Dalam sidang tahunan Dewan Uni Eropa dan rezim Zionis Israel yang digelar pada Selasa (24/7) di Brussels, organisasi ini tidak bersedia memasukkan gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) dalam daftar organisasi teroris.
Avigdor Lieberman, Menteri Luar Negeri Rezim Zionis dalam pertemuan tersebut menuntut Uni Eropa untuk mem-blacklist Hizbullah dan memasukkannya dalam daftar organisasi teroris seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Lieberman mengklaim bahwa Israel memiliki bukti kuat atas keterlibatan Hizbullah dalam pemboman di sebuah bus yang mengangkut turis Israel di Bulgaria pekan lalu sehingga Tel Aviv mendesak Uni Eropa untuk memasukkan kelompok Muqawama itu dalam daftar hitam kelompok teroris.
Setiap terjadi ledakan atau peristiwa serupa, Barat selalu menuduh pelakunya adalah umat Islam tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Rupanya tindakan itu telah ditiru oleh Israel dimana setiap ancaman terhadap kepentingan rezim Zionis maka Tel Aviv langsung menuduh kelompok Muqawama seperti Hizbullah dan Hamas serta negara-negara seperti Iran dan Suriah sebagai dalangnya.
Menteri luar negeri negara-negara anggota Uni Eropa dalam sidang di Brussels tidak mencapai kesepakatan untuk memenuhi tuntutan rezim Zionis. Negara-negara Barat memiliki pendapat berbeda-beda tentang Hizbullah. Inggris hanya menganggap Hizbullah ilegal jika berada di negara itu sementara Belanda secara umum hanya menyatakan bahwa Hizbullah adalah kelompok ilegal.
Beragamnya penilaian terhadap Hizbullah menyebabkan perbedaan sikap terhadap kelompok Muqawama ini. Erato Kazakou Marcoullis, Menteri Luar Negeri Siprus yang memimpin sidang di Brussels mengatakan, Hizbullah adalah sebuah kelompok yang terorganisir dari partai politik, lembaga layanan sosial, dan juga sayap militer. Oleh karena itu, kelompok ini tidak dapat dianggap sebagai kelompok yang hanya berkecimpung di bidang militer.
Marcoullis yang negaranya menjadi pemimpin bergilir Uni Eropa, mengatakan, sejumlah anggota Uni Eropa menentang jika Hizbullah dimasukkan dalam daftar kelompok teroris mengingat gerakan ini memiliki peran aktif di sektor politik. Selain itu, mereka juga memiliki berbagai alasan lain untuk menolak tuntutan Israel itu.
Rezim Zionis berulangkali mengabaikan tuntutan Uni Eropa untuk menghentikan pembangunan distrik Zionis di tanah-tanah pendudukan. Oleh karena itu, penolakan tuntutan Zionis terkait Hizbullah dapat dianggap sebagai tekanan Eropa terhadap Israel supaya tindakan Tel Aviv terkoordinasi dengan kebijakan Uni Eropa di Timur Tengah.
Meski Uni Eropa menolak tuntutan rezim Zionis, namun sidang Dewan Uni Eropa dan Israel terkait kerjasama kedua belah pihak di berbagai bidang sangat memuaskan Tel Aviv.
Dalam pertemuan tersebut dicapai berbagai kesepakatan yang menguntungkan Israel diantaranya; disahkannya kerjasama sembilan lembaga Uni Eropa dengan Israel termasuk pasukan polisi gabungan antara kedua belah pihak, dan yang terpenting adalah kesepakatan diperluasnya hubungan ekonomi kedua belah pihak dimana 60 persen perdagangan luar rezim Zionis dilakukan dengan Eropa.
Meski telah dicapai berbagai kesepakatan ekonomi di sidang Brussels, namun untuk merealisasikan keputusan tersebut Uni Eropa menghadapi beberapa masalah khususnya kesepakatan terkait pembelian produk-produk industri Israel. Sebab Uni Eropa sebenarnya hanya mengakui tanah pendudukan Israel hingga tahun 1967 sebagai wilayah teritorialnya dan jika produk-produk Israel dikirim dari wilayah-wilayah pendudukan pasca tahun 1967, maka hal itu dianggap ilegal oleh Eropa. (IRIB Indonesia/RA/NA)