
کمالوندی
Hari Arafah Menurut Para Imam Ahlulbayt As
Rasulullah Saw bersabda;
“Barang siapa menjaga pendengaran dan lisannya di hari Arafah, maka Allah akan menjaganya dari Arafah ke Arafah berikutnya”.
Imam Ali as berkata;
“Kalian tahu ketika jamaah haji sudah berihram, mengapa mereka pergi ke Arafah dan kemudian kembali lagi ke Ka’bah untuk tawaf?
Ini dilakukan karena Arafah telah keluar dari batas haram, dan jika seseorang ingin menjadi tamu Allah, ia pertama kali harus keluar dari gerbang batas dan bermunajat sedemikian rupa sehingga ia layak untuk memasuki wilayah haram.”
Imam Ali Zainal Abidin as dalam Sahifah Sajjadiyah berkata;
“Ya Tuhanku! Ini adalah hari Arafah, sebuah hari di mana Engkau memberikan kemuliaan dan keagungan kepada mereka.
Pada hari ini, Engkau membuka lebar-lebar pintu rahmat dan pengampunan untuk hamba-Mu dan Engkau mencurahkan pemberian sebesar-besarnya dan Engkau mengutamakan mereka karena hari ini.”
Imam Jakfar Shadiq as berkata;
“Jika seorang pendosa belum memperoleh rahmat dan pengampunan Allah pada malam-malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan, dan khususnya di malam-malam Qadar, maka ia tidak akan terampuni sampai tahun depan kecuali ia memahami Arafah dan memanfaatkan keutamaan-keutamaannya.”
Imam Ali Zainal Abidin as berkata;
“Ketika kalian memasuki Arafah pada hari kesembilan dan saat kalian tiba di sebuah padang yang luas, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanah kesaksian, makrifat, dan irfan.
Ia tahu siapa saja yang melangkahkan kakinya di tanah itu dan dengan motivasi apa mereka datang dan juga dengan niat apa mereka kembali.
Allah menjadikan daerah itu sebagai saksi atas perbuatan kalian, di mana ia mengetahui dengan baik apa yang kalian lakukan.”
Imam Jafar Shadiq as berkata;
“Pada hari Arafah, barang siapa yang menunaikan shalat dua rakaat di tempat terbuka sebelum mengikuti acara doa Arafah dan mengakui semua dosa-dosanya di hadapan Allah dan tulus memohon ampunannya, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala yang diberikan kepada penduduk Arafah dan menghapus semua dosa-dosanya.”
Rasulullah Saw bersabda;
“Orang yang paling berdosa di Arafah adalah individu yang kembali dari sana, sementara ia merasa dirinya tidak akan pernah terampuni.”
Jeritan dan Tangisan Al-Husein as di Arafah;
“Akulah wahai Tuhanku yang mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat kejelekan, akulah yang bersalah, akulah yang menginginkan (maksiat), akulah yang bodoh, akulah yang lalai, akulah yang lupa, akulah yang bersandar (pada-Mu), akulah yang sengaja (berbuat dosa), akulah yang berjanji dan akulah yang mengingkari, akulah yang merusak, akulah yang menetapkan, akulah yang mengakui akan nikmat-Mu atasku, namun aku menghadap-Mu dengan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku.”
Dua Belas Imam Berdasar Wasiat Nabi Muhammad Saw
Melalui Alquran, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang beriman agar berwasiat kepada keluarga terdekatnya, sebagaimana dalam dua ayat di bawah ini:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah [2]: 180)
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama de-ngan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: ”(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sum-pah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami me-nyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.(QS. Al-Mâidah [5]: 106)
Dalam dua ayat tersebut, pesan Alquran adalah kewajiban untuk memberikan wasiat sebelum wafat, dan Nabi mengetahui bahwa beliau akan wafat. Jika ayat tersebut hanya dibatasi wasiat atas warisan harta, maka Nabi Saw tidak mungkin mengabaikan urusan yang lebih penting dari sekadar harta, yaitu kepemimpinan yang bersifat spiritual dan ukhrawi. Tentu Nabi Saw lebih memahami bahwa urusan kepemimpinan sangat penting untuk diwasiatkan kepada umatnya sebagai pelanjut pemegang kendali syari’ah.
Adanya perbedaan pendapat terkait jumlah para Imam justru menjadikannya sebagai bukti adanya wasiat Nabi Saw kepada imam setelah Nabi, terlepas berapa pun jumlahnya.
Boleh jadi setiap orang/golongan akan mengklaim kebenaran atas jumlah imam seperti yang telah mereka yakini, namun klaim hanya akan dikatakan benar, manakala didukung oleh segepok dalil, riwayat dan hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Saw, sehingga dapat dikatakan bahwa golongan itulah yang benar dan diakui.
Ketiga, perlu kita ketahui bahwa riwayat adanya 12 imam/khalifah setelah Rasulullah Saw tertera dengan jelas di dalam kitab-kitab ulama muslimin, di antaranya;
Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Sahîh-nya
Jabir bin Samurah berkata, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Agama Islam ini akan tetap mulia sampai (berlalu) dua belas khalifah.” Jabir berkata, ‘Rasulullah kemudian mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Aku pun bertanya kepada ayahku apa yang beliau ucapkan?’ Dia berkata,‘Mereka semua (khalifah) itu dari Quraisy.’”
Ref: Imam Muslim bin Al-Hajjaj, op.cit., hal 925-6, hadis 4598 dan yang senada dengannya hingga hadis 4604.
Selain riwayat di atas, hadis dua belas khalifah/amir juga tercantum di dalam beberapa kitab berikut:
Imam Bukhari dalam Shahîh–nya meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir bin Samurah, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan ada dua belas amir.’ Maka beliau menyebutkan kata yang aku tidak mendengarnya, ayahku berkata, Rasulullah bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’ [Imam Al-Bukhâri,Shahîh Al-Bukhârî, h. 1812, hadis 7223-3, kitab Al-Ahkâm, bab sebelum Ikhrâj Al-Khushum, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2000 M, 1420 H]
Imam Muslim bin Al-Hajjaj meriwayatkan beberapa hadis lain tentang dua belas khalifah, yaitu;
Jabir bin Samurah dengan sanad berbeda berkata, “Aku dan ayahku datang kepada Nabi Saw dan mendengarnya bersabda, ‘Urusan umat ini tidak berlalu selama mereka dipimpin dua belas orang.’Kemudian beliau berbicara perlahan kepadaku. Aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang Rasulullah Saw katakan?’Beliau bersabda, ‘Semuanya berasal dari Quraisy.’ [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4599]
Jabir bin Abdullah dengan sanad berbeda berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Islam senantiasa mulia hingga dua belas khalifah.’ Kemudian beliau mengucapkan kata yang tidak aku pahami. Maka aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan?’ Beliau bersabda, ‘Mereka semua berasal dari Quraisy.’” [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4601]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855 M), Abu Ya’la Al-Maushili (w. 307/919 M) dan Al-Hakim (w. 405/1015 M) meriwayatkan hadis dengan matan dan sanad yang sama perihal dua belas khalifah, dari Masruq, ia berkata, “Kami pernah berkumpul bersama Abdullah bin Mas’ud dan ia membacakan kami Alquran. Seseorang bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, apakah kalian bertanya kepada Rasulullah Saw tentang jumlah khalifah umat ini?’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidak seorang pun sebelum kamu bertanya kepadaku perihal itu sejak aku datang ke Irak.’Kemudian berkata, ‘Ya, sungguh kami menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda,‘Dua belas sejumlah pemimpin(nuqaba’) Bani Israil.’”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 6, h. 321, hadis 3781, dan h. 406, hadis 3859, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, cet. 1, 1996 M (1416 H). Ahmad bin Ali Al-Tamimi, Musnad Abî Ya’lâ Al-Maushili, j. 8, h. 444, hadis 5031, dan j. 9, h. 222, hadis 5322, Dar Al-Ma’mun li Al-Turats, Damaskus, Suriah, cet. 1, 1986 M (1406 H). Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, j. 4, h. 546, hadis 8529, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H).
Imam Ahmad meriwayatkan hadis berasal dari Jabir bin Samurah tentang dua belas khalifah/amir dengan berbagai redaksi dan sanad hingga mencapai tiga puluh dua hadis:
Pertama, tiga buah hadis dengan redaksi (لا يزال الإسلام عزيزا إلى اثنيعشر خليفة كلهم من قريش) “Islam senantiasa mulia sampai datang dua belas khalifah” “Mereka semua dari Qurasiy”.
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 427 hadis 20838, h. 482-3 hadis 20951, h. 518-9 hadis 21020
Kedua, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة، أو يكون عليكم اثنا عشر خليفة كلهم من قريش )“Agama ini senantiasa tegak sehingga hari Kiamat, atau datang dua belas khalifah dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 421 hadis 20830
Ketiga, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى يكون اثنا عشر خليفة من قريش) “Agama ini senantiasa tegak sehingga dua belas khalifah dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 401 hadis 20805
Keempat, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر صالحا حتى يكون اثنا عشر أميرا) “Urusan ini senantiasa baik sehingga dua belas amir”.
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 468 hadis 20922, h. 525 hadis 21039
Kelima, lima buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر عزيزا منيعا حتى يملك اثنا عشر (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa mulia dan kuat sehingga dipangku dua belas. Mereka semua dari Quraisy.”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449 hadis 20880, h. 471 hadis 20926, h. 472 hadis 20927, h. 476 hadis 20937, dan h. 490 hadis 20966
Keenam, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر ماضيا حتى يقدم اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa berlalu sehingga datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 469 hadis 20923, dan h. 487 hadis 20962
Ketujuh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر موائما حتى يقوم اثنا عشرخليفة) “Urusan ini senantiasa selaras sehingga tampil dua belas khalifah.”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 523 hadis 21033
Kedelapan, dua hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا إلى اثني عشر خليفة) “Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449, hadis 20879 dan h. 469 hadis 20924
Kesembilan, lima hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين ظاهرا على من ناواه، لا يضره مخالف ولا مفارق، حتى يمضي من أمتي اثنا عشر أميرا كلهم (كلهم من قريش)) “Agama ini senantiasa menang atas penentangnya, tidak ada perpecahan dan perbedaan sehingga berlalu dua belas amir. Mereka semua… Mereka semua dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 409 hadis 20814, h. 413 hadis 20817, h. 429 hadis 20841, h. 461 hadis 20905 dan 20906. Bandingkan dengan h. 476 hadis 20938 yang terputus redaksi dua belas khalifah/amirnya
Kesepuluh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا منيعا ينصرون على من ناواهم عليه إلى اثني عشر خليفة)“Agama ini senantiasa mulia dan kuat menang atas penentang mereka sampai dua belas khalifah”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 477, hadis 20939
Kesebelas, tiga buah hadis dengan redaksi (يكون اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 426 hadis 20836, h. 445 hadis 20872, dan h. 456 hadis 20896
Keduabelas, empat buah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang setelah aku dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”.
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 440 hadis 20862, h. 454 hadis 20889, h. 477-8 hadis 20941, h. 529 hadis 21050
Ketigabelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر خليفة، كلهم من قريش) “Akan datang setelah aku dua belas khalifah. Mereka semua dari Quraisy”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 439-40 hadis 20860
Keempatbelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون لهذه الأمة اثنا عشر خليفة) “Akan datang atas umat ini dua belas khalifah.”
Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 515 hadis 21013
Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan dan menyahihkan hadis dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan datang setelah aku dua belas amir.’ Kemudian beliau berbicara sesuatu yang tidak aku pahami, maka aku menanyakannya. Maka ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”
Ref: Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzi, h. 368, hadis 2223, kitab Al-Fitan, bab Ma Ja’a fi Al-Khilafah, Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 1999 M (1420 H)
Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275/888 M) meriwayatkan dua hadis dari Jabir bin Samurah. Pertama, dari Jabir bin Samurah. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa tegak sehingga berlaku atas kalian dua belas khilafah. Mereka semua mengayomi umat.’ Maka aku mendengar pembicaraan Nabi yang tidak aku pahami. Aku berkata kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan? Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’”; Kedua, dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah.’ Maka manusia bertakbir dan berteriak, kemudian beliau menyebut kata perlahan. Aku berkata kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, apa yang beliau katakan?’ Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”
Ref: Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, juz 6, h. 335-6, hadis 4279 dan 4280, kitab Al-Mahdi, Dar Al-Risalah Al-’Ilmiyyah, Damaskus, Suriah, 2009 M (1430 H).
Dari seluruh hadis di atas, maka ada tiga asumsi: asumsi pertama, pada saat Nabi Saw mengucapkan adanya dua belas khalifah yang akan menjadi Imam setelah beliau, mungkin tidak seorang sahabat pun bertanya siapa gerangan dua belas orang itu; asumsi kedua, mungkin para sahabat telah bertanya tentang siapa dua belas khalifah tersebut, namun Nabi Saw tidak memberikan jawabannya; asumsi ketiga, Rasulullah Saw telah menjelaskan setiap nama dua belas Imam tersebut.
Sebagian ulama Sunni sesungguhnya juga meyakini wasiat Nabi atas dua belas imam tersebut. Ibnu Taimiyah pernah mereka-reka siapa gerangan dua belas orang yang pernah dijanjikan oleh Nabi Saw,“Para khalifah itu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Lalu diangkatlah seseorang yang disepakati oleh manusia. Dia meraih kemuliaan, dan kekuasaan; dia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid anaknya, yang dilanjutkan Abdul Malik bin Marwan dan ke empat anaknya, di antaranya Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang kedelapan dari dua belas khalifah itu dari para pembesar bani Umayyah…. Dua belas khalifah itu telah disebutkan dalam Taurat dimana Nabi Ismail as telah memberikan kabar gembira tentang mereka, ‘Akan lahir dua belas pembesar.”
Ref: Ibnu Taimiyah, Minhâj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, juz 8, h. 238-241, cet. 1, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, 1986 M, 1406 H
Sementara itu, Muhammad bin Abdul Wahab dalam Kitab Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl Sawberkata,“Muawiyah bin Abi Sufyan meninggal dunia…dan mengangkat anaknya sebagai khalifah ….Sampai Yazid bin Walid bin Abdul Malik…dan sepeninggal dia berakhirlah kekhalifahan secara sempurna, dan umat tidak sepakat sepeninggalnya kepada satu imam sampai saat ini, dia adalah yang terakhir dari para khalifah dua belas yang telah disebutkan Nabi Saw dalam hadis sahih.”
Ref: Muhammad bin Abdul Wahab, Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl, h. 291-3, peristiwa tahun 60 H, tahkik Muhammad Al-Ali Al-Barrak, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Saudi Arabia, TT
Jika pada Buku Putih Mazhab Syiah disebutkan seorang Al-Qunduzi meriwayatkan nama-nama dua belas Imam, maka seorang muslim Ahlus Sunnah bermazhab Maliki juga merinci nama-nama tersebut di dalam kitabnya. Beliau adalah Ibnu Shabbagh Al-Maliki penulis Kitab Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah. Ia mengatakan, “Aku menyebutkan dalam kitab ini, beberapa bab-bab penting di dalam mengenal para imam, yang dimaksud imam di sini adalah dua belas Imam, yang diawali oleh Amirul Mukminin Ali Al-Murtadha, dan diakhiri oleh Al-Mahdi……..dan aku menyiapkan satu bab untuk masing-masing imam…..
(Bab Pertama) menyebutkan tentang lautan luas, gunung kokoh, saudara Rasul, sitri Al-Batul, pedang Allah yang maslul, penakluk batalion, sumber keajaiban, singa Bani Ghalib, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib kw.
(Bab Kedua) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan.
(Bab Ketiga) menyebutkan tentang saudaranya, Al-Husein.
(Bab Keempat) menyebutkan tentang putranya, Zainal Abidin Ali bin Al-Husein.
(Bab Kelima) menyebutkan tentang putranya Muhammad Al-Bagir.
(Bab Keenam) menyebutkan tentang putranya Ja’far Al-Shadiq.
(Bab Ketujuh) menyebutkan tentang putranya Musa Al-Kadzim.
(Bab Kedelapan) menyebutkan tentang putranya, Ali bin Musa Al-Ridha.
(Bab Kesembilan) menyebutkan tentang putranya, Muhammad bin Ali Al-Jawad.
(Bab Kesepuluh) menyebutkan tentang putranya, Abul Hasan Ali Al-Hadi.
(Bab Kesebelas) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan Al-’Askari.
(Bab Kedua belas) menyebutkan tentang putranya, Muhammad Al-Qaim Al-Mahdi.
Aku menamakannya “Al-Fushûl Al-Muhimmah fî Ma’rifah Al-Aimmah.”
Ref: Ibnu Shabbagh, Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Maliki Al-Makki, Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah, h. 17-18,
cet. 2, Majma’ Al-’Alami li Ahli Al-Bait, Beirut, Lebanon, 2011 M, 1432 H.
Bermazhab apakah Ibnu Shabbagh yang telah meriwayatkan nama-nama dua belas Imam tersebut?
Al-Sakhawi menyebutkan dalam Kitab Al-Dhau’ Al-Lâmi’, Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah Nur Al-Din Al-Asfaqasi Al-Ghazi Al-Ashl Al-Makki Al-Maliki, dikenal dengan Ibnu Shabbagh, lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 748 H. Dia menghafal Alquran juga risalah Fikih Imam Malik, dan menunjukkan keduanya kepada Syarif Al-Rahman Al-Fasi dan Abdul Wahhab bin Afif Al-Yafu’i juga Al-Jamal bin Zhahir….. dia mempunyai banyak karangan, di antaranya Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah……………..”
Ref: Al-Sakhawi, Syams Al-Din Muhammad bin Abdurrahman, Al-Dhau’ Al-Lâmi’ li Ahl Al-Qarn Al-Tâsi’, j. 5, h. 283, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT
Umar Ridha Kuhalah dalam Mu’jam Al-Muallifîn menyebutkan, “Ali bin Muhammad Ahmad (Nur Al-Din, Ibnu Shabbagh), seorang ahli fiqih Maliki berasal dari Safaqas dan wafat di Mekkah. Di antara tulisannya adalah Al-Fushûl Al-Muhimmah lima’rifah Al-Aimmah.”317
Ref: Umar Ridha Kuhalah, op.cit., j. 2, h. 492
Konsep Imamah Buatan Abdullah bin Saba’?
Jauh sebelum isu figur Abdullah bin Saba yang konon hidup semasa Khalifah Utsman, konsep imamah telah dikemukakan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai konsep Ilahiyah, Imamah ada dalam ayat Alquran yang terjaga kesuciannya. Pengangkatan pemimpin (imam) tersebut merupakan hak dan kewenangan Allah Swt. Hal itu nyata dijelaskan Alquran tentang kepemimpinan Ibrahim as dalam firman-Nya:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.’(QS. Al-Baqarah [2]:124)
Oleh karena itu, anggapan bahwa konsep Imamah tak lain adalah ciptaan Abdullah bin Saba’ telah bertentangan dengan Alquran.
Pertama, dalam ayat dikatakan Allah berjanji akan memberi gelar imam kepada keturunan Ibrahim as “ذريتي“ (keturunanku). Hal ini menunjukkan bahwa Imamah berkesinambungan sampai hari kiamat. Kata “جاعلك” menunjukkan “Ism fâ’il” (subyek/pelaku) yang fungsinya “istimrâriyyah” atau “berkesinambungan“. Maka, dari ayat ini kita meyakini bahwa bumi Allah tidak akan pernah kosong dari seorang Imam dari keturunan Ibrahim as.
Kedua, dalam beberapa hadis juga dapat kita temui untuk me-nguatkan konsep ilahiyah tersebut seperti, hadis pengangkatan Ali bin Abi Thalib di lembah bernama Ghadir Khum yang akan dibahas pada bab berikutnya secara terperinci.
Ketiga, adapun pengelompokan dan pembagian Syiah yang dilakukan oleh Al-Naubakhti – terlepas benar tidaknya – sama sekali tidak dapat menegasikan keberadaan nas pengangkatan para Imam setelah Rasulullah Saw. Sebagaimana keimanan atas para Nabi dan keberadaan Allah Swt dengan dalil yang sangat jelas (aksiomatik), maka dalil-dalil itu tidak mencegah orang-orang untuk tetap meragukan bahkan menolaknya.
Keempat, dengan mengemukanya isu Imamah justru menunjukkan fakta sejarah adanya konsep Imamah sejak masa awal Islam.
Siapa Abdullah bin Saba’?
Perlu diketahui bahwa di kalangan sejarawan dan ulama Syiah sendiri dalam menilai Abdullah bin Saba’ setidaknya ada dua pendapat:
Pendapat yang menganggap Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama Syiah kontemporer, seperti Allamah Murtadha Al-’Askari dalam dua karya monumentalnya,(1. Abdullah bin Saba’: Bahts haula Mâ Katabahu Al-Mu’arrikhûn wa Al-Mustasyriqûn Ibtidâ’an Min Al-Qarn Al-Tsâni Al-Hijri; 2. Abdullah bin Saba’ wa Asâthîr Al-Ukhrâ); dan 3. Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Tasyayyu’.
Pendapat yang mengakui keberadaan Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa dia seorang yang ghuluw ekstrem bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama Syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Isfahani, Al-Qummi, dan Al-Kassyi.
Kendati demikian, kedua pendapat tersebut memiliki keyakinan yang sama bahwa Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak terkait apa pun dengan keberadaan mazhab Syiah, baik sebagai pengikut apalagi sebagai pendiri mazhab Syiah.
Berikut adalah hadis yang dinukil dari Imam Al-Baqir serta sikap dan pernyataan beberapa Ulama Syiah terkait Abdullah bin Saba:
Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi meriwayatkan beberapa hadis perihal Abdullah bin Saba’ dalam kitabnya, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kassyi. Satu di antaranya ialah hadis dari Abu Ja’far, Imam Muhammad Al-Baqir, bahwa Abdullah bin Saba’ mengakui dirinya sebagai nabi dan menganggap Amirul Mukminin sebagai Tuhan yang maha tinggi. Maka sampailah kabar tersebut kepada Amirul Mukminin dan beliau memanggilnya dan menanyakannya. Dia (Ibnu Saba’) mengakuinya, “Ya, engkaulah Dia. Telah datang bisikan ke dalam hatiku bahwa engkau adalah Allah dan aku seorang nabi.” Amirul Mukminin berkata, ‘Celakalah engkau! Setan telah menghinakan engkau! Kembalilah kepada jalan yang benar! Ibumu akan kehilanganmu dan bertaubatlah!’ Namun ia tetap pada pendiriannya. Maka Amirul Mukminin memenjarakannya, menunggu ia bertaubat hingga tiga hari, namun ia tetap tak bertaubat. Maka Amirul Mukminin membakarnya dan berkata, ‘Sesungguhnya setan telah merasukinya, mendatanginya dan membisikkan hal itu kepadanya.’”(1)
Syaikh Al-Thusi berkata, “Abdullah bin Saba’ kembali kufur dan menampakkan sikap ekstrem (ghuluw).”(2)
Al-Hilliy memasukkan nama Abdullah bin Saba’ sebagai ghuluw dalam Kitâb Al-Rijâl.(3)
Al-Mamqaniy berkata, “Para sahabat Ali as berkata, Abdullah bin Saba’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata.” Dia juga berkata, ‘Abdullah bin Saba’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan dia sendiri adalah Nabi.’ (Tanqîh Al-Maqâl fi ‘Ilm Rijâl 2/183-184).
Shahib Al-Ma’alim, Syaikh Hasan bin Zain Al-Din menga-takan, “Abdullah bin Saba’ ekstrem terlaknat, Amirul Mukminin Ali membakarnya. Dia (Abdullah bin Saba’) menganggap Imam Ali sebagai Tuhan dan dia sendiri sebagai Nabi. Semoga Allah melaknatnya.”(4)
Al-Mazandarani berkata, “Abdullah bin Saba’ lebih layak dikutuk daripada disebut namanya.”(5)
Sayyid Al-Burujerdi berkata, “Abdullah bin Saba’ adalah ghulat dan terkutuk, Ali bin Abi Thalib telah membakarnya, Abdullah bin Saba’ meyakini bahwa Ali adalah tuhan dan dia sendiri (Abdullah bin Saba’) adalah nabi, maka laknat Allah baginya. Dia kembali menjadi kufur dan menampakkan sikap ekstrem.”(6)
Selain itu, masih banyak lagi pernyataan para ulama Syiah atas kekafiran Abdullah bin Saba’. Sikap tegas para ulama di atas menjadi bukti betapa Abdullah bin Saba’ adalah seorang durjana yang semua keyakinannya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip utama dalam mazhab Syiah dan Islam itu sendiri.
Catatan Kaki
1. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kissyî, h. 102-103, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1427 H.
2. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Rijâl Al-Thûsî, h. 75, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1373 H.
3. Al-Hilly, Taqiy Al-Din Al-Hasan bin Ali bin Daud, Kitâb Al-Rijâl, h. 295, Syarif Radhi, Qom, Iran, 1392 H.
4. Al-Syaikh Hasan bin Zain Al-Din Shahib Al-Ma’alim, Al-Tahrîr Al-Thâwûsî, h. 246, cet. 1, Penerbit Sayyid Al-Syuhada, Qum, Iran, 1411 H.
5. Al-Mazandarani, Muhammad bin Ismail, Muntahâ Al-Maqâl fî Ahwâl Al-Rijâl, h. 186, cet. 1, Muassasah Alu Al-Bait, Qom, Iran, 1416 H.
6. Al-Sayyid Ali Ashgar bin Al-Sayyid Muhammad Syafi’ Al-Burujerdi, Zharâif Al-Maqâl fî Ma’rifah Al-Rijâl, j. 2, h. 96, Maktabah Ayatullah Al-’Uzhma Al-Mar’asyi, Qom, Iran, 1410 H.
Masa Minimal Kehamilan Menurut Imam Ali As
Buku-buku tafsir seperti Durul Mantsur, tafsir Fakhrurrozi dan yang lainnya pernah mengangkat satu kejadian tentang “mengumpulkan dua ayat”. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi di zaman pemerintahan Umar dan sebagian lagi menyebut di zaman pemerintahan Ustman.
Dikisahkan ada seorang suami yang mengadukan istrinya pada khalifah di zaman itu. Ia mencurigai istrinya telah berbuat serong karena melahirkan anak sebelum waktunya. Ia baru menikahinya selama 6 bulan sementara istrinya sudah melahirkan.
Akhirnya diputuskan hukuman rajam oleh pemerintahan saat itu. Namun ada seorang sahabat yang melaporkan kejadian ini kepada Ali bin Abi thalib.
Beliau segera datang ke lokasi dan berkata, “Bukankah Allah Berfirman dalam Al-Qur’an
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً
“Dan Kami Perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (QS.Al-Ahqaf:15)
Kemudian dalam ayat lain, Allah Berfirman
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.” (QS.Al-Baqarah:233)
Pada ayat pertama, Allah Menyebut waktu mengandung hingga menyapih (mengakhiri masa menyusui) adalah 30 bulan. Lalu pada ayat kedua, Allah Mengajarkan waktu menyusui adalah 2 tahun penuh, yaitu 24 bulan. Maka 30 dikurangi 24 adalah 6 bulan. Maka menurut hukum Al-Qur’an, wanita itu sudah memasuki waktu untuk melahirkan.”
Akhirnya, sebagian riwayat menyebutkan wanita itu selamat dari hukumannya. Sementara riwayat yang lain menyebutkan bahwa ia sudah terlanjur dirajam dan meninggal dunia.
Semoga kisah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita tentang rahasia-rahasia dibalik ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Imamah Merupakan Kelembutan (Luthf) Allah
Imamah merupakan kelembutan (luthf) yang menarik umat manusia menuju ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri mereka dari kedurhakaan kepada-Nya, tanpa memaksa mereka dengan cara apapun. Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu padahal Dia mengetahui bahwa mereka tidak bisa melakukannya atau sangatlah sulit bagi mereka untuk melakukannya tanpa bantuan-Nya, maka seandainya Allah SWT tidak memberikan pertolongan-Nya, niscaya Dia menentang tujuan-Nya sendiri. Secara gamblang, pengabaian seperti ini buruk munurut akal. Karena itu, lutbf merupakan salah satu karakter Allah, dan Dia disucikan / dimuliakan dari kekurangan sifat semacam itu. Nyatanya, Quran suci menyatakan, Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya… (QS. asy-Syura : 19).
Dan, dalam ayat-ayat lain Yang Maha Kuasa menggunakan kata Maha Lembut (luthf) dalam kitab-Nya. Lihat misalnya, al-An’am :103; Yusuf: 100; al-Hajj : 63; Luqman :16; al-Ahzab : 34; asy-Syura : 19; al-Mulk : 14, dan seterusnya.
Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawakan perintah-perintah baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka adalah para pemberi peringatan sebagaimana yang Quran katakan. Bagaimanapun, sebagian dari para Rasul adalah juga para imam. Para penerus utusan Allah terakhir (Muhammad) bukan para Rasul/Nabi, dan karena itu mereka tidak membawa risalah baru apapun ataupun mereka menunda setiap peraturan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Mereka hanya berperan sebagai pembimbing dan penjaga agama. Misi mereka adalah untuk menjelaskan, mengelaborasi syariah (hukum Allah) kepada umat manusia. Mereka menjabarkan perkara-perkara yang membingungkan dan kejadiankejadian yang mungkin terjadi di setiap kurun. Mereka pun hanyalah orang-orang yang memiliki pengetahuan penuh akan Quran dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW setelahnya, dan karena itu, mereka satu-satunya orang-orang yang memiliki kualifikasi yang bisa menafsirkan ayat-ayat Quran suci dengan benar dan menguraikan pengertiannya, sebagaimana disebutkan dalam Quran itu sendiri (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya : 7).
Imamah merupakan nikmat besar dari Allah SWT, karena ketika umat manusia mempunyai seorang pemimpin saleh dan bertakwa yang memandu mereka, mereka bisa lebih dekat kepada kebajikan dam jauh dari penyimpangan dan penyelewengan dalam masalah agama. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan juga merupakan pribadi yang paling bertanggung untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat yang bisa memelihara keadilan dan memberangus penindasan. Sudah barang tentu, manusia telahdiberi kebebasan kehendak dan bisa menolak imam, namun mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu, sebagaimana halnya dalam kasus Nabi. Namun demikian, imam akan tetap sebagai bukti Allah(hujjatullah) di muka bumi dan sebagai pemimpin spiritual bagi orang-orang yang beriman di antara manusia yang mendapatkan manfaat dari bimbingannya.
Superioritas dan Kemaksuman Imam
Umat Syi’ah percaya bahwa seperti halnya para Nabi, seorang imam yang ditunjuk Tuhan harus mengungguli masyarakat dalam semua kebajikan, seperti dalam pengetahuan, keberanian, kesalehan, dan harus mempunyai pengetahuan yang penuh akan hukum ilahi. Apabila tidak demikian, dan Allah SWT mengamanatkan kedudukan tinggi ini kepada seorang pribadi yang kurang sempurna ketika ada seorang pribadi yang lebih sempurna, maka secara rasional itu salah dan bertentangan dengan keadilan ilahi. Oleh sebab itu, tak ada orang yang lebih rendah bisa menerima Imamah dari Allah SWT ketika ada orang yang lebih unggul daripadanya.
Andaikata seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan tidak maksum, niscaya ia harus bertanggung jawab kepada kesalahan-kesalahan dan menyesatkan orang lain juga. Dalam kasus seperti itu, tak ada kepercayaan yang implisit yang bisa digantikan dalam ucapan-ucapan /perintah-perintah/perbuatan-perbuatan. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat, dan orang-orang diharapkan untuk mengikutinya dalam setiap masalah.
Sekarang apabila ia melakukan sebuah dosa, niscaya orang-orang akan terikat mengikutinya dalam dosa itu juga, karena kebodohan mereka tentang apakah perbuatan itu termasuk dosa ataukah tidak (ingat asumsi bahwa imam adalah paling berpengetahuan dalam komunitas ini). Situasi seperti ini tidak bisa diterima oleh kemahalembutan Allah SWT karena ketaatan dalam dosa merupakan kejahatan, tidak sah, dan terlarang. Selain itu ia akan berarti bahwa pemimpin harus ditaati dan didurhakai pada waktu yang bersamaaan, yakni ketaatan kepadanya adalah wajib namun terlarang yang secara jelas merupakan sebuah kontradiksi dan tidak terpuji. Selain itu, sekiranya mungkin bagi seorang imam untuk berbuat dusa, merupakan suatu kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya dari melakukan demikian (karena setiap Muslim diwajibkan untuk mencegah orang lain dari perbuatan keharaman). Dalam kasus seperti itu, imam akan dibenci, dan alih-alih pemimpin masyarakat, ia akan menjadi para pengikut mereka, dan kepemimpinannya tidak akan ada faedahnya sejauh agama diperhatikan.
Imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa, ataupun setiap orang bisa menjaga tugas ini secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir dari hukumhukum agama. Allah Yang Maha Mulia berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dau taatilah Rasul dan orang-orang yang punya otoritas (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59). Ayat ini menitahkan kepada kaum Muslim untuk menaati dua hal pertama, menaati Allah, kedua menaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas (ulil amri).
Penyusunan kata-kata tersebut memperlihatkan bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah sewajib ketaatan kepada Rasul karena Quran menggunakan hanya satu kata kerja untuk keduanya tanpa mengulang kata kerja itu lagi. Sudah tentu, itu artinya bahwa Ulil Amri sama pentingnya dengan dengan Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT tidak akan menggabungkan mereka dalam ayat ini (waw dari athf) di bawah satu kata kerja.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menggunakan satu kata kerja yang terpisah bagi Diri-Nya sendiri sebelum menyebutkan Rasul dan Ulil Amri yang memperlihatkan bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang otoritas yang dimiliki Rasul dan Ulil Amri. Adalah jelas juga dari ayat di atas bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada para Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT hanya akan mengatakan, “Taatilah Allah dan taat hanya kepada Rasul.” Akan tetapi ia menambahkan Ulil Amri (orang-orang yang diberi otoritas oleh Allah). Ini merupakan salah satu tempat dimana konsep para imam dan kebutuhan akan ketaatan kepada mereka bersumber.
Dalam bahasan sebelumnya tentang kemaksuman para Nabi, kita menukil ayat Quran guna membuktikan kemaksuman Nabi SAW. Segala ayat tersebut membuktikan dua noktah berikut. Pertama, otoritas Rasulullah SAW atas orang-orang beriman tidaklah terbatas dan serba mencakup. Setiap perintah yang dikeluarkan olehnya, di bawah kondisi apapun, di setiap tempat, di setiap waktu, (mesti) dipatuhi tanpa syarat. Otoritas tertinggi diberikan kepadanya karena beliau maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah Rasul Allah tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan dan keraguan.
Demikian pula dari ayat 59 Surah an-Nisa kita simpulkan bahwa Ulil Amri diberikan otoritas atas kaum Muslim yang sama persis dengan otoritas yang dimiliki Rasul, dan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri mempunyai kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul.
Tentu saja ini artinya bahwa Ulil Amri mestilah maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan. Jika tidak, ketaatan kepada mereka niscaya tidak dibarengkan dengan ketaatan kepada Nabi dan tanpa syarat apapun. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesiapa yang mendurhakai Allah, tidak boleh ditaati,” dan “Sesungguhnya ketaatan adalah untuk Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang diberi otoritas. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati Rasul karena beliau adalah maksum dan suci, yang tidak akan menitahkan kepada manusia untuk memaksiati Allah SWT, dan sesungguhnya Dia memerintahkan (manusia) untuk menaati orang-orang yang diberi otoritas (Ulil Amri) lantaran mereka adalah maksum dan suci, dan tidak akan menyuruh manusia untuk mendurhakai Allah.”
Sumber: http://syiahmenurutsyiah.com/
Ketika Para Haji ‘Kepincut’ Marxisme
Selama ini, orang selalu berusaha mempertentangkan agama dan marxisme. Bahkan, sejak orde baru hingga sekarang, kaum agamais sering dibenturkan dengan kaum marxis.
Padahal, di berbagai belahan dunia, kaum agamawan bisa justru bersekutu dengan kaum marxis untuk melawan penindasan. Itu terjadi di Amerika Latin dengan Teologi Pembebasannya.
Di dalam Islam, nilai-nilai sosialisme juga sangat kental. Abu Dzar Al-Ghifari, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, sangat kental dengan gagasan-gagasan sosialistik. Ia menolak keras penimbunan dan akumulasi kekayaan. Kemudian, di jaman modern, kita juga menemukan sosok pemikir Islam yang terpengaruh marxisme, seperti Ali Shariati, Anouar Abdel-Malek, Sayid Qutb, dan lain-lain.
Di Indonesia, pada tahun 1920-an, juga banyak kyai yang kepincut oleh marxisme. Sarekat Islam, yang beranggotakan banyak ulama Islam, sangat terbuka terhadap marxisme. Tak heran, banyak anggotanya yang kemudian menyebut diri marxis. Yang paling menonjol adalah Haji Misbach (Surakarta) dan Haji Datuk Batuah (Sumatera Barat).
Kenapa para ulama itu kepincut marxisme?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya pikir, ada dua hal yang mendesak untuk dijawab di sini. Pertama, konteks sosial-historis jaman itu, yang melatar-belakangi para ulama untuk menerima marxisme. Kedua, faktor apa dari marxisme, baik dari segi gagasan maupun praksis, yang menarik bagi para kyiai saat itu.
Untuk menjawab yang pertama, saya tertarik pada kajian Soe Hok Gie di “Di Bawah Lentera Merah”, yang membahas perkembangan Sarekat Islam (SI) Semarang dari 1917 hingga 1926. Menurut Gie, sejak era liberalisasi sektor agraria dimulai oleh kolonialis Belanda, kapital asing mengalir deras masuk Indonesia untuk menggarap pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik.
Seiring dengan itu, kebutuhan akan tanah meningkat. Dengan kekuatan uangnya, para kapitalis memaksa pemerintah dan pejabat desa menyerahkan tanah-tanah desa. Tanah milik desa (komunal) berubah menjadi perkebunan-perkebunan. Sedangkan penduduknya diubah menjadi kuli secara massal.
Dari tahun 1916-1920, areal perkebunan tebu terus meningkat. Karena para Kepala Desa disuap f 2,5 untuk setiap bahu sawah yang disewakan ke pihak perkebunan, maka di desa-desa terjadi pemaksaan agar petani tidak menanam padi dan beralih ke tebu. Sosok Trunodongso, dalam novel Pram “Anak Semua Bangsa”, mewakili petani Jawa yang terdesak oleh ekspansi perkebunan tebu itu.
Situasi itu mendorong kemiskinan massif. Ironisnya, dalam situasi terdesak itu, para petani tidak punya “pembela”. Para Lurah atau Kepala Desa telah menjadi alat perusahaan perkebunan. Karena itu, menurut Gie, para petani hanya diberi dua pilihan, yaitu lari ke kota untuk menjadi kuli atau melakukan pemberontakan.
Situasi inilah yang menggugah keprihatinan para kiayi. Dalam banyak kasus, para kiayi inilah yang tampil sebagai “pembela rakyat”. Haji Misbach, misalnya, pada tahun 1919, memimpin radikalisasi petani di Surakarta. Mereka memprotes kewajiban membayar pajak, melakukan kerja wajib, dan menyerahkan tanah pada perkebunan.
Terus, untuk menjawab pertanyaan kedua, yakni daya tarik marxisme, saya berusaha memberi beberapa jawaban. Satu, marxisme merupakan senjata teoritik paling ampuh untuk mengupas persoalan pada saat itu. Marxisme, misalnya, menunjukkan bahwa akar dari penindasan ini adalah sistem kapitalisme. Tak hanya itu, marxisme juga mempersentai rakyat dengan metode dan strategi untuk melawan kekuasaan kapitalis itu, seperti mogok dan aksi massa.
Kedua, marxisme memperlihatkan keberpihakan yang tegas kepada kaum tertindas. Yang lebih dahsyat lagi, kaum marxis akan membela rakyat tertindas tanpa memandang agama atau kebangsaannya. Ini misalnya ditunjukkan oleh sosok Sneevliet, aktivis ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang berkebangsaan Belanda tetapi memihak perjuangan rakyat tertindas Indonesia.
Memang, kata Jalaluddin Rakhmat, seorang intelektual Islam, salah satu kesamaan antara Islam dan Marxisme adalah keduanya concern atau sangat memperhatikan nasib kaum dhuafa. “Keduanya berfikir bahwa kaum dhuafa tidak boleh diam: mereka harus mengubah sistem kapitalisme,” kata kang Jalal dalam “Meraih Cinta Ilahi”.
Karena kentalnya prinsip anti-penindasan dalam Islam itu sendiri, banyak Islamis yang mengaku kiri mengaku “kiri” bukan karena dipengaruhi oleh marxisme. Kiri Islam, misalnya, yang dielaborasi oleh Hassan Hanafie, mengaku tidak dipengaruhi oleh marxisme ataupun sosialisme.
Ketiga, cita-cita sosialisme, yang disederhanakan dengan ungkapan “masyarakat sama rata sama rasa”, sangat menarik bagi ulama dan dianggap sejalan dengan ajaran Islam. Kondisi masyarakat kolonial, yang penuh ketimpangan dan diskriminasi, benar-benar lahan yang subur bagi pertumbuhan sosialisme.
Keempat, para aktivis marxis, seperti Sneevliet dan Semaun, memperlihatkan sikap tidak mengenal kompromi terhadap penindasan kolonial dan kapitalisme. Mereka juga kebal terhadap godaan uang dan tidak punya motivasi memperkaya diri.
Hal ini kontras dengan pemimpin gerakan Islam saat itu, seperti HOS Tjokroaminoto, yang tidak tegas melawan pemerintah kolonial. Belakangan, Tjipto kesandung oleh tudungan korupsi dan penyalahgunaan keuangan organisasi.
Bagi Haji Misbach, mesin penggerak kapitalisme atau “spirit kapital” adalah ketamakan. Ketamakan itu mengambil bentuknya dalah uang. Dari uang itulah, katanya, muncul godaan dan ketamakan yang akan menghancurkan manusia. “Ketamakan menjauhkan kaum muslimin dari Tuhan,” kata Haji Misbach.
Memang, para Haji itu mempelajari marxisme tidak begitu ketat. Mereka terkadang hanya mengambil prinsip-prinsip dasarnya saja, yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama. Mungkin, bagi kaum marxis yang ortodoks, para agamais marxis ini hanya melakukan ekletisisme.
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online
(Syarah) Khotbah Imam Ali As Tentang Kaum Khawarij
Jangan membunuh kaum Khariji sesudah saya,[1] karena orang yang mencari yang hak tetapi tidak menemukannya tidak sama dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya (yang dimaksudnya adalah Mu’awiah dan kaumnya).
Sayid Radhi berkata: Yang dimaksud Amirul Mukminin ialah Mu’awiah dan orang-orangnya.
[1] Alasan menghentikan orang memerangi kaum Khariji ialah bahwa Amirul Mukminin jelas-jelas melihat bahwa sesudahnya wewenang dan kekuasaan akan jatuh ke tangan orang-orang yang tak tahu akan makna jihad yang sesungguhnya dan yang akan menggunakan pedang hanya untuk memelihara kekuasaannya. Dan ada orang yang bahkan melebihi kaum Khariji dalam mencerca dan mencemari Amirul Mukminin. Maka, orang-orang zalim tidak berhak memerangi orang yang salah.
Lagi pula, orang-orang yang dengan sengaja menempuh jalan batil tidak dapat diizinkan memerangi orang-orang yang salah karena kekeliruan. Jadi, kata-kata Amirul Mukminin menjelaskan kenyataan bahwa kesesatan kaum Khariji tidak disengaja melainkan karena pengaruh iblis. Mereka keliru menganggap salah sebagai benar lalu bersikeras padanya.
Pada sisi lain, posisi kesesatan Mu’awiah dan kalangannya lain; mereka menolak kebenaran dengan menyadari bahwa itu sebenarnya mcmang benar, dan mcnyukai kebatilan sebagai tata perilaku mereka dengan mengetahui sepenuhnya bahwa itu mcmang sebenarnya batil. Kesembronoan mereka dalam urusan keagamaan telah mencapai tahap yang tak dapat lagi dipandang sebagai akibat salah paham, tak dapat pula ditutupi dengan jubah kckeliruan penilaian. Karena, secara terang-terangan mereka melanggar batas-batas ketentuan agama dan tidak mempedulikan perintah Nabi (saw) tetapi mengikuti kehendak mereka sendiri.
Maka Ibn Abil Hadid menulis (dalam Syarh Nahjil Balaghah, V, h. 130), ketika sahabat Nabi, Abu ad-Darda’ melihat peralatan dari emas dan perak yang digunakan Mu’awiah, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar Nabi berkata, “Orang yang minum dari wadah emas dan perak akan merasakan nyala api neraka dalam perutnya,” Mu’awiah mengatakan, “Saya tidak mclihat suatu kcburukan di dalamnya.”
Demikian pula, mengakui Ziyad ibn Abih sebagai saudara scayahnya mcnurut maunya sendiri merupakan suatu pengabaian total terhadap perintah Nabi; mencerca para anak cucu Nabi di mimbar, melanggar batas-batas syariat, menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah dan menempatkan diri di atas kaum Muslim (dengan mengaku Khalifah) adalah keji dan membuka jalan kepada kejahatan dan kekafiran; dengan scmua itu kita tak dapat mcngatributkannya sebagai salah paham. Mengatakan demikian sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan.
Sumber: http://syiahmenurutsyiah.com/
Mengenang Imam Baqir As, Penjaga Risalah Nabi Saw
Aimmah Maksumin As adalah hujjah Allah di muka bumi dan masing-masing mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya. Sesuai dengan amanah dari Allah Swt mereka ditugaskan memimpin dan membina umat, menyebarkan perdamaian dan menjaga eksistensi Islam. Berkat peran dan kerja keras mereka, kemurnian Islam tetap terjaga pasca wafatnya Rasulullah Saw sampai saat ini, dan akan tetap eksis dimasa depan.
Imam kelima Islam Syiah Itsna ‘Asyari adalah Imam Muhammad Baqir As. Ia adalah cucu Rasulullah Saw yang dijuluki oleh lisan Rasulullah Saw sendiri Baqir al Ulum (yang mengungkap dan menyebarkan ilmu).
Ia lahir pada hari pertama bulan Rajab tahun 57 H. Sebagian sejarahwan lainnya menyebut ia lahir pada hari ketiga bulan Shafar tahun 57 H. Pada tahun 114 H hari ketujuh bulan Dzulhijjah lewat perintah dari Hisyam bin Abdul Mulk al Umawi ia diracun di Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi.
Untuk mengenang kesyahidan Imam Baqir As, tulisan singkat ini memperkenalkan sedikit riwayat hidup dan peran besar beliau untuk dunia Islam.
Masa Kelahiran
Imam Muhammad Baqir As diriwayatkan lahir pada 1 Rajab tahun 57 H. Sebagian ahli tarikh lainnya menyebutkan ia lahir pada hari ketiga bulan Shafar 57 H.
Ayahnya adalah Imam Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib As yang populer dengan sebutan Imam Sajjad As. Ibunya bernama Fatimah yang akrab dengan panggilan Ummu Abdillah (putri Imam Hasan al Mujtaba As). Imam Jafar Shadiq berkata tentang Ummu Abdullah, “Fatimah, adalah keturunan terbaik dari Imam Hasan bin Ali As.” Jadi Imam Baqir As memiliki nasab yang mulia, karena dari keturunan Imam Husain As sekaligus nasabnya berasal dari Imam Hasan As.
Imam Muhammad Baqir As mendapat julukan Baqir al ‘Ulum (yang mengungkap dan menyebarkan ilmu) dari lisan kakeknya sendiri, Nabi Muhammad Saw.
Saksi Mata Tragedi Karbala
Imam Baqir disaat masih kanak-kanak diusia belum mencapai lima tahun telah merasakan beratnya kepedihan dengan menyaksikan langsung kakeknya yang mulia Imam Husain as terbantai dan syahid di Karbala. Ya'qubi meriwayatkan Imam Baqir as pernah berkata, "Ketika kakek saya Imam Husain bin Ali mencapai syahadahnya, saya berusia 4 tahun, dan meskipun telah lama berlalu, saya tidak akan pernah lupa detik demi detik kejadian tersebut."
Menjadi Imam dan Pemimpin Ummat
Imam Baqir as sebagai putra dari Imam Ali Zainal Abidin As, pasca kesyahidan ayahnya, segera memegang amanah sebagai imam ummat. Tampuk keimamahan berada dipundaknya, melanjutkan peran dan tugas sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk pada ummat sebagaimana yang pernah diemban oleh ayah, kakek dan buyutnya.
Jabir bin Abdullah al Anshari, salah seorang sahabat mulia Nabi Muhamamd Saw pernah berkata, "Rasulullah Saw pernah bersabda yang ditujukan kepada saya dengan berkata, "Kamu kelak akan mencapai umur yang panjang, sampai kamu akan bertemu dengan salah seorang keturunanku dari Husain. Namanya Muhammad, dan dia memahami ilmu dengan sempurna, jika kamu bertemu dengannnya, sampaikan salamku kepadanya."
Para ulama yang hidup sezaman dengan Imam Baqir As memberikan kesaksian dan pengakuan atas keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Hal tersebut tertulis dan terekam dalam kitab-kitab hadits dan kitab Tarikh Islam.
Kehidupan Sosial dan Politik Umat Syiah di Masa Imam Baqir As
Dengan makin dekatnya masa-masa akhir abad pertama hijriah, kezaliman dan kesewenang-wenangan pemerintah Dinasti Umayah makin memuncak. Di sisi lain, aksi perlawanan para penentang dinasti Umayah juga semakin meningkat. Konflik politik di masa itu, membuat kehidupan ekonomi masyarakat makin memburuk. Sehingga kegiatan ilmiah dan studi agama di tengah masyarakat pun makin terpinggirkan. Sampai-sampai banyak di antara umat Islam yang tak lagi mengenal cara-cara ibadah dan hukum agama, seperti shalat dan ritus haji.
Di masa itu, pemerintah dinasti Umayah makin lemah karena terus mendapat tekanan dan perlawanan lawan-lawan politiknya. Meski Rasulullah di masa hidupnya telah menetapkan bahwa Ahli Bait as merupakan kalangan yang paling pantas memegang tampuk kepemimpinan umat, namun masyarakat Muslim di zaman itu terpecah dalam berbagai kelompok mengenai isu kepemimpinan umat. Sebagian kelompok mengklaim bahwa Bani Umayah yang paling berhak memimpin, dan sebagian lagi menganggap Ahli Bait as sebagai pihak yang paling layak memimpin. Namun ada juga yang terlalu ekstrim dalam melihat posisi Ahli Bait As.
Dalam suasana yang sangat kelam semacam itu, Imam Baqir bangkit laksana mentari menyibak tirai-tirai kebodohan dan kegelapan. Pada masa itu, Imam Baqir As menerapkan strategi kultural, lewat penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Umat di zaman itu memerlukan transformasi pemikiran. Dengan seluruh daya upayanya, Imam Baqir berusaha menyelamatkan umat dari kesesatan dan kegelapan. Beliau juga menjelaskan bagaimana posisi Imamah dan Ahli Bait yang sebenarnya dalam masalah kepemimpinan umat. Imam Baqir mengingatkan bahwa tolak ukur kebenaran adalah al-Quran dan Sunnah Nabi.
Ia juga menegaskan bahwa pasca masa kenabian, Ahli Bait As merupakan otoritas yang paling layak dan terbaik untuk kebahagiaan dan keselamatan umat. Ia menilai, Ahli Bait Nabi as merupakan satu-satunya otoritas agama yang paling meyakinkan rujukan dalam masalah keyakinan dan pemikiran Islam. Imam Baqir As berkata, "Putra-putra keturunan Rasulullah Saw adalah pintu-pintu ilmu ilahi untuk menuju keridhaan Allah Swt. Mereka adalah pengajak ke surga".
Guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendidik para ulama dan cendikiawan muslim, Imam Baqir membangun pondasi madrasah keilmuan dan budaya. Kelak, pondasi itu terus dilanjutkan pembangunannya oleh putra beliau, Imam Jakfar Shadiq As. Perjuangan ilmiah dan reformasi kebudayaan yang dijalankan Imam Baqir As di masa-masa akhir abad pertama hijriah, sejatinya merupakan pengantar untuk merevitalisasi pemikiran dan nilai-nilai Islam serta meningkatkan kecerdasan umat.
Jabir bin Yazid Ju'fi adalah salah seorang murid Imam Baqir as dan penukil 70 ribu hadis dari beliau. Jabir menuturkan, "17 tahun aku berada di sisi Imam Baqir. Ketika aku ingin berpisah dengan beliau, aku berkata padanya,‘Wahai Putra Rasulullah saw, penuhi aku dengan ilmu pengetahuan.' Imam Baqir As berkata, ‘Wahai Jabir, setelah 17 tahun engkau belum juga puas dengan ilmu?' Aku berkata, ‘Engkau adalah mata air yang tak terbatas dengan air segarnya yang tak pernah habis."
Bagi para ilmuwan Muslim dan non-Muslim sekalipun, keberadaan Imam Baqir As bagaikan air mata yang begitu jernih dan bening yang menyegarkan dahaga setiap pencari makrifat. Begitu agungnya khazanah keilmuan yang beliau miliki, membuat siapapun yang haus akan pengetahuan datang kepadanya. Keagungan dan kedalaman ilmu pengetahuan Imam Baqir menjadi buah bibir dan pujian para sejarawan dan ulama Islam. Ibnu Hajar Haitsami, sejarawan Ahlusunnah menyatakan, "Imam Baqir adalah penyibak ilmu pengetahuan dan penghimpunnya. Perilakunya menunjukkan kepribadian beliau. Ia memiliki hati yang suci dan akhlak yang mulia. Masa-masa hidupnya ia baktikan untuk mengabdi kepada Allah. Ia memiliki derajat yang begitu tinggi yang tak bisa dijelaskan oleh siapapun".
Mengomentari peran pemimpin dalam menentukan nasib umatnya, Imam Baqir berkata, "Allah Swt berfirman, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam yang menjadikan para pemimpin yang zalim dan kufur sebagai pemimpinnya, niscaya mereka bakal mendapat kesengsaraan, walaupun dalam tindakan personalnya mereka terbilang bertakwa. Sebaliknya, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam menjadikan pemimpin yang adil sebagai pemimpinnya, maka mereka akan memperoleh ampunan dosa dan rahmat ilahi, meskipun mereka memiliki kesalahan dalam tindakan pribadinya".
Dalam perkataannya yang lain mengenai kecamannya terhadap penguasa yang zalim dan para pendukungnya, Imam Baqir as menuturkan, "Para pemimpin yang zalim dan para pendukungnya, jauh dari agama ilahi".
Selama sebelas tahun Imam Baqir As hidup sezaman dengan masa kekuasaan khalifah dinasti Umayah, Hisyam bin Abdul Malik. Hisyam dikenal sebagai pemimpin yang kikir, brutal, dan zalim. Di masa itu, kehidupan masyarakat sangat sulit. Sementara Imam Baqir sebagai tokoh utama Ahli Nabi memperoleh simpati dan dukungan umat yang begitu luas. Tentu saja, Hisyam sangat khawatir dengan posisi Imam Baqir yang kian hari hari kian kuat itu. Karenanya, ia berusaha mencegah sebisa mungkin pengaruh spiritual Imam Baqir as terhadap umat Islam.
Suatu ketika dalam perjalanan hajinya, Hisyam begitu kaget dan marah melihat kecintaan masyarakat Muslim terhadap Imam Baqir as dan putranya, Imam Shadiq as. Sekembalinya ke Syam, ia pun memerintahkan supaya kedua tokoh Ahli Bait as itu dibawa secara paksa dari Madinah ke Syam. Namun upaya itu, bukannya malah menurunkan kecintaan umat kepada Ahli Bait Nabi as, tapi justu membuat masyarakat semakin mengenal siapa gerangan mereka itu, khususnya masyarakat Muslim di Syam. Karenanya, Hisyam pun terpaksa memulangkan mereka berdua ke Madinah.
Kesyahidan Imam Baqir As
Imam Baqir As selama 18 tahun keimamahannya menggunakan kesempatan tersebut untuk membimbing umat. Selama 18 tahun Imam mengerahkan upayanya untuk memperkuat sendi-sendi ideologi dan pemikiran masyarakat. Selain itu, sejarah kehidupan beliau penuh dengan teladan bagi umat. Keagungan dan kepiawian Imam Baqir As diakui oleh seluruh umat, bahkan ulama Sunni pun mengakuinya. Beliau selama hidupnya menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan segala kesulitan mereka.
Imam Baqir As mencapai syahadahnya pada hari ketujuh bulan Dzulhijjah tahun 114 H dalam usia 57 tahun di kota Madinah. Beliau meninggal karena diracun atas perintah Hasyim bin Abdul Malik, khalifah dari Bani Umayyah masa itu. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Baqi di sisi makam ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin as.
Diantara kata mutiara dari Imam Baqir as. Beliau berkata, "Sebaik-baik modal adalah percaya dan yakin kepada Allah Swt". Dalam tuturan sucinya yang lain, beliau menandaskan, "Kesempurnaan yang paling utama adalah mengenal agama, sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan, serta mengatur urusan hidup.
Siapakah Ahlulbait dalam Al-Quran?
Ahlulbait merupakan sebuah terminologi Qurani, hadis dan teologis yang bermakna keluarga Nabi Saw. Terminologi ini dalam makna ini hanya sekali disebutkan dalam al-Quran pada ayat Tathir yaitu ayat 33 surah al-Ahzab. “Innamâ yuridullâh liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.”
Akar bahasa “Ahl” bermakna kekerabatan dan kedekatan[1] dan “bait” di samping bermakna tempat hunian dan juga bermakna tempat menginap.[2] Akar Ahlulbait secara leksikal bermakna kerabat seseorang yang memiliki tali kekeluargaan dan kekerabatan dengannya.[3]
Akan tetapi secara mutlak dalam makna yang lebih luas Ahlulbait termasuk seluruh orang-orang yang memiliki hubungan nasab, agama, rumah, kota dan hubungan kewargaan.[4]
Para terminolog, dari kalangan teolog, ahli hadis, penafsir al-Quran menyatakan bahwa terminologi Ahlulbait yang disebutkan dalam al-Quran digunakan dengan sebuah pahaman khusus; karena mereka meyakini bahwa dalam hal ini terdapat banyak riwayat yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam Syiah, karena itu redaksi teknis al-Quran ini memiliki penafsiran khusus.
Terkait dengan penafsiran khusus ini bahwa siapa saja yang termasuk Ahlulbait terdapat perbedaan pendapat di kalangan penafsir (mufassir), ahli hadis (muhaddits) dan teolog (mutakallim):
Sebagian penafsir Ahlusunnah meyakini bahwa terdapat indikasi setelah dan sebelum ayat yang melibatkan para istri Nabi Saw. Para istri Nabi Saw termasuk yang disebut sebagai Ahlulbait dalam ayat ini. Mereka dalam menyokong pandangannya bersandar pada sebuah riwayat dinukil oleh Ikrimah, Maqatil, Ibnu Jabir dan Ibnu Saib dari Ibnu Abbas. Para penafsir Ahlusunnah menulis: Ikrimah berteriak di pasar bahwa Ahlulbait Nabi Saw hanyalah para istri beliau dan aku siap ber-mubahala (memohon kutukan dari Allah Swt) dengan siapa saja yang mengingkari hal ini.[5]
Sebagian penafsir Ahlusunnah dan seluruh penafsir Syiah mengkritisi pandangan ini dan berkata: Apabila yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat tersebut maka pantas kiranya seperti redaksi-redaksi sebelum dan sesudah ayat yang dialamatkan kepada mereka dinyatakan dalam bentukmuannats (feminim). Dalam ayat ini Allah Swt berfirman: “Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.” Sementara kenyataannya tidak demikian. Penyampaian dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk plural maskulin (jam’e mudzakkar, ankum wa yutahhirakum) dan hal ini menandaskan bahwa ucapan para penafsir ini tidak benar adanya.
Akan tetapi penyandaran mereka terhadap riwayat juga diragukan. Di antara yang meragukan riwayat ini adalah Abu Hayyan Garnati – salah seorang ulama Ahlusunnah – menulis bahwa penyandaran riwayat ini kepada Ibnu Abbas adalah tidak benar. Ibnu Katsir berkata bahwa apabila yang dimaksud dalam riwayat ini, adalah sebab-sebab pewahyuan (asbâb al-nuzul) ayat tathir, adalah para istri nabi maka ucapan ini benar adanya. Akan tetapi apabila yang dimaksud adalah bahwa yang dimaksud dan obyek ayat tathir adalah para istri nabi dan bukan yang lain maka ucapan ini tidak benar. Karena banyak riwayat yang menolak anggapan ini.[6]
Akan tetapi sebagaimana yang telah disinggung bahwa ucapan Ibnu Katsir “sebab-sebab diturunkannya ayat ini adalah berkenaan dengan para istri nabi” juga tidak benar karena pertama berseberangan dengan konteks ayat dan kedua berlawanan dengan riwayat-riwayat yang diakuinya sendiri.
Kelompok lain dari kalangan mufassir Ahlusunnah yang meyakini bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw dan juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.[7]Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menyokong pandangan ini tidak memiliki satu pun riwayat yang mereka jadikan sandaran.
Sebagian mufassir berkata: ayat ini bersifat umum dan termasuk seluruh keluarga Nabi Saw. Baik itu para istri, anak-anak ,kerabat dan bahkan para budak Nabi Saw. Tsa’labi berkata: Seluruh Bani Hasyim atau orang-orang beriman dari Bani Hasyim juga termasuk di dalamnya.[8]Pandangan ini juga tidak bersandar pada satu pun riwayat.
Sekelompok mufassir menengarai bahwa boleh jadi Ahlulbait adalah orang-orang yang haram menerima sedekah. Pandangan ini bersandar pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam ketika salah seorang bertanya kepadanya: Siapakah Ahlulbait Nabi Saw? Apakah para istri Nabi Saw juga termasuk sebagai Ahlulbait? Zaid berkata: “Para istri nabi termasuk Ahlulbait. Akan tetapi Ahlulbait Nabi Saw adalah yang haram menerima sedekah; artinya Ali ‘Ali (keluarga Ali), Ali Ja’far (keluarga Ja’far) dan Ali ‘Abbas (keluarga Abbas).[9] Menurut Abu al-Futuh al-Razi bahwa pandangan ini adalah ucapan yang jarang (syadz) dan tidak memiliki dasar. [10]
Seluruh mufassir Syiah dan mayoritas mufassir Ahlusunnah – dengan bersandar pada bukti-bukti dan indikasi-indikasi, riwayat yang banyak yang dinukil dari Nabi Saw, Hadhrat Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajjad dan imam-imam yang lainnya dan juga dari Ummu Salamah, Aisyah, Abu Sa’id Khudri, Ibnu Abbas dan sahabat lainnya – meyakini dengan sungguh-sunguh bahwa ayat tathir adalah diturunkan untukAshab Kisa – Nabi Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah kelima orang ini. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa dalam benak adalah bagaimana mungkin di sela-sela pembahasan tugas-tugas para istri Nabi namun Ahlulbait tidak termasuk para istri nabi.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat beberapa jawaban: Di antaranya yang dikatakan oleh Thabarsi: Hal ini bukan hanya satu-satunya persoalan. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang berada di samping ayat-ayat yang berbicara tentang beragam subyek; hal ini dapat kita saksikan pada kebanyakn ayat-ayat al-Quran. Demikian juga dalam ucapan fasih Arab dan sastra mereka terdapat banyak contoh dari perkara ini. [11]
Allamah Thathabai Ra menambahkan jawaban yang diberikan oleh Thabarsi. Ia menulis: Tiada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa ayat Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.” Diturunkan beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Bahkan dari sebagian riwayat dapat disimpulkan bahwa ayat tathir ini diturunkan secara terpisah, dan sesuai dengan perintah Nabi Saw atau tatkala pengumpulan ayat-ayat al-Quran pasca wafatnya Nabi Saw ayat-ayat sebelum dan sesudahnya diletakan di samping ayat tathir. [12]
Dalam Tafsir Nemune disebutkan bahwa jawaban ketiga yang dapat dilihat dari pertanyaan adalah bahwa al-Quran ingin berkata kepada para istri Nabi Saw: Kalian berada di tengah sebuah keluarga yang sebagian darinya adalah maksum. Barang siapa yang berada di bawah bayangan dan pohon ishmah dan berada pada kelompok orang-orang maksum, maka sudah selayaknya mereka lebih berhati-hati melebihi yang lain. Dan tidak melupakan bahwa penyandaran mereka terhadap sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat lima orang maksum mereka memiliki tanggung jawab besar, dan Allah Swt dan para hamba menuntut lebih banyak darinya. [13]
Adapun riwayat yang dinukil berkenaan dengan sebab-sebab pewahyuan (diturunkannya) ayat tathir sangat banyak dan dibagi menjadi beberapa bagian:
Riwayat-riwayat yang dengan tegas yang menyebutkan sebab-sebab pewahyuan ayat dan maksud ayat tathir dan terminologi Ahlulbait untuk lima orang Alu Aba.[14]
Riwayat-riwayat yang menyokong hadis Kisa: Riwayat yang disampaikan oleh Abu Said al-Khudri, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abul Hamrah, Abu Burzah yang setelah peristiwa Kisah dan turunnya ayat tathir, Nabi Saw selama sebulan, atau 40 hari, 6 sampai 9 bulan, secara berketerusan tatkala shalat Subuh, atau pada shalat-shalat lima waktu pergi ke kediaman Ali dan Fatimah dan berkata: “Assalamu ‘Alaikum Ahlalbait wa Rahmatullahi wa Barakatuh, al-shalat yarhamukumuLlah.” Kemudian setelah itu beliau membacakan ayat tathir.[15]
Dalam Syarh Ihqâq al-Haq,[16] lebih dari 70 sumber Ahlussunnah yang terkenal dikumpulkan banyak riwayat terkait dengan masalah ini, dan sumber-sumber Syiah dalam masalah ini sangat banyak.[17]
Karena itu, persoalan ini dari sisi periwayatannya adalah bersifat definitif bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait pada ayat tathir adalah Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain (Salam Allah ke atas mereka semuanya). Lafaz Ahlulbait ini juga termasuk sebagian para imam; artinya juga disebutkan semenjak Imam Ali bin al-Husain hingga Imam Zaman Ajf.
Abu Said Khudri meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Inni târikun fikum al-tsaqalaîn Kitabâllahi wa ‘Itrati Ahlabaitî. Mâa in tamassaktum bihimâ lan tadhillu ba’di Abadan. Fainnamâ lan yaftariqâ hatta yarida ‘alayya al-haudh.“[18] Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian al-Tsaqalain(dua pusaka berharga), al-Qur’an dan Itrahku Ahlulbait. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya. Lantaran keduanya tiada akan pernah berpisah hingga berjumpa denganku kelak di telaga Kautsar.”
Abu Dzar al-Ghiffari meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Innamâ matsalu Ahlubaitî fîkum Kasifinati Nuh. Man Rakibahâ najâ wa Man Takhallafa ‘anha Ghariqa.”[19]Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagi kalian adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menentangnya akan karam.”
Imam Ali As bersabda bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian al-Tsaqalain (dua pusaka berharga), al-Qur’an dan Itrahku Ahlulbait. Keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga kiamat (laksana dua anak jari). Jabir bertanya, ‘Siapakah gerangan Itrah dan Ahlulbait itu?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan para imam dari keturunan Husain hingga kiamat.’”[20]
Imam Ali As berkata, “Saya berada di rumah Ummu Salamah sedang di hadapan Rasulullah Saw hingga ayat “Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira” turun. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah Saw setelahmu berapa orangkah yang akan menjadi imam?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Setelah engkau, Hasan As dan setelah Hasan As adalah Husain As dan setelah Husain, putranya Ali As dan setelah Ali As adalah putranya Muhammad As, setelah Muhammad adalah putranya Ja’far As dan setelah Ja’far As adalah putranya Musa As, dan setelah Musa adalah putranya Ali , dan setelah Ali As adalah putranya Muhammad As, dan setelah Muhammad adalah putranya Ali, dan setelah Ali adalah putranya Hasan dan setelah Hasan adalah putranya Hujjah Ajf akan menjadi imam. Nama-nama mereka secara berurutan tertulis di singgasana arsy Ilahi. Saya bertanya kepada Allah Swt, ‘Siapakah gerangan mereka ini?’ Allah Swt berfirman, ‘Mereka adalah para imam setelahmu. Mereka ini adalah orang-orang suci dan maksum. Musuh-musuh mereka adalah orang-orang terlaknat.’”[21]
Banyak riwayat lainnya yang menyebutkan bahwa Ahlulbait itu terdiri dari dua belas imam Syiah. Dalam hadis-hadis ini, Imam Shadiq As dan para imam lainnya menyebut diri mereka sebagai Ahlulbait dan menegaskan bahwa kami adalah Ahlulbait.[22]
Mengapa ada penegasan dan stressing al-Quran terkait deklarasi kedudukan menjulang Ahlulbait adalah supaya masyarakat mengikuti mereka dalam lintasan gerakan kesempurnaan dan melintasi jalan hidayah; karena tujuan pokok al-Quran adalah membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia. “Alif lam mim. Dzalika al-kitab laa raiba fiihi hudan lil muttaqin.” (Qs. Al-Baqarah [2]:1-2)
Dan mereka yang sedikit akurat mengkaji al-Quran dengan jelas ia dapat membenarkan validitas inferensi ini. Lantaran para Imam Syiah adalah pemimpin dan pemandu umat, atas dasar ini titel Ahlulbait dapat dicocokkkan bagi mereka. Dengan demikian, Rasulullah Saw sejatinya merupakan penafsir dan penjelas al-Quran. Tatkala ingin menerangkan kedudukan imamah dan kepemimpinan agama pasca kepergiannya, beliau menggunakan redaksi Ahlulbait ini. [sumber: IQ]
[1]. Qayyumi, Misbâh al-Munîr, hal. 28.
[2]. Ibid, hal. 68.
[3]. Ibid.
[4]. Mufrâdât Râghib Isfahânî, hal. 29.
[5]. Thabari, Jâmi’ al-Bayân, jil. 22, hal. 7; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, jil. 6, hal. 365.
[6]. Tafsir ibnu Katsir, jil. 5, hal. 452-453
[7]. Fakhruddin, Tafsir Kabir, jil. 25, hal. 209; Baidhawi, Anwâr al-Tanzil, jil. 4, hal. 163; Abu Hayyan,al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 232.
[8]. Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, jil. 3, hal. 14 & 18; Alusi, Ruh al-Ma’âni, jil. 14, hal. 22..
[9]. Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 231-232.
[10]. Abu al-Futuh al-Razi, Raudhâ al-Jinân wa Ruh al-Jinân, jil. 15, hal. 421..
[11]. Majmâ’ al-Bayân, jil. 7, hal. 560.
[12]. Al-Mizân, jil. 16, hal. 312.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 295.
[14]. Thabari, jil. 22, hal. 6-7; Qurthubi, jil. 14, hal. 183; Hakim, jil. 2, hal. 416; Bukhari,al-Târikh, jil. 1, hal. 69-70; Tirmidzi, al-Sunan, jil. 5, hal. 633.
[15]. Thabari, jil. 22, hal. 5-6; Bukhari, al-Kani, hal. 25-26; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 259; Huskani, Syawâhid al-Tanzil, jil. 2, hal. 11-15; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jil. 6, hal. 606-607.
[16]. Mar’asyi, jil. 2, hal. 502-547, jil. 9, hal. 91-92.
[17]. Utamanya yang ditulis dalam tulisan ini kebanyakan diadopsi dari kitab Syenâkht Nâme Ahlulbaitkarya Ali Rafi’ Alamardusyti, hal. 301-308. Untuk keterangan lebih jauh silahkan Anda merujuk ke kitab yang dimaksud.
[18]. Shahih Tirmidzi, jil. 2, hal. 380; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 17.
[19]. Hakim, Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 2, hal. 432; Firuz Abadi, Fadhâil al-Khamsah, jil. 2, hal. 65.
[20]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 147.
[21]. Ibid, jil. 36, hal. 336, hadis 199.
[22]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 349, hadis 6.
Falsafah Penciptaan dalam Pandangan Al-Quran dan Hadist
Kita ketahui bahwa Allah swt menciptakan manusia memiliki tujuan ilahi, bukan untuk bermain, senda gurau atau hal sia- sia lainnya.
Allah Swt berfirman dalam surat Mukminun ayat 115, Al-Alaq ayat 8, Al-Insyiqaq ayat 6:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْناكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ، إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى، يَا أَيُّهَا الاِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاقِيهِ.
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?, Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kalian akan kembali, Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.“
Jelas bahwa tujuan penciptaan manusia adalah agar mereka kelak kembali kesisi tuhannya. (Qaus Shu’ud) tentu banyak sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan hakikat ini. Misalnya:
Allah Swt berfirman surat al-Kahfi ayat 110 dan surat Yunus ayat 7 :
مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدَا، إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ. أُولَئِكَ مَأْواهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
” Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.“
Tujuan penciptaan adalah pertemuan di Stasiun terkahir dengan pencipta kita Allah Swt. Untuk menuju Stasiun terakhir maka kita membutuhkan kendaraan untuk bisa sampai kepada tujuan akhir kita.
Lalu kendaraan apa yang harus kita naiki sehingga bisa sampai ketujuan?
Manusia untuk sampai kepada tujuan harus mengetahui dulu hakikat Dunia ini diciptakan untuk apa? Dunia diciptakan untuk menempa manusia agar bisa bertemu dengan sang penciptanya. Untuk itu dunia bukanlah Stasiun terakhir melainkan rute perjalanan yang memiliki muatan ujian, musibah, rasa sakit, lapar, haus dan aneka ujian lainnya, sebagai tempat penempaan manusia agar bisa sampai kepada tujuan.
Allah swt berfirman surat al-Mulk ayat 2:
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَياةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Jelas, segala sesuatu yang berhubungan dengan Dunia ini adalah untuk menguji manusia agar sampai di telaga pertemuan dengan Allah swt. Untuk sampai kepada sang maha sempurna, maka kita harus menaiki tangga demi tangga kesempurnaan itu dengan ujian dan musibah.
Untuk itu Allah swt sudah menyediakan Rel perjalanan untuk kita, tinggal pilih!! Jalan Kebaikan dan kesempurnaan yang diakhiri dengan pertemuan, atau jalan keburukan dan kesesatan yang diakhiri dengan keterasingan dan kesengsaraan.
Allah swt berfirman dalam Surat al-Insan ayat 3 dan Kahfi ayat 29:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا، فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”
Al-Quran menamai jalan menuju kesempurnaan dan perjumpaan dengan Allah swt dengan “Jalan yang Lurus” (Shirat Al-Mustaqim). Jalan yang selalu kita ulang-ulang setiap hari ketika kita Shalat yaitu, “ Ya Allah ya tuhan kami, Tunjukilah kami Jalan yang lurus”!!!
Manusia selalu merasa yakin bahwa dirinya berada dijalan yang lurus, namun hakikatnya mereka sedang menjauhi jalan lurus tersebut. Semakin berjalan bukan semakin dekat, melainkan semakin jauh.
Untuk itu kita harus tahu, bagaimana kita menapaki dengan benar jalan yang lurus tersebut?
Allah Swt pencipta kita memerintahkan kita untuk berjalan dijalan yang lurus, maka mustahil secara logika tidak menjelaskan metode yang benar kepada kita cara berjalan dijalan yang lurus tersebut.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Imran 31 dan surat Al-Ahzab 21:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ، لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Jalan keselamatan dan menapaki setapak demi setapak jalan yang lurus tidak lain adalah mengikuti Rasulullah saww dan mengikuti perintahnya serta meninggalkan segala larangannya.
Allah Swt berfirman surat Al-Hasyr ayat 7 dan surat al-Najm ayat 3:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا، وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).“
Rasulullah saww telah menentukan jalan keselamatan dan jalan yang lurus itu dengan mengikuti Al-Quran dan Ahlul Bayt-nya.
Rasululla saww bersabda,
إنّي تركت فيكم ما إن تمسّكتم به لن تضلّوا بعدي، كتاب الله حبلٌ ممدود من السماء إلى الأرض، وعترتي أهل بيتي، ولن يفترقا حتّى يردا عليّ الحوض.
Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian, jika kalian memegangnya erat-erat, maka kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Kitab Allah tali yang membentang dari langit ke bumi, dan Ahlul-baytku . Karena seseungguhnya keduanya tidak akan pernah terpisah hingga bertemu denganku di Al-haudh kelak.
Hadist diatas sudah dibahas diberbagai macam buku dan kitab, baik secara matan maupun sanad. Hadis Tsaqalain sudah mencapai derajat mutawatir dan diriwayatkan oleh 100 lebih dari sahabat Rasulullah saww.
Jalan lurus dan keselamatan untuk mencapai kesempurnaan hingga kelak bertemu dengan Tuhan itu adalah dengan mengenal dan mengikuti Hujjah Allah Swt disetiap zaman.
Ketika kita mengenal Hujjah Allah swt setiap zaman, maka kita sedang berjalan dijalan yang di inginkan Allah swt yaitu jalan yang lurus.
Imam Sajjad as berkata,
نحن أبواب الله ونحن الصراط المستقيم
Kamilah Pintu-pintu Allah swt dan kami pulalah Jalan yang lurus itu (Tafsir Mizan Allamah Thaba’thabai)
Benar!! Sebagaimana sebagian kaum muslimin gembar-gemborkan bahwa Al-quran adalah petunjuk. Namun petunjuk yang bisu, didalamnya terkandung tafsir,takwil, Umum, khusus, muhkamat dan mutasyabihat. Membutuhkan penjelas dan pengajar yang mampu menjelaskan seratus persen makna Al-Quran. Amirul mukminin Ali as meng-istilahi dengan “Quran berjalan”.
Imam Ali as berkata,
ذلك الكتاب الصامت وأنا الكتاب الناطق
AL-Quran adalah Kitab yang bisu, sedangkan aku adalah Al-quran yang berbicara dan berjalan. (Bihar al-Anwar juz.39 hal.272)
Untuk itu, perkataan “cukup bagi kami Kitabullah” adalah kesalahan fatal dalam mengikuti Jalan yang lurus, karena itu bukan apa yang diinginkan Allah swt dan Rasulullah saww, melainkan hanya ijtihad pribadi yang tidak sesuai dengan Nash.
Setelah Allah dan Rasul saww menunjuki kita jalan yang lurus, maka pilihan ada pada diri kita sekarang. Mengikuti apa yang diperintahkan, maka kita akan sampai kepada tujuan yaitu bertemu dengan Allah swt di stasiun terakhir. Atau kita meninggalkan mereka, maka kita tergolong orang yang dimurkai (Maghdubi) dan orang yang tersesat (Dhallin).
[Abu Syirin Al-Hasan]