
کمالوندی
Tauhid dan Syirik dalam Pandangan Al-Qur'an
Tauhid merupakan pembahasan yang paling penting di dalam al-Qur’an al-Karim dan seluruh kitab-kitab samawi. Para nabi dan para washi telah mengajak umat manusia kepada ketauhidan dan memberi peringatan kepada mereka dari bahaya syirik dan menyembah berhala.
Tema yang kami pilih dalam pembahasan tafsir tematik pada bagian kedua ini adalah tauhid dan syirik. Tema ini termasuk masalah penting yang banyak disinggung dan dibicarakan oleh ayat-ayat al-Qur’an di dalam berbagai suratnya. Diantara ayat yang menjelaskan tema tersebut adalah ayat 31 dalam surat al-Haj. Ayat yang mulia itu berbunyi:
"Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh".
Tema perumpaman di atas, yaitu tauhid dan syirik merupakan persoalan yang mendapat perhatian semua agama. Keduanya itu diserupakan dengan langit dan jatuh darinya. Perhatikanlah penjelasan yang akan kami sajikan berikut ini.
Penjelasan
Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit".
Di dalam ayat ini tauhid diserupakan dengan langit dan syirik diserupakan dengan jatuh dari langit yang memiliki matahari, bulan dan bintang yang merupakan sumber cahaya, sinar dan keberkahan.
Di samping itu bahwa langit itu sendiri memiliki keindahan dan keagungan tertentu.
Tauhid merupakan sumber cahaya dan keagungan Tuhan dan mendatangkan keberkahan dan sinar penerang bagi monoteisme. Adappun syirik sebagaimana jatuh dari langit tauhid.
Dengan memperhatikan mukaddimah ini, ayat di atas berkata: "Mereka yang menolak untuk bertauhid kepada Allah Swt dan menjadikan syarik (teman) bagi-Nya dan keluar dari barisan monoteisme, sama dengan orang yang jatuh dari langit". Sudah pasti orang yang jatuh dari langit ke bumi itu tidak mungkin hidup lagi.
Allah Swt berfirman : "Lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh".
Seorang musyrik yang jatuh dari langit ke bumi tidak akan selamat, karena -ketika tergantung di udara- hanya ada satu di antara dua jalan yang pada akhirnya mati atau hancur. Dua jalan tersebut ialah:
Pertama: Dia menjadi mangsa burung-burung buas pemakan daging dan bangkai yang terbang di udara. Masing-masing burung itu akan memakan sebagian daging yang ada di tubuhnya, sehingga ia tidak sampai ke bumi kecuali tinggal tulangnya saja.
Kedua: Dia akan ditiup angin kencang yang akan melemparkannya ke tempat yang jauh yang tidak ada manusia untuk menyelamatkannya.
Kesimpulannya bahwa seorang musyrik itu di dalam ayat ini diserupakan dengan seseorang yang jatuh dari langit ke bumi dan di tengah perjalanannya itu ia disergap burung-burung pemangsa daging dan bangkai atau ia akan ditiup oleh angin kencang ke tempat yang jauh yang tidak mungkin dijangkau oleh mansuia.
Pesan-pesan ayat
1. Apakah yang dimaksud dengan burung-burung ?
Tidak menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan burung-burung itu adalah hawa nafsu.[1]
Seseorang yang musyrik itu menjadi mangsa hawa nafsunya. Sebagian dari hawa nafsu itu mempermalukan seseorang, sebagian lainnya menghilangkan kemanusiaannya, dan sebagian lagi menghilangkan keberanian, kehormatannya dan lain sebagainya. Pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa dari seorang musyrik. Karena burung-burung hawa nafsu telah melahap apa yang terdapat pada dirinya, baik kepribadiannya maupun kemanusiaannya.
2. Apakah yang dimaksud dengan angin?
Bisa jadi yang dimaksudkan dengan angin yang disinggung di dalam ayat tersebut dan yang melemparkan seorang musyrik ke tempat yang jauh yang sulit dijangkau oleh manusia adalah setan-setan pengkhianat.[2] Maka seorang musyrik itu, apabila ia dapat lolos dari burung-burung hawa nafsu, dia akan ditawan oleh angin setan pendurhaka. Dia akan dibawa ke suatu tempat yang tidak ada lagi penolong baginya sehingga ia akan hidup dalam kesesatan dan akhirnya celaka.
3. Orang-orang musyrik tidak pernah mendapatkan ketentraman
Sesungguhnya grafitasi bumi itu merupakan nikmat Allah Swt. Karena dengan grafitasi itu menjadikan segala sesuatu menjadi seimbang. Tanpa grafitasi maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini tidak akan eksis dan seimbang. Kita lihat bahwa rumah-rumah, Sawah-Sawah, pabrik-pabrik, sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit menjadi eksis pada tempatnya masing-masing berkat adanya grafitasi yang membuatnya seimbang. Grafitrasi ini berpusat di bumi, dan semakin kita jauh dari bumi, maka grafitasi semakin berkurang. Segala sesuatu itu akan kehilangan keseimbangannya apabila berada di luar grafitasi bumi. Oleh karena itu para astronot mengikuti training dan latihan di tempat-tempat yang hampa udara dan tidak terdapat grafitasi sebelum mereka berangkat ke laur angkasa untuk beberapa waktu lamanya.
Eksperimen yang dilakukan untuk hampa dari grafitasi adalah jatuh secara bebas dari tempat-tempat yang memiliki ketinggian tertentu. Ketika itu seseorang dapat merasakan suatu kehidupan yang belum pernah ia alamai sebelumnya. Karena itu, para dokter berpendapat bahwa kebanyakan dari ortang-orang yang jatuh dari tempat yang tinggi, akan mengalami terhentinya detak jantung sebelum sampai ke permukaan bumi.
Seorang musyrik -ketika jatuh dari langit- merasakan kehilangan keseimbangan. Pada saat itu kegoncangan jiwa menyelimuti seluruh wujud dirinya. Demikianlah, seseorang yang jatuh dari tauhid dan menuju kepada kemusyrikan, tidak akan merasakan ketenangan dan ketentraman dalam dirinya. Dia akan merasakan adanya goncangan dan kegelisahan. Ketenangan dan ketentraman hanya di peroleh di bawah naungan tauhid, jauh dari kemusyrikan dan penyembahan berhala. Allah Swt berfirman : "Ketahuilah, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tentram".[3] Masalah ini telah diakui bahkan oleh orang-orang musyrik itu sendiri. Terdapat firman Allah di dalam surat al-Ankabut ayat: 65:
"Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya". Hal itu karena mereka mengetahui dengan baik bahwa tidak seorang pun yang mampu mendatangkan ketenangan selain Allah Swt. Oleh karena itu mereka berdoa dengan penuh keikhlasan kepada-Nya. Adapaun patung-patung, mereka telah mengetahui, tidak akan mampu menyelamatkannya. Tetapi ketauhidan mereka hanya bersifat sementara saja. Setelah mereka telah sampai di tepi pantai dan kapal mereka telah bersandar, mereka kembali lagi kepada kemusyrikan.
Kesimpulannya bahwa syirik dan menyembah patung-patung itu menyebabkan kepada kegoncangan jiwa dan kegelisahan. Sementara tauhid kepada Allah Swt akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman.
4. Orang musyrik tidak memiliki kehendak
Seseorang -sebelum jatuh- memiliki kehendak. Tetapi ketika telah jatuh dan tergantung di udara, kehendaknya itu sirna dan tidak dapat lagi mengambil suatu keputusan. Dan demikian pula, seseorang yang musyrik ketika jatuh dari langit tauhid, ia akan kehilangan kehendak dan kemampuan untuk mengambil keputusan.
Pentingnya tuhid
Tauhid merupakan pembahasan yang paling penting di dalam al-Qur’an al-Karim dan seluruh kitab-kitab samawi. Para nabi dan para washi telah mengajak umat manusia kepada ketauhidan dan memberi peringatan kepada mereka dari bahaya syirik dan menyembah berhala.
Di dalam ajaran agama, tidak ada persoalan yang lebih penting selain tauhid. Buktinya adalah terdapat sebuah ayat al-Qur’an yang diulang-ulang pada dua tempat, yaitu pada surat an-Nisa ayat 48 dan 116. Ayat itu berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang musyrik kepada-Nya, tetapi mengampuni dosa-dosa selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya".
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa maksud dari ampunan adalah ampunan yang tanpa bertaubat. Adapun dengan bertaubat, maka Allah pun akan mengampuninya. Kebanyakan sahabat -kecuali sebagian kecil saja seperti Imam Ali As- sebelumnya adalah sebagai orang-orang musyrik. Dan ketika mereka masuk Islam dan bertaubat, maka Allah mengampuni dosa-dosa syirik mereka.
Apabila seorang pendurhaka mati sebelum bertaubat, maka dosa-dosanya tidak akan diampuni Allah apabila ia seorang musyrik. Bahkan tidak ada harapan untuk dapat diampuni. Tetapi apabila maksiat dan dosa-dosanya itu selain kemusyrikan, maka ada kemungkinan akan diampuni oleh Allah Swt dan para wali-Nya pun akan memberikan syafaat kepadanya. Adapun orang musyrik tidak akan diampuni dosanya dan juga tidak akan mendapatkan syafaat. Dengan demikian bahwa syirik itu tidak akan mendapatkan tempat ampunan dan syafaat. Dari sini dapat diketahui betapa penting, berharga dan agungnya masalah tauhid di dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sesungguhnya tauhid merupakan sumber kebahagiaan. Sedangkan syirik sumber kesengsraan dan menghancurkan seluruh kebaikan.
Pertanyaan yang terkadang tersirat di hati kita adalah: Apa sebab masalah tauhid dianggap begitu penting? Dan apa sebab syirik itu mendapat kecaman sedemikian rupa?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah: Filsafat mengenai pentingnya masalah tauhid dan dikecamnya kemusyrikan adalah beberapa perkara. Kami akan jelaskan berikut ini sebagian darinya:
Pertama: Manfaat dan keberkahan yang paling utama dari tauhid adalah bersatunya masyarakat dan umat manusia. Sesungguhnya umat manusia berbeda-beda satu sama lainnya dalam bahasa, adat istiadat, akidah, pemikiran, budaya, dan lain sebagainya. Misalnya di satu negara seperti Indonesia yang merupakan bagian kecil dari dunia, terdapat berbagai macam bahasa, budaya dan suku. Bandingkanlah dengan negara-negara lainnya diseluruh belahan dunia. Terdapat ribuan bahasa, suku, dan budaya. Tetapi gerangan apakah mata rantai penghubung di antara masyarakat dunia itu? Apakah titik-titik persamaan di anatara mereka? Apabila berbagai bangsa dan pemerintahan itu diputuskan hidup di bawah sebuah pemerintahan yang bersifat mendunia, apakah titik persamaan di anatara mereka?
Tidak diragukan lagi bahwa tauhid yang mengakar di dalam keyakinan mereka merupakan faktor terpenting yang menjadikan mereka bersatu. Tauhid merupakan poros yang paling baik untuk mempersatukan mereka dan sebagai tambang yang sangat kokoh sehingga mereka semua dapat berpegang dengannya.
Allah Swt telah menjelaskan masalah ini di dalam ayat 64 pada surat al-Imran: "Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
Persatuan tersebut nampak sekali ketika musim haji di dataran Hijaz. Kita saksikan jutaan muslimin dari berbagai negara dengan warna kulit, bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Mereka seluruhnya serempak menyembah Allah Swt dengan menghadap Ka'bah. Mereka bagaikan berbagai sungai yang jernih yang sedang mengalir menuju satu lautan yang tak bertepi yang bersumber dari bukit-bukit kemanusiaan yang luhur dan berkumpul di sekitar Ka'bah. Di sana mereka mengumandangkan kekhudu'an dan kepasrahan mereka kepada Al-Haq Swt.
Dalam acara shalat jum'at yang dilakukan di Makkah al-Mukarramah -sebelum pergi ke Arafah, biasanya- dihadiri lebih dari satu juta muslimin. Shalat tersebut merupakan shalat jum'at terbesar bagi kaum muslimin dalam setahun. Mereka berdiri tegap di dalam satu barisan penghambaan dan mengangkat kedua tangan mereka secara serempak di dalam takbir sambil berdoa dan mengagungkan-Nya. Mereka melakukan ruku' dan sujud secara serempak bersama-sama. Sungguh betapa hal itu melambangkan keindahan persatuan dan persaudaraan sesama muslim.[4]
Betapa indah dan menariknya apabila persatuan umat Islam dunia yang berbagai macam budaya ini, berpegang teguh kepada "tali Allah".
Dengan demikian, persatuan merupakan efek dan manfaat yang sangat penting bagi tauhid. Sebaliknya dengan syirik yang mengakibatkan kepada perpecahan dan ikhtilaf. Orang-orang Arab jahiliyah mempunyai patung sebanyak 360 buah. Hal ini berarti ikhtilaf dan perpecahan mereka mencapai 360 kelompok kecil dan masyarakat mereka terbagi kepada 360 bagian walaupun mereka masyarakat kecil. Sudah tentu bahwa mayarakat semacam itu tidak lepas dari pertikaian, pertentangan, pembunuhan, kemungkaran dan tidak memperoleh ketenangan dan kebahagiaan. Tetapi masyarakat yang bernaung di bawah bendera tauhid dan petunjuk Islam dan Rasulullah, pasti lebih unggul di bandingkan masyarakat mana pun.
Kedua: Efek dan manfaat tauhid yang lainnya adalah memberikan semangat dan kekuatan kepada orang-orang yang bertauhid. Sementara kemusyrikan itu akan mencabut semangat dan kekuatan orang-orang musyrik.
Ketika kaum muslimin berada di kota Makkah dan jumlah mereka masih sangat sedikit, kaum musyrikin melakukan makar dan kezaliman terhadap Rasulullah Saw dan kaum muslimin. Setiap hari kaum musyrikin berusha menciptakan kezaliman yang baru untuk memadamkan cahaya Islam dan mengikis akar-akarnya.
Pada suatu hari para pemuka Quraisy datang menjumpai Abu Thalib untuk melakukan perdamaian kepada Rasulullah Saw. Setelah perdebatan yang agak alot di antara dua pihak, Rasulullah Saw berkata kepada Abu Jahal: "Ajaklah mereka untuk menerima satu kalimat yang akan membuat mereka kuat dan menguasai orang-orang Arab dan orang-orang Ajam pun akan mengikuti ajaran mereka". Abu Jahal berkata: "Satu kalimat saja mudah, aku siap menerimamu dengan sepuluh kalimat". Rasulullah Saw bersabda:"Ucapkanlah 'La Ilaaha Illallah', (tiada Tuhan kecuali Allah) dan tinggalkanlah ssekutu yang selain Allah".[5]
Ungkapan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw hingga kini masih merupakan solusi bagi umat manusia yang telah jenuh dengan berbagai peperangan, ikhtilaf dan pertikaian. Hal itu karena bernaung di bawah pohon tauhid yang baik adalah merupakan solusi satu-satunya untuk memecahkan problema ini sekaligus memperoleh kekuasaan dan kemuliaan dengan keamanan, ketenangan, ketentraman dan keadilan yang sejati.
Marilah coba kita pikirkan, bagaimana Islam telah merubah Arab jahiliyah di kota Makkah dan Madinah, dimana mereka tenggelam dalam ikhtilaf dan pertikaian berdarah, menjadi bangsa yang kuat dan mulia dan mampu -di bawah bendera ukhuwwah dan persatuan- membuka belahan barat dan timur dunia kurang dari setengah abad? Bukankah kemuliaan itu merupakan buah dari tauhid dan berpegang kepada tali Allah?
Ketiga: Tauhid menyebabkan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Sebab utama terjadinya berbagai kejahatan dan maksiat di dunia ini adalah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Dan syirik itu tidak terbatas hanya pada menyembah kayu dan batu saja. Bahkan syirik itu mencakupi setiap ibadah dan ketundukan kepada selain Allah baik yang berupa kedudukan, hawa nafsu dan lain sebagainya. Ini semua merupakan bagian dari kemusyrikan. Seseorang ketika menyembah hal-hal tersebut, ia lalai dari mengingat Allah sehingga ia berani melakukan berbagai perbuatan dosa, maksiat dan berbagai kejahatan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam riwayat bahwa setan mengecup uang dirham dan dinar yang dicetak pertama kali di dunia. Kemudian ia memandangnya dan meletakkannya di hadapan kedua matanya, lalu menempelkannya ke bagian dadanya dan berkata: "Engkau adalah permata dan buah hatiku. Aku tidak peduli lagi kepada anak Adam apabila mereka tidak lagi menyembah patung karena telah mencintaimu. Cukuplah bagiku bahwa mereka itu betul-betul mencintaimu".[6]
Kemusyrikan masih saja terdapat di mana-mana pada zaman kita sekarang ini, sekalipun logika dan pemikiran telah menggeser kebodohan. Berapa banyak tindak kejahatan yang dilakukan akibat menumpuk uang dan harta kekayaan?! Tidak lagi ada keamanan dan ketentraman pada masyarakat zaman sekarang ini. Bahkan pertikaian dan kegelisahan telah menguasai mereka. Sekiranya manusia itu bertauhid, pasti mereka akan memperoleh keamanan, ketenangan, dan ketentraman.
Untuk mencapai masyarakat yang bertauhid, langkah pertama, kita harus menghancurkan tempat-tempat berhala yang terdapat di dalam hati kita. Setiap kali kita menemukan tempat-tempat penyembahan patung-patung tersebut dan patung-patung yang terdapat di sekitar diri kita, haruslah kita pecahkan. Betapa indah dan senangnya kondisi hati yang seperti Ka'bah setelah kemenangan Islam dimana patung-patung di sekitarnya telah dihancurkan.
Sesungguhnya hati sebagian orang mirip dengan Ka'bah sebelum Islam yang dipenuhi dengan patung-patung. Yaitu patung-patung yang berupa kekayaan, harta benda, wanita, anak-anak, kedudukan, pangkat, angan-angan dan lain sebagainya.
Hati adalah Baitullah. Kita harus membersihkannya dari semua jenis patung dan kemusyrikan, agar kita dapat memandang pemilik aslinya.[]
[1] . Lihat Al-Amtsal 10 : 306.
[2] . Lihat tafsir al-Amtsal 10 : 306 – 307..
[3] . Surat Ar-Ra'd : 28
[4] . Sangat disayangkan bahwa shalat dan pertemuan besar ini, tidak digunakan untuk menyelesaikan berbagai problem umat Islam pada saat sekarang ini. Tetapi yang terjadi hanyalah imam jum'at mengulang-ulang masalah yang terjadi atas kaum muslimin sejak ratusan tahun.
[5] . Lihat Furughu Abadiyat 1: 222, Al-Muntazhim 2: 369 dan Majma'ul Bayan 8: 343.
[6] . Mizanul Hikmah, bab3750, hadits ke 19026.
Pandangan Al-Qur'an Mengenai Kufur Nikmat
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Ada dua pesan yang dibawa oleh al-Qur’an al-Karim dan selanjutnya disampaikan oleh Rasulullah Saw dan para Washi beliau As. Dua pesan itu adalah kabar gembira dan kabar menakutkan (peringatan). Kabar gembira (basyiran) itu beliau sampaikan buat orang-orang yang beriman. Sedangkan peringatan (nadziran) beliau sampaikan buat orang-orang yang ingkar dan kafir. Sebagaimana Allah Swt telah menegaskan akan menambahkan balasan, ganjaran dan keberkahan bagi orang-orang yang mensyukuri segala pemberian dan nikmat-nikmat-Nya, demikian pula Dia mengancam dengan siksa dan berbagai bencana terhadap orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat-Nya. Tulisan kali ini mengenai tafsir tematik dan atas ayat-ayat pilihan pada kesempatan kali ini adalah tentang kufur nikmat.
Sehubungan dengan mengkufuri nikmat, Allah Swt berfirman di dalam surat an-Nahl ayat 112 dan 113 sebagai berikut:
وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ. وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذابُ وَ هُمْ ظالِمُونَ.
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itulah Allah mengenakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan oleh azab Ilahi dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Dua ayat di atas ingin menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah Swt, dan bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah Swt menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Penjelasan
Di dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman: (قَرْيَةً وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً)“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri atau kota”. Al-Quran al-Majid menyerupakan dan membuat perumpamaan orang-orang kafir yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung[1] berpenduduk yang memiliki kekayaan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1. ”(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman”. (كانَتْ آمِنَةً)
Ciri pertama kampung atau negara ini adalah sebuah kampung atau negara yang aman. Memang, rasa aman adalah termasuk nikmat Ilahi yang paling penting. Karenanya ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat atau suatu daerah yang berpenduduk telah kehilangan keamanannya, maka ia juga akan kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga, ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri. Bahkan pelaksanaan ibadah, dan syi’ar-syi’ar agama pun menjadi tidak kondusip dan tidak semarak lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan secara maksimal tanpa terciptanya sebuah keamanan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air dan mengusir penjajahan Belanda. Dan termasuk kesulitan yang dialami oleh umat islam pada waktu itu dalam pelaksanaan ibadah. Sebagian kaum muslimin di tengah-tengah shalatnya mendengar suara bom dan tembakan sehingga membuat mereka khawatir dan tidak tenang dalam beribadah. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan yang sangat besar yang berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil As menapak di tanah Makkah yang tandus dan kemudian beliau membangun Baitullah al-Haram, beliau As berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a yang diabadikan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيْلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ.
”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku akan beri kesenangan sementara, tetapi kemudian Aku seret ia secara paksa untuk menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Di dalam ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim As untuk penduduk kota ini adalah keamanan.
Di dalam suatu negara, apabila sebagian saja penduduknya melalaikan keamanan, maka seluruh masyarakatnya akan merasakan penderitaan yang berat dan tidak merasa aman dalam menjalani kehidupan. Sesungguhnya perampok-perampok yang bersenjata, baik dengan senjata api atau bukan, tetap dikategorikan sebagai pengganggu dan perusak keamanan, karena ulahnya itu akan menimbulkan akibat yang dahsyat berupa hilangnya kemanan dan ketentraman. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan wilayahnya yang luas, mereka dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi ini, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran dan siksa yang pedih.
2. ”lagi tenteram”. (مُطْمَئِنَّةً)
Sebelum itu, kota tersebut dicirikan sebagai kota yang penuh dengan keamanan, namun keamanannnya tidaklah tetap dan permanen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3. ”rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. (يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ)
Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari gangguan ini pasti akan memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam.
4. ”Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri”. (وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ)
Allah Swt, di samping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi), yaitu berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijak dari kalangan mereka sendiri sehingga pengetahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa penduduk kota atau negara ini menikmati empat jenis kenikmatan dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”.
(فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ)
Penduduk negeri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Bahkan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois, setelah berlaku zalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar. Maka, akibat dari sikap semacam itu, turulah azab Ilahi kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, yaitu kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka. Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negeri mereka.
Barangkali timbul pertanyaan di dalam hati dari sebagian kita, bahwa ungkapan“adzâqahâ (Allah merasakan kepada mereka)” tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas(pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawabnya adalah: Terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersamalibâs. Berikut ini kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakupi seluruh badan, demikian juga azab Ilahi telah meliputi seluruh perkampungan atau negara tersebut.
b. Terkait ungkapan adzâqahâ, yang harus diperhatikan adalah bahwa penginderaan dan penyingkapan seseorang kepada sesuatu, itu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap sesuatu itu melalui alat indera pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api dan langsung menangkapnya melalui penginderaan mata. Alat penginderaan ini jauh lebih tinggi dari alat indera sebelumnya.
Terkadang ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Penginderaan seperti ini jauh lebih tinggi dibanding dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami sesuatu melalui rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indera di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa(dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka dalam memahami dan merasakan adzab Ilahi dan makanan yang pahit tadi. Allah Swt berfirman: ”disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
)بِما كانُوا يَصْنَعُونَ(
Artinya perbuatan penduduk kampung atau negara tersebut telah menyebabkan turunnya adzab Ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya azab yang efeknya akan dirasalan oleh mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat disebutkan: ”Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya”[2].
Artinya bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah riwayat: ”jagalah harta-harta kalian dengan sedekah”[3].
Artinya bahwa cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensedekahkan sebagiannya, sehingga api kefakiran tidak sampai menyala dan membakar keamanan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam harta-harta mereka.
Pesan-pesan ayat
Melalui ayat tersebut, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita ambil sebaai ibrat dan pelajaran penting.
1. Azab dan malapetaka adalah akibat perbuatan manusia
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa problema yang kita hadapi dan malapetaka yang menimpa kita, sebenarnya adalah hasil dari perbuatan kita juga. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi seorang pun.
Misalnya, apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat atau negara tidak merasakan kehidupan yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, padahal negara mempunyai kekayaan yang melimpah, sementara di pihak lain terdapat sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas mewah, mereka memberikan berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka jika demikian, akan berkembanglah segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Dengan demikian jelaslah bahwa penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah karena individu-indibidu masyarakat atau negara itu sendiri.
Al-Qur’an al-Karim di dalam surat ar-Rum ayat ke 41 menjelaskan sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذيقَهُمْ بَعْضَ الَّذي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Sungguh benar, bahwa sumber segala bencana dan problema adalah karena ulah manusia itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta serta membangga-banggakannya, ia lupa pada pendidikan anak-anak dan keluarganya, jika pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri, karena dia sendirilah penyebab semua problema yang telah menimpanya itu.
Salah seorang ulama kota suci Qum bercerita bahwa pada tahun 1342 HS, yaitu pada masa kekuasaan Reza Pahlevi yang merupakan boneka Amerika pada saat itu, pemerintah melakukan penangkapan terhadap sejumlah politikus dan agamawan. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara . Seorang ulama yang termasuk ditangkap dan ditahan itu berkata, "Selama beberapa hari di dalam penjara, kami mendengar suara-suara yang menakutkan. Kami menduga bahwa suara-suara itu adalah akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka. Tetapi dugaan kami itu salah, karena kemudian kami ketahui bahwa suara-suara itu adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya untuk mengkonsumsi obat-obat haram dan terlarang tersebut.Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, maka mereka merasakan kesakitan yang sangat dahsyat dan berteriak-teriak secara histeris dan menakutkan." Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, para pengguna narkotik itu menyebarkan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat secara luas dan dengan leluasa, mereka menawarkan dan menjual narkotik tersebut kepada para pemuda lainnya sehingga semua pemuda menjadi rusak.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOBA adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahui bahwa seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan kehendaknya, sehingga ia bisa diarahkan kemana saja sesuai yang mereka inginkan.
2. Apakah kampung itu ada wujudnya?
Yang dapat dipahami dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar ada wujud nyatanya. Karena itu, telah terajdi diskusi dan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nama kampung tersebut. Sebagai contoh, di sini saya akan menyebutkan dua nama saja;
1. Beberapa mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud pada ayat tersbut adalah kota Makkah[4]. Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman dan tentram. Sebagaimana dalam kenyataannya, kota ini dianugerahi berbagai macam kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada itu masih bisa didatangkan dan diinpor dari wilayah dan negara-negara lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rasulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rasulullah Saw untuk mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalam kota tersebut.
Sungguh benar, bahwa kufur terhadap nikmat itu akan diikuti oleh azab Ilahi, dan ini merupakan sunnah Ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali kekufuran terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka azab Ilahi pun akan terulang di tempat tersebut. Tidak terkecuali bencana yang menimpa negara kita.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengan kota tersebut adalah kota Saba[5], sebagaimana disebutkan di dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Maarib. Dengan adanya bendungan ini, negri Saba berubah menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya. Cukup dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman. Namun sangat disayangkan, penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini dan meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Maarib tersebut hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun, pepohonan, rumah dan apapun yang ada di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Kita yang hidup pada msa sekarang ini, secara nyata dan jelas tengah merasakan buah pengkufuran nikmat Allah Swt. Apabila kita tidak mau memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt, tidak mau bersyukur, tidak mau bertaubat, tidak mau beribadah secara benar dan tetap bergelimpangan dalam maksiat, maka kehancuran negara dan masyarakat kita ini akan semakin parah.
Sebelum perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa hebat. Ia memiliki jenis kenikmatan apapun. Namun karena kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya.
Harapan dan doa saya, semoga apa yang telah kita kaji pada kesempatan pertemuan ini, dapat kita pahami dengan benar dan dapat pula kita amalkan dengan baik dan ikhlas sehingga bisa membuahkan dan melahirkan apa yang kita harapkan dan idam-idamkan, yaitu berupa kemanan dan ketentrama yang sejati dan abadi. []
[1] Istilah qaryah (kampung) dalam al-Qur`an tidaklah berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti sebuah kawasan yang berpenduduk, baik berbentuk kota besar maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai ibu kota Mesir pada masa nabi Yusuf a.s.
[2] Bihârul Anwar, juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah, pada Kalimat_Kalimat Ringkas”, kalimat ke 364.
[3] Ibid, Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
[4] Lihatlah Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
[5] Lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23)
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase, “wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.
Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).
Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).
Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).
Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).
Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).
Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya.
Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15). Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.
Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).
Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).
Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as,“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.
Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf: 15)
Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.
Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua.
Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).
Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163).
Semoga, kita termasuk orang-orang yang berbakti dan berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, ada dan tiadanya keduanya di sisi kita. Seperti begitu, insya Allah.
Rabbi, irhamhumaa kamaa rabbayani shagiiraa…
Qom, 30 Maret 2010/ 12 Farvardin 1389 HS
Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
NABI SAW TIDAK PERNAH STRES SAAT MENERIMA WAHYU
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw ketika didatangi oleh malaikat Jibril dengan membawa ayat: “Bacalah hai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan,” sampai ayat ke-5 dari surat Al-`Alaq, beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan gemetar dan dan menggigil. Lalu beliau berkata kepada Khadijah: “Aku menghawatirkan diriku.” Lalu Khadijah berkata: “Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakan (menjerumuskan)mu selama-lamanya.” Lalu Khadijah pergi bersama Rasul menemui Waraqah bin Naufal–pada zaman Jahiliyah dia seorang yang beragama Nasrani. Lalu Rasulullah saw memberitahu apa yang telah beliau lihat. Waraqah berkata: “Inilah namus (wahyu atau Jibril) yang pernah diturunkan kepada Musa.1 Karena ucapan Waraqah, Nabi menjadi tenang dalam menjalani masa depannya. Jika bukan karena ucapan Waraqah, dia (Rasul) sudah ingin terjun dari tebing gunung—demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Sa`ad dalam Thabaqat-nya). Adapun riwayat lengkapnya sebagai berikut: “Takkala Nabi saw sedang menyendiri di gua Hira’, tiba-tiba beliau mendengar suara menggema memanggil-manggilnya. Beliau ketakutan dan mengangkat kepalanya. Tidak disangka-sangka beliau melihat sosok makhluk yang menakutkan sedang memanggilnya. Lalu beliau pun bertambah takut dan tidak dapat bergerak maju dan mundur. Kemudian beliau berusah memalingkan wajahnya dari makhluk yang menyeramkan itu, namun yang dilihatnya itu meliputi langit semuanya.” Tragedi dramatis itu berjalan beberapa saat dan beliau pun tidak dapat mengontrol dirinya dan lupa akan jiwanya, sehingga hampir saja beliau mengambil keputusan untuk nekat terjun dari puncak gunung karena begitu berat beban rasa takutnya. Pada saat itu Khadijah mengutus seseorang untuk mencari Nabi di gua Hira’ namun tidak menemukannya. Kemudian setelah sosok wajah yang menyeramkan itu sirna dari penglihatan Nabi, beliau kembali dengan segala macam ketakutan dan kegelisahan yang meliputinya. Akhirnya beliau sampai di rumahnya dalam keadaan gemetar seperti menderita penyakit demam. Beliau memandang istrinya dengan sayu dan lesu seakan-akan minta pertolongan dan perlindungan. Beliau berkata: ‘Hai Khadijah, apakah gerangan yang sedang kualami?” Kemudian beliau pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, dan merebahkan diri dalam dekapan Khadijah dengan ketakutan yang membayanginya; perasaan yang mungkin hanya merupakan tipuan mata. Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku dan aku yakin bahwa aku telah kemasukan jin.” Khadijah tidak tega dan dan memandangnya dengan penuh keprihatinan dan keharuan, seraya berkata: “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, dia tidak akan mengecewakanmu. Mak demi Dzat yang nyawa Khadijah di tangan-Nya, sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi nabi umat ini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolong yang lemah, dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.” Begitulah seterusnya ia berusaha menenangkan dan menghibur hati suaminya dengan kata-kata yang menyenangkan. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang membawa keberhasilan. Ia berkata: “Hai suamiku, beritahukan kepadaku tentang orang yang mendatangimu itu!” Beliau menjawab: “Ya.” Ia berkata lagi: “Maka jika ia nanti mendatangimu kembali beritahulah aku.” Tidak lama kemudian malaikat itu pun datang kembali, lalu Rasulullah saw berkata: “Hai Khadijah, inilah dia telah datang kepadaku.” Lalu Khadijah berkata: “Ya, berdirilah dan duduklah di paha kiriku.” Nabi menuruti perintahnya dan duduk di paha kirinya. Khadijah bertanya: “Apakah engkau masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Masih.” Setelah itu, beliau pindah ke paha kanan istrinya. Dan Khadijah bertanya lagi: “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab: “Ya.” Khadijah lalu berkata: “Pindahlah ke pangkuanku!” Beliau mematuhi perintahnya dan duduk di pangkuan Khadijah. Kemudian Khadijah membuka dan melemparkan kerudungnya, dan Rasul masih duduk terdiam di pangkuannya. Khadijah bertanya untuk ketiga kalinya: ““Apakah engkau masih melihatnya?” Kali ini Rasulullah saw menjawab: “Tidak.” Khadijah lalu berkata dengan penuh keceriaan: “Hai suamiku, gembiralah dan tetaplah teguh! Ia adalah malaikat dan bukanlah setan.” Untuk meneguhkan percobaan yang pernah dilakukan dengan penuh keberhasilan itu, maka Khadijah menuju saudara sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang penganut agama Nasrani, yang rajin membaca kitab kuno dan buku-buku agama. Ternyata Waraqah berkata dengan mantap: “Mahasuci! Seandainya engkau mempercayaiku wahai Khadijah! Ia telah didatangi oleh an Namus (Jibril) yang pernah mendatangi Musa as, maka katakanlah kepadanya, hendaklah ia tetap tabah dan selalu teguh. Ia sesungguhnya adalah Nabi bagi umat ini. Seandainya aku ditakdirkan hidup di zaman ini, niscaya aku akan beriman kepadanya.” Kemudian Khadijah pulang menemui suaminya dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari Waraqah. Setelah itu, Nabi saw menjadi tenang dan dapat menguasai dirinya. Seketika itu pula ketakutannya sirna. Hal ini menimbulkan keyakinan yang mantap pada dirinya, bahwa ia adalah seorang Nabi.2 Sanggahan atas Riwayat Tersebut Nabi saw sangat mulia di sisi Allah. Tidak mungkin beliau dilepaskan begitu saja dalam kegelisahan dan ketakutan di saat-saat kritis yang merupakan detik-detik perubahan besar dalam lembaran hidup beliau. Masa transisi yang sangat vital dari seorang manusia sempurna yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, menjadi manusia utusan dan bertanggung jawab atas umat dan masyarakat seutuhnya. Sebelum memasuki babak yang menentukan dan kritis seperti itu, beliau telah melangkah maju ke depan ke arah kesempurnaan manusia yang sangat agung dan mulia dalam perjalanan yang dahsyat. Dimulai dari alam ciptaan (manusia) menuju kepada Pencipta (Allah SWT), dan setelah mencapai puncak lalu kembalilah ia ke alam ciptaan (makhluk) dengan membawa kebenaran dari yang Yang Maha Pencipta sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filosof, al Hakim Shadruddin al Syirazi. Dengan demikian dapat kita sadari bahwa detik-detik yang menentukan itu merupakan jalur penghubung antara dua perjalanan: perjalanan pergi dan perjalanan kembali dalam situasi yang genting. Mahasuci Allah, Ia tidak akan membiarkan kekasih-Nya mengalami kepedihan dan kegelisahan, justru setelah ia sampai pada puncak pertemuan, di mana ia akan dipilih sebagai utusan-Nya kepada manusia. Tidak mungkin Dia membiarkannya dalam ketakutan yang membahayakan, kemudian menakutinya dengan wajah yang serba menyeramkan sehingga beliau hampir tidak mampu lagi untuk mengendalikan dirinya, terkacaukan jalan pikirannya dan nyaris membawa kematian akibat makhluk tersebut. Bukankah Muhammad lebih mulia di sisi Allah daripada Ibrahim al Khalil, Musa al Kalim, dan nabi-nabi yang lain? Mereka tidak ditinggalkan sendirian pada saat-saat yang genting seperti itu sehingga meminta bantuan kepada orang lain. Muhammad saw adalah lebih mulia daripada mereka. Sungguh mengherankan analisa ahli sejarah yang mengutamakan logika seorang Khadijah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang rahasia-rahasia dan isyarat kenabian daripada seorang manusia sempurna dan utama, yang telah memikul misi Allah SWT. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang dimengerti apa maksudnya oleh Rasulullah saw dalam upaya meyakinkan perkataannya dan didukung oleh perkataan Waraqah bin Naufal. Aneh sekali ketika terdapat keyakinan dan perasaan puas pada diri Nabi saw saat mendengar keterangan dari istrinya dan kesaksian yang diberikan oleh pendeta tua—Waraqah bin Naufal. Sehingga beliau dapat diyakinkan bahwa yang datang itu wahyu dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana? Jika dikatakan bahwa Waraqah membaca kitab-kitab kuno, maka kami bertanya, apakah ada di zaman itu kitab-kitab agama yang tidak mengalami perubahan dan campur tangan manusia? Bukankah mimpi yang pernah dialami Nabi Muhammad saw itu benar adanya? Bukankah ucapan salam yang diucapkan oleh Jibril pada awal pertemuan, assalamu alaikum wahai pesuruh Allah, telah beliau dengar? Begitu pula ucapan salam dari setiap pepohonan dan bebatuan setiap kali beliau lewat di depannya dalam perjalanan pulan kembali ke rumah Khadijah? Bukankah beliau menyadari sepenuhnya apa yang dirasakan dirinya selama beliau menyendiri di gua Hira’ sehingga beliau tidak perlu diyakinkan oleh istrinya dan pendeta Nasrani itu? Justru keberadaan beliau di gua Hira' berangkat dari kesadaran spiritual dan usaha untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk konsentrasi penuh menjemput wahyu. Khalwat adalah cara terbaik yang beliau pilih sebagai sarana perenungan dan media tafakur yang paling efektif dimana jauhnya beliau dari kebisingin duniawi dan polusi syirik yang menghiasi wajah kota Mekah membuat beliau mau tidak mau harus memilih tempat "yang sehat dan segar". Dan, gua Hira adalah pilihan terbaik untuk merealisasikan tujuan ini. Lagi pula, jika memang riwayat itu benar, mengapa Waraqah tidak segera beriman padahal ia tahu bahwa beliau (Muhammad) adalah seorang Nabi? Terbukti di dalam sejarah bahwa Waraqah meninggal dalam keadaan belum beriman. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw melihatnya dalam mimpi bahwa Waraqah sedang mengenakan pakaian putih adalah maudhu` (palsu dan tak dapat dipercaya). Sebab jalur riwayatnya terputus dan tidak bersambung. Jika memang terbukti bahwa ia masuk Islam dan beriman, maka sudahlah pasti namanya akan tercantum di dalam golongan orang-orang yang beriman pada permulaan Islam (as sabiqunal awwalun). Ibu Asakir berkata: “Saya belum pernah menemukan seseorang pun yang mengatakan bahwa ia (Waraqah) telah masuk Islam.”2 Waraqah masih hidup beberapa waktu sejak Nabi diutus. Bahkan telah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Waraqah pernah berjalan dan melihat Bilal sedang disiksa.3 Jadi, Muhammad saw tidak pernah mengalami stres saat menerima wahyu. Beliau berada di puncak kesadaran dan mengerti bahwa yang datang kepada beliau itu adalah Jibril yang membawa pesan-pesan Ilahi untuknya dan umatnya. Bahkan atas nikmat agung risalah ini, beliau sangat bergembira.
Sejarah Hidup Ummu Salamah
Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Nama sebenarnya beliau adalah Hind dan beliau adalah putri dari Umayyah bin al-Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum.
Omar Reza kehaleh telah menjelaskan bahwa beliau dalam bukunya yang terkenal dengan nama "A’laamu an-Nisa’" dan mengatakan bahwa ada klaim yang berbeda tentang nama ayahnya dan dikatakan bahwa Hind adalah putri dari Sahl bin Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum atau Huzaifah. Ibn saad menyatakan bahwa ayahnya adalah Suhail Zad al rakb bin Mughiroh dan gelarnya adalah Zad al rakb.
Beliau adalah wanita sangat murah hati dan dalam perjalanan hidupnya beliau gunakan untuk memenuhi dan membantu hal-hal yang diperlukan teman-temannya.
Ada beberapa klaim yang berbeda mengenai namanya. Dia juga disebut Ramlah. Ibn Abd al Bar meyakini bahwa namanya adalah Hind dan mengklaim bahwa beberapa ulama juga memiliki pendapat yang sama. (A’lamu Nisa’ Jilid 5 halaman 21 Dan 22)
Ibu dari Ummu Salamah adalah Atikah, putri Amr bin Rabiah bin Malik. Beberapa ulama mengakui bahwa Atikah adalah bibi dari nabi suci (saw) (ebn e Asir, alkamel fi Jilid altarikh 1 halaman 594 yang diterbitkan di Beirut pada tahun 1497 H.)
Ummi Salamah adalah seorang wanita terhormat dan bijaksana, beliau dibesarkan di sebuah keluarga bangsawan. Beliau meninggal pada tahun 63 H dalam usianya 84 tahun. Beberapa ulama mengklaim bahwa beliau berusia sampai 90 tahun dan meninggal pada tahun 61 H. Beliau dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum hijrah (Hijrah Nabi Suci Muhammad (saw) dan para pengikutnya dari Makah ke Madinah, yang diakui sebagai awal kalender Hijriah ) dan menikah dengan Abdullan bin Makhzum. Ketika Islam mulai tersebar, beliau memeluk Islam bersama-sama dengan suaminya.
Salah satu lawan beliau adalah kakaknya sendiri, yang mana telah tewas dalam perang Uhud dengan tentara Muslim. Karena penyiksaan dan permusuhan dari orang musyrik yang tak tertahankan untuk pasangan muda ini, mereka akhirnya berhijrah ke Ethiopia dengan kelompok Muslim lainnya pada tahun ke-5 Kenabian (pengangkatan nabi suci Muhammad sebagai utusan terakhir dari Allah SWT), tapi setelah beberapa saat mereka kembali ke Makah. Mereka punya anak pertama mereka "Salamah" di Ethiopia. Mereka memutuskan untuk berhijrah ke Madinah pada tahun 13 kenabian. Bani Makhzum memberikan beberapa kesulitan dan tidak mengizinkan beliau untuk pergi ke Madinah, tapi akhirnya beliau berhasil berhijrah sampai ke Madinah.
Abu Salamah terluka dalam perang Uhud dan syahid pada tahun ke-4 Hijrah. Setelah kesyahidannya, Khalifah pertama dan kedua ingin menikahinya tetapi ditolak. Pada tahun yang sama nabi (saw) mengajukan pernikahan kepada beliau dia akhirnya pun diterima.
Ummu Salamah adalah seorang wanita yang mulia dan sangat berbudi luhur, sebanyak istri lain dari nabi suci (saw), terkhusus (Aisyah dan Hafsah) sangat cemburu dengan beliau.
Pada suatu hari Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Suci (saw), mengapa nama laki-laki telah disebutkan dalam program hijrah, akan tetapi nama perempuan tidak disebutkan? Menanggapi pertanyaan ini Allah Yang Maha Kuasa menurunkan ayat 195 di surat Ali-Imran.
Ummu Salamah juga berpartisipasi dalam perang Khaibar dan telah menyatakan keinginannya untuk menjadi seperti seorang pria dan ikut dalam perang, oleh karena itu ayat 32 Surat an-Nisa’ pun diturunkan kepada nabi suci (saw).
Ummu Salamah adalah di antara perawi hadis dari nabi suci (saw) dan Sayyidah Fatimah (as) (putri tercinta Nabi (saw) .Beliau adalah lawan berat Muawiyah dan pada saat yang sama pengikut yang kuat dari Imam Ali (sebagai Imam pertama sekte Syiah dan penerus Nabi (saw) dengan dalil Ghadir Khom sebagai peristiwa besar dalam perjalanan sejarah umat Islam).
Ummu Salamah menemani Nabi (saw) dalam berbagai pertempuran dan juga dalam haji terakhir Nabi (SAW).
Selama periode 3 khalifah (sekitar 25 tahun) beliau digunakan untuk membantu mereka jika diperlukan.
Ummu Salamah selalu mendukung Imam Ali (a.s.), terutama pada periode Muawiyah. Beliau menulis kepada Muawiyah dan menekankan bahwa Imam Ali (a.s.) dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Nabi (saw). Sadarilah bahwa jika Ali (a.s.) terkutuk dan terganggu, maka Nabi (saw) dan Allah SWT menjadi marah, (Elam al nisa halaman 225).
Ummu Salamah telah meriwayatkan dari Nabi (saw) "Barang siapa yang mengagumi Imam Ali (a.s.) maka dia sudah menyenangkan saya dan Allah SWT dan jika tidak suka terhadap Imam Ali (a.s.), jelas ia telah mengganggu saya dan Allah SWT."
Ummu Salamah mengklaim bahwa Jibril memberitahu Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan syahid di Irak. "Nabi suci (saw) meminta Jibril untuk menunjukkan tanah Karbala dan Jibril menawarkan beberapa tanah Karbala dan Ummu Salamah pun percaya., Nabi suci (saw) menegaskan bahwa" Anda akan melihat bahwa satu hari , tanah ini akan berubah menjadi darah. Kemudian cucu saya dibunuh. "Ummi Salamah pun menyimpang tanah tersebut dengan hati-hati dan melihatnya setiap hari dan berkata, ketika tanah itu berubah menjadi darah, maka hari itu akan menjadi hari yang besar.
Dalam riwayat lain, Ummu Salamah mengatakan bahwa: Suatu hari Nabi (saw) menangis, saya menanyakan alasan beliau menangis dan menjawab: "Baru saja Jibril menyingkap bahwa di masa depan pengikut Anda akan membunuh anak Anda (Imam Hussein a.s.) di Karbala. "Juga dia telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan dibunuh pada tahun 60 A.H.
Abwab al Manakib di Sunan Tirmidzi meriwayatkan: Pada suatu sore Ummu Salmah sedang tidur dan bermimpi nabi Kudus (saw) menangis dan dalam kondisi tertekan dan mengatakan bahwa saya baru saja datang dari peristiwa kesyahidan Imam Hussein (a.s) dan saya melihat orang-orang yang telah syahid di Karbala.
Tirmidzi, menegaskan kembali bahwa Ummu Salamah menyebut tanah Karbala
dan melihat bahwa tanah itu telah berubah menjadi darah.
Ummu Salamah adalah istri terakhir dari Nabi (saw) yang telah wafat pada tahun 63 Hijrah dan telah menyaksikan kesyahidan Imam Hussein (a.s.)
Ummu Salamah setelah wafat dimakamkan di pekuburan Baqi’.
Disusun oleh; Seyyed Abd al Hussein reis al sadat
Rujukan:
-Zahry, altabaghat al kobra Jilid 8 halaman 94
-Belathery, al nesab al eshraf, Jilid 1 halaman 190
- Zahabi, SIER Elam al nobla, Jilid 2 halaman 209
Sejarah Hidup Juwairiyah binti Al-Harits
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Pertempuran Bani Mustalaq
Pada tahun keenam Hijrah, tepatnya pada bulan Sya'ban, telah tersebar berita ke Madinah bahwa Harits bin Abi Diraar, kepala suku Bani Mustalaq, sedang mengumpulkan senjata dan pasukan militer untuk menyerang Madinah. Nabi memutuskan untuk dapat mengalahkan mereka di tanah mereka sendiri, oleh karena itu, tentara-tentara kaum muslimin bersama dengan nabi, bergerak ke arah mereka sampai mereka sampai di salah satu mata air di tanah mereka dengan nama Muraysi di wilayah Qadid. Awalnya, nabi (SAW) memerintahkan untuk mengajak mereka mememluk Islam, tapi mereka menolak ajakan tersebut dan pertempuran pun terjadi. Umat Islam pun berhasil keluar sebagai pemenang, dan mendapatkan banyak rampasan perang dan tahanan, seperti; dua ribu unta, lima ribu domba dan dua ratus keluarga tahanan. Di antara tahanan tersebut, adalah putri berusia dua puluh tahun dari Harits bin Abi Diraar, kepala suku. Nama lengkap ayahnya adalah Harits bin Abi Diraar bin Habib bin Ha'idh bin Maalik bin al-Mustalaq bin Sa'id bin Amr bin Rabi'ah bin Haarithah bin Khuzaa'ah.
Pemicu Pertempuran Bani Mustalaq
Suku Bani Mustalaq, yang berjarak lima manzil (hitungan jarak pada waktu itu) dari Madinah, telah merencanakan untuk mengepung kota Madinah dengan bantuan sekutunya dari suku-suku Arab lainnya. Nabi (SAW) diberitahu tentang ini oleh karena itu Nabi mengirim seseorang dengan nama Barid ke tanah mereka untuk melihat masalah ini secara langsung. Ia berkomunikasi kepala suku tak dikenal dan belajar memahami strategi lawan. Setelah kembali ke Madinah, ia laporan segala yang didapatnya. Ia membawa beberapa berita bermanfaat untuk nabi (SAW). Pada saat yang sama, mata-mata mereka tertangkap di kalangan umat Islam, dan terpaksa tidak dapat memberikan kabar kepada komplotannya atas apa yang telah terjadi. Setelah mengetahui rencana mereka, nabi (SAW) pun mengambil ofensif dan menyerang mereka duluan. Keberanian para tentara Muslim dan membuat para lawan takut dan para prajurit musuh pun tercerai berai yang berakhir pada dengan sepuluh kematian dari sisi mereka dan satu syahid dari pihak Muslim. Dengan kekalahan mereka, banyak kekayaan datang untuk tentara Islam dan perempuan mereka dibawa sebagai tawanan.
Alasan Berbagai Pertempuran di zaman Nabi (SAW)
Kemampuan militer dan kekuatan Islam sangat signifikan pada tahun keenam Hijrah, sejauh bahwa kelompok khusus dari mereka dengan bebas dan mudah bisa pergi ke dekat Makkah dan kembali tanpa masalah; tapi kekuatan militer mereka tidak dimaksudkan untuk menaklukkan tanah dan penjarahan kekayaan mereka. Jika bukan karena orang musyrik merampas kebebasan umat muslim, dan jika mereka telah mengizinkan umat Islam untuk menyebarkan agama mereka tanpa pelecehan, maka Nabi (SAW) pun tidak akan pernah terpaksa untuk menggunakan kekerasan, namun, karena umat Islam dan para mubaligh mereka yang terus menerus dalam bahaya dan terancam oleh musuh-musuh mereka, maka pemimpin negara Islam tidak punya pilihan selain untuk memperkuat pasukan pertahanan Islam.
Alasan pertempuran Nabi (SAW) yang berlangsung sampai hari-hari terakhirnya adalah salah satu dari hal berikut:
a) Pembalasan untuk pelanggaran yang tidak manusiawi dari orang musyrik, seperti yang terjadi dalam pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq.
b) Menghukum para pemberontak yang telah membunuh umat Muslim dan delegasinya ditengah-tengah padang pasir dan daerah terpencil, atau karena mereka telah merusak perjanjian dengan kaum Muslimin dan karena jika tidak melakukan perang maka Islam terancam akan punah, seperti yang terjadi dalam pertempuran dengan tiga suku Yahudi dan Bani al-Hayyaan.
c) Untuk menetralisir mobilisasi yang berkembang dari suatu suku yang menentang dan membuat persiapan untuk menyerang Madinah setelah mengumpulkan senjata yang diperlukan dan sumber daya militernya.
Juwairiyah
Juwairiyah binti Harits (670 atau 677 M) adalah seorang putri Arab dan putri sulung dari suku Khuzaa'ah. Ayahnya adalah kepala suku Bani Mustalaq. Setelah kekalahan dalam pertempuran, kekayaan mereka diamankan dan laki-laki juga perempuan mereka dibawa sebagai tawanan, salah satu wanita tawanan tersebut adalah Barrah, putri Harits yang kemudian dikenal dengan nama Juwairiyah. Beliau adalah istri dari Naafi' bin Safwaan, sepupu dari pihak ayah, yang tewas dalam pertempuran.
Beliau menjadi bagian dari rampasan dari Tsabit bin Qais bin Shammaas Ansaari dan sepupunya. Mereka sepakat bahwa dia bebas setelah membayar tujuh mithqaals emas. Pada waktu itu, tawanan perang bisa membebaskan diri dengan membayar uang tebusan.
Tebusan ditentukan oleh Tsabit untuk kebebasan Barrah beberapa kali lebih banyak dari jumlah yang biasanya dan beliau sendiri tidak mampu membayar, jadi beliau mencari bantuan kepada nabi (SAW) melalui Ali (a.s).
Kisah yang diceritakan oleh Aisyah:
Halabi menceritakan kisah melalui perkataan Aisyah seperti sebagai berikut:
Aisyah telah meriwayatkan bahwa Juwairiyah adalah seorang wanita cantik. Semua yang melihat beliau maka akan tertarik padanya. Dalam perjalanan dengan nabi, ketika kami berada dekat dengan hamparan Muraysi', Juwairiyah datang ke nabi dan meminta beliau untuk kontrak mukaatabah (kontrak kebebasan imbalan uang dari seorang budak) dengan dia, maka Aisyah pun marah dan cemburu karena tahu bahwa nabi akan melihat keindahan yang sama seperti yang Aisyah lihat.
Dalam riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Juwairiyah berdiri di belakang tirai untuk kontrak mukaatabah dengan nabi. Ketika Aisyah menatapnya, Aisyah melihat kecantikan di wajahnya dan yakin bahwa ketika nabi juga melihat dirinya, ia juga akan senang. Beliau berkata kepadanya: "Aku akan membayar tebusan kontrak mukaatabah Anda dan juga akan menikah. Beliau menikahi putri kepala pemberontak dan ini mengakibatkan ikatan bisa dipecahkan antara nabi dan suku ini, dan banyak dari perempuan yang telah ditawan yang tanpa syarat dibebaskan hanya karena hubungan ini. Salah satu hasil dari nikah ini adalah kebebasan seratus tahanan perempuan.
Aisyah juga telah meriwayatkan: "Saya tidak tahu apakah ada wanita yang lebih diberkati untuk sukunya daripada Juwairiyah?"
Suku Bani Mustalaq semua memeluk Islam dan kemudian diberkati oleh Allah. Juwairiyah pindah ke rumah nabi. Rumahnya berada di dekat rumah-rumah dari Ummahatul Mukminin; Ummu Salamah, Aisyah dan Hafsah.
Kisah dari Para Sejarawan
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai cerita ini sampai penawanan Juwairiyah dan datang beliau ke nabi; mereka semua sepakat tentang semua apa yang telah diriwayatkan memang telah terjadi. Namun ada, perbedaan mengenai apa yang terjadi setelah itu; ada dua riwayat di sini:
Riwayat Pertama:
Nabi memilih Juwairiyah untuk dirinya sendiri dan setelah membagi harta rampasan perang dan tahanan kepada pasukan Muslim, beliau kembali ke Madinah. Kemudian ayah Juwairiyah ini, Harits, datang ke Madinah dengan sejumlah unta untuk membayar kebebasan putrinya. Dalam perjalanan, ia menyembunyikan dua unta ini di daerah Aqiq karena masih sayang untuk tetap memilikinya, dan datang ke nabi dengan sisa unta, kemudian meminta putrinya dengan menggantinya dengan tebusan yang dia bawa, dia pun mengatakan: "Wahai Nabi Allah, putri saya tidak bisa menjadi tawanan perang, karena dia adalah gadis yang mulia dan terhormat. "nabi menjawab," Jika demikian, lantas mengapa unta yang anda bawa anda sembuyikan lembah itu?! "Setelah mendengar hal ini, Harits dan anaknya memeluk Islam. Nabi memberikan pilihan kepada Juwairiyah untuk tinggal bersama beliau atau kembali ke ayahnya. Harits mengakui bahwa keputusan nabi memang adil. Akan tetapi, dia kemudian pergi ke Juwairiyah dan menanyakan ke putrinya: "Putriku!! Jangan mempermalukan suku Anda dengan tinggal di sini " Juwairiyah menjawab:" Tapi aku telah memilih Allah dan nabi-Nya "Ayahnya berkata:"Semoga Anda dikutuk! Melakukan apapun yang Anda inginkan! "Nabi kemudian membebaskan Juwairiyah dan beliau menjadi salah satu istrinya.
Riwayat Kedua:
Setelah membagikan rampasan, Juwairiyah diberikan kepada Tsabit dan sepupunya sebagai bagian mereka dari rampasan. Mereka menetapkan tebusan dari tujuh mithqaals emas untuk kebebasannya. Juwairiyah kemudian datang ke nabi yang sedang duduk di dekat air. Beliau mengumumkan bahwa sudah memeluk Islam dan mengatakan tentang tebusan kepada Nabi untuk meminta bantuan. Nabi berkata: "Saya akan membayar uang tebusan Anda dan juga akan membawa Anda sebagai istri saya."
Beliau adalah istri pertama Nabi yang tidak berasal dari suku Quraish.
Aisyah yang mana bersama nabi (SAW) dalam pertempuran ini, yang juga ditemani oleh Ummu Salamah, meriwayatkan cerita seperti ini:
"Juwairiyah adalah seorang gadis cantik yang siapa pun melihatnya, maka akan jatuh cinta dengannya. Saya dan nabi duduk di waktu musim semi di Muraysi' ketika beliau meminta Nabi (SAW) untuk membantunya agar menebusnya. Beliau berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah seorang yang baru memeluk Islam dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Anda adalah utusan-Nya. Saya Juwairiyah, putri Harits bin Abi Diraar, yang mana ayah saya adalah kepala sukunya dan Anda tahu apa yang telah menimpa saya. Saya telah diberikan sebagai bagian dari Tsabit bin Qays dan sepupunya dan mereka telah menetapkan tebusan untuk kebebasan saya tapi saya tidak mampu membayar. Saya berharap bahwa Anda membantu saya. Nabi berkata: "Ada pilihan yang lebih baik juga." Dia bertanya: "Dan apa itu?" Beliau menjawab: "Saya akan membayar tebusan dan Anda juga akan menikah" Juwairiyah mengatakan: "Baiklah, saya akan melakukannya." Nabi mengirim pesan kepada Tsabit untuk meminta beliau. Tsabit berkata: "Demi Allah, beliau adalah milik mu yaa Rasul Allah!" Nabi membayar tebusan dan membebaskannya. Ketika orang-orang mengetahui bahwa Nabi telah menikah dengannya dan menjadi pengantin pria dari suku Bani Mustalaq, maka mereka membebaskan tawanan mereka yang telah diambil sebagai rampasan perang dan peristiwa ini membuahkan hasil hingga terbebasnya seratus keluarga Bani Mustalaq. Jadi, saya tidak tahu wanita lain lebih diberkati dan bermanfaat bagi sukunya selain dari Juwairiyah."
Mas Kawin Juwairiyah
Ketika kembali dari Muraysi', nabi meninggalkannya dengan seorang pria dari Anshar dan memerintahkan dia melindunginya dan pergi ke Madinah. Kebebasan beliau (dari harta rampasan perang) adalah dianggap sebagai mas kawin beliau, dan menurut beberapa riwayat, ditambah dengan kebebasan empat puluh, atau semua tawanan Bani Mustalaq.
Tapi Juwairiyah sendiri menggambarkan kisah seperti ini: "Ketika Nabi membebaskan saya dan menikah dengan saya, Demi Allah saya tidak menyebutkan suku saya [yang telah diambil sebagai tahanan]. Itu adalah umat Islam sendiri yang [sukarela] membebaskan mereka. Seorang gadis kecil yang mana saudara sepupu saya datang kepada saya dan memberitahu saya kebebasan mereka, dan saya bersyukur kepada Allah.
Juga telah dikatakan bahwa mas kawinnya adalah empat ratus dirham, dan bahwa ia mengubah namanya dari Barrah ke Juwairiyah, karena nabi mengatakan bahwa Barrah, yang secara harfiah berarti 'reputasi', adalah bentuk kekaguman diri, meskipun nama ini adalah yang umum kemudian. Nabi memerintahkan beliau untuk berjilbab dan mewajibkan pada dirinya (Juwairiyah) seperti juga wajibnya hal ini bagi istri-istri nabi yang lainnya.
Alasan Perubahan Nama
Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa namanya berubah. Nabi mengubah nama dari sejumlah istri-istrinya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salmah, Maymunah dan Juwairiyah, sekaligus menjaga nama-nama lain, seperti Barrah binti Abi Najwah dan Barrah binti Sufyan, dan lain-lain.
Dari Pernikahan Hingga Wafatnya
Beliau tinggal dengan nabi selama lima tahun, akan tetapi tidak memiliki anak darinya dan akhirnya, pada tahun 56 H dan menurut beberapa riwayat lain 50 H, beliau wafat di Madinah. Jenazahnya dikawal sampai kuburan Baqi' dan dikuburkan di situ. Dikatakan bahwa Marwaan al-Hakam, penguasa Madinah pada waktu itu, dan Abu Haatam Hayyaan mensholatkan jenazah beliau.
Juwairiyah adalah seorang wanita solihah dan taat, beliau berpuasa hampir setiap hari dan menghabiskan sebagian besar malam dalam beribadah. Dari beberapat riwayat diceritakan tentang kesalehan dan ibadahnya yang menunjukkan maqom yang tinggi setelah beliau menjadi istri nabi (SAW).
Dalam bukunya Rayahin al-syari'ah, Dhabihullah Mahallati mengatakan: Juwairiyah adalah seorang wanita yang menarik dan lembuh dalam berbicara.
Beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ubaid bin Sabbaaq, keponakannya Tufayl dan lain-lain juga telah meriwayatkan darinya. Syekh Tusi juga telah menganggap beliau sebagai salah satu ‘ashab’ (sahabat) dalam buku rijal nya.
Dia adalah seorang wanita pandai dan juga periwayat hadits yang hidup 39 tahun setelah wafatnya Nabi (SAW).
Referensi:
Dzahabi, Taarikh Islam wa Wafayaat al-Mashaahir wa al-A'laam, edisi kedua, 1992, vol. 2, h. 259 / Khalifah bin Khayyaat, Taarikhe Khalifeh, vol. 1, h. 36 / Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 2, h. 290.
Maghaazi, edisi kedua, vol. 1, h. 407.
Maghaazi, ibid, h. 410./ Tabaqaat al-Kubraa, h. 49.
Dayyar Bakri, Syaikh Husain. Taarikh Khamis vi Ahwaal Anfus al-Nafis, h. 474./ Shaafi'i Halabi. Abu al-Faraj. Sirah Halabiyyah, edisi kedua, vol. 2, h. 380.
Taarikh Tabari, vol. 2, h. 260.
Ibid.
Shahid Khatibi, Husain, Shureshiyane Bani Mustalaq, pasal 34.
Miqrizi, Ahmad ibn Ali, Imtaa 'al-Istimtaa', hal. 84.
Halabi Ali bin Burhan al-Din, Al-Sirah al-Halabiyyah min Sirat al-Amin al-Ma'mun, vol. 2, h. 86-87.
Syaikh Mufid, Al-Irshaad fi Ma'rifat Hujajillah ala al-Ibaad, vol. 1, h. 118.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 295./ Ibn Hisyam, vol. 2, h. 290./ Manaaqib, h. 201.
Ibn Hisyam, vol. 2, h. 295./ Ibnu Asaakir. Taarikh Damishq. vol. 3. h. 218.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 382./ Manaaqib, h. 201./ Al-Irshaad, h. 118.
Ibn Hisyam. Ibid.
Maghaazi, h. 411./ tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 92./ Ibn Hisyam, ibid, h. 294.
Abd al-Rahman Suhayli, Al-Ruwad al-Alf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 6, h. 406./ Ibn Hisyam, h. 295.
Imtaa 'al-Asmaa', vol. 1, h. 206./ Baladhuri, Ansaab al-Ahraaf, vol. 1, h. 443.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 383.
Ansaab al-Ashraaf, h. 442, Taarikh Khamis, h. 474.
Maghaazi, p 307. Ansaab al-Ashraaf, ph. 441-442.
Tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 94./ Maghaazi, h. 413.
Al-Sahih min Sirat al-Nabiyy al-A'dham, h. 313.
Taarikh Khamis, vol. 1, h. 475.
Sirah ibn Ishaq, h. 263.
Tabaqaat al-Kubraa, h. 95./ Ansaab al-Ashraaf, vol. 1, h. 443
Asqalani, Ibnu Hajar, Al-Isaabah fi Tamyiz al-sahabat, vol. 8, h. 74.
Ibnu Atsir, Usd al-Ghaabah, vol. 6, h. 57./ Al-Isaabah, ibid.
Ditulis oleh: Maryam Masdari
Sejarah Hidup Maria Qibtiyah
Maria Qibtiyah adalah salah satu dari istri Nabi (SAW), beliau adalah putri dari Qibtiyah Simon, lahir dari seorang ibu Romawi di desa Hafan wilayah Ansnay Mesir.
Nabi suci (SAW) pada tahun keenam Hijrah mengirim utusan ke luar negeri dengan membawa surat-suratnya yang berisi ajakan bagi penguasa negara-negara untuk masuk Islam. Rasulullah juga mengirim Hateb ibn Abi Balteh kepada Maquqs, penguasa Mesir, dan mengundangnya untuk masuk Islam. Dalam Surat tersebut Nabi (SAW) berkata: "Dengan nama Allah, dari Muhammad bin Abdullah kepada Maquqs Agus di Mesir, salam kedamaian bagi para pengikut kebenaran, dengan ini Saya mengajak Anda untuk menerima agama Islam, dan Jika Anda melakukannya, Allah akan membalas dengan berlipat ganda, tapi jika Anda menolaknya maka Anda akan menanggung dosa seluruh Suku Qibti (Koptik). "
Karena melihat cap dan tanda tangan dari Nabi (SAW), Maquqs pun segera membaca surat tersebut. Kemudian surat itu ditempatkan dalam wadah gading dan meminta Hateb ibn Abi Balteh untuk berbicara tentang Nabi (SAW), gaya hidup dan karakter nya. Hateb ibn Abi Balteh pun memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Maquqs berpikir sedikit dan kemudian berkata: "Saya pikir nabi terakhir akan datang dari Syam di mana para nabi muncul, sementara saya melihat bahwa beliau telah muncul dari semenanjung Arab, oleh karena itu bangsa Koptik tidak dapat mematuhinya"
Kemudian, ia memerintahkan sekretarisnya untuk mempersiapkan surat dan menuliskan: "Saya telah membaca surat Anda, dan saya mengerti apa yang ditulis dalam surat itu, saya pun juga sudah mendengar ajakan Anda, akan tetapi saya masih percaya bahwa nabi terakhir berasal dari Syam. Saya tetap menghormati Nabi Anda dan akan mengirimkan dua budak perempuan dari bangsa Koptik dengan pakaian dan kuda bersamanya, Wassalam."
Maquqs menyampaikan balasan melalui Hateb dan meminta maaf untuk penolakan bangsa Koptik terkait undangan untuk menerima Islam dan memintanya untuk menjaga rahasia apa-apa yang telah dilihat dan didengar di bangsa Koptik. Hateb pun kembali ke Nabi (SAW) dengan membawa dua budak perempuan bernama Maria dan Syrin bersama-sama dengan seribu ons emas dengan dua puluh baju Mesir dan seekor keledai abu-abu dan beberapa madu dan parfum.
Gadis muda yaitu Maria dan Syrin merasa tertekan karena semakin menjauh dari tanah air mereka. Oleh karena itu, Hateb pun menceritakan tentang keindahan Mekah dan Hijaz. Lalu juga menceritakan beberapa hal tentang Nabi (SAW). Mendengar sifat dan akhlaq mulia Nabi (SAW) dan kebaikan Islam, mereka merasa bahagia dan senang dengan Islam dan Nabi Muhammad (SAW). Kemudian mereka masuk Islam dan merenungkan tentang ajaran barunya. Mereka tiba Madinah pada tahun ketujuh Hijrah, dan pada waktu itu Nabi (SAW) telah baru pulang dari Hudaibiyah.
Nabi (SAW), menerima surat-surat dan hadiah yang dikirim oleh Moquqs. Kemudian beliau menikah dengan Maria dan adapaun Hasan bin Sabit, yang merupakan penyair terkenal dan cendekiawan, mengambil Syrin sebagai istrinya. Kemudian Syrin pun melahirkan seorang putra bernama Abdul Rahman, Nabi (SAW) juga membagikan hadiah dari raja Mesir itu kepada para sahabatnya.
Kabarpun menyebar di antara istri-istri Nabi (SAW) bahwa seorang wanita tanah Nil telah menikah dengan Nabi (SAW) dan beliau tinggal dia di rumah Haris bin Naman, yang mana rumahnya berdekatan dengan masjid.
Dalam satu tahun, Maria pun sudah sangat senang dengan posisi yang beliau peroleh, yaitu menjadi istri Nabi (SAW) dan keadaan beliau sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan masa lalunya. Nabi (SAW) juga sangat senang dengan beliau, karena Maria melakukan yang terbaik untuk menyenangkan nabi (SAW). Dalam hubungannya dengan Nabi beliau tulus, berbudi luhur dan sepenuhnya patuh pada perintah nabi (SAW), karena Nabi adalah suaminya dan maula-nya.
Maria dan Hajar
Maria benar-benar kagum dengan Hajar, Ibrahim dan Ismail (a.s) dan beliau telah mendengar mereka berulang kali ketika Allah SWT membantu Hajar saat beliau sendirian di tanah Hijaz. Yang Maha Kuasa Allah telah menganugerahkan sebuah sumur zamzam, sebagai kehidupan baru untuk Hajar, beliau tahu bahwa kehidupan Hajar akan tetap dikenang sejarah, dan lari-lari kecil-nya antara bukit Shofa dan Marwah akan berubah menjadi salah satu ritual pada ibadah Haji.
Maria kadang berpikir kesamaan beliau dengan dari Hajar yang mana mereka berdua adaslah sama-sama hamba perempuan. Hajar diberikan kepada Ibrahim oleh Sarah dan Maria diberikan kepada Nabi (SAW) oleh Maquqs, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Hajar adalah ibu dari Ismail dan Maria tidak punya anak dari Nabi (SAW).
Setelah kematian Khadijah, Nabi (SAW) tidak memiliki anak dari istri-istri setelahnya, hanya Khadijah saja yang memiliki enam anak, yaitu, Qasem, Zaenab, Ruqoyyah, Ummi Kulsum, Fatimah dan Abdullah (a.s), anak-anak lain diantara mereka telah meninggal saat masih bayi.
Kelahiran Ibrahim
Pada satu malam tahun delapan Hijrah, Maria mengetahui bahwa dirinya telah hamil. Berita itu datang kepada Nabi (SAW), beliau pun menjadi sangat senang dan sangat bersyukur kepada Allah.
Ibrahim lahir di bulan Dzulhijjah, dan bidannya waktu itu adalah , ‘Salamah’ yang telah memberi kabar kepada suaminya, "Abu Rafe", kemudian dia datang kepada Nabi (SAW) dan menyampaikan kabar dari bayi yang baru lahir. Karena Nabi (SAW) diberi hamba perempuan maka bayi itu diberi nama Ibrahim, diambil dari nama ayah yang agung, Nabi Ibrahim Kholilullah (a.s). Pada hari ketujuh dari kelahiran, domba pun disembelih (sebagai aqikah) untuk Ibrahim. rambut bayinya pun dicukur dan beratnya pun ditukar dengan perak untuk dibagikan kepada fakir miskin di jalan Allah.
Ibrahim sangatlah dipuja oleh Nabi (SAW). Anas bin Malik mengatakan:
"Ketika Ibrahim lahir, Jibril datang kepada nabi (SAW) dengan mengucapkan salam ‘Assalamu alaika yaa Aba Ibrahim' (Salam sejahtera dari kami kepada Anda, wahai Ayah Ibrahim!)
Nabi (SAW), setelah kelahiran Ibrahim, menyatakan bahwa "tadi malam aku punya anak yang aku beri nama dia Ibrahim setelah nama ayah saya.
Wanita Ansar yang telah mendengar kabar tentang cinta Nabi kepada Maria membuat mereka bersaing menyusu Ibrahim, karena mereka bermaksud untuk mendekati Maria.
Nabi (SAW) sangat senang menyaksikan tumbuhnya Ibrahim. Setelah beberapa waktu, ketika Nabi (SAW) keluar kota, Nabi (SAW) diberitahu tentang keadaan yang tidak baik dari kesehatan anaknya, Ibrahim dan memaksa beliau kembali ke rumah, mengambil dia dari dada ibunya saat kesedihannya benar-benar luar biasa di wajahnya, beliau pun mengatakan:
يا إبراهيم لو لا انه امر حق ووعد صدق, وأن آخرنا سيلحق بأولنا, لحزنا عليك حزنا هو اشد من هذا, تدمع العين و يحزن القلب و لا نقول إلا ما يرضي ربنا والله يا إبراهيم, إنا بك لمحزونون.
"Wahai Ibrahim! Jika kematian bukanlah suatu hakikat dan janji yang benar dari Allah dan akhir dari ku adalah kembali kepada awal (asal) ku, maka aku akan sangat sedih melebihi kesedihan ku sekarang ini, mata ku menangis dan hati ku sangat sedih, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali untuk mendapatkan Ridha Allah. Namun, kamu harus tahu bahwa saya sangat sedih kehilang kamu dan atas kematian mu."
Beberapa orang mengeluh kepada Nabi "Wahai Rasulullah (SAW), Apakah Anda melarang kita menangis?" Nabi (SAW) menjawab: "Tidak, saya tidak melarang Anda untuk menangis atas kematian orang-orang anda cintai. Karena menangis adalah tanda kebaikan dan kasih sayang dan siapa pun yang tidak memiliki simpati kepada orang lain maka dia tidak akan di kasihani oleh Allah SWT.
(Dengan cara apapun), yang (Kudus) Nabi (SAW) memerintahkan untuk mencuci (mayat Abraham), membalsem dan kain kafan (It). Kemudian, mereka mengambil (itu) Baqi Cemetery dan dimakamkan di tempat yang sekarang disebut "Abraham Grave".
(Ketika Abraham meninggal) gerhana terjadi dan orang-orang dari Madinah berkata: 'gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Nabi melanjutkan mimbar dan berbicara dengan orang-orang untuk (meningkatkan) kesalahan ini dan melawan takhayul ini sebagai berikut:
ايها الناس إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لاتخسفان لموت احد ولا لحياته.
“Wahai Manusia, matahari dan bulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan mereka ditakdirkan oleh Allah tidak akan menangis (terjadi gerhana) atas kematian siapa pun.
Dalam riwayat lain berbunyi:
إن الشمس والقمر لاينكسفان لموت احد ولا لحياته فإذا رأيتم فصلوا وادعوا الله.
"Sesungguhnya, matahari dan bulan tidak akan menangis (terjadi gerhana) karena kematian dan kehidupan siapa pun, karena itu, ketika Anda hadapi itu (melihat Gerhana) maka Anda harus mulai melakukan Shalat."
Maria sangat sedih dan terus berkabung untuk Ibrahim:
"Wahai Ibrahim, Kau anak saya yang masih menyusui, dari sekarang malaikat akan menyusuimu di surga."
Setelah wafatnya Ibrahim, Maria menjadi suka berdiam diri di rumah, setiap kali Nabi mengunjunginya dia terus mengatakan, "Kami (berasal) dari Allah SWT dan kami akan kembali kepada-Nya"
"انا لله وانا اليه راجعون"
Maria adalah di antara istri-istri yang dihormati oleh Nabi dan beliau tertarik kepada Sayyidah Zahra (a.s). Untuk membuat Maria bahagia, Nabi (SAW) pun membuat rumahnya di dekat taman Madinah dengan nama “Masrobiyatu Ibrahim".
Maria dan hidupnya dengan Rasulullah
Rumah pertama Ummul Mukminin Maria adalah rumah Haris bin Naman. Beliau tinggal di rumah itu selama satu tahun dan kemudian beliau meminta pindah ke tempat lain dan Rasulullah (SAW) menempatkan beliau di dataran tinggi Madinah di tengah kebun kecil yang Rasulullah (SAW) dimiliki dari pertempuran dengan Bani Nazir, tempat ini dikenal dengan "Masrabiyatu Ibrahim". Beliau tinggal di sana pada musim panas dan musim panen, Nabi (SAW) pergi ke sana pada musim tersebut untuk mengunjunginya. Beberapa saat setelah beliau tinggal ditempat tersebut, maka beliau pada bulan Dzulhijjah tahun delapan Hijrah melahirkan anak Rasulullah (SAW) yang diberi nama Ibrahim.
Perhatian Ahlul Bait (a.s) terhadap Maria
Ali bin Abi Tholib (a.s) dan Fataimah Az-Zahra (a.s) memberi perhatian khusus terhadap Maria. Dikatakan saat Ibrahim lahir Ali (a.s) menjadi sangat senang. Beliau selalu mendukung Maria, dan beliau sendiri menangani masalah-masalahnya. Beliau memiliki perhatian khusus terhadap Maria.
Akhlaq Mulia Maria
Maria adalah seorang wanita yang berbudi luhur, taat beragama, dan sopan. Beliau banyak disanjung oleh Nabi (SAW), juga dinilai oleh para sejarawan bahwa beliau adalah sosok religius. Nabi (SAW), dalam mengungkapkan cintanya terhadap beliau mengatakan:
"Ketika Anda nanti menaklukkan Mesir, tolong perlakukan mereka dengan baik, karena saya adalah menantu mereka”
Hidup Maria setelah Wafatnya Nabi Muhammad (SAW)
Setelah wafatnya Nabi Muhammad (SAW), Abu Bakar memberikan tunjangan pensiun bagi beliau dan pembayaran ini dilanjutkan sampai masa Khalifah kedua.
Wafatnya Maria
Pada akhirnya, beliau meninggal selama masa khalifah kedua pada bulan Muharram tahun ke enam belam Hijriyah. Umar bin Khattab menyuruh masyarakat untuk memakamkan beliau dan berdoa untuknya. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.
Ditulis oleh: Sheila Maaleki Dizaji
Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?
apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?
Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?
Salah satu fitnah yang dilancarkan musuh-musuh Syiah terhadap mazhab Islam ini adalah bahwa Syiah telah mengkafirkan para sahabat. Apakah benar Syiah mengkafirkan semua sahabat ataukah sebagian saja? Apa arti pengkafiran, apakah sama dengan kekafiran kaum non muslim atau sekedar kritisi karena kesalahan yang dilakukankan sebagian sahabat? Tentu, dalam menjawab semua itu perlu tulisan tersendiri, namun di sini kita akan membahas definisi sahabat menurut ulama Ahlusunnah sendiri.
Untuk mempersingkat kajian, kita akan lihat sebagai contoh definisi sahabat dari dua ulama Ahlusunnah di bawah ini;
Dalam kitab Bukhari disebutkan, ada satu bab yang menjelaskan tentang; “Keutamaan para sahabat Nabi dan orang yan menemani Nabi atau orang muslim yang pernah melihatnya maka ia disebut sahabat beliau” (Bab Fadhoil Ashaab an-Nabi wa man Sohaba an-Nabi aw Ra’ahu min al-Muslimin fa Huwa min Ashabihi). (Sahih Bukhari 3/1335)
Atau dalam Syarh Muslim oleh Imam an-Nawawi dimana beliau mengatakan; “Yang benar menurut mayoritas adalah bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi walau sesaat maka ia tergolong sahabat beliau” (As-Sohih al-Ladzi Alaihi al-Jumhuur anna Kulla Muslim Ra’a an-Nabi wa lau Sa’ah fa Huwa min Ashabihi). (Syarh muslim oleh Imam an-Nawawi 16/85)
Dan masih banyak ulama Ahlusunnah lain yang kurang lebih batasan sahabat menurut mereka sangat longgar, bahkan –dengan istilah ilmu mantiq (logika)- definisi mereka kurangjami’ dan tidak mani’ sehingga ‘muslim fasiq’ atau ‘munafiq’ pun akan bisa masuk kategori sahabat Nabi. Kita lihat bagaimana al-Quran membagi sahabat Nabi menjadi tiga golongan yang berbeda-beda: “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiridan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (al-Fathir: 32).
Tentu, jika kita teliti dari obyek tadi maka orang-orang yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi yang biasa disebut dengan sahabat. Adapun yang dimaksud dengan “ada yang menganiaya (baca: zalim) diri mereka sendiri” adalah orang fasik yang melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan Allah.
Dikarenakan penggunaan kata sahabat sangat umum maka dalam al-Quran pun sering dinyatakan bahwa, walau manusia durjana dan pendurhaka (kafir Quraisy) pun dimasukkan katagori sahabat seorang yang mulia (seperti Rasulullah). Sebagai contoh:
“Kawan (Shohib) kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru” (QS an-Najm: 2)
“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman (shohib) mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila…” (QS al-A’raf: 184)
Dan atas dasar itulah (ketidakjelasan definisi) maka Nabi pernah bersabda berkaitan denan sebagian kaum muslimin yang sezaman dengannya yang masuk kategori sahabat beliau dengan ungkapan: “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (inna fi Ashabi Itsna Asyara Munafiqan). (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779)
Apakah definisi di atas tadi mencakup para manusia muslim yang baik pada zaman Rasul saja, atau juga mencakup yang penzalim yang hidup di zaman Nabi juga?
Apakah dalam ajaran Islam mengkritisi manusia penzalim hanya berlaku pada zaman tertentu saja, atau mencakup setiap zaman, termasuk kaum muslim penzalim zaman Rasul juga? Jika saudara dari Ahlusunnah berpendapat hanya pada zaman dimana kita hidup sekarang saja maka, dari sekarang kita gak usah menjadikan al-Quran sebagai pegangan karena al-Quran telah menyinggung kaum ‘muslim munafik’ zaman Rasul juga yang jika kita kembalikan kepada definisi di atas tadi maka muslim munafik tadi masuk kategori sahabat Nabi.
Bukankah seruan yang mengatakan “Setiap fenomena yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam” (Kullu Maa Jara Baina as- Sohabah Naskutu) -yang terkenal dalam ajaran Ahlusunnah- akan menyebabkan terjadi kerancuan dalam berpikir dan bertindak, akibat paradoksi dalam tindakan dan prilaku sebagian sahabat berkaitan dengan selainnya. Karena seringnya diantara mereka –sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah- terjadi saling dengki, saling caci-maki, saling laknat, saling ghibah, saling menuduh (fitnah), dan bahkan saling bunuh. Bukankah itu semua dilarang dalam Islam?
Mungkin sebagian dari kita beralasan bahwa para sahabat SEMUA adalah pelaku ijtihad (mujtahid).
Apakah mungkin ruang lingkup ijtihad para sahabat tanpa batas sehingga hatta yang bertentangan atau bahkan melanggar batas kejelasan hukum Islam pun diperbolehkan? Dengan kata lain, apakah konsep ijtihad di Ahlusunnah istilah “ijtihad fi muqobil an-Nash” (ijtihad yang bertentangan dengan kejelasan teks agama) diperbolehkan?
Hukum ijtihad mujtahid mana yang membolehkan membunuh seorang mujtahid (sahabat) lain seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Amar bin Yasir, berzina dengan istri orang sebagaimana yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap istri sahabat Malik bin Nuwairah, meminum minuman keras sebagaimana yang dilakukan Walid bin Utbah, melakukan kebohongan atas nama Rasul sebagaimana yang dilakukan Abu Hurairah sehingga membuat sahabat Umar, sahabat Ali dan Ummulmukminin Aisyah marah, dan perbuatan keji lain yang jelas dilarang oleh ajaran Islam?
Kalaupun kita terpaksa harus menerima bahwa mereka berijtihad, kenapa kita yang hidup sekarang ini tidak boleh melakukan dan mencontoh ijtihad mereka dalam perbuatan ‘bejat’ tadi? Apakah penyebab mereka kebal hukum –atas setiap pelanggaran- dan kebal kritisi –dari umat yang datang setelahnya- hanya karena takdir Allah yang karena mereka telah tercipta (baca: terlahir) di masa hidup Rasul sehingga mendapat gelar Sahabat Rasul, walau hanya karena melihat beliau selintas saja?
Apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?
Jika saudara masih tetap bersikeras untuk mengatakan yang mereka yakini itu –bahwa semua sahabat Nabi adalah baik, mujtahid dan layak diikuti kita juga harus kembali menyinggung ke kajian Teology, terkhusus tentang konsep Keadilan Ilahi yang diawali dengan pertanyaan; Benarkah Allah Maha Adil? Benarkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’ telah terlahir di zaman Rasul sedang ia telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu nan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?. (isw)
Imam Ali Adalah Barometer Keimanan
Dalam sabdanya yang sangat masyhur, Nabi saw menegaskan bahwa “Tidak mencintai Ali kecuali orang mukmin dan tidak membencinya kecuali orang munafik.”. Ini adalah sebuah ketetapan dan janji Rasulullah saw.
Hadis tentangnya telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi saw. melalui para sahabat ra., tiada keraguan brang sedikitpun dalam kesahihannya. Ibnu Abi al Hadid al Mu’tazili dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menegaskan, “Dan telah sepakat berita-berita (hadis) sahih yang tiada keraguan padanya di kalnagn para muhaddisin bahwa Nabi saw. bersabda kepada Ali, “Tiada membencimu keculai munafik dan tiada mencintaimu kecuali mukmin.”[1]
Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus-nya telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Demikian juga para ulama lain, mereka meriwayatkannya dengan berbagai jalur.
Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus.
Hadis Imam Ali dengan Riwayat al A’msasy dari Adi ibn Tsâbit
Seperti telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Ia meriwayatkannya dari Imam Ali as. melalui jalur A’masy dari Adi ibn Tsabit, dan darinya hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak tokoh hadis penting, diantaranya:
- Sufyan ats Taswri.
- Abdunûr ibn Abdullah ibn Sinân.
- Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid.
- Ibnu Numair.
- Wakî’.
Di bawah ini akan saya sebutkan jalur-jaluiar riwayat itu.
1) Dengan sanad bersambung kepada ats Tsawri dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik. [2]
2) Dengan sanad bersambung kepada Abdunnûr ibn Abdillah ibn Sinân dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali berkata:
عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.
“Rasulullah saw telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”
3) Dengan sanad bersambung kepada Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali as., ia (Zirr) berkata, “Aku mendengar Ali as. Berpidato di hadapan manusia, ia bertahmid dan memuji Allah, kemudian berkata:
عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
“Rasulullah saw. telah menetapkan untukku, “Tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”
4) Dengan sanad bersambung kepada Ibnu Numair, ia berkata, ‘telah mengabarkan kepada A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:
وَ اللهِ إنَّهُ مِمَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ (صلى الله عليه و آله و سلَّمَ أّنَّهُ لاَ يُحِبُّني إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
“Demi Allah sesungguhnya termasuk yang ditetapkan Rasulullah saw. untukku, “Sesungguhnya tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”
5) Dengan tiga belas sanad beragam yang bersambung kepada Wakî’ ibn al Jarrâh dari A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali, ia berkata:
عَهِد إلَيَّ النبي (ص) أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.
“Nabi saw. telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”
Baca Juga Ali Sahabat Paling Utama
6) Dengan sanad bersambung kepada al Husain ibn Muhammad ibn ash Shabâh az Za’farâni, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.
7) Dengan sanad bersambung kepada Ahmad ibn Abdil Jabbâr, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.
Dengan dua sanad bersambung kepada Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ [الأُمِّيْ] أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.
9) Dengan sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud (al KHuraibi), ia berkata, Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ وَ تَرَدّى بالعَظَمَةِ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa serta menyandang ke maha agungan, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.
10) Dengan tiga sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud dari Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Bahwa Ali berkata:
فِيْما اَسَرَّ إلَيَّ رسولُ اللهِ (ص) أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
Termasuk yang dibisikkan Rasulullah saw. Kepadaku ialah bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.
11) Dengan sanad bersambung kepada Abu Khaitsamah ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ رسولِ الله إلَيَّ أنَهُ : أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Rasulullah saw. Bahwa “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”
12) Dengan sanad bersambung kepada Muhammad ibn Yusuf ibn ath Thibâ’ ibn Bakr, ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ إلَيَّ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَ إلا مُنافِقُ.
Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi saw. kepadaku bahwa “Tiada mencintaimu kecuali mukmin dan tiada membencimu kecuali munafik. Inilah dua belas jalur periwayatan hadis tersebut, dan sengaja kami cukupkan dengan dua belas dulu untuk mengambil berkah dari jumlah imam-imam suci dari Ahlulbait Nabi saw.. selain apa yang kami sebutkan di atas masih banyak jalur-jalur lain.
Catatan Kaki
- Syarah Nahul Balaghah,4/63 pada keterangan mutiara hikmah ke 57.
- Sumber Hadis: Selain Ibnu ‘Asakir, hadis ini juga telah diriwayatkan para muhaddis kenamaan seperti:1)Imam Muslim dalam Shahihnya 2)An Nasa’i dalam Sunannya dengan dua jalur dan dalam Khashâishnya dengan tiga jalur: hadis 95,96 dan 97, yang semuanya sahih berdasarkan komentar Abu Ishaq al Hawaini (korektor kitab Khashâish).3)Turmudzi dalam Sunannya, Manâqibu Ali, bab 95 (Tuhfatu al Ahwadzi,10/239-230) dan ia berkata, :Hadis ini hasan sahih.”4)Ibnu Mâjah dalam Shahihnya,bab fadhlu ali ibn Abi Thalib ra.,1/42, hadis114. Ia hadis ertama dalam bab itu.5)Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab Sunnahnya,2/598.6)Abu Nu’aim dalam Hilyatu al Awliyâ’,4/185 dari tiga jalur dari Adiy ibn Tsâbit dari Zirr, kemudian ia berkata, “Hadis ini muttafaqun ‘alaih (disepakati kesahihannya)”. Setelahnya ia menyebutkan banyak ulama yang meriwayatkan dari Adiy.7)Al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al ‘Umâlnya,6/394 dan ia berkata, “hadis ini telah dikeluarkan oleh Al Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Al Adani, At Turmudzi, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, Abu Nu’aim dan Ibnu Abi ‘Âshim.
Ayatullah Sayyid Ali Khamanei: Kebisuan Atas Tragedi Mina, Bencana Besar Umat Islam
Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Rabu (7/9) dalam pertemuan dengan keluarga-keluarga syuhada tragedi Mina dan Masjid Al Haram, menilai kelalaian dan ketidakmampuan rezim Al Saud dalam menangani insiden tersebut, sebagai bukti tambahan atas ketidaklayakan dari “Pohon kebengisan yang terlaknat” ini dalam mengatur dan mengelola Haramain Syarifain (Mekah dan Madinah).
Rahbar menyinggung kesyahidan sekitar 7000 jemaah haji dalam tragedi Mina dan menyampaikan protes keras kepada pemerintah Arab Saudi, “Kenapa negara-negara dunia tidak menunjukkan reaksinya atas peristiwa besar dan menyedihkan ini ?.”
Ia menyebut diamnya negara-negara bahkan ulama, aktivis politik, intelektual dan tokoh-tokoh Dunia Islam menyaksikan gugurnya 7000 jemaah haji tidak berdosa sebagai “Bencana besar Umat Islam”.
“Tidak sensitif atas masalah-masalah seperti tragedi besar dan menyedihkan di Mina adalah musibah terbesar Dunia Islam,” ujar Rahbar.
Ayatullah Khamenei menganggap penolakan penguasa Saudi untuk meminta maaf secara lisan, sebagai puncak dari keburukan dan hilangnya rasa malu mereka.
“Bahkan jika dilakukan tanpa sengaja sekalipun, semua kalalaian dan ketikdabecusan ini adalah kejahatan bagi sebuah pemerintahan,” imbuhnya.
Rahbar menyebut diamnya para pengklaim hak asasi manusia sebagai sisi buruk lain tragedi Mina. Ia juga menyinggung kegaduhan politik dan propaganda lembaga-lembaga pengklaim pembela HAM terkait pelaksanaan hukuman pengadilan di beberapa negara.
Rahbar menuturkan, kebisuan di hadapan kelalaian sebuah pemerintahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya dan tewasnya 7000 manusia tertindas dan tidak berdosa, semakin memperjelas wajah asli para pengklaim HAM dunia, dan siapapun yang berharap pada lembaga-lembaga internasional, harus mau menerima realtias pahit ini.
Menurut Ayatullah Khamenei, pembentukan sebuah tim pencari fakta, termasuk pekerjaan wajib dan darurat bagi negara-negara Muslim, serta para pengklaim HAM.
Ia menerangkan, setelah berlalu setahun sejak terjadinya tragedi Mina, pemeriksaan bukti-bukti visual, audio dan dokumen-dokumen tertulis, telah banyak membantu memperjelas realitas.
Rahbar juga menganggap para pendukung rezim Al Saud sebagai sekutu kejahatan-kejahatan rezim itu dalam tragedi Mina.
“Rezim Saudi dengan dukungan Amerika Serikat, terang-terangan berdiri melawan Muslimin dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa di Yaman, Suriah, Irak dan Bahrain, oleh karena itu Amerika dan para pendukung Riyadh lainnya, punya andil besar dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan Saudi.