وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (42: 40)
Di penghujung pembahasan sebelumnya telah dikupas mengenai membela diri terhadap penyerangan, yang bermakna bahwa orang-orang Mukmin tidak bisa berdiam diri menghadapi kelaliman, dan jika diperlukan meminta pertolongan kepada kepada orang lain supaya terlepas dari penindasan yang menimpanya.
Melanjutkan penjelasan tersebut, ayat ini mengungkapkan bahwa balasan harus sesuai dengan keadilan, sehingga tidak berlebihan dan melewati batas. Masalah ini juga ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 194.
Dalam surat Ashura ayat 40 ini dijelaskan adanya hal yang lebih utama dari balasan terhadap sebuah kejahatan, yaitu berbuat baik dan memaafkannya. Jika orang yang melakukan kejahatan menyesali perbuatannya dan memohon maaf, maka sebaiknya kita memaafkannya. Di ayat ini juga ditegaskan bahwa Allah swt tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.
Tentu saja, maksud ayat ini mengenai pentingnya memaafkan, bukan berarti Allah swt membela pelaku kejahatan, tapi masalah dendam yang harus dihilangkan dan terwujudnya perdamaian di tengah masyarakat.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pembalasan bagi orang yang berbuat kejahatan kepada orang lain berada di tangan orang yang dizaliminya. Ia bisa membalas perbuatan jahat yang dilakukan kepadanya, ataukah memaafkannya. Jika balasan akan diberlakukan harus sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak melewati batas.
2. Agama Islam menganjurkan untuk memaafkan orang yang telah berbuat salah, meskipun memiliki kekuatan untuk membalasnya. Sebab, orang memaafkan akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah swt.
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (42)
Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. (42: 41)
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (42: 42)
Melanjutkan ayat sebelumnya mengenai pembalasan terhadap perbuatan jahat, di ayat ini kembali ditegaskan tentang pentingnya memaafkan perbuatan jahat orang lain lain dari pihak yang dizalimi dengan keinginan sendiri, bukan tekanan orang lain. Sebab, ia memiliki hak untuk mewujudkan haknya membalas kejahatan yang dilakukan terhadap dirinya, bahkan ketika ia tidak mampu membalasnya bisa meminta bantuan orang lain. Tapi tentu saja hal ini harus dilakukan sesuai prinsip keadilan dan tidak melebihi batas.
Pihak yang dianiaya, ketika melakukan pembalasan sesuai haknya tidak boleh dicela, karena ia berhak melakukan tindakan tersebut. Masyarakat harus mencela orang yang tidak menunaikan haknya dan berbuat lalim kepada orang lain.
Sebagaimana orang yang tidak berhak diberi keistimewaan dari orang lain, tentu saja akan menimbulkan sikap sombong dan merasa bisa berbuat apa saja di tengah masyarakat, karena tidak mematuhi aturan yang berlaku. Merekalah yang layak dicela dan harus dihukum di dunia, dan di akhirat kelak akan mendapatkan ganjaran hukuman setimpal dari Allah swt.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang tertindas berhak meminta pertolongan dari orang lain, dan masyarakat juga harus menolongnya meraih haknya.
2. Melanggar hak orang lain, siapa pun itu, tidak dibenarkan dan dapat ditindaklanjuti dan dihukum.
3. Pembangkangan dan pelanggaran atas batasan ilahi dan hukum sosial yang akan merusak masyarakat harus diungkap dan dipertanyakan oleh masyarakat.
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (43)
Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (42: 43)
Ayat ini kembali menegaskan pentingnya memaafkan orang yang bersalah dan berbuat jahat kepada kita. Tapi masyarakat tidak boleh menekan orang yang menjadi korban supaya memberikan maaf, sebab hal itu harus muncul dari dalam dirinya sendiri, bukan tekanan.
Memaafkan orang lain merupakan perbuatan yang sulit dan membutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya. Bersabar dan memaafkan merupakan perbuatan yang luhur dan mulia. Sebab melepaskan hawa nafsu dengan memaafkan orang lain tidak bisa dilakukan oleh setiap orang dan tidak mudah. Tapi orang-orang yang berjiwa besar akan melakukannya dan tidak menuntut haknya sendiri.
Secara umum di ayat ini ada dua tipe orang dalam menyikapi perbuatan salah dan jahat orang lain, yaitu pembalasan dan memafkan. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh kondisi tiap orang yang berbeda-beda, sesuai dengan kualitas spiritualnya masing-masing.
Mungkin saja orang berbuat lalim menyesali perbuatannya, tapi mungkin juga tidak. Sebaliknya, orang yang teraniaya juga bisa memaafkan, maupun tetap menuntut haknya. Bebeberapa ayat ini menjelaskan bagaimana kondisi spiritualitas setiap orang mempengaruhi keputusan sebuah hukum.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Anjuran akhlak al-Quran adalah bersabar dan memafkan orang lain. Sebab hak untuk membalas tetap ada berdasarkan aturan hukum.
2. Sabar dan memaafkan merupakan sifat mulia manusia yang dipuji Allah swt.
3. Islam adalah agama yang komprehensif dengan mengakui hak orang yang tertindas dan dianiaya untuk membalas, tapi juga menganjurkan untuk memaafkan orang lain.