اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ (19) مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (20)
Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezeki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (42: 19)
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (42: 20)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Swt mengasihi semua hamba-Nya, dan Dia memberikan rezeki kepada semua, bahkan kepada mereka yang kafir, dan tidak beriman kepada-Nya. Namun rezeki Ilahi ini tergantung pada hikmah-Nya, dan di dunia serta akhirat, ia mengikuti ketetapan Allah Swt.
Sunatullah atau ketetapan Allah Swt itu ialah barangsiapa bekerja untuk akhiratnya maka ia akan mendapatkan kenikmatan di dunia, dan mendapatkan rahmat Ilahi di akhirat. Akan tetapi orang yang tidak meyakini hari kiamat, dan seluruh tujuannya adalah kehidupan dunia, maka dalam usia yang pendek dan terbatas di dunia, ia tidak akan mencapai semua tujuannya, di akhirat juga ia tidak akan mendapat apapun.
Al Quran dalam perumpamaan lembut, dan indah ini menyerupakan penduduk bumi sebagai petani yang sebagian di antaranya bekerja untuk akhirat, dan sekelompok lain bekerja untuk dunia. Mereka yang menginginkan pertanian akhirat maka Tuhan akan memberikan berkah kepadanya, dan Tuhan akan menambah hasil pertaniannya, tapi mereka yang bertani hanya untuk dunia, dan kerja kerasnya untuk kekayaan yang fana ini, maka Tuhan hanya akan memberikan sedikit dari yang mereka minta. Tapi di akhirat ia tidak akan mendapatkan apapun.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dunia adalah lahan pertanian kita, dan pekerjaan kita adalah menanam benih. Namun tidak semua benih sama. Sebagian benih akan membuahkan hasil yang tidak terbatas, abadi dan berlimpah, tapi sebagian benih memberikan hasil yang sangat sedikit, dan buah yang pahit dan tidak enak.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kasih sayang Tuhan meliputi semua hamba-Nya, orang beriman dan kafir, semua mendapatkan nikmat Tuhan.
2. Kita membandingkan lalu memilih. Orang-orang yang mendambakan akhirat akan mendapatkan kenikmatan dunia, walaupun mungkin saja sedikit atau terbatas. Tapi orang-orang yang mengejar dunia tidak akan mendapatkan apapun di akhirat.
3. Niat dan tujuan adalah dua hal yang penting, bukan hanya jenis pekerjaan karena seringkali banyak jenis pekerjaan yang tampak sama, namun dilakukan dengan tujuan berbeda.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21) تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (22)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (42: 21)
Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa mereka. Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (42: 22)
Ayat ini menyinggung orang-orang musyrik, apakah mereka memiliki sesembahan lain selain Tuhan Yang Maha Esa, yang menurunkan kitab dan syariat, dan mereka mengikuti ajarannya ? Padahal penetapan hukum dan aturan hanya bisa dilakukan oleh Tuhan Maha Pencipta, Maha Penguasa dan Maha Bijaksana, dan selain Dia tidak ada seorangpun yang berhak menetapkan aturan.
Di dunia hari ini, segala bentuk penepatan aturan, baik di tingkat nasional maupun internasional, jika bertentangan dengan aturan Tuhan, batil dan tidak bisa diterima. Secara prinsip, hukum semacam ini menindas umat manusia, karena telah menarik tangan manusia dari tangan Tuhan, dan meletakkannya pada tangan manusia lain yang selain lalai atas kebaikan hakiki untuk manusia, juga tidak mampu menutup mata atas kepentingan pribadinya saat menetapkan aturan.
Tuhan memberikan kesempatan kepada manusia di dunia, sehingga dengan kehendaknya sendiri ia memilih jalan. Apapun yang dilakukan manusia di dunia, hasilnya akan ia dapatkan di akhirat. Penindasan dan kekufuran akan menyeret pelakunya ke neraka, tapi amal baik dan keimanan, akan menunjukkan jalan kepada manusia untuk bisa mencapai taman surga tertinggi dan terindah.
Tidak diragukan, rahmat Ilahi untuk orang-orang beriman tidak sebatas ini. Orang-orang beriman terus diliputi rahmat Ilahi, sehingga apapun yang diinginkannya akan terkabul. Pahala mereka dari semua sisi tidak terbatas, dan lebih tinggi dari apapun, mereka akan mendapatkan pahala tertinggi yaitu kedekatan dengan Allah Swt.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kehidupan manusia membutukan aturan, dan syariat, dan jika kita mengambil aturan ini dari selain Tuhan, maka kita akan menindas diri kita sendiri dan manusia yang lain.
2. Takut akan hukuman Tuhan seharusnya mencegah manusia dari perbuatan buruk di dunia, karena jika tidak, maka ia tidak akan berguna di hari kiamat.
3. Prasyarat kepatuhan pada perintah agama adalah bersabar atas keterbatasan, dan kemiskinan. Tidak diragukan, sabar atas segala keterbatasan akan terbalas di surga, karena di sana apapun yang diminta orang-orang beriman pasti terkabul.
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ (23)
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (42: 23)
Ayat ini pertama menekankan bahwa jika orang-orang beriman bersabar atas sebagian kesulitan dan permasalahan di dunia, demi menjaga keimanannya, maka Tuhan akan membalasnya dan memberikan surga sebagai pahala besar kepada mereka.
Selanjutnya ayat ini memerintahkan Rasulullah Saw untuk mengabarkan kepada orang-orang beriman bahwa sebagaimana nabi-nabi terdahulu, aku tidak meminta imbalan dari kalian dalam menjalankan risalah Ilahi ini, kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku. Pada kenyataannya apa yang aku lakukan adalah tugas yang diberikan Tuhan kepadaku. Akan tetapi sepeninggalku, yang membimbing kalian adalah kecintaan pada Ahlul Bait as, jadikanlah mereka sebagai teladan hidup kalian, dan dengarkan perkataan mereka untuk membedakan hak dan batil.
Seperti dijelaskan di ayat lain, apa yang diinginkan Nabi Muhammad Saw dari kita karena telah menjalankan tugasnya, sepenuhnya menguntungkan kita sendiri, dan memuluskan jalan kita menuju Allah Swt.
Kelanjutan ayat di atas menekankan bahwa orang beriman berusaha melakukan perbuatan baik, dan kebaikan mereka sampai kepada orang lain, sehingga Allah Swt memasukkan mereka ke dalam liputan rahmat-Nya, dan menambah kebaikan amal dan mengampuni kesalahannya.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para nabi tidak menginginkan imbalan materi dari masyarakat, tapi ketaatan mereka pada aturan Ilahi dan mengikuti para penggatinya yang saleh, yang pada dasarnya menguntungkan umat manusia sendiri, bukan Tuhan ataupun Rasul-Nya.
2. Iman disebut sempurna ketika berujung dengan kecintaan pada Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw. Kecintaan ini memiliki dua prasyarat, pertama, pengenalan terhadap Ahlul Bait, karena selama manusia tidak mengenal mereka, kecintaannya tidak bermakna, dan kedua adalah kepatuhan kepada Ahlul Bait.
3. Rahmat dan pengampunan Allah Swt tergantung pada perbuatan baik kepada sesama manusia, dan amal baik serta terpuji.