Tiga Hadis Sahih: Argumen atas Kepemimpinan Imam Ali setelah Nabi

Rate this item
(0 votes)
Tiga Hadis Sahih: Argumen atas Kepemimpinan Imam Ali setelah Nabi

 

Tidak semua isu klasik itu usang. Ada fakta lama tapi tetap baru dan relevan dibahas. Apalagi manusia selalu haus kebenaran. Kecenderungan mencari kebenaran tidak akan berhenti dan akan tetap segar. Sabda Nabi, “Kebijaksanaan adalah barang hilang orang beriman. Dia akan mengambilnya dari manapun itu berasal.”

Satu di antaranya adalah perbincangan seputar kepemimpinan Imam Ali setelah Nabi SAW. Keputusan apa pun tentangnya akan berdampak secara langsung pada pola pikir dan pola hidup. Setidaknya, bagi yang merasa nyaman dengan argumen-argumen atas kepemimpinan dan kekhalifahan Imam Ali langsung setelah Nabi SAW tentu akan menjadikan orang muslim pertama ini sebagai referensi utama dalam menjalani hidupnya.

 

Hadis Wilayah

Argumen atas wilayah atau kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as tampaknya sudah sangat jelas dan gamblang dalam hadis-hadis suci Nabi SAW, baik dalam kitab-kitab hadis Syiah maupun Ahlussunnah. Metode argumentasi hadis ini merupakan salah satu metode kredibel dan terkuat mengingat kesahihan hadis-hadis tersebut diakui oleh kedua kedua mazhab besar Islam ini.

Ulama Ahlussunnah telah menukil dengan sanad yang sahih bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya Ali adalah bagian dariku dan Aku bagian darinya, dan dia adalah pemimpin (wali) setiap oang mukmin setelah aku.”

Segera setelah mencatatkan hadis ini, al-Hakim al-Naishaburi menulis, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat kesahihan hadis Muslim” (Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 110).

Begitupula Syamsuddin al-Dzahabi dalam Talkhis Al-Mustadrak menguatkan hadis di atas sebagai hadis sahih. Muhammad Nasiruddin Albani juga mengatakan hal yang sama akan kesahihan hadis ini dan menegaskan bahwa hadis tersebut sahih menurut al-Hakim dan al-Dzahabi (Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, jil. 5, hal. 222).

 

Analisis atas Arti dari Kata “Wali” 

Agar dapat memahami secara akurat makna dari kata wali dalam hadis di atas, perlu kiranya merujuk perkataan-perkataan mengenai kata itu yang dinyatakan oleh para khalifah Ahlussunnah di era awal Islam.

Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menuliskan:

قال ابوبكر: قد وُلِّيتُ أمركم ولست بخيركم. إسناد صحيح

“Abu Bakar berkata, “Saya sudah menjadi wali (pemimpin) kalian, namun saya tidak lebih baik dari kalian.” Sanadnya sahih (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, jil. 6, hal. 333).

Demikian Imam Muslim dalam sahihnya menukil dari Umar bin Khaththab bahwa ia mengatakan:

فلمّا توفّي رسول اللّه قال أبو بكر: أنا وليّ رسول اللّه (ص)… ثُمَّ تُوُفِّيَ أَبُو بَكْر وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ (ص) وَوَلِيُّ أَبِي بَكْر

“Tatkala Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, ‘Saya adalah wali (pengganti) Rasulullah (SAW) …. kemudian Abu Bakar wafat, maka saya adalah wali (pengganti) Rasulullah dan pengganti Abu Bakar.” (Shahih Muslim, jil. 5, hal. 152, hadis no. 4468).

Dari dua dokumen ini, tampak bagaimana kata “wali” yang digunakan dua sahabat: Umar dan Abu Bakar, tidak bisa diartikan sebagai teman, penolong atau makna serupa lainnya, tetapi bermakna pemimpin [umat] dan pengganti [Nabi].

Justru, jika kata “wali” itu diartikan sebagai teman, maka kandungan Hadis Wilayah di atas itu menyatakan bahwa di masa hidup Nabi SAW, Umar dan Abu Bakar belum menjadi teman, dan mereka baru menjadi teman Nabi setelah beliau wafat. Konsekuensi ini tentu bertentangan dengan fakta sejarah dan keyakinan Ahlussunnah sendiri.

 

Hadis Khilafah

Ibnu Abi Ashim dalam Kitab al-Sunnah (hal. 551) menuliskan, “Rasulullah SAW berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.:

 

“Engkau adalah khalifahku bagi seluruh orang beriman setelah aku.”

Albani membubuhkan catatan bahwa hadis ini termasuk hadis dengan sanad hasan.

Sementara itu, al-Hakim al-Naishaburi ((Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 133) membawakan sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Ali bin Abi Thalib:

إِنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ أَذْهَبَ إِلا وَأَنْتَ خَلِيفَتِي

 “Sesungguhnya tidak semestinya aku pergi (wafat) kecuali engkau adalah khalifahku.”

Berkenaan dengan sanad hadis ini, Albani mengatakan, “Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dan al-Dzahabi” (Albani, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, jil. 5, hal. 222).

 

Hadis Imamah

Abu Nuaim Isfahani dengan sanad terpercaya (muktabar) meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

.انْتَهَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِلَي السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَي، فَأُوحِيَ إِلَيَّ فِي عَلِيٍّ بِثَلاثٍ: أَنَّهُ إِمَامُ الْمُتَّقِينَ، وَسَيِّدُ الْمُسْلِمِينَ، وَقَائِدُ الْغُرِّ الْمُحَجَّلِينَ إِلَي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

“Di malam Isra’-Mikraj, ketika aku sampai di Sidratul Muntaha, Allah mewahyukan tiga hal kepadaku mengenai Ali: ‘Sesungguhnya dia adalah imam orang-orang bertakwa, penghulu kaum Muslimin dan panglima orang-orang yang bersinar wajahnya menuju surga-surga kenikmatan.'” (Abu Nuaim Ishfahani, Ma’rifat al-Shahabah, jil. 3, hal. 1587).

Hadis ini termasuk riwayat yang muktabar dan sahih sebagaimana ditegaskan oleh al-Hakim al-Naishaburi dalam Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 138).

*Kuliah Ayatullah Qazvini pada program Wilayah, diterjemahkan oleh Sayyed Chairi Fitriyan.

Read 564 times