
کمالوندی
Muslim Indonesia Dan Iran Banyak Kesamaan
Pelayan makam Imam Ali Ridha dari kota Masyhad, Iran bersilaturahmi ke kampus Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, pada Rabu (10/8). Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Muhammad Jawad Nejawad Yazdi, selaku pimpinan rombongan disambut hangat Rektor UNISNU, Dr. Sa’dullah Assa’idi.
“Saya bergembira dengan kedatangan tamu dari Iran ini. Saya berharap bisa menjalin kerja sama budaya dan perabadaan keislaman,” kata Dr. Sa’dullah Assa’idi dalam sambutannya.
Rektor asal Jember ini juga berharap bahwa peluang kerjasama ini bisa terealisasi di masa depan.
“Kedepannya bisa kerjasama antar universitas, baik dalam bidang kebudayaan maupun pendidikan,” lanjutnya.
Sementara itu, Ustaz Miqdad Turkan dalam pengantarnya mengatakan bahwa banyak persamaan antara NU di Indonesia dengan Mazhab Syiah yang ada di Iran.
“NU yang Ahlisunnah dan Muslim Iran yang Syiah, sama-sama melakukan ziarah kubur dan memuliakan para wali. Para tamu yang datang ini adalah para pelayan di kuburan wali dari keturunan Nabi Muhammad saw, Imam Ridha di Masyhad,” terang Pimpinan Pesantren Darut Taqrib itu.
Menurut Kiai asli Jepara ini, silaturahmi semacam ini ampuh melawan gerakan intoleran dan merupakan cara terbaik menghilangkan prasangka sesama kaum Muslimin.
Ustaz Miqdad juga menyebutkan bahwa yayasan makam Imam Ridha sangat kaya, memiliki Rumah Sakit, Universitas, Pondok Pesantren dan juga mempekerjakan ribuan karyawan di samping ada juga para relawan yang berkhidmat.
“Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran adalah salah satu relawan di makam wali tersebut,” katanya.
Prof. Dr. Muhammad Jawad, dalam sambutannya memuji keramahan masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya Muslim Indonesia adalah Muslim yang mempraktikkan Islam rahmatan lil ‘alamin.
“Dengan melihat secara langsung masyarakat Indonesia yang ramah, maka apa yang saya dengar sejak lama ternyata benar. Dan kita sebagai kaum Muslimin adalah saudara, dan sesama saudara harus sering bertemu dan bertukar pengalaman,” kesannya.
“Persaudaraan Muslim antara Indonesia dan Iran karena berasal dari ayah yang sama yaitu Nabi Muhammad saw,” katanya. “Sebab jika sesama saudara akur dan saling menyapa tentunya akan menyenangkan orang tuanya. Dan kesenangan Nabi adalah kesenangan Allah SWT,” lanjut ulama bersurban itu.
“Saat ini kaum Muslimin membutuhkan persaudaraan dan persatuan, karena pusaka dan warisan Islam sekarang ini telah diserang oleh musuh-musuh Islam,” lanjutnya. “Maka kita harus memikirkan bagaimana mewariskan persatuan ini ke generasi setelah kita.”
“Muslimin Indonesia dan Iran banyak persamaannya, kita meyakini Alquran yang sama dan sama-sama mencintai Ahlul Bait Nabi saw. Dan mencintai keluarga Nabi adalah perintah Alquran.”
“Persamaan lain, adalah ziarah kepada para auliya yang merupakan ajaran Alquran. Para walilah yang mengingatkan kita kepada Allah, maka oleh karenanya, ziarah kita kepada wali hakikatnya mengingatkan kita kepada Allah.”
“Menjaga makam para wali adalah menjaga zikir kepada Allah. Dan sikap inilah yang harus kita wariskan kepada anak cucu kita,” terang ulama yang juga peneliti ini.
Ulama Iran ini juga mengingatkan, bahwa Imam Ridha bukan hanya milik Muslim Syiah semata akan tetapi milik semua kaum Muslimin. Karena kakeknya adalah Rasulullah, dan Imam Ridha mempraktikkan apa yang dilakukan kakeknya, yaitu menyebarkan rahmat kepada masyarakat di sekitarnya.
“Jutaan peziarah tiap tahun menziarahi makamnya, bahkan dari kalangan Kristen. Imam Ridha di masanya adalah seorang pejuang pemikiran, karena saat itu terjadi pergulatan pemikiran di tengah umat Islam,” tambahnya.
Dr. Muhammad Jawad juga mengingatkan, bahwa saat ini musuh-musuh Islam membiayai sekelompok kecil umat Islam untuk merusak Islam dari dalam. Mereka menampakkan Islam yang buruk, kasar dan intoleran.
“Saya berharap semoga persaudaran di antara kita terbina dengan baik, dan bisa bersama-sama melawan kelompok intoleran,” pungkasnya.
Acara silaturahmi selesai menjelang Zuhur, diakhiri saling menukar cindera mata dan peluk erat persaudaraan seolah tak ingin berpisah. (
Ketika Para Saksi Memberikan Kesaksiannya
Ismail Amin*
“…Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (Qs. Huud: 18)
Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.
Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang Beriman
“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).
Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”
Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3). Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).
Karenanya, tidak ada hujjah apapun bagi kita, bahwa dengan wafatnya para Rasul ataupun kegaiban imam di masa kita, menjadikan kita berkeyakinan bahwa mereka adalah sekedar orang-orang yang telah berlalu dan tidak memiliki sangkut paut apapun dalam kehidupan keseharian kita. Bersama Allah, mereka menyaksikan apapun yang kita lakukan. Mereka ikut bangga dan turut mendo’akan ketika yang kita lakukan adalah kebaikan, begitupun sebaliknya, betapa malu dan geramnya jika mengaku sebagai pecinta mereka namun yang dilakukan justru keburukan demi keburukan. Imam Husain as bersabda, “Bukanlah pedang-pedang terhunus di Karbalalah yang melukaiku, yang melukaiku adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai pecintaku.”
Setiap hendak melakukan sesuatu, semoga firman Allah SWT berikut senantiasa menjadi pengingat kita.
“Kalau begitu…” kata Allah, “ Saksikanlah (Hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (Qs. Ali-Imran: 81)
Kesaksian Para Malaikat
“Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qaf: 18).
Saksi selanjutnya adalah para malaikat. Mereka atas perintah Allah SWT tidak sekedar mengawasi dan menyaksikan saja apa yang sedang dan telah kita perbuat, namun lebih dari itu mereka mencatatnya dengan catatan yang sangat detail. Allah SWT berfirman, “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al Jaatsiyah: 29). Kelak di hari perhitungan hisab, malaikat akan memberikan kesaksiannya dengan memberikan catatannya kepada tiap-tiap manusia. Allah SWT berfirman, “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (Qs. Al-Isra’: 13). Dari penjelasan Al-Qur’an, ada tiga cara malaikat memberikan catatannya atas amal-amal perbuatan manusia.
Pertama, memberikannya dari sebelah kanan, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” (Qs. Al Haaqqah: 19). Dalam lanjutan ayat ini kita membaca, bahwa orang-orang yang diberikan kitab dari sebelah kanannya adalah mereka yang semasa hidupnya di dunia sangat yakin bahwa kelak apapun yang mereka lakukan akan diperhitungkan dan dimintai pertanggungjawaban. Karenanya, mereka hanya sibuk melakukan amalan-amalan kebaikan, kata mereka, “Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” (Qs. Al-Haaqqah: 20). Keyakinan inilah, yang akan membentengi seseorang dari berniat ataupun hendak melakukan keburukan-keburukan, sebab kemaksiatan dan dosa-dosa hanya akan mengotori catatan amalnya. Allah SWT berfirman kepada mereka yang menerima kitab catatan amalnya dari sebelah kanan, “Makan dan minumlah dengan nikmat, karena amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lalu.” (Qs. Al-Haaqqah: 24).
Kedua, memberikannya dari sebelah kiri., “Dan adapun orang yang kitabnya diberikan dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haaqqah: 25). Bagi yang menerima catatan amalnya dari sebelah kiri yang ada hanyalah penyesalan. Ia sendiri malu kalau sampai harus membaca sendiri kitab catatan amalnya, sehingga menganggap lebih baik, jika catatan itu tidak diperlihatkan saja. Mereka adalah orang-orang yang semasa hidupnya tidak beriman kepada Allah, tidak juga kepada para malaikat pengawas yang mencatat amal perbuatannya, sehingga kesibukannya adalah memperturutkan apa yang dikehendakinya. Setelah menerima kitab amalnya dari sebelah kiri, Allah SWT berfirman kepada mereka, “Ambillah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Karena dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar, dan juga tidak menganjurkan kepada (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka ia tidak memiliki seorang teman pun pada hari ini di sini, dan tiada (pula) makanan sedikit pun kecuali dari darah dan nanah, yang tidak akan dimakan kecuali oleh orang-orang yang berdosa.” (Qs. Al-Haaqqah: 30-37).
Ketiga, memberinya dari arah belakang, “Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang. Maka dia akan berteriak, “Celakalah aku”, dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Qs. Al Insyiqaaq: 10-12). Saya terpancing untuk membayangkan, saking geramnya malaikat pencatat, maka ia menyerahkan catatannya dengan cara melempari punggung pemiliknya, tidak menyerahkan dengan menunggu sipemiliknya berbalik terlebih dahulu. Pada kelompok ini, mereka bukan hanya tidak beriman kepada Allah, mereka bahkan yakin bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada-Nya. Lebih dari itu, mereka malah bangga dan bergembira telah melakukan dosa-dosa. Kebanggaan atas dosa-dosalah yang malah mendorong seseorang untuk cenderung memperbanyak dosa. Catatan amalnya penuh oleh tumpukan dosa-dosa dan sepah-sepah kekejian.
Lebih dari itu, bukan hanya malaikat pencatat saja yang mengetahui apa yang telah tercatat dari kitab catatan amalan-amalan kita, namun juga malaikat-malaikat yang tinggi kedudukannya di sisi Allah, “(Yaitu) kitab yang tertulis, yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin).” (Qs. Al-Muthafifin: 20-21).
Semoga dengan menyadari keberadaan dua malaikat pengawas di sisi kanan dan kiri kita yang tak pernah luput dari mencatat apapun yang kita lakukan, mendorong kita untuk senantiasa berbuat kebaikan dan malu jika keduanya harus menorehkan catatan hitam dalam catatan amal kita, yang di hari akhirat kelak, akan dibukakan dan diperlihatkan kepada semua penghuni langit, “(Ingatlah) suatu hari betis tersingkap (lantaran rasa takut yang menguasai) dan mereka dipanggil untuk bersujud, tapi mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tertunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diseru untuk bersujud, ketika mereka dalam keadaan sejahtera. (Tapi sekarang mereka tidak mampu lagi untuk itu).” (Qs. Al-Qalam: 42-43).
Kesaksian Dunia Beserta Segala Isinya
“Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Qs. Al-Isra’: 44)
Saya pilih ayat ini, untuk memberikan kita keyakinan, bahwa sesungguhnya segala yang maujud di alam semesta ini pada hakikatnya memiliki perasaan, ilmu dan kemampuan. Dari firman Allah SWT tersebut, sangat gamblang menjelaskan bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah SWT. Hanya saja, kita tidak mengerti dan mampu memahami bagaimana tasbih mereka. Gunung, awah, curahan hujan, benda-benda langit, tanah, pepohonan dan binatang-binatang semuanya di alam maujud ini bertasbih dan senantiasa memuji Allah dengan caranya sendiri-sendiri. Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) sepertimu.” (Qs. Al-An’am: 38).
Oleh manusia-manusia pilihan dan yang diridhai-Nya, tasbih-tasbih dan bentuk peribadatan segala benda-benda yang cenderung kita klaim sebagai benda mati mampu mereka pahami dan dengarkan. Diriwayatkan, setiap Nabi Daud as membaca kitab Zabur yang memuat firman-firman suci Allah yang diwahyukan kepadanya, dia mendengar benda-benda di sekelilingnya mengulang-ulangi apa yang dibacanya. Beliau mendengarkan suara tasbih dan munajat yang dipanjatkan lirih oleh gunung, pintu, dinding rumah, pepohonan dan burung-burung. Allah SWT berfirman, “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.” (Qs. Saba’: 10). Diriwayatkan pula, suatu hari Rasulullah saww mendengarkan rintihan tangis dari sebuah pohon kurma. Ia bersedih karena sebelumnya setiap Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya, Nabi sering menyandarkan tubuh mulianya di batangnya. Setelah dibuatkan mimbar oleh sahabat-sahabatnya, maka sejak saat itu Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya di atas mimbar. Untuk menghentikan tangisnya, Nabi pun seringkali mendekap untuk menenangkannya. Sayang, sepeninggal Nabi, pohon yang sangat mencintai dan dicintai Nabi ini, atas perintah khalifah kedua, ditebang dan disingkirkan.
Dari riwayat tersebut, tersampaikan, segala benda yang ada disekitar kita, bukan hanya sekedar mampu bertasbih dan memuji Allah saja, namun juga memiliki perasaan sebagaimana manusia. Mereka diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa melihat dan mendengar apapun yang kita lakukan. Mereka bisa memberi respon kecewa, marah, sedih ataupun turut bahagia atas apa-apa saja yang telah menjadi kesibukan dan kesenangan kita. Namun mereka hanya bisa diam, terpaku dan sekedar membiarkan saja apapun yang hendak kita lakukan. Mereka tidak punya kuasa apa-apa, sampai hari, dimana Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk membeberkan aib dan memberikan kesaksian.
Allah SWT berfirman, “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban berat (yang dilindungi)nya, dan manusia bertanya, “Mengapa bumi (jadi begini)?.” Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang demikian itu kepadanya.” (Qs. Al-Zalzalah: 1-5).
Dari ayat ini, Allah menjelaskan bahwa bumipun kelak di yaumul hisab, akan memberikan kesaksiannya. Meskipun secara dzahir beban berat yang dimaksud akan dikeluarkan bumi adalah batu-batuan, lahar, lumpur panas dan sebagainya, namun juga bisa kita tafsirkan, beban berat yang dimaksud adalah tumpukan aib-aib, dosa-dosa dan kekejian yang selama ini dilakukan umat manusia di atas permukaannya, yang bumi terasa berat lagi untuk menanggungnya, sehingga hari itu bumi menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. “Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” Kata Allah. Pada saat itu manusia betapa terkejutnya dan bertanya kepada bumi, “Mengapa engkau memberikan kesaksian yang memberatkanku?”. Bumi menjawab, “Karena Allah SWT telah memberikan izin kepadaku untuk berbicara. Hari ini adalah hari diungkapkannya segala aib dan cela. Kalaupun ketika di dunia aku diam itu karena aku belum mendapat izin saja untuk berbicara.”
Mullah Shadra ra, dengan bahasa irfani mengungkapkan, “Seluruh wujud mempunyai ilmu, perasaan, kemampuan dan kehendak, seukuran seberapa luas wujudnya.”
Pintu, dinding, meja, kursi, laptop, jam dinding yang berdetak, lampu, malam, siang, cahaya, kegelapan, botol-botol, gelas, ranjang, kelambu, sajadah dan debu-debu yang beterbangan setiap saat menyaksikan apa-apa yang kita lakukan. Kelak mereka akan menceritakan beritanya. Makanan dan minuman akan menuturkan kisahnya dengan cara apa ia diperoleh dan dihabiskan. Film-film dan gambar-gambar akan berbagi cerita. Sepatu, parfum dan pakaian yang kita kenakan, kesemuanya akan memberikan kesaksian, kemana dan untuk keperluan apa saja ia dikenakan.
Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya berita yang akan disampaikan oleh bumi ialah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, sama ada lelaki ataupun perempuan terhadap apa yang mereka lakukan di atasnya. Bumi akan berkata: Dia telah melakukan itu dan ini pada hari itu dan ini. Itulah berita yang akan diberitahu oleh bumi.” (HR. Imam Tirmizi).
Nah, mau kemana kita?. Kalau mau bermaksiat, silahkan cari tempat dimana tak satupun yang akan memberikan kesaksiannya kelak.
Allah SWT berfirman,“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam aneka ragam kelompok, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Al-Zalzalah: 6-8).
Ketika Tangan dan Kaki Bersaksi
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan bersaksilah kaki mereka terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan”. (Qs.Yasin: 65)
Saksi selanjutnya adalah anggota tubuh sendiri. Diantara para saksi, bisa jadi kesaksian yang diberikan anggota tubuh sendirilah yang paling dramatis sekaligus menyakitkan. Semasa di dunia, anggota tubuh sepenuhnya taat pada majikannya. Ia dikendalikan sepenuhnya, untuk memegang, berjalan dan beraktivitas. Tanpa kita sadari mereka seolah-olah, teman yang sangat loyal dan setia. Namun di padang Masyhar, ketika manusia diperhadapkan di pengadilan Ilahi yang Maha Dahsyat, anggota tubuh kita malah membeberkan aib-aib dan kesalahan kita secara terang-terangan dan terbuka. Tangan yang selama ini menjadi sahabat terdekat, yang membantu terpenuhinya segala hasrat dan keinginan, yang membuat kita mampu menggenggam dan meraih segala impian dan cita-cita, atas kehendak Allah membeberkan tentang kekejian, kebohongan, pengkhianatan, kejahatan dan kemunafikan. Tidak ada yang luput dan meleset sedikitpun. Kaki yang dahulunya loyal dan setia dilangkahkan kemana saja, berkonspirasi untuk mengumbar kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.
Allah SWT berfirman, “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Qs. An-Nur: 24-25).
Setiap anggota tubuh memberikan kesaksiannya atas amal-amal kita di dunia. Mata akan bersaksi atas apa yang dilihatnya, telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya, tangan berkisah tentang apa saja yang telah digenggam dan disentuhnya, kakipun menuturkan kembali riwayat perjalanannya layaknya reportase jurnalistik saking mendetailnya. Namun ada perlunya juga kita mengajukan pertanyaan, apa hikmahnya Allah memerintahkan kepada seluruh anggota tubuh untuk turut memberikan kesaksian?. Apakah saksi-saksi sebelumnya belumlah cukup?. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Qs. Al-Kahfi: 54), di antara hikmahnya, kalau manusia masih bisa berkelit dan membantah kesaksian-kesaksian yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan kuasaNya, anggota tubuh tidak bisa mengingkari berbagai hal yang telah dilakukannya, mereka akan menceritakannya sedetail-detailnya. Ditutup atau dikuncinya mulut, bukan berarti mulut terhalangi dari memberi kesaksian, melainkan maksudnya, mulut berbicara bukan lagi atas kehendak pemilik sebelumnya, semuanya telah kembali kepada Allah dan dengan izin-Nya, mulut dan lidahpun diperkenankan memberikan kesaksiannya.
Lidah, tangan dan kaki pada hari itu menjadi saksi-saksi nyata yang tak terbantahkan lagi, mengingat kebersamaannya selama di dunia dalam kehidupan manusia. Bersama lidah, tangan dan kaki, kebajikan-kebajikan ditunaikan, bersamanya pula, kemaksiatan diselenggarakan. Bersamanya, pengabdian maupun pengkhianatan, kesetiaan maupun perselingkuhan berjalan saling tumpang tindih dan berebut pengaruh. Manusia bisa saja membantah dan mengelak dari catatan amalnya, namun tidak kuasa lagi membantah, ketika anggota tubuhnya sendiri yang memberi kesaksian. Maka yang ada tinggal kepasrahan menanti nasib, tidak ada lagi daya dan upaya selain keputus asaan, karena persaksian telah menjadi kuat dan pembuktian sudah menjadi akurat.
“Dan (ingatlah) hari (ketika) para musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Kamu senantiasa menyembunyikan dosa-dosamu bukan sekali-kali lantaran kamu takut terhadap persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, tetapi karena kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan ini adalah prasangka jelek yang kamu miliki sangka terhadap Tuhan-mu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Fushilat: 19-23).
Yang tersisa hanyalah sebuah protes yang tak berarti, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?”
Allah SWT menjawab, “ …agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah..”(Qs. An-Nisa: 165).
Begitu… ampuni aku ya Allah….
* Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran (Qom, 22 April 2010)
Kembali Kepada Al Quran Dan Ahlul Bait
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.
Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.
Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.
Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).
Petunjuk Umat
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.
Penyimpangan
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.
Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University
Islamic Republic of Iran
Sekjen Ahlulbait Indonesia: Money Politics Haram Hukumnya!
Beberapa bulan menjelang April 2014, warna-warni atribut dan bendera parpol mulai terpasang di sepanjang jalanan kota dan desa di seantero negeri. Pemilu, pesta demokrasi, pesta besar rakyat, tak lama lagi bakal dihelat. Seperti lima tahun yang lalu, para capres dan calon wakil rakyat pun mulai beraksi ‘turun gunung.’ Mereka rela berbasah-basah lumpur sawah kunjungi petani, ikut berakrab bau amis ikan di antara nelayan, beramah-tamah sapa tukang becak, sopir angkot, tukang ojek, dan pedagang pasar. Tak lupa juga galang acara silaturahmi dengan para bapak di majelis-majelis taklim, ibu-ibu pengajian, para remaja karang taruna di arena-arena olahraga sambil bawa sumbangan berupa uang maupun barang. Tujuannya satu, meraup simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya.
Bagaimana halnya dengan muslim Syiah Indonesia? Sekjen DPP Ahlulbait Indonesia menyatakan bahwa sebagai warga negara Indonesia sudah tentu mereka semua akan berpartisipasi aktif dalam pesta rakyat ini. Untuk itu dia mengingatkan muslim Syiah yang ada di Indonesia untuk menggunakan hak pilih mereka dengan baik dan benar.
“Memilih adalah keniscayaan dalam hidup manusia, maka tidak pernah lepas dari pertanggung jawaban. Bukan karena duit, bukan karena golongan namun atas dasar rasional bahwa mereka yang akan dipilih mempunyai kompetensi menjadi pemimpin,” tegasnya kepada ABI Press di ruang kerjanya, kantor DPP Ahlulbait Indonesia, Jakarta Selatan. “Karena itu, haram hukumnya menerima uang dari caleg maupun capres,” lanjutnya.
Menurut Ahmad Hidayat, kalau sudah jelas ada calon tertentu menawarkan uang agar dirinya terpilih, maka jangan dipilih. Sebab itu adalah sebuah kejahatan. Muslimin Syiah wajib memiliki pandangan yang benar tentang bagaimana memilih calon pemimpin yang terbaik. Karena semua ini adalah demi kepentingan bangsa dan negara yang kita cintai.
Dia menjelaskan salah satu sebab diharamkannya money politics dalam agama adalah karena dari sana benih-benih kejahatan selanjutnya biasanya akan muncul dan saling terhubung satu sama lain hingga menjadi rantai kejahatan. Tentang sejumlah orang yang biasa mengatakan, “terima saja duitnya tapi jangan pilih orangnya,” hal itupun sangat keliru menurut Ahmad Hidayat, sebab dengan makin banyaknya orang yang suka terima uang dengan cara itu, cepat atau lambat akan membentuk karakter rakyat yang materialistik dan hanya memikirkan kepentingan sesaat saja.
“Money politics juga dapat merusak tatanan kehidupan politik bangsa kita. Karena bila kebiasaan buruk itu ditoleransi bahkan dipelihara dan dilestarikan, maka bangsa kita tidak akan pernah dewasa. Dengan money politics, siapa yang punya uang, maka dialah yang akan berkuasa. Betapa bahayanya kehidupan sebuah bangsa bila yang menjadi pemimpin ternyata orang-orang yang sesungguhnya tak punya kapasitas,” katanya.
Ahmad Hidayat di akhir wawancara menyatakan, apabila money politics terus terjadi di tiap pemilu, maka sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat menemukan pemimpin terbaik, padahal hajatan pemilu itu adalah untuk mencari pemimpin terbaik di negeri ini. “Itulah yang saya maksudkan tadi. Hal itulah yang juga menyebabkan haramnya praktek politik uang. Haram bagi yang memberi, haram juga bagi yang menerima.”
Perda Syariat Dan Proyek Islamisasi Di Indonesia
"Maaf tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab.” Dimanakah peraturan semacam itu layak diterapkan? Di rumah sakit kah? Kantor polisi kah? Atau di pusat perbelanjaan? Yang ada, jika itu diterapkan di negeri ini, tentu perempuan yang sakit tanpa memakai jilbab tidak akan bisa dilayani, perempuan tanpa jilbab tidak bisa mengadu ke polisi jika mengalami masalah, atau toko-toko akan sepi pembeli.
Faktanya, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak budaya, agama, dan keyakinan yang berbeda-beda. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi indonesia bukan negara Islam, dan umat Islam di indonesia kenyataanya tidak semua memakai jilbab.
Tapi sayangnya, peraturan di atas sempat diberlakukan di sebuah lembaga pemerintahan. Hal itu disampaikan oleh Ahmad Rumadi, Koordinator Program The Wahid Institute dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society yang bertajuk “Perda Syariat dan Proyek Islamisasi di Indonesia.” Sambil memperlihatkan foto sebagai bukti, Rumadi menjelaskan, foto itu diambil oleh relawan Wahid Institute di sebuah kantor Kelurahan di Bulukumba. “Ini saya anggap Perda diskriminatif,” kata Rumadi dengan nada kecewa. Ia menambahkan, kantor kelurahan sebagai lembaga negara seharusnya dapat melayani semua warga tanpa membedakan golongan, apalagi sekadar baju yang dipakainya. Tapi sayangnya diskriminasi itu masih saja terjadi.
Rumadi yang juga menjadi nara sumber pada hari itu sedikit menyinggung masalah perkembangan Islam di indonesia. Menurutnya, banyak sekali kelompok-kelompok atau orang-orang yang ingin mengislamisasi hukum. Bagaimana hukum Islam supaya bisa menjadi bagian dari hukum negara. Itu tentu karena ada dasar keyakinan. Itu bermula dari anggapan bahwa Islam tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, atau setidaknya hukum-hukum yang ada di negara itu harus diwarnai hukum Islam. Salah satu usahanya menurut Rumadi adalah menguasai panggung politik.
Ideologi Islam menjadi pondasi bagi kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, khilafah dan sebagainya itu. Meskipun pada masa-masa awal kemerdekaan, kelompok-kelompok yang mengusung ideologi Islam kalah, namun Islam politik hingga saat ini tidak pernah mati. Kadang bergerak di bawah tanah, kadang muncul ke permukaan, tergantung situasi politiknya.
Mereka juga mengklaim Khilafah sebagai solusi seluruh permasalahan. “Foto ini waktu demo kenaikan harga BBM. Mereka yakin jika Khilafah ditegakkan maka harga BBM bisa turun,” ujar Rumadi sambil memperlihatkan foto. Dia menyontohkan sebuah aksi yang dilakukan oleh salah satu kelompok pengusung ideologi Islam itu.
Mereka juga sering mengampanyekan tentang wajib tegaknya syariat dan hukum Islam, yang justru tidak mencerminkan nilai keislaman itu. Terbukti, misalnya di Aceh yang menerapkan hukum Islam, tapi pada kenyataannya, tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam tetap menjamur di sana.
Kemudian ada juga regulasi yang mengatur tentang keterampilan beragama, kemampuan baca tulis Al-Quran. Jadi hal ini benar-benar dipaksa dan dikait-kaitkan dengan banyak hal. Akibatnya, kalau di Aceh menyangkut calon Bupati atau Walikota, maka yang tidak bisa baca Al-Quran sudah pasti tidak akan bisa mencalonkan diri.
Satu Islam Rahmatan Lil Alamin
Saling mengkafirkan antar umat islam bukanlah urusan kecil dan sederhana, melainkan persoalan yang besar dan sangat berbahaya. Demikian ungkap Habib Rizieq Shihab dalam Tabligh Akbar di Masjid Raya Bintaro Jaya, Sektor 9 Jakarta Selatan, Senin (31/3).
Selain bahwa saling mengkafirkan merupakan bibit permusuhan dan bibit perpecahan. “Hal tersebut juga memicu pertumpahan darah terhadap kelompok yang dianggap kafir,” ungkapnya.
Dalam acara bertema “Islam Yang Satu Menuju Rahmatan Lilalamin” itu Habib Rizieq juga menghimbau ribuan jamaah yang memadati pelataran masjid agar mengedepankan dialog antar umat Islam, antar mazhab dan antar golongan. Namun bukan sekadar dialog yang perlu ditekankan, melainkan dialog yang ilmiah berdasarkan keilmuan, dan berdasarkan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. “Malah bukan hanya ilmiah saja, namun juga harus berakhlakul karimah,” tegasnya.
Selain Habib Rizieq, hadir juga Ustad Husein Alatas. Sependapat dengan Habib Rizieq, Ustad Husein juga menekankan pentingnya persatuan antar umat islam dari berbagai kalangan. Menurutnya, pensesatan dan pengkafiran hanyalah agenda musuh yang digunakan untuk memecah-belah umat Islam.
Acara yang berlangsung sejak pukul 09:00 hingga 12:00 WIB itu disiarkan langsung oleh Radio Silaturrahmi (Rasil) AM-720 Jakarta. Meski sebelumnya beredar isu teror via SMS tentang penolakan bahkan seruan pembubaran acara tersebut, namun hingga acara selesai, isu itu hanya isapan jempol belaka.
Tampaknya kaum Muslimin sudah semakin sadar tentang lebih perlunya menjaga ukhuwah dibandingkan harus terus-menerus terjebak dalam upaya pihak-pihak wahabi takfiri yang hanya ingin melestarikan upaya pecah-belah di antara sesama umat Islam saja. (
Fatimah Az-Zahra: Teladan Utama Manusia Dan Kemanusiaan
Kebutuhan terhadap sosok atau figur untuk diteladani adalah naluri alamiah yang ada dalam diri tiap manusia. Hal itu merupakan jalan manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan.
Demikian disampaikan Ustad Ahmad Hidayat dalam peringatan Haul Sayyidah Fatimah Az-Zahra as pada hari Jumat (4/2) lalu bertempat di kantor Dana Mustadhafin, Duren Tiga Jakarta Selatan.
Ustad Ahmad menilai, seringkali orang keliru dalam memilih figur yang dimaksudkan. Ada satu hal yang sering dilupakan bahwa ketika seseorang mencari figur idola sebenarnya ia ingin merefleksikan dirinya seperti orang yang hendak dijadikannya teladan terbaik dalam hidupnya. Namun demikian, banyak orang memaknainya sebatas material saja. Padahal bukan itu yang dibutuhkan naluri.
Banyak orang misalnya menjadikan artis sebagai figur idola karena kecantikannya, kepandaian berakting, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai histeris seperti merasakan puncak kebahagiaan ketika bertemu dengan artis yang diidolakannya itu. Inilah yang disebut sebagai menilai figur secara materialnya saja.
Adapun sosok Fatimah Az-Zahra as adalah tipe manusia yang tidak saja menjadi simbol bagi kaum perempuan. Namun simbol bagi manusia dan kemanusiaan. Karena itulah di dalam tradisi umat Islam secara umum ada peringatan Maulid Nabi dan seterusnya. Termasuk juga peringatan syahadah Sayyidah Fatimah di dalamnya, dengan tujuan kembali menggali sosok Fatimah Az-Zahra as untuk menjawab kebutuhan tadi. Karena naluri membutuhkan figur bukan sekadar aspek fisik tapi juga spiritualnya.
Maka ketika kita menjadikan Fatimah az Zahra sebagai figur teladan setelah mengenali sifat-sifatnya, lalu kita berusaha menjadi seperti beliau, maka kita akan merasakan sebuah peristiwa spiritual yang memuaskan jiwa. “Itulah kelebihan menjadikan sosok tertentu sebagai figur teladan yang tidak sebatas pada aspek materialnya saja,” tutur Ustad Ahmad.
Lalu, siapakah Fatimah Az-Zahra, yang namanya sedemikian agung hingga patut untuk dijadikan figur teladan? Dalam hal ini, Ustad Ahmad menyampaikan bahwa Fatimah Az-Zahra as adalah wanita paling agung sepanjang masa. “Tidak ada satu pun pengkaji tentang manusia mulia di dunia ini yang tidak menyimpulkan bahwa Fatimah Az-Zahra as melampaui seluruh manusia kecuali Rasulullah SAW,” tambahnya.
Sejak ibundanya, Khadijah meninggal dunia, Fatimah masih berusia lima tahun. Beliau menggantikan ibundanya mendampingi dan merawat Rasulullah dalam segala rintangan dan cobaan. Hingga akhirnya Rasulullah memberinya gelar Ummu Abiha yang berarti, ibu dari ayahnya. Bisa dibayangkan, peran apa yang Fatimah lakukan dalam usia belianya? Itulah salah satu keutamaan beliau yang tidak dimiliki manusia selainnya.
Fatimah merupakan hamba Allah yang juga terikat dengan hukum-hukum syariat sebagaimana manusia lain, namun tingkat ketaatannya kepada Allah melebihi yang lainnya meski menurut riwayat, beliau hanya hidup di dunia selama 18 tahun. Usia yang sangat singkat namun menorehkan prestasi ketakwaan yang sangat tinggi, sehingga dengannya beliau tercatat sebagai manusia khusus di mata Allah SWT dan Rasulullah Saw.
Pernah Rasulullah bersabda, “Kalau aku rindu mencium aroma surga, aku menemui Fatimah Az-Zahra untuk merasakan bagaimana aroma surganya Allah SWT.” Dengannya, Fatimah Az-Zahra mendapat julukan al hawra’ al insiyah atau wewangian surga, aroma surgawi yang dihidupkan Allah di tengah kehidupan manusia. Atau bisa juga diartikan bidadari yang bertajalli dalam bentuk manusia.
Dan masih banyak lagi keutamaan Fatimah Az-Zahra, mulai dari ketaatan dan bakti terhadap suaminya, kesabaran mendampingi dan merawat ayahnya, serta ahli ibadah di hadapan Tuhannya. Dengan memperingati Syahadah Fatimah Az-Zahra as, Ustad Ahmad mengharapkan agar jamaah yang hadir dapat mengambil inspirasi dari figur agung puteri kesayangan Rasulullah itu. (
Pelajaran Cinta Dan Benci
Cinta dan benci merupakan dua hal yang saling berlawanan. Cinta menggambarkan penerimaan, kesepakatan, kerinduan, rasa ingin menyatu, memiliki, mengikuti dan bahkan berkorban bagi seseorang terhadap sesuatu yang dia cintai. Sedangkan benci kebalikannya, menggambarkan penolakan, ketidaksukaan yang sangat, dan rasa jijik serta ingin menjauhi terhadap sesuatu yang dia benci. Mungkinkah pada diri seseorang timbul cinta dan benci pada obyek yang sama?
Hal ini tentu tidak mungkin terjadi karena cinta berlawanan dengan benci, dan tentu hukum logika menafikan premis bergabungnya cinta dan benci dari satu subyek (individu) terhadap obyek yang sama, karena ketika seseorang cinta terhadap sesuatu mustahil dia membenci sesuatu yang dia cintai tersebut dan hukum ini juga berlaku sebaliknya. Ini sesuatu yang sangat jelas.
Dengan demikian, dalam diri seseorang tidaklah mungkin timbul cinta dan benci pada obyek yang sama. Tetapi seseorang dapat mencintai sesuatu hal dan membenci sesuatu hal lainnya. Uniknya cinta dan benci ternyata dapat timbul pada obyek yang sama manakala subyek yang mencinta dan membenci berbeda. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sinilah letak keunikannya, dan ketika kita dapat memahami ini akan dapat membuka cakrawala berfikir kita dan juga menimbulkan perasaan ‘cinta saja’ terhadap segala sesuatu, sekaligus menghapus rasa benci terhadap sesuatu yang lain.
Lho bagaimana mungkin manusia hanya memiliki cinta dan tidak ada rasa benci? Bukankah pada dasarnya manusia membenci hal-hal buruk seperti penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, serta perampokan dan lain-lain hal yang dikategorikan buruk oleh kemanusian dan akal sehat serta agama? Tepat sekali! Benci dan kebencian pada hal-hal buruk yang disebutkan di atas sebenarnya bukan disebut benci tetapi cinta.
Mengapa? Karena manusia cinta pada hal-hal yang sebaliknya dari penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, dan perampokan yaitu pemberian hak dan kebebasan, kelembutan dan kasih sayang, dermawan dan rasa ingin berbagi, serta penghormatan dan penjagaan hak-hak atau keadilan. Dengan demikian maka sebenarnya benci itu tidak benar-benar ada secara eksistensi dan obyektif. Mengapa bisa terjadi? Karena benci tidak akan pernah timbul manakala kita benar-benar mencintai yang sebaliknya dari yang kita benci tersebut sebagaimana digambarkan di atas. Kalau begitu, mengapa kita harus benci hanya pada adanya perbedaan pemahaman yang bahkan diakui bersama sesungguhnya bersumber dari sumber yang satu?
Mari kita runut bersama-sama. Kita coba kembali pada hal unik yang disebutkan di atas tentang fenomena adanya hasil yang bertolak belakang (bertentangan) bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang berlawanan dalam mengidentifikasi dan mengenali serta menyimpulkan suatu obyek. Subyek A mengidentifikasi, mengenali dan mengambil kesimpulan tentang obyek X menghasilkan cinta dan kecintaan, tetapi subyek B mengidentifikasi, mengenali dan menyimpulkan suatu hal yang sama yaitu obyek X tetapi menghasilkan benci dan kebencian.
Suatu obyek X yang hendak diidentifikasi, dikenali dan disimpulkan oleh subyek A maupun subyek B adalah sesuatu yang ada di luar diri subyek A maupun subyek B. Obyek X ini memiliki identitas obyektif dan tidak tergantung pada sesuatu di luarnya. Tetapi ketika subyek A dan subyek B tertuju perhatiannya pada obyek X, maka obyek X diberikan predikat-predikat berupa suatu nilai, identitas, status, dan hal lainnya untuk dapat menyebut dan mengenali serta menyimpulkan obyek X tersebut. Pandangan dan penilaian subyek baik A maupun B terhadap obyek X tentu sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang melekat dan dimiliki subyek dan menjadi modal bagi subyek untuk mengenali dan mengidentifikasi obyek X tadi. Sesuatu yang melekat pada subyek dan sekaligus menjadi modal bagi subyek tersebut umumnya berbeda antara yang ada dan dimiliki subyek A dan subyek B. Hal inilah yang kemudian dapat dipahami ketika dalam fenomena kehidupan orang dapat berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
Seseorang yang sehat pemikirannya dan tidak mengidap sindrom superioritas pasti akan dengan sadar mengakui bahwa modal yang ada pada dirinya bukanlah segala-galanya dan satu-satunya yang lengkap, yang hal itu tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu juga sangat mungkin sekali dirinya tidak atau belum memiliki atau memahami sesuatu ilmu dan pemahaman yang dimiliki oleh orang selainnya. Dengan menyadari hal ini, sangat naif bila kita mengklaim bahwa diri kita lah yang mempunyai identifikasi dan pengenalan terhadap sesuatu secara obyektif dan mutlak sembari menyatakan bahwa identifikasi dan pengenalan orang lain terhadap sesuatu itu seluruhnya salah dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Apalagi bila kesimpulan yang diambil itu bukan langsung berasal dan bersumber dari dirinya tetapi dari kesimpulan orang lain lagi yang kita juga belum mengidentifikasi validitas dan kebenarannya, tetapi langsung kita telan mentah-mentah tanpa reserve, seolah-olah dia yakin Tuhan langsung berbicara kepadanya tentang hal tersebut.
Prinsip keterbukaan pemikiran dalam berfikir obyektif tanpa mengklaim kebenaran hanya ada pada pendapatnya saja ini sudah semestinya berlaku bagi seluruh manusia selain Nabi dan Rasul atau utusan-Nya. Mengapa demikian? Bukankah Nabi dan Rasul juga manusia? Benar bahwa Nabi dan Rasul juga manusia, tetapi Nabi dan Rasul adalah utusan yang dipilih oleh Pengutusnya yaitu Allah Swt, dan diberikan wahyu serta bimbingan langsung dari-Nya. Sehingga apa yang ada pada diri Nabi dan Rasul adalah bersumber pada kebenaran obyektif dan mutlak (baca: bukan spekulatif).
Hal tersebut kita yakini karena kita sebelumnya telah percaya dengan eksistensi Allah Swt dan bertauhid kepada-Nya, yang meniscayakan bahwa Nabi dan Rasul-Nya adalah representasi-Nya dan sebagai pembimbing yang mengajak seluruh manusia pada jalan keselamatan, yang terpelihara dari dosa sehingga meniscayakan ketaatan kepada mereka secara mutlak. Makanya kita saksikan, tidak pernah terjadi pertentangan apalagi permusuhan dan saling menyalahkan antara sesama Nabi dan Rasul karena sesuatu yang ada pada dirinya bersumber langsung dari bimbingan Yang Maha Mutlak. Bahkan kita sering mendegar suatu riwayat yang menyatakan bahwa jika Nabi dan Rasul dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw dikumpulkan niscaya tidak akan pernah didapati pertentangan pendapat di antara mereka karena segala yang ada pada mereka bersumber langsung dari Allah Swt.
Kembali pada masalah kita semua, yaitu umat manusia sebagai pengikut para Nabi dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw, sudah selayaknya menyadari bahwa diri kita ini bukanlah Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Dengan demikian atas dasar apa manusia berperan seperti layaknya Nabi dan Rasul bahkan memposisikan dirinya seolah sebagai Tuhan yang memberikan vonis hukuman salah, sesat, kafir, neraka kepada selainnya dengan lantang sementara kita menyadari bahwa sesuatu dasar yang kita miliki sebagai bahan memberi vonis adalah ‘spekulatif’ dalam arti tidak mendapat dan mendengar langsung dari Nabi dan Rasul apalagi dari Allah swt, dan tidak jarang pula bersifat subyektif serta diiringi dengan hawa nafsu merasa paling utama dan benar sendiri. Bukankah Allah Swt menjelaskan kepada kita secara gamblang dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat: 14) “… dan janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, tetapi katakan kami telah ber-Islam (berserah diri)” ?
Keimanan dilandasi oleh suatu proses tertentu yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keyakinan. Sedangkan keber-Islam-an adalah pernyataan sikap ketundukan dan berserah diri pada kebenaran agama. Ayat di atas sungguh luar biasa bagi pembelajaran kita semua, sebab bagaimana mungkin proses yang kita jalani dan yang membuahkan keyakinan saja tidak boleh dijadikan dasar klaim kita dalam membenarkan diri kita sendiri dan menyalahkan/menyesatkan dan memvonis pihak lain, tetapi justru Allah Swt memerintahkan diri kita untuk berserah diri, yang artinya mengembalikan kebenaran sejati dan mutlak yang memang hanya ada pada dan milik Allah Swt saja.
Hal tersebut bukan berarti kita merelativisasi keyakinan yang kita miliki, tetapi justru membumikan keber-Islam-an yang rahmatan lil ‘alamin. Mengapa? Kembali sebagaimana yang disebutkan di atas karena kita ini bukan Nabi dan Rasul, walaupun segudang sumber dan pemikiran yang kita miliki, sekali lagi kita mesti sadar kita ini bukan Nabi dan Rasul yang berkomunikasi ‘langsung’ dengan Allah Swt. Kita tetap yakin agama ini sungguh sempurna mempunyai argumen yang sangat kokoh dari segala sisi, jadi jangan khawatir.
Nah, kembali pada pokok pembahasan cinta dan benci, sudah selayaknya kita mengambil pelajaran dari manusia-manusia suci keluarga Nabi alaihimussalam. Dikisahkan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Nabi dicaci-maki oleh seseorang dan beliau bergeming, hanya mendengarkan serta diam seribu bahasa. Ketika itu beberapa orang yang menyaksikan sesak dadanya mendengar caci-maki tersebut yang sebenarnya tidak ada pada diri beliau. Beliau ditanya, “Wahai cucu Rasul, mengapa engkau tidak menanggapi atau membalas caciannya padahal segala caci-maki tersebut tidak ada pada dirimu?” Beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mesti membalasnya karena ayahku, ibuku, kakekku tidak pernah mengajarkan kebencian, cacian dan makian (aku tidak diajari membenci).”
Demi Allah, memang Nabi Muhammad Saw dan keluarga sucinya mengajarkan kepada kita juga umatnya apa itu cinta dan mencintai dan bukan mengajarkan benci dan membenci, meski sebenarnya yang terakhir ini tidaklah eksis melainkan hanya bayang-bayang non-eksistensi yang dibisikkan oleh nafsu syaithani.
Mengapa Islam Tumbuh Di Madinah? Sebuah Jawaban Awal
Islam adalah agama pemersatu, agama yang telah mempersatukan dan membangun tali persaudaraan di antara beragam suku Arab yang terus menerus bertikai kala itu. Hijrah Nabi Muhammad ke Kota Yatsrib yang kini disebut dengan Madinah itu secara jelas memanifestasikan hakikat Islam sebagai agama pemersatu, rekonsiliator, dan pengayom toleransi dan pluralisme. Jika di Mekah yang monokultural dan monolitik, Islam tertolak dan Baginda Nabi Muhammad terusir, maka itu menunjukkan sifat Islam yang tidak sesuai dengan lingkungan yang seragam dan tidak menerima perbedaan. Sebaliknya, di Madinah yang multikultural, Islam justru menemukan habitat yang ideal. Di Madinah, Islam tumbuh sehat, kuat dan cepat, dalam milieu yang kondusif. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama multikultural sejak dalam buaiannya, sejak dalam periode paling awalnya. Dan karena itulah Islam tidak bisa tidak mesti mencari lingkungan dan wilayah multikultural lain agar dapat terus mekar, memperlihatkan keindahannya dan semerbak wanginya.
Dalam bukunya tentang kehidupan Nabi, Muhammad Rasulullah, Syeikh Abul-Hasan Ali an-Nadwi telah mempersembahkan satu bab lengkap mengenai gambaran rinci ihwal struktur sosial Madinah ketika Nabi dan para sahabatnya menetap di sana bersama saudara mereka yang merupakan penghuni tetap kota tersebut. Dia menunjukkan Madinah adalah kota dengan beragam keyakinan, budaya, etnik, bahasa, suku dan kelompok sosial yang memberikan kota itu suatu lanskap plural yang kaya dan penuh warna. Hal ini jelas berbeda dengan situasi Mekah yang bersifat monolitik. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam justru dapat tumbuh besar di lingkungan yang tidak monolitik, suatu lingkungan yang terbuka dan menerima perbedaan pandangan dan keyakinan.
Di dalam lanskap multikultural yang seperti inilah Islam dapat hadir dalam kekuatan penuh. Sebaliknya, di Mekah, Islam menjadi agama yang tersisihkan karena masyarakat Mekah pada umumnya tertutup dan statis. Masyarakat Mekah tidak mengenal perbedaan dan keberagaman, bahkan menolak keras segala rupa perbedaan yang coba ditawarkan. Fakta ini memperkuat keyakinan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama terbuka, yang akan tumbuh jauh lebih pesat di milieu yang dinamis dan heterogen. Praduga bahwa Islam adalah agama monolitik yang tidak mendukung keberagaman pandangan dan penafsiran adalah miskonsepsi yang nyata. Fakta masuknya Islam ke berbagai wilayah dengan pedang lebih menunjukkan bahwa wilayah-wilayah itu bersifat monolitik dan totaliter ketimbang menunjukkan bahwa Islam adalah “agama haus darah” yang mendorong pengikutnya pada fanatisme dan kekerasan.
Mungkinkah Islam yang sejak semula memiliki memiliki karakteristik seperti itu sekarang malah menjadi sumber konflik sektarian bagi para pemeluknya? Jelas tidak mungkin! Kita perlu mencari akar-akar perpecahan dan konflik tersebut dari luar ajaran Islam itu sendiri. Berbagai pengamatan sederhana sebenarnya dapat menguraikan dilema tersebut. Salah satunya ialah dari kebodohan sebagian penganut Islam mengenai hakikat ajaran Ilahi ini. Kelompok-kelompok yang mencoba memurnikan Islam dengan cara mengkafirkan atau memusyrikan praktik-praktik masyarakat sebenarnya muncul dari kebodohan akan ajaran Islam yang hakiki. Demikian pula dengan anggapan keliru di kalangan sebagian penganut Islam yang mencoba menyamakan fanatisme dengan ketaatan dan keberagamaan yang ketat. Keberagamaan ketat yang bersifat sakral itu tidaklah mungkin berakibat pada fanatisme, melainkan justru akan membawa pada penghayatan ruhani dan tumbuhnya nilai toleransi, kasih sayang dan kemanusiaan dalam diri seorang Muslim.
Pada sisi lain, ada upaya-upaya dari dalam kalangan Islam untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme melalui cara-cara yang ekstrem pula. Mereka muncul dalam baju liberalisme Barat yang kosong dari nilai-nilai Islam dan spiritual untuk kemudian menawarkan sintesis antara Islam dan Barat dalam bentuk yang tidak autentik. Sintesis seperti ini tidak akan melepaskan umat dari belenggu fanatisme, melainkan justru akan membangkitkan letupan fanatisme dan gerakan puritanisme yang lebih anarkis. Oleh sebab itu, cara yang benar untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme ialah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sejati, melalui metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang rasional, ilmiah dan berpijak pada semangat toleransi dan penerimaan pada keberagaman penafsiran.
Di dalam Islam memang ada dua Mazhab besar. Dua Mazhab Islam itu ialah Ahlusunah dan Syiah. Di dalam Mazhab Syiah ada aliran Itsna ‘Asyariah, Zaidiyah dan Ismailiah. Di dalam Mazhab Ahlusunah, ada aliran Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Namun demikian, perbedaan antara kedua mazhab besar itu pada umumnya berkisar pada masalah-masalah politik, fiqih dan historis. Titik-titik persamaan antara keduanya, misalnya, jauh lebih banyak ketimbang titik-titik persamaan antara dua sekte besar dalam Kristen, yakni Katolik dan Protestan. Bahkan, titik-titik perbedaan yang terdapat antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah tidak ada yang bersifat mendasar.
Sekadar contoh, Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui satu bentuk syahadat, satu al-Qur’an, satu Nabi dan satu kiblat. Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan amar makruf nahi mungkar. Shalat yang wajib juga sama: subuh, dzuhur, ashar, magrib dan isya. Rakaat pada masing-masing shalat tersebut juga sama: 2 untuk subuh, 4 untuk dzuhur dan ashar, 3 untuk magrib dan 4 untuk isya. Dengan demikian, perbedaan cabang yang ada di antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah, apapun bentuknya, tidak bisa menggugurkan semua persamaan yang menjadikan mereka semua satu bagian dari umat Islam.
Lebih jauh, perbedaan di antara Mazhab Islam sesungguhnya lebih mencerminkan apresiasi terhadap kekayaan sumber-sumber khazanah Islam, ketimbang mencerminkan perbedaan keyakinan. Apresiasi itulah yang secara istilah disebut dengan ijtihad. Dalam sebuah Hadis, Nabi Besar Muhammad pernah bersabda: “Ikhtilafu ummati rahmah” (Perbedaan di dalam umatku adalah rahmat). Jadi, di sini Nabi menyebutkan bahwa perbedaan penafsiran dan pandangan yang ada di dalam umat adalah manifestasi dari berlimpahnya karunia Allah.
Akhir-akhir ini, terutama dengan semakin memanasnya situasi di Timur Tengah, perbedaan antara Mazhab Islam itu kembali menimbulkan gesekan yang berbahaya. Pertikaian yang sebelumnya bersifat politik pun bergulir menjadi potensi konflik sektarian di antara berbagai penganut mazhab yang berbeda dalam Islam. Oleh sebab itu, muncul tuntutan besar untuk kembali mempererat tali persaudaraan di tengah umat dan membangun persatuan Islam (wahdah Islamiyyah), tanpa melihat pada perbedaan2 pandangan yang ada.
Akan tetapi, apakah maksud persatuan Islam atau wahdah Islamiyyah itu? Apakah ia berarti harus ada satu Mazhab yang diikuti dan semua pengikut Mazhab lain bergabung dengannya? Ataukah harus ada satu Mazhab baru yang mempersatukan semua Mazhab yang ada dan meleburnya menjadi satu Mazhab Islam yang tunggal? Ataukah persatuan Islam itu sama sekali tidak berhubungan dengan penyatuan atau penggabungan pandangan dan gagasan dalam bidang fiqih, melainkan kesatuan dan persatuan pengikut semua Mazhab Islam yang semuanya sebenarnya adalah pengikut Islam yang sama dalam membangun cita-cita bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama?
Tentu saja, tuntutan dan ajakan kepada persatuan Islam yang sekarang menggema ini tidak lain ialah kesatuan dan persatuan di antara pengikut Mazhab-mazhab Islam sebagai pengikut Islam yang sama dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan musuh yang sama. Persatuan Islam bukan harus berarti munculnya satu Mazhab Islam baru yang meleburkan semua Mazhab yang ada atau mencegah terjadinya perbedaan pandangan dan memusuhi sarjana atau ulama yang memunculkan penafsiran berbeda tentang Islam. Persatuan Islam yang diserukan oleh banyak ulama Islam, baik dari kalangan Ahlusunah ataupun Syiah, jelas tidak demikian. Karena, persatuan yang demikian justru akan mematikan dan membungkam kreativitas intelektual dan dinamika ilmiah yang menjadi ciri-khas peradaban Islam sejak masa awal sejarah Islam.
Dengan demikian, maksud persatuan Islam ialah penyatuan langkah dan aksi pengikut seluruh Mazhab Islam sebagai umat Islam dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama. Bila persatuan dalam pengertian ini bisa diwujudkan, maka dunia akan menyaksikan kebangkitan 1,5 milyar penduduk untuk menggulirkan visi Islam yang toleran, pluralis, rekonsiliatif dan terbuka. Mereka akan bergerak menggulirkan platform Nabi Muhammad saat membangun Madinah yang pluralis dalam skala global. Namun sebaliknya, bila 1,5 milyar umat Islam terus-menerus dirundung perpecahan apalagi yang sampai berujung pada pertumpahan darah, maka malapetaka besar akan menimpa masyarakat dunia secara umum.
Oleh sebab itu, upaya-upaya keji dan tidak manusiawi yang mencoba memainkan taktik adu domba antar-pengikut Mazhab Islam harus dicegah. Akibat perpecahan umat Islam adalah bencana kemanusiaan yang bersifat global. Bencana ini ada awalnya, tapi tidak akan ada akhirnya. Apa yang coba dihembuskan dari Irak itu bisa menjadi awal kerusakan yang tidak ada akhirnya, lantaran 1,5 milyar penduduk dunia yang beragama Islam akan masuk dalam lorong absurd yang tidak berujung ini.
Salah satu metode untuk mencegah skenario konflik yang mengerikan itu ialah dengan mengembalikan konflik politik yang terjadi di Timur Tengah pada koridor politik, dan secepat mungkin menghalau spillover-nya kepada wilayah kemazhaban Islam. Semua pihak yang berselisih harus disadarkan bahwa konflik politik tidak boleh sampai menjadi konflik sektarian, sehingga solusinya akan semakin rumit dan jelas. Umat Islam di Irak atau di manapun juga harus dihimbau kembali kepada persatuan, dan memperlebar jiwa toleransi dan rekonsiliasi.
Dalam konteks ini, Bangsa Indonesia jangan sampai terlibat dalam tarik-menarik konflik sektarian yang kini bertiup kencang di Timur Tengah. Sebaliknya, Bangsa Indonesia harus bisa menjadi teladan dalam menciptakan toleransi dan saling pengertian. Sebagai bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam, kita bisa menjadi pionir untuk memanifestasikan keberagamaan yang toleran, moderat dan terbuka. Kaum Muslim Indonesia tdk boleh terjebak dalam ekstrem fundamentalisme atapun ekstrem liberalisme. Keduanya bukanlah pola menjalankan Islam yang autentik.
Deklarasi Anti Syiah Bermasalah
Lagi-lagi tentang anti Syiah. Mengafirkan dan menyesatkan Syiah seperti sudah menjadi pekerjaan dan bisnis menggiurkan. Tak heran, banyak orang yang mengaku dirinya intelektual tapi sebenarnya tak paham ilmu agama mendadak menjadi Ustad dak Kyai.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dari mencetak buku anti Syiah, ceramah-ceramah anti Syiah dan sebagainya. Entah berapa banyak dana yang mereka terima, yang pasti mereka rela melakukan semua itu meski cara yang ditempuhnya sangat berisiko memecah-belah umat Islam.
Kabar terakhir, tersiar melalui pesan singkat dan media sosial tentang rencana menggalang gerakan menolak Syiah berupa “Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah.” Acara ini dijadwalkan berlangsung di kota Bandung Jawa Barat pekan ini.
Tak tinggal diam, seorang Kyai NU, KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani menyoal rencana tersebut. Bukan untuk menyatakan diri sebagai musuh, melainkan agar warga NU tidak terjebak dalam provokasi kelompok anti persatuan itu.
“Deklarasi nasional kok diadakan di masjid RW,” ungkapnya mengawali kritik.
Kyai Alawi yang sebelumnya meng-counter opini oknum MUI dan DDII melalui buku karanganya yang berjudul “Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI & DDII” ini juga menyayangkan keterlibatan tokoh-tokoh yang tercantum di undangan deklarasi anti Syiah itu.
Di sisi lain KH. Alawi juga mempertanyakan kenapa PBNU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam besar di Indonesia secara resmi tidak diundang untuk hadir?
“Kalau mau dinamakan deklarasi nasional ya harusnya semua lembaga, ormas, dan elemen masyarakat Islam turut diundang. Kenapa yang diundang Wahabi semua?” ungkap Kyai Alawi sambil menjelaskan tentang tokoh yang namanya dicatut sebagai narasumber dalam undangan deklarasi itu. Salah satunya adalah Ahmad Chalil Ridwan, ketua MUI Pusat, sebagai orang yang vokal menginginkan syariat Islam diterapkan di Indonesia. “Setelah saya cek, ternyata dia merujuk atau mengambil referensinya dari ulama-ulama Wahabi di Saudi,” ungkap Kyai Alawi.
Selain mengundang kalangan Wahabi tanpa menghadirkan ulama dari pihak NU, lebih aneh lagi, kenapa mesti mengundang narasumber dari jauh? Apa para Kyai di Bandung dianggap tak ada yang bisa menjelaskan persoalan agama?” tanya Kyai Alawi.
Bahkan, Habib Zein Al-Kaff yang namanya tertera dalam undangan deklarasi itu juga dinilainya bermasalah. “Ketika dicek ke salah satu organisasi persatuan Habib di Indonesia dan ditanya siapa Habib Zein Al-Kaff? Ternyata jawabannya ‘minus’,” jelas Kyai Alawi.
Karena itu dia menghimbau seluruh warga NU agar lebih cerdas dalam menyikapi gerakan anti Syiah dan semacamnya. Selain tak mudah terprovokasi upaya adu-domba kelompok Wahabi takfiri agar tak ikut menjadi alat pemecah-belah umat Islam. (