Surat al-Mulk 20-24

Rate this item
(0 votes)
Surat al-Mulk 20-24

 

Surat al-Mulk 20-24

أَمَّنْ هَذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَنِ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ (20)

Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain daripada Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu. (67: 20)

Ayat-ayat sebelumnya berbicara mengenai kekuatan tak berakhir Tuhan di langit dan bumi. Sementara itu, ayat kali ini berbicara mengenai kelemahan dan ketidakmampuan manusia. Sekaitan dengan ini, juga disinggung salah satu faktor kekufuran dan pemberontakan manusia terhadap Tuhan. Ayat ini menyatakan, mereka (manusia) sombong dan menganggap dirinya unggul, mereka merasa memiliki kekuatan yang tidak ada bandingannya. Oleh karena itu, mereka menolak untuk taat kepada Tuhan dan tunduk terhadap perintah-Nya.

Sebagian orang yang sombong dengan ilmu, kekuasaan, dan kekayaannya, mengingkari Tuhan dan berkata: Tuhan itu tidak ada, kalaupun ada, Dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kita karena segala kemungkinan dan kemampuan kita. Sedangkan orang-orang yang bangga dengan kekuasaannya, jika mereka mempelajari sejarah sedikit, mereka akan melihat bahwa terkadang kekuatan dan bala tentara yang sama bangkit melawan penguasa yang kuat dan menjatuhkan mereka, dan terkadang Tuhan membawa mereka ke kehancuran dengan turunnya azab.

Dengan mengandalkan kekuatan palsunya, apakah orang-orang kafir mengira mereka mampu melawan kehendak Tuhan dan menghadapi faktor alam seperti air, angin, dan api, yang semuanya merupakan tentara Tuhan?

Dari satu ayat tadi terdapat dua pelajaran penting yang dapat dipetik.

1. Mereka yang tertipu dengan kekuatan dan fasilitas materi yang dimilikinya, maka mereka mengingkari Tuhan, dan menganggap dirinya tidak terkalahkan.

2. Manusia adalah makhluk lemah, maka dengan mengandalkan kekuatan dan tentara manakah ia ingin melawan kekuatan Tuhan, dan menganggap dirinya menang di medan perang?

أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ (21)

Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri? (67: 21)

Melanjutkan ayat sebelumnya, ayat ini mengisyaratkan lemahnya manusia dalam memenuhi rejekinya, dan menyatakan, jika dalam satu tahun tidak turun hujan, dan tidak ada tumbuhan yang tumbuh, apa yang akan kalian lakukan? Dan jika kekeringan melanda seluruh bumi, atau wabah dan bencana alam menghancurkan tanaman kalian, saat itu bagaimana kalian memenuhi kebutuhan hidup kalian?

Faktanya adalah keberadaan manusia sepenuhnya lemah dan membutuhkan. Ia juga lemah dalam memenuhi kebutuhan primernya seperti air dan makanan, tapi ia tetap memberontak dan keras kepala terhadap penciptanya, di mana ia merasa tidak ada kekuatan yang unggul darinya dan ia merasa tidak butuh untuk beribadah dan taat kepada Tuhan.

Dengan kata lain, pengamatan terhadap kekuatan materi dan kekuatan semu telah membutakan mata banyak orang untuk melihat kekuatan Tuhan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, mereka membiarkan diri mereka menyangkalnya dan memaksakan penolakannya. Bagaikan seseorang yang berdiri di pekarangan rumahnya pada malam hari dan karena terangnya cahaya, ia tidak dapat melihat bintang-bintang di langit dan matanya pun tidak mampu melihat segala keagungan di langit.

Dari satu ayat tadi terdapat dua pelajaran penting yang dapat dipetik.

1. Sarana rezeki dan kehidupan manusia berada di tangan Tuhan semata. Oleh karena itu, segala bentuk ketidaktaatan kepada Tuhan dan keras kepala terhadap perintah-Nya akan berakhir dengan kerugian bagi manusia itu sendiri, dan kerugian sekecil apa pun tidak akan menimpa Tuhan karena ketidaktaatan manusia.

2. Jika kita beranggapan bahwa nikmat yang kita miliki saat ini akan hilang di kemudian hari dan kita tidak bisa berbuat apa-apa, maka kita akan rendah hati dan tawadhu' dihadapan Tuhan, tidak sombong dan congkak.

 

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (22)

Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (67: 22)

Ayat ini membandingkan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir, dan dengan perumpamaan yang menarik, ayat ini menggambarkan keadaan mereka sebagai berikut: yang satu berdiri tegak, kokoh dan lurus, menempuh jalan hidup yang benar, dan yang lain tergeletak di tanah, jatuh dan merangkak. Jelas bahwa orang pertama sudah mengidentifikasi hambatan di jalan, berjalan di jalan dengan benar dan bergerak menuju tujuan, tetapi yang kedua, karena tidak mengetahui hambatan dengan baik, bergerak dengan susah payah, terkadang menyimpang ke kiri dan kadang ke kanan, dan karena tidak mengenali jalannya dengan benar, ia tidak mencapai tujuannya.

Kajian sejarah juga menunjukkan bahwa orang-orang beriman sejati tetap teguh meski menghadapi banyak rintangan dan permasalahan serta tidak putus asa pada jalan lurus yang harus mereka tempuh. Namun orang-orang yang menganggap kematian sebagai akhir pekerjaannya dan tidak melihat tujuan hidup di dunia ini, berbuat apa saja demi memuaskan hawa nafsu dan kesenangan duniawi serta tidak mempunyai dasar dan kriteria yang jelas atas tindakan dan perilakunya.

Orang yang mengingkari Tuhan adalah dirinya sendiri yang menjadi pusat segala perbuatannya. Keegoisan dan bebas dari segala kekangan untuk mencapai nafsu inderawi menjadi kriteria semua karyanya. Ia menganggap dirinya sebagai Tuhannya sendiri dan tidak menerapkan perintah dan larangan Tuhan dalam hidupnya. Bagi orang seperti itu, jelek dan cantik bergantung pada pemahaman dan keinginan hatinya.

Dari satu ayat tadi terdapat dua pelajaran penting yang dapat dipetik.

1. Keras kepala terhadap kebenaran membuat seseorang melawan yang benar dan menghindari yang benar serta memandang dirinya sendiri. Orang seperti itu tertahan untuk mengetahui jalan hidup yang benar dan bergerak di dalamnya.

2. Jalan agama adalah lurus dan memiliki tujuan yang jelas, dan orang yang beragama akan mencapai tujuan dengan tetap berkomitmen di jalan ini.

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (23) قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (24)

Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (67: 23)

Katakanlah: "Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nya-lah kamu kelak dikumpulkan". (67: 24)

Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya yang mengkritik keras kepala orang-orang kafir terhadap kebenaran, ayat-ayat ini mengatakan: Allah telah memberikan sarana untuk memahami kebenaran kepada seluruh umat manusia. Mata, telinga, akal dan hati adalah alat pengetahuan dan pemikiran manusia, dan pada kenyataannya, semua pencapaian ilmu pengetahuan manusia adalah hasil dari berkah besar ini.

Sebagian orang mempergunakan alat-alat tersebut hanya demi memenuhi kebutuhan hidup materiil dan mensejahterakan dunianya, namun mereka telah menutup mata dan telinga terhadap kebahagiaan akhirat dan kehidupan kekal di akhirat, dan seolah-olah tidak mendengar tentang hal itu dan belum melihat jejaknya.

Akal, mata, dan telinga adalah nikmat yang besar dan berharga, dan mensyukurinya ada dua bentuk: yang pertama adalah menggunakannya ke arah yang benar dan sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan keunggulan manusia/ dan yang lainnya adalah dengan menaati dan menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat ini kepada kita.

Kelanjutan ayat tersebut mengacu pada kehidupan setelah kematian dan kehadiran di hari kiamat dan mengatakan: Meskipun kamu telah bangkit dari bumi dan akan kembali ke bumi dengan kematian, ini bukanlah akhir dari pekerjaanmu; Sebaliknya kalian akan dibangkitkan dan kalian semua akan hadir di padang mahsyar.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.

1. Allah Swt telah memberi sarana yang diperlukan kepada manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga hujjah (bukti) terpenuhi, dan tidak ada alasan lagi bagi manusia.

2. Rasa syukur setiap nikmat berbeda dengan nikmat lainnya dan mengucapkan syukur dengan lisan merupakan rasa syukur yang paling minim. Seseorang harus menunjukkan rasa syukurnya dengan perbuatan dan menggunakan setiap nikmat pada tempatnya.

3. Jangan kita ragu akan kekuatan Tuhan untuk menghidupkan orang yang telah meninggal. Ia (Tuhan) yang menciptakan manusia dari tanah yang tak bernyawa dan memberi kekuatan penglihatan, pendengaran dan pemahaman kepada manusia.

Read 104 times