Rezim Zionis Israel dalam sebuah konspirasi baru, berniat merampas 30 persen dari wilayah Tepi Barat, Palestina. Benjamin Netanyahu dari Partai Likud dan Benny Gantz dari koalisi Blue and White, mencapai kesepakatan pada April 2020 untuk mencaplok Tepi Barat.
Aneksasi ini rencananya dilaksanakan pada 1 Juli 2020, tetapi terpaksa ditunda karena adanya aksi protes dan peringatan dari rakyat dan faksi-faksi perlawanan Palestina, perselisihan internal di kabinet Israel, dan belum mendapat lampu hijau dari Presiden AS Donald Trump tentang waktu pelaksanaan aneksasi.
Lalu, 30 persen dari Tepi Barat itu bakal seluas mana dan berapa jumlah populasinya? 30 persen dari seluruh Tepi Barat mencakup 130 pemukiman Zionis yang menampung lebih dari 460.000 pemukim di area seluas 1.613 kilometer persegi dari wilayah Tepi Barat. 52 pemukiman dengan populasi lebih dari 350.000 warga Zionis berada di dalam Tembok Pembatas di Tepi Barat dan 78 pemukiman di luar itu dengan populasi 100.000 orang.
Rezim Zionis bersikeras mencaplok 30 persen dari wilayah Tepi Barat, Palestina. Sikap ini didasari oleh beberapa alasan, pertama kembali kepada identitas dan esensi rezim Zionis. Israel secara esensial adalah sebuah rezim penjajah dan rezim ini berdiri atas dasar pendudukan dan perampasan tanah Palestina.
Mereka secara agresif terus memperluas wilayah jajahannya. Jadi, terlepas dari siapa yang memimpin kabinet Israel, rezim ini akan terus merampas dan memperluas daerah jajahannya atas tanah Palestina.
Kedua berhubungan dengan tantangan internal di tanah pendudukan dan posisi Netanyahu yang terancam bahaya. Pada Desember 2018, kabinet pimpinan Netanyahu bubar dan kemudian memasuki fase kebuntuan politik.
Netanyahu mempresentasikan rencana aneksasi Tepi Barat, Palestina.
Kebuntuan politik ini tidak juga berakhir setelah berlangsungnya tiga kali pemilu parlemen, dan hanya karena wabah virus Corona serta dampak kebuntuan yang berlarut-larut, Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz akhirnya menyetujui sebuah kompromi politik untuk keluar dari kondisi itu.
Meski Netanyahu dan Gantz setuju untuk membagi masa jabatan PM menjadi dua periode bergiliran 18 bulan, namun menurut beberapa laporan media Israel, Netanyahu berencana menyingkirkan Gantz dengan membubarkan kabinet dan mengadakan pemilihan baru.
Netanyahu berasumsi bahwa keretakan di koalisi Blue and White – karena kompromi Gantz dan Partai Likud – dan rencana aneksasi Tepi Barat, dapat dimanfaatkan untuk mendulang suara pada pemilu mendatang dan menguasai mayoritas kursi Knesset, kemudian membentuk kabinet tanpa melibatkan Gantz.
Ketiga, masa jabatan periode pertama Presiden AS Donald Trump akan segera berakhir. Selama empat tahun ini, Trump mengambil langkah-langkah penting untuk memenuhi kepentingan rezim Zionis melalui prakarsa rasis, Kesepakatan Abad.
Trump mengakui Quds sebagai ibukota baru rezim Zionis, memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke kota Quds, dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, Suriah.
Netanyahu khawatir bahwa Trump akan kalah dalam pilpres AS November 2020 dari rivalnya, Joe Biden. Oleh karena itu, Netanyahu berusaha melaksanakan rencana aneksasi 30 persen dari Tepi Barat sebelum berlangsungnya pemilu di Amerika.
Aneksasi berarti pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) orang (negara) lain untuk disatukan dengan tanah (negara) sendiri atau pencaplokan. Beberapa ketentuan tentang pendudukan diatur oleh hukum perang Konvensi Keempat Den Haag 1907, Konvensi Keempat Jenewa 1949, dan Protokol Tambahan 1977. Berdasarkan hukum internasional, keabsahan aneksasi hanya bisa diakui jika dilakukan melalui perjanjian damai dan, tentu saja selanjutnya digelar sebuah referendum dalam konteks hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dengan melihat aturan itu, upaya rezim Zionis untuk mencaplok 30 persen dari wilayah Tepi Barat, Palestina, tidak memiliki landasan hukum dan merupakan tindakan yang sepenuhnya ilegal.
Selain itu rencana aneksasi merupakan sebuah keputusan rasis yang mengabaikan warga Palestina yang tinggal di kota-kota yang diduduki, dan menyerahkan rumah dan ladang pertanian mereka kepada pemukim Zionis. Pada dasarnya, rencana aneksasi adalah kelanjutan dari rasisme rezim Zionis, dan rasisme juga dianggap ilegal menurut berbagai dokumen dan peraturan hukum internasional.
Tindakan Israel untuk melaksanakan rencana aneksasi jelas bertentangan dengan hukum dan peraturan internasional, termasuk resolusi PBB. Dalam hal ini, Perwakilan Amnesty Internasional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Saleh Hejazi mengatakan sikap keras Israel untuk melaksanakan rencana aneksasi bagian-bagian Tepi Barat, telah mengabaikan hukum internasional.
Secara politis, tindakan rezim Zionis merupakan sebuah langkah yang tidak punya dasar apapun, karena paling tidak sesuai dengan Kesepakatan Oslo 1993 yaitu dengan terbentuknya pemerintah Otorita Palestina, dua bagian wilayah termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza (sekitar 20 persen dari wilayah Palestina) menjadi milik Palestina berdasarkan ketentuan kesepakatan.
Rezim Zionis sekarang ingin merampas wilayah Tepi Barat dan mengabaikan Kesepakatan Oslo 1993. Oleh sebab itu, pemerintah Otorita Palestina mengumumkan bahwa semua perjanjian damai dengan Israel dan AS akan dibatalkan jika rencana aneksasi Tepi Barat dilaksanakan.
Saat ini Netanyahu menunda pelaksanaan aneksasi Tepi Barat, bukan membatalkannya. Israel berusaha mengimplementasikan rencana ini pada waktu yang tepat. Implementasi rencana ini – seperti yang diperingatkan oleh berbagai faksi Palestina – akan menyebabkan ketidakstabilan dan kekacauan yang besar dalam hubungan Palestina dengan rezim Zionis, dan dapat membuka jalan bagi perang baru atau intifada baru.
Dalam hal ini, Saleh Hejazi mengatakan kebijakan semacam itu (rencana aneksasi) tidak akan mengubah status hukum tanah di bawah aturan internasional dan tidak menghilangkan tanggung jawab rezim Zionis sebagai penjajah, tetapi hanya mempertontonkan hukum rimba yang seharusnya tidak punya tempat di dunia kita hari ini.