Imam Ali Al-Hadi as lahir pada tanggal 15 Dzulhijjah tahun 212 Hijriah di Madinah. Beliau anak dari Imam Mohammad Taqi as (Imam Jawad). Ketika ayahnya gugur, Imam Ali al-Hadi baru berusia delapan tahun dan menjadi pengganti ayahnya. Sejatinya Imam Hadi seperti ayahnya, memegang tampuk imamah di saat berusia anak-anak. Keimamahan Imam Hadi berlangsung selama 33 tahun.
Ahlul Bait Nabi Saw merupakan manusia sempurna dan yang dipilih oleh Allah Swt. Perilaku dan ucapan mereka menjadi teladan bagi kehidupan manusia dan manifestasi nilai-nilai ilahi. Mengenal teladan dan mengikuti cara hidup mereka bakal membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ziarah Jami'ah Kabirah termasuk kebanggaan Syiah dan mukjizat ilmiah dan besar Imam kesepuluh, karena ziarah ini berisi seluruh rahasia Ilahi dari sisi filasafat, irfan, Quran dan riwayat (hadis). Imam Ali al-Hadi as dengan Ziarah Jamiah Kabirah telah mengenalkan kepada umat Islam tentang budaya dan ajaran Islam. Dalam ziarah ini dijelaskan tentang tauhid dan wilayah yang sangat mendalam dan penjelasan tentang keutamaan manusia. Beliau juga menerangkan kedudukan sosial dan bimbingan para Imam Maksum serta penjelasan tentang keutamaan mereka sebagai keturunan suci Nabi Muhammad Saw.
Fase kehidupan Imam Hadi bersamaan dengan enam khalifa Abbasiyah. Perilaku keenam khalifah Abbasiyah ini terhadap Imam Hadi beragam. Sebagian bersikap keras terhadap Imam dan sebagian lain seimbang. Tapi mereka seluruhnya memiliki pandangan yang sama yakni merampah khilafah dan mengabaikan hak Imam.
Di antara khalifah Abbasiyah, Mutawakkil memiliki permusuhan terbesar dengan Ahlul Bait Nabi dan keluarga para Imam. Dengan berbagai metode Mutawakkil berusaha keras menyiksa Ahlul Bait. Ia bahkan memerintahkan makam para Imam maksum khususnya makam Imam Husein as dan rumah-rumah di sekitarnya dihancurkan serta tanah Karbala dibajak dan kemudian ditanami.
Mutawakkil takut keberadaan Imam Hadi as di Madinah dan khawatir Imam melakukan aktivitas politik di sana. Kekhawatiran ini membuat Mutawakkil senantiasa gelisah.
Kehidupan Imam Hadi as di era khalifah Abbasiyah sangat sulit. Beliau mendapat tekanan keras dan sangat dibatasi aktivitasnya. Pengawasan terhadap beliau oleh penguasa lalim saat itu juga ketat. Metode ini dimaksudkan untuk mencegah pertemuan beliau dengan para pengikut Syiah serta mencegah pencerahan beliau kepada masyarakat.
Dengan demikian Mutawakkil mulai berencana menjalankan strategi setannya dengan mengasingkan Imam Hadi as dari Madinah ke Samara di Irak, sehingga ia dengan mudah dapat mengontrol pergerakan dan aktivitas Imam Hadi. Samara saat itu dikenal sebagai kota militer dan ibu kota sejumlah khalifah Abbasiyah.
Untuk merealisasikan rencananya ini, Mutawakkil menggelar pertemuan ilmiah. Namun Imam Hadi di pertemuan ini berhasil menjawab masalah fikih, filsafat dan teologi yang paling sulit serta menjelaskannya dengan terperinci sehingga para penanya takjub dan mereka mengakui keimamahan Imam Hadi.
Di kondisi yang dibatasi dan pengawasan ketat terhadap dirinya, Imam Hadi mulai mengembangkan metode baru pencerahan dan kontaknya dengan pengikutnya. Salah satunya adalah melalui surat menyurat dan membentuk jaringan perwakilan, sehingga umat Syiah yang memiliki pertanyaan akan mendapatkan jawabannya meski tidak langsung.
Jaringan perwakilan yang dibentuk Imam Hadi dimaksudkan untuk menyebarkan ajaran Syiah dan dapat dikatakan sebuah perang lunak.
Para wakil Imam menjadi perantara antara masyarakat dengan Imam. Imam Ridha, Imam Javad dan kemudian Imam Hadi adalah para imam yang merintis jaringan perwakilan di tengah umat untuk menghubungan masyarakat dengan imam mereka. Para wakil ini selain bertugas mengumpulkan Khumus dan mengirimnya kepada Imam maksum, juga berperan aktif dalam menyelesikan masalah fikih dan teologi.
Para tokoh yang ditunjuk sebagai wakil Imam as berperan menyebarkan pandangan-pandangan teologis dan hukum Islam kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga bertugas menyampaikan informasi tentang kondisi umat kepada Imam as. Namun karena situasi politik yang mencekam, para wakil tersebut tidak mudah menjalin komunikasi dengan Imam as. Sebagian bahkan terpaksa menyamar sebagai pedagang keliling untuk dapat mendekati Imam Hadi as.
Dengan demikian salah satu tugas penting di zaman Imam Hadi as adalah menjelaskan posisi imamah dan wilayah, mengenalkan ulama dan mempersiapkan pemikiran kaum Syiah di era ghaibah. Hal ini karena pengikut Syiah sedikit demi sedikit semakin dekat dengan era ghaibah Imam Zaman as. Mereka harus siap menghadapi kehadiran non fisik imam.
Sebagian dari upaya Ahlul Bait di bidang pemikiran dan budaya adalah menjelaskan masalah kepemimpinan dan Imamah di tengah umat Islam. Masalah ini semakin penting di masa Imam Ali al-Hadi. Karena pada waktu itu dapat dikatakan puncak dari serangan terhadap pemikiran Ahlul Bait. Itulah mengapa penjelasan dan sosialisasi masalah kepemimpinan di tengah umat Islam menjadi sangat penting. Sementara di sisi lain, pengawasan ketat para penguasa Bani Abbasiyah membuat aktivitas Imam Ali al-Hadi menjadi sangat sempit dan sulit. Tapi Imam Hadi tidak kehilangan inspirasi dan meninggalkan warisan berharga yang dikenal dengan doa Ziarah Jami’ah (ziarah lengkap).
Selama masa hidupnya Imam Hadi tidak pernah berdamai dengan penguasa lalim dan sebaliknya penguasa zalim ini merasa keberadaan imam sangat mengancam posisi mereka. Hanya ada satu cara bagi mereka dan itu adalah memadamkan cahaya Ilahi ini. Dengan demikian mereka mulai merencanakan upaya pembunuhan terhadap Imam Hadi as sama seperti ayah dan kakek-kakek beliau.
Makam Imam Hadi dan Askari di Samara
Pada hari Senin tanggal 3 Rajab tahun 254 Hijriah, Imam Muhammad Al-Hadi as meninggal dunia karena sakit yang parah. Beliau sakit oleh racun. Orang yang telah meracuninya adalah penguasa Abbasiyah yang bernama Al-Mu’taz. Imam as meninggal dunia dalam keadaan teraniaya dan terasing. Masyarakat berbondong-bondong dengan kesedihan yang mendalam menghantarkan Imam ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Imam as dimakamkan di tempat tinggalnya yang terletak di kota Samara, Irak.