Trump sebenarnya menolak untuk mengeluarkan visa kepada delegasi negara-negara asing untuk menghadiri pertemuan PBB demi mencegah mereka menyatakan atau menghalangi konsultasi diplomatik dengan negara-negara penentangnya, terutama Rusia dan Iran.
Dalam hal ini, pada Januari 2020, pemerintah AS menolak untuk mengeluarkan visa kepada Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, yang dijadwalkan untuk menghadiri pertemuan umum Dewan Keamanan. Ini telah menjadi kasus bagi para diplomat, dan juga untuk New York, yang telah memberlakukan pembatasan ketat terhadap diplomat dan keluarga mereka. Menanggapi tindakan ilegal AS, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah berulang kali menyerukan kepatuhan penuh dengan perjanjian tentang markas besar PBB sebagai negara tuan rumah lembaga ini di New York.
Sejak awal dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesuai dengan persetujuan Amerika Serikat dan lembaga internasional ini, Washington telah diwajibkan untuk menyediakan fasilitas untuk penerbitan visa perjalanan bagi para pejabat dan delegasi dari negara-negara anggotanya, dan tidak boleh terhalang dalam hal ini. Namun, melihat catatan perilaku Amerika menunjukkan bahwa Washington telah berulang kali menolak untuk mengeluarkan visa kepada pejabat lembaga internasional serta negara-negara yang menentang kebijakan AS dan dominasi dalam kerangka kebijakan ganda.
Menolak untuk mengeluarkan visa kepada delegasi asing adalah tanda bahaya bagi komitmen AS untuk PBB, dan penolakan pemerintah Trump untuk melakukannya akan semakin mendiskreditkan Amerika Serikat secara internasional. Tentu saja perselisihan antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Washington mengenai interpretasi atau penerapan perjanjian ini harus diajukan ke arbitrase. Baik Sekretaris Jenderal dan Amerika Serikat dapat meminta Majelis Umum untuk mengajukan pendapat penasehat kepada Mahkamah Internasional mengenai masalah hukum apa pun di hadapan majelis arbitrase, dan majelis arbitrase akan membuat keputusan akhir berdasarkan pendapat majelis.
Masalah lain yang dihadapi konflik AS-Rusia adalah tindakan Washington yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Moskow. Selama masa jabatan Donald Trump, Amerika Serikat telah menempuh kebijakan untuk membangun kembali dan mengembangkan persenjataan nuklir, dan telah memulai rencana ambisius untuk senjata nuklir dan ancaman terhadap kekuatan nuklir lainnya, terutama Rusia.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov
Pendekatan ini telah memicu reaksi tajam dari para pejabat Moskow. Menanggapi simulasi serangan nuklir AS terhadap Rusia, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, 22 Februari 2020, mengatakan, "AS dengan simulasi serangan nuklir terbatas ke Rusia, telah memulai sebuah permainan yang berbahaya." Ryabkov mengutuk berlanjutnya latihan simulasi terbatas penggunaan senjata nuklir, termasuk penggunaannya dalam menyerang Rusia dalam bentuk manuver markas besar dan menekankan, tindakan semacam itu menunjukkan kesiapan Washington untuk menghadapi dan bergerak ke tingkat pengurangan level yang kemudian dapat menggunakan senjata nuklir.
Seorang pejabat Pentagon mengakui bahwa pihaknya sedang melakukan latihan nuklir. “AS melakukan sebuah latihan kecil termasuk bagaimana cara memberikan balasan jika Rusia melancarkan serangan nuklir,” ujarnya. Pesawat pembom strategis B-52 AS tahun lalu juga melakukan latihan serangan nuklir untuk meningkatkan kesiapan jika terjadi perang dengan Rusia. Moskow berulang kali mengutuk pendekatan Washington dalam peningkatan kemampuan nuklir dan rencana penggunaan senjata nuklir jika pecahnya perang di masa depan. Moskow menganggap langkah itu akan meningkatkan instabilitas dan ketidakamanan di dunia.
Washington lebih memilih meninggalkan perjanjian internasional dan memperkuat sistem persenjataan nuklirnya ketimbang mengambil langkah-langkah di bidang pengendalian senjata. Pemerintahan Trump mengejar kebijakan ofensif dalam kerangka doktrin baru nuklir AS. Doktrin ini diumumkan dalam sebuah dokumen yang disebut Tinjauan Postur Nuklir pada Februari 2018. Dokumen ini menekankan penguatan persenjataan nuklir dalam strategi keamanan AS.
Trump mengambil kebijakan untuk memproduksi dan menyebarkan persenjataan nuklir kecil. Langkah ini merupakan ancaman nyata terhadap negara-negara lain khususnya kekuatan nuklir seperti Rusia dan Cina. AS bahkan mempercepat pengembangan serta penyebaran rudal dan senjata nuklir baru dengan alasan melawan ancaman, yang diklaim datangnya dari sisi Rusia dan Cina.
Rusia merupakan sebuah tantangan besar bagi strategi nuklir AS. Wakil Menteri Pertahanan AS waktu itu, John Rood pada Juli 2019 mengakui bahwa Pentagon memandang doktrin militer Rusia sebagai tantangan terhadap kemampuan nuklir Washington. “Rusia sedang memperkuat kemampuan nuklir taktisnya, sementara kita sudah puluhan tahun tidak memproduksi senjata nuklir baru,” katanya. Klaim ini jelas-jelas bertentangan dengan fakta.
Moskow akan menggunakan senjata nuklirnya hanya dalam dua kasus. Pertama, jika melibatkan penggunaan senjata pemusnah massal oleh pihak lain untuk menyerang Rusia. Kedua, jika terjadi serangan menggunakan senjata konvensional, namun skala serangan mengancam keberadaan Rusia. Moskow menekankan bahwa pihaknya sama sekali tidak punya skenario lain tentang penggunaan senjata nuklir dan klaim para pejabat Washington benar-benar tidak berdasar.
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat
Tujuan pemerintah Trump adalah untuk memperbaiki, memberdayakan dan meningkatkan keunggulan nuklir Amerika atas Rusia. Di era pasca-Perang Dingin, stabilitas dan keamanan internasional di arena internasional didasarkan pada kesetaraan dan penyelarasan nuklir. Yaitu, antara dua kekuatan nuklir dunia yang mampu menghancurkan bumi beberapa kali, ada keseimbangan yang sangat luar biasa dan tepat, yang sebenarnya menjamin pencegahan setiap konflik nuklir.
Secara keseluruhan, upaya utama pemerintah Trump adalah untuk pertama-tama meninggalkan perjanjian kontrol senjata dan kemudian melemahkan aturan keseimbangan nuklir dengan merenovasi dan meningkatkan persenjataan nuklir AS, sambil mencoba mengurangi kemampuan nuklir para pesaingnya, Rusia dan Cina.