کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 18 Oktober 2016 21:47

Mengenang Seniman Ornamen Arsitektur Iran

Arsitektur merupakan bagian terpenting dalam budaya dan kesenian setiap negara. Arsitektur merefleksikan mentalitas sebuah masyarakat serta perspektif mereka terkait persatuan, ketidakadilan atau keadilan dan persahabatan dan permusuhan mereka. Cukup dengan melihat pada kondisi arsitek sebuah kota, pemerhati dapat meresapi mentalitas masyarakatnya. 

Ketika menelusuri wilayah-wilayah tradisional di Isfahan, Shiraz, Tehran, Kashan, Mibad, Mimand, Yazd, Kerman dan lain-lain, tanpa harus menelusuri sebab dan akibat dalam sosiologi, para pelancong akan merasakan semangat berbagi masyarakat di wilayah tersebut. Namun sekarang kondisi telah berubah, arsitektur tradisional telah semakin ditinggalkan sehingga menjadi lonceng bahaya untuk identitas nasional. 

Beberapa waktu lalu, guru besar arsitektur Iran di bidang ornamen, Ali Asghar Sherbaf, meninggal dunia. Dia adalah salah satu tokoh yang sangat peduli untuk melestarikan identitas arsitektur Iran dan menghabiskan usianya untuk menciptakan dan merenovasi bangunan-bangunan indah di seluruh penjuru Iran.

Ali Asghar Sherbaf adalah seorang seniman besar arsitektur Iran yang lahir pada tahun 1931 di Tehran. Ornamen arsitektur, merupakan profesi keturunan keluarganya dan dia telah merintis bidang ini sejak usia 10 tahun. Kakeknya Haj Abbas Peyvand, salah satu guru besar di masanya dan mendapat julukan "Peyvand" karena kemahirannya dalam memindah soffit dan menggabungkan bagian-bagian arsitektur. Sherbaf sejak masa muda menimba ilmu dari guru-guru besar seperti Hossein Lorzadeh, Haj Mohammad Me'mar Kashani, dan juga dari ayahnya.

Sherbaf juga belajar dari para pengerajin keramik dan sejak muda dia telah mengerjakan sendiri ornamen bangunan khususnya di bidang hiasan keramik. Di antara karyanya yang bernilai tinggi adalah garapan ornamen bangunan Masjid Jami Saveh, Masjid Besar Qom, masjid dan sekolah Sepahsalar (Syahid Mothahhari) di Tehran, makam Imamzadeh Zaid, Masjid Nabi Ibrahim, Masjid Universitas Teknik Syarif, monumen syuhada 7 Tir di Behesht Zahra Tehran dan Aula Almas di bawah tanah Istana Golestan.

Di bidang renovasi, Sherbaf juga telah sangat ahli merenovasi bangunan bersejarah yang di antaranya adalah renovasi bangunan Badgir dan Aula Almas, juga ornamen rumah kolam renang kompleks istana Saadabad di Tehran dan juga renovasi bangunan bersejarah Ali Qapu di Qazvin.

Almarhum Sherbaf telah beraktivitas selama lebih dari 60 tahun dalam renovasi bangunan-bangunan bersejarah. Dia adalah salah satu seniman arsitektur tradisional Iran. Selain arsitektur tradisional, Sherbaf juga mahir dalam teknik baru Mogharnas Kari dan teknik ornamen Gereh Beham Zadeh atau pattern geometris yang banyak di temukan pada bangunan-bangunan kuno dan bersejarah.

Dia berpendapat bahwa renovasi peninggalan bersejarah merupakan sebuah jalan untuk menghidupkan kembali keotentikan sebuah karya dan pada akhirnya mendulang kembali semangat dan mentalitas masyarakat. Renovasi setiap karya memberikan peluang untuk menghadirkan nostalgia abadi masyarakat yang tersimpan dalam karya-karya bersejarah, sekaligus menghadirkan ketenangan jiwa masyarakat. Sherbaf menilai renovasi sebagai sarana untuk menghidupkan kembali identitas kesenian Iran dan dia berjuang keras untuk melestarikannya.

Selain itu, dia juga merupakan dosen kehormatan di banyak universitas. Selama bertahun-tahun, dia menjadi dosen arsitektur tradisional di Universitas Tehran dan Al-Zahra. Dia mentransfer seluruh pengetahuan dan kemahirannya di bidang ini kepada para mahasiswa.

Di usia 35 tahun, Sherbaf bertemu dengan Parnia, seorang arsitektur terkemuka Iran. Kolaborasi dua seniman besar ini menjadi titik balik bagi Sherbaf sehingga dia mengatakan, "Tidak ada orang yang saya lihat seperti Parnia yang memahami seluk beluk arsitektur. Dia bukan saja memahami arsitektur tradisional melainkan juga menguasai bidang manajemen dan pengelolaannya, dia memahami nilai sebuah karya." Guru besar arsitek ini telah meninggalkan banyak buku dan artikel dan meninggal dunia di usia 85 tahun pada 23 Agustus 2016 akibat gagal paru-paru.

 

Arsitektur Iran dalam catatan sejarahnya yang panjang, menjadi panggung pelestarian, pengembangan dan penyempurnaan berbagai teknik dan seni. Masing-masing teknik itu dibabungkan dengan indah oleh para arsitek dan melalui teknik tersebut, para arsitek Iran mampu mencapai target dan tujuannya dengan inovasi dan penuh seni. Dalam arsitektur ini tidak ada yang sekedar hiasan, karena di balik dari setiap elemen ornamen, ada faktor-faktor teknis, efektivitas dan juga nilai-nilai luhur.

Kashi kari, Gajbori, Negargari, Qabbandi, Mogharnas Kari (ornamen pada bagian soffit seperti sarang lebah atau stalagnit dengan memasang potongan cermin) termasuk di antara karya para seniman ornamen arsitektur yang banyak dittemukan pada bangunan kuno. Selain itu, ornamen arsitektur Iran juga melibatkan seniman di bidang lain untuk membubuhkan karyanya, seperti seniman kaligrafi.

Sejak manusia mampu menulis, dimulai pula penulisan pada bangunan dan produk untuk memperindah atau untuk menjelaskan keyakinan dan rekaman sejarah dan persitiwa bagi para generasi mendatang. Seni kaligrafi sama seperti berbagai seni ornamen islami lainnya yang memiliki hubungan dekat dengan teknik, ukuran, matematika, ukuran huruf-huruf dan volume lekukan yang semuanya memiliki struktur dan aturan tersendiri. Penggunaan kaligrafi dalam ornamen arsitektur dapat dilakukan dengan cara penulisan inskripsi di mana di dalamnya mencakup ayat-ayat Al-Quran.

Gambar atau hiasan bunga dan pattern Eslimi merupakan salah satu ciri khas ornamen dalam arsitektur Iran. Gambar dan pengukiran pattern Eslimi mencakup garis-garis rumit, kurva dan berbagai busur lingkaran yang terinspirasi dari tangkai tumbuh-tumbuhan atau hewan. Ornamen seperti ini sebelum era Islam juga dapat disaksikan di Soosh dan Yunani.

Eslimi terkadang dijadikan sebagai motif utama dalam ornamen asli di bagian dalam kubah. Ruang permukaan pada bagian dalam kubah mengesankan sebuah antariksa yang semuanya mengacu pada satu titik pusat di tengah kubah. Motif parttern Eslimi di bagian dalam kubah, memberikan pesan wahdatul wujud. Motif yang sama juga digunakan untuk ornamen dinding, pilar, inskripsi dan lain-lain.

Teknik arsitektur Iran sangat memperhatikan pada aspek pencahayaan. Faktor yang sama pula yang akhirnya mendorong lahirnya ornamen indah dalam banyak bangunan karya arsitek Iran. Cahaya dalam arsitektur Iran selain memiliki aspek reliji, juga berfungsi menampilkan ornamen-ornamen bangunan secara lebih spesifik.

Ornamen dalam arsitektur pada era Islam didesain dengan menggunakan permukaan mengkilau sehingga memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Selain pemerataannya, cahaya yang masuk menembus kaca berwarna-warni yang kian menambah kehindahan ruangan. Dalam arsitektur era ini, cahaya dipadukan disandingkan dengan titik-titik gelap sehingga menghasilkan gradasi dan kontras yang indah.

Cahaya merupakan poros nilai estetika arsitektur Islam dan menjadi keunggulan dalam arsitektur Iran. Teknik pencahayaan akan mendongkrak kualitas ornamen yang dinamis. Kualitas yang akan membuat elemen utama pada bangunan seperti kubah, mihrab dan bahkan interior bangunan lebih menonjol. Semuanya terkombinasikan dengan baik untuk menciptakan atmosfer spiritual yang tenang, aman dan nyaman bagi para jemaah shalat.
 

Selasa, 18 Oktober 2016 21:45

Menikah Dengan Sayidina Ali

Sayidah Zahra telah mencapai usia pernikahan. Pada waktu itu usia sembilan tahun. Beberapa orang yang terkenal di Madinah pada waktu itu termasuk Abu Bakar dan Umar melamar beliau kepada Rasulullah Saw. Namun Rasulullah Saw tidak memberikan jawaban positif. Sampai akhirnya Sayidina Ali datang menemui Rasulullah Saw.

Sayidina Ali diam dan tidak berbicara apa-apa. Kepadanya Rasulullah Saw bertanya, “Hai Ali! Katakan, ada urusan apa denganku!”

Karena malu, wajah Sayidina Ali memerah. Rasulullah Saw berkata, “Jangan malu! Sampaikan isi hatimu!”

Sayidina Ali malu dan pelan-pelan berkata, “Anda mengenal saya dengan baik dan Anda-lah yang membesarkan saya. Saya ingin menikah dan saya tidak menemukan istri yang lebih tepat dari Zahra.”

Rasulullah Saw gembira dan dengan penuh kasih sayang berkata, “Dari semua sisi, engkau baik sebagai suami bagi Zahra. Namun, aku juga harus menanyakan pendapatnya.”

Kemudian Rasulullah Saw menemui putrinya dan menyampaikan apa yang terjadi. Sayidah Fathimah Zahra malu dan menundukkan kepalanya dan berkata, “Saya ridha dengan apa yang Anda ridhai.”

Rasulullah Saw merasa senang dan kepada Sayidina Ali berkata, “Hai Ali, engkau aku terima sebagai suami Zahra. Sekarang katakan, berapakah mahar untuk Zahra?!”

Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Anda cukup tahu bahwa terkait harta kekayaan, saya memiliki satu pedang, satu kuda, satu baju perang dan satu onta.”

Rasulullah Saw berkata, “Engkau memerlukan pedang untuk berjuang, onta dan kuda untuk mencari rezeki yang halal. Namun pemberani sepertimu tidak begitu memerlukan baju perang. Pergilah ke pasar dan juallah baju perangmu dan uangnya bawa ke aku.”

Sayidina Ali menjual baju perangnya seharga 480 dirham dan menyerahkan uangnya kepada Rasulullah Saw, sehingga uang itu dipakai untuk menyiapkan perabot rumah tangga untuk Sayidah Fathimah Zahra as.

Perabot Kehidupan Sayidah Fathimah Zahra

Rasulullah menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk pernikahan putrinya. Beliau meminta orang-orang sekitarnya untuk membantunya dalam menyelenggarakan acara pernikahan Sayidah Fathimah.

Setelah Sayidina Ali menjual baju perangnya, beliau menyerahkan uang itu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw pun memberikan sebagian uang itu kepada Ummu Aiman untuk menyiapkan peralatan hidup Sayidah Fathimah. Ammar, Bilal dan satu-dua orang lainnya menyertai Ummu Aiman pergi ke pasar. Kemudian Rasulullah Saw memberikan sebagian uang itu kepada Asma’ binti ‘Umais supaya membeli minyak wangi untuk Sayidah Fathimah. Ummu Salamah istri Rasulullah juga mendapatkan tugas untuk menyiapkan makanan acara pernikahan.

Setelah Ummu Aiman, Ammar dan Bila kembali dari pasar, mereka membawa barang-barang yang telah dibeli, antara lain;

1- Satu baju sederhana dan kerudung. 2- Satu cadur [hijab yang menutupi seluruh badan] berwarna hitam. 3- Tempat tidur dari bahan besi. 4- Dua kasur dari bahan katun yang satunya berisi serabut kurma dan satunya lagi berisi bulu hewan. 5- Empat bantal kulit yang berisi tumbuhan berbau wangi. 6- Satu kelambu. 7- Satu tikar untuk alas di ruangan. 8- Penggilingan. 9- Ember untuk mencuci pakaian. 10- Satu mangkok dari tanah liat. 11- Tempat air. 12- Satu kendi besar. 13- Dua gelas dari tanah liat. 14- Satu taplak kulit. 15- Abaya.

Kecintaan Para Malaikat Pada Sayidah Fathimah

Setelah pernikahan Sayidah Fathimah dan Sayidina Ali, sekelompok orang cupet dan hasud memrotes Rasulullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Mengapa Anda menikahkan Fathimah dengan Ali dengan mahar yang tidak seberapa? Di kota ini banyak orang yang dari sisi harta lebih baik dari Ali. Mengapa Anda tidak menerima mereka sebagai suami Fathimah?

Rasulullah Saw berkata, “Aku bukan menerima Ali sebagai suami Fathimah, tapi Allah telah menikahkan Fathimah dengan Ali di sisi pohon Thuba di surga. Para malaikat Allah telah menjadi saksi dua orang ini di sisi pohon Thuba dan Allah telah memerintahkan pohon itu untuk menaburkan buah-buahnya untuk Ali dan Fathimah. Kemudian pohon itu menaburkan permata dan yakut di atas mereka. Para malaikat saling berlomba-lomba mengumpulkan permata itu. Para malaikat ini akan saling memberikan hadiah ini sampai pada Hari Kiamat dan mengatakan, “Ini adalah saweran pernikahan Fathimah; putri Rasulullah...” (Emi Nur Hayati)  

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Sayidah Fathimah Zahra as

Selasa, 18 Oktober 2016 21:41

Imam Sajjad, Penyampai Risalah Asyura

Suatu hari Allamah Thabathabai dalam pertemuan dengan professor Henry Corbin, berkata, “Kami orang-orang Syiah bermunajat, berdoa dan menangis! Jika kami ditimpa kesulitan, kami mencoba berbicara dengan Tuhan dan hati kami tentram. Bagaimana dengan Anda ketika ditimpa masalah di Prancis ?”.

“Saya juga menangis. Saya pun memiliki kitab Sahifah Sajadiyah. Ketika ditimpa masalah, saya membuka dan membacanya disertai terjemahan. Saya menangis. Munajat menentramkanku,” jawab Corbin.

Jawaban filsuf Prancis ini memperlihatkan bagaimana perhatiannya terhadap kitab Sahifah Sajadiyah. Tentu saja, ini hanya satu dari sekian pengakuan sarjana Barat yang tertarik terhadap karya Imam Ali Zainal Abidin. Di luar dari apresiasi para sarjana Barat terhadap kitab Sahifah Sajadiyah, kandungan isinya sangat tinggi dan agung, dengan gaya bahasa yang fasih dan menawan. Semua itu buah dari kebesaran sang empu kitab, Imam Sajjad. Dan di hari ini kita memperingati kesyahidannya.

Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad pasca tragedi Asyura ialah penyebaran risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat imam Sajjad merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, keyakinan, etika pribadi dan sosial, serta masalah politik.

Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Di salah satu doanya, Imam Sajjad berkata, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan penyelewengan, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar."

Tanggal 12 Muharam merupakan hari syahadah Imam Sajjad. Dua hari pasca peringatan Asyura. Imam Sajjad sebagai saksi mata pembantaian Karbala, setelah peristiwa itu bertanggung jawab memimpin umat Islam. Putra Imam Husein ini ditakdirkan oleh Allah Swt sebagai salah satu orang yang hidup demi melanjutkan pesan Asyura.

Imam Sajjad lahir pada tahun 36 Hijriah. Beliau hidup hingga usia 57 tahun. Periode penting dalam hidup beliau dimulai di masa Imamah-nya setelah kesyahidan Imam Husein. Ketika peristiwa Karbala terjadi, beliau dalam keadaan sakit. Itulah sebabnya mengapa beliau waktu itu tidak pergi ke medan perang.

Hamid bin Muslim, sejarawan Karbala menulis, “Di hari Asyura, setelah  kesyahidan Imam Husein, pasukan Yazid mendatangi Ali bin Husein yang tengah berada di atas pembaringan karena sakit. Mereka mendapat perintah untuk membunuh seluruh laki-laki dari keluarga Imam Husein. Kedatangan mereka dengan niat membunuhnya. Tapi ketika melihatnya dalam kondisi sakit, mereka kemudian membiarkannya. Jelas di balik penyakit beliau di hari Asyura tersimpan rahasia ilahi, agar dapat melanjutkan jalan ayahnya.”

Pasca tragedi Karbala dan kesyahidan Imam Husein, kondisi masyarakat Islam berada dalam periode yang sensitif. Di satu sisi, berbagai dimensi kebangkitan Imam Husein harus dijelaskan kepada masyarakat, sekaligus menghadapi propaganda bohong Bani Umayah. Sementara dari sisi lain, perjuangan melawan penyimpangan akidah dan moral harus dilakukan demi menegakkan nilai-nilai agama.

Dalam kondisi demikian, Imam Sajjad menjalankan berbagai programnya dengan mengatur skala prioritas. Pada awalnya, beliau menerapkan program jangka pendek untuk meredam kondisi penuh ketegangan pasca kesyahidan ayahnya. Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato mencerahkan mengenai kebenaran jalan Imam Husein. Sedangkan untuk program jangka panjang, beliau berusaha memperkaya serta menguatkan pemikiran dan akhlak masyarakat Muslim dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam.

Pada 12 Muharam 61 Hijriah, rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari perempuan dan anak-anak tiba di kota Kufah. Di antara tawanan itu ada dua pribadi agung; Imam Sajjad dan Sayidah Zainab. Keberadaan keduanya mampu menentramkan para tawanan Karbala. Ketika rombongan memasuki kota Kufah, sudah banyak orang berkumpul di sana. Imam Sajjad memanfaatkan kesempatan ini dengan menyampaikan pidatonya.

 

Beliau berkata, “Wahai warga Kufah! Saya Ali putra Husein. Anak dari orang yang kalian hancurkan kehormatannya. Ingatkah kalian, Allah Swt menyebutkan kebaikan kami Ahlul Bait. Kemenangan, keadilan dan ketakwaan bersama kami, sementara kesesatan dan kehancuran berada pada musuh kami. Apakah kalian tidak menulis surat berisi baiat kepada ayahku? Tapi kalian licik setelah itu dan bangkit menentangnya. Betapa perilaku dan pikiran kalian sangat buruk. Bila Rasulullah berkata mengapa kalian membunuh keturunanku, menghancurkan kehormatanku dan bukan umatku, bagaimana rupa kalian menangis di hadapannya?”

Di lain waktu, ketika tiba di Syam (Suriah saat ini), yang menjadi pusat kekuasaan Yazid, Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato. Sedemikian tegas pidato yang disampaikan, sehingga rezim Bani Umayah menghadapi kondisi yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Pidato beliau sangat mempengaruhi opini masyarakat waktu itu. Pidato Imam Sajjad dan Sayidah Zainab di istana Yazid mampu menyadarkan masyarakat, sehingga sebagian orang setelah mendengar langsung bangkit memrotes Yazid.

Dalam pidatonya, beliau berkata,“Wahai warga Syam! Barang siapa yang mengenalku, berarti telah mengetahui siapa diriku. Tapi mereka yang tidak tahu, perlu mengetahui bahwa aku putra dari orang yang terhormat. Pribadi yang paling baik dalam menunaikan haji…. Aku putra wanita terbaik, Fatimah az-Zahra as. Aku putra orang yang syahid berlumuran darah di tanah Karbala.”

Ketika pidatonya sampai pada ucapan tersebut, masyarakat yang mendengarnya sangat terpengaruh, sehingga sebagian berteriak mengungkapkan kesedihan. Pidato yang menjelaskan hakikat dirinya mampu membangkitkan kebencian masyarakat kepada Bani Umayah. Yazid yang menyaksikan kondisi tersebut merubah sikap. Untuk menghentikan pidato Imam Sajjad dan mengubah keadaan, ia memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan.

Ketika mendengar suara azan, Imam Sajjad diam sejenak mendengarkannya. Ketika ucapan muazin sampai pada kalimat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, dengan segera Imam Sajjad menatap Yazid. Beliau berkata, “Apakah Nabi yang disebutkan dalam azan itu kakekku atau kakekmu? Bila engkau menjawab itu adalah kakekku, semua orang tahu bahwa engkau telah berdusta. Dan bila engkau mengatakan itu adalah kakekmu, lalu apa dosa ayahku yang merupakan cucu Nabi Saw, sehingga kau bunuh, hartanya kau rampas dan istrinya kau tawan? Betapa celakanya engkau di Hari Kiamat!”

Sejarawan mencatat, Ahlul Bait Imam Husein dalam pertemuan itu membawakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala. Yazid yang berusaha memanfaatkan kondisi tersebut untuk meningkatkan popularitasnya ternyata harus menerima kenyataan yang lain. Tapi tetap saja berusaha untuk membohongi masyarakat. Yazid mengubah strateginya dengan mencoba mendekati para tawanan dan memberikan penghormatannya kepada mereka.

Yazid jelas takut masyarakat bangkit melawan kekuasaannya. Oleh karenanya ia berusaha menenangkan para tawanan.Menurutnya, apa yang dilakukannya dapat menutupi dosanya. Untuk itu, ia menerima permintaan para tawanan membacakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala.

Yazid mempersiapkan sebuah tempat bernama Dar al-Hijarah. Para tawanan selama sepekan berada di sana membacakan kidung kesedihan. Masyarakat mulai berdatangan dan perlahan-lahan masyarakat semakin tahu akan hakikat kebangkitan Imam Husein. Yazid semakin ketakutan menyaksikan apa yang terjadi. Ia terpaksa memindahkan para tawanan ke Madinah.

Di Madinah, Imam Sajjad kembali melaksanakan tanggung jawab yang diembannya. Masyarakat Madinah menyambut mereka. Di tengah masyarakat Madinah, Imam Sajjad naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.

Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt, beliau berkata, “Wahai warga Madinah! Allah Swt menguji kami dengan musibah yang agung. Tidak ada musibah yang dapat menyamainya. Wahai warga Madinah! Siapa yang hatinya dapat bergembira ketika mendengar tragedi besar ini? Hati siapa yang tidak sedih setelah mengetahui kesyahidan Husein bin Ali? Mata siapa yang tidak menangis? Kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari musibah luar biasa ini. Kami mengorbankan jiwa di jalan Allah demi menghadapi segala musibah. Karena kami tahu Allah akan membalas semuanya.”

Menurut Kantor Berita ABNA, Wakil Presiden Indonesia usuf Kalla, menyatakan, Iran dan Indonesia, sebagai dua negara Muslim penting, selalu melakukan upaya untuk mempromosikan perdamaian di seluruh dunia Islam namun harus mengambil langkah lebih dalam hal ini. Hal tersebut dikatakan pada pertemuan dengan Presiden Iran, Hassan Rouhani, di sela-sela KTT Gerakan Non-Blok (GNB) di Margarita Island, Venezuela, Ahad (18/9).

Jusuf Kalla menambahkan bahwa kedua negara dapat meningkatkan kerjasama konstruktif di dunia Islam dan membantu menggagalkan upaya kekuatan arogan untuk menabur perselisihan di antara negara-negara Islam.

Sementara itu, dalam pertemuan tersebut, Presiden Iran, Hassan Rouhani menekankan pentingnya memperkokoh persatuan di antara negara-negara Islam Rouhani mengatakan, "Kekuatan arogan berusaha untuk menciptakan ketegangan dan konflik di berbagai belahan dunia Islam. Jadi, perlu untuk melatih kewaspadaan dalam menghadapi langkah tersebut serta melawan ideologi kekerasan dan ekstremisme dalam masyarakat Muslim."

Presiden Iran menilai situasi yang sedang berlangsung di kawasan saling berkaitan, mengatakan bahwa Iran dan Indonesia, sebagai dua negara Muslim besar, memiliki tanggung jawab berat untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas dunia Muslim dan guna mencegah pembunuhan bahkan terhadap seorang Muslim.

Rouhani lebih lanjut mengatakan bahwa Tehran dan Jakarta memiliki pandangan sangat dekat pada isu-isu politik dan regional, seraya mendesak kedua belah pihak untuk meningkatkan kerja sama, khususnya di sektor ekonomi dan perbankan, dem kepentingan bersama.

Menurut Rouhani "Tehran tidak menentukan batasan dalam bekerjasama dengan Jakarta."

Pertemuan GNB dihadiri kepala negara dan delegasi dari seluruh 120 negara anggota untuk membahas isu-isu kunci regional dan internasional. Iran juga menyerahkan jabatan kepemimpinan periodik GNB kepada Venezuela pada sesi puncak KTT.

GNB, sebuah organisasi internasional dengan 120 negara anggota dan 21 negara pengamat, mewakili hampir dua-pertiga dari anggota PBB.

Menururt Kantor Berita ABNA, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA menilai pertentangan paham antara Sunni dan Syiah di beberapa kawasan termasuk Bondowoso, merupakan tindakan yang tidak produktif. Dan bahkan dinilai hanya menghabiskan energi.

“Sunni dan Syiah ini bersaudara. Sumbernya juga sama yaitu Alquran dan Hadist. Dan pertikaian-pertikaian itu hanya karena soal politik atau soal pengaruh saja,” tuturnya usai memberikan kuliah umum kepada mahasiswa program Magister dan Doktor, di Institut Agama Islam Negeri Jember, Sabtu (17/9/2016)

Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, Sunni dan Syiah harus menjalin komunikasi aktif demi kemaslahatan ummat. Pertentangan yang terjadi selama ini hanya akan menguntungkan pihak ketiga yang menginginkan NKRI terpecah dan memanfaatkan hal tersebut untuk menggantikan ideologi Pancasila.

“Kalau kaum Sunni dan Syiah ini ribut-ribut seperti ini apalagi di Indonesia, maka itu tidak akan menguntungkan bagi islam nusantara secara keseluruhan, karena kita sudah lihat permusuhan antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah, di Pakistan itu merugikan ummat islam secara keseluruhan. Itulah yang ditunggu oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam. Dan yang dapat keuntungan negara yang membenci islam. Jadi jangan mau Indonesia ini jadi kancah pertarungan,” paparnya.

Prof. Dr. Azyumardi Azra menambahkan, bahwa perbedaan Sunni dan Syiah hanya soal politik. Sementara pijakan hukumnya sama-sama menggunakan ilmu fiqih yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum islam.

“Perbedaan Sunni dan Syiah ini hanya soal politik, kalau fiqihnya sama aja. Sering orang sunni ekstrim bilang syiah menghalalkan kawin muth’ah, setelah saya tanya ke orang syiah ternyata gak ada. Kawin muth’ah itu hanya dulu waktu jaman perang. Justru sekarang yang mempraktekkan nikah muth’ah itu orang arab yang datang ke Cisarua, Bogor,” ungkapnya.

Beliau berpesan agar seluruh ummat islam khususnya di Indonesia untuk menjaga kerukunan. Sebab seluruh ummat islam bersaudara dan harus beriringan. Jangan sampai menuruti hawa nafsu yang akan menyebabkan ummat islam terpecah belah dan orang lain yang akan mengambil manfaat dari perpecahan tersebut.

“Islam ini bersaudara dan harus beriringan. Jadi jangan mau lah menurutkan hawa nafsu yang kemudian membuat ummat islam terpecah belah, berkelahi, dan itu akan diambil manfaatnya oleh orang lain,” pungkasnya.

Apa yang membuat seseorang atau suatu kaum menyembah kepada selain Allah Swt atau menyimpang dari jalan kebenaran?

Sebelum menjawabnya, hal serupa juga ditanyakan Allah Swt kepada sesuatu yang disembah manusia selain Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah Swt mengumpulkan mereka bersama apa yang mereka sembah selain Allah Swt, lalu Dia berfirman (kepada yang disembah), “Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hambaKu itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?”. (QS. Al-Furqan: 17)

Pada ayat setelahnya, mereka yang disembah selain Allah Swt mengelak dengan mengatakan bahwa tidak pantas bagi mereka menyembah selain Allah, apalagi menyuruh orang lain menyembah selain Allah. Maka secara tidak langsung, mereka yang disembah itu menjawab bahwa manusia sendirilah yang menjadi penyebab akan kesesatannya menyembah kepada selain Allah Swt.

Berikut jawaban Al-Qur’an mengenai  faktor-faktor penyebab seseorang menyembah kepada selain Allah Swt:

Pertama, sahabat yang buruk. “Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku… ” (Qs. Al-Furqan: 28-29). Pesan moral ayat ini adalah, pandai-pandailah dalam memilah teman akrab.

Kedua, hawa nafsu. “…dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (Qs. Sad: 26). Tidak sedikit orang yang tersesat bukan karena ketiadaan iman, bukan pula karena kejahilan/kebodohan, melainkan karena membiarkan diri menjadi tawanan hawa nafsu. Terlalu memperturutkan hawa nafsu dibanding seruan akal dan panggilan jiwanya, membuatnya terjerembab dalam kesesatan, dan merasakan kesenangan dengan itu. Naudzubillah.

Ketiga, penulis/cendekiawan yang menipu. “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, “Ini dari Allah” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 79). Meski kita tidak boleh phobia terhadap ilmu dan pengetahuan darimanapun datangnya, namun sudah semestinya terlebih dahulu kita mempersiapkan filter untuk bisa menyaring, mana tulisan yang baik dan mana tulisan yang akan memberi pengaruh buruk. Filter itu adalah ilmu logika. Logika akan mengajarkan bagaimana proses berpikir yang benar yang dengan itu, kitapun bisa mengambil natijah/kesimpulan/keputusan yang benar pula. Tidak serta merta, tulisan yang menukil ayat-ayat Al-Qur’an dan sarat dengan hadits-hadits Nabi Saw menawarkan kesimpulan yang benar dalam beraqidah, malah tidak jarang, kesimpulan yang diambil justru bertentangan dan menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw sendiri. Karena itulah, seruan Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayat memerintahkan untuk menggunakan akal, mentadabburi ayat, memikirkan dan bukan menerima begitu saja tanpa ada pertimbangan dari rasio sedikitpun.

Keempat, pemimpin yang menyesatkan ummatnya. “Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk.” (Qs. Taha: 79). Pemimpin atau penguasa yang zalim tidak terpungkiri lagi merupakan salah satu faktor suatu kaum berada dalam kesesatan. Kebijakan-kebijakan yang otoriter, aturan-aturan yang menyimpang dan perangkat hukum yang meneror akan menjerumuskan suatu kaum pada kesesatan. Fir’aun adalah simbol penguasa yang zalim, yang selalu eksis disetiap zaman. Jika ada Fir’aun zaman ini, maka dengan petunjuk dan bimbingan Al-Qur’an, semestinya Musa zaman ini pun seharusnya ada. Para ulamalah yang sudah semestinya menjadi Musa zaman ini. Sebab merekalah pewaris para Nabi. Mengajak pada kebaikan, jalan kebenaran dan rahmat Ilahi tanpa memberi penentangan pada penguasa yang zalim malah sebaliknya memberi dukungan pada kezaliman penguasa maka ulama yang seperti ini bukanlah pewaris Musa bin Imran As, melainkan pewaris Bal’am bin Ba’ura, ulama yang mendapat laknat dari Allah Swt. 

Kelima, Syaitan.  “Sesungguhnya Syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” (Qs. Al-Qashash: 15). Banyak dalam ayat Al-Qur’an yang mengingatkan mengenai dasyhatnya tipu daya Syaitan dalam berusaha menjerumuskan manusia untuk terjerembab dalam lembah kesesatan. Diantaranya dengan membuat manusia memandang baik perbuatan buruk yang dilakukannya. Allah Swt berfirman, “Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi Syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka Syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (Qs. An-Nahl: 63). Karena itu, sudah semestinya kita senantiasa curiga dan khawatir dengan amalan-amalan kita. Bisa jadi kita menganggap amalan yang dilakukan adalah kebaikan, namun pada hakikatnya itu adalah keburukan, tanpa kita menyadarinya. Pelaku terorisme yang mengatasnamakan agama, mengapa mereka sampai rela melakukan aksi bom bunuh diri yang mengorbankan jiwanya? itu karena dalam keyakinannya, yang dilakukannya adalah kebaikan. Menurutnya ia sementara melakukan perbaikan di muka bumi, sementara dalam pandangan Islam sendiri, perbuatannya tersebut justru menimbulkan kerusakan.

Keenam, kebanyakan orang. “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (Qs. Al-An’am: 116). Sering dijadikan parameter, benarnya suatu ajaran karena banyaknya orang yang mengikutinya. Sementara Al-Qur’an sendiri menyebutkan itu adalah parameter yang salah. Meski demikian, tidak pula serta merta, sedikitnya pengikut suatu ajaran, menjadi parameter benarnya ajaran tersebut. Paramaternya adalah seberapa hebatkah ajaran itu dalam menyebarkan rahmat dan kebaikan bagi semua orang. Ketika kita meyakini, Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah ajaran yang rahmatal lil’alamin, maka orang-orang yang menyeru dan mendakwahkannya sudah semestinya adalah orang-orang yang paling gigih dalam menebarkan rahmat dan kebaikan, seberapapun sedikitnya mereka.

Ketujuh, tradisi nenek moyang yang menyimpang. “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.” (Qs. Az-Zukhruf: 23). Diantara penyebab sulitnya seseorang keluar dari kesesatan adalah taklid buta pada tradisi nenek moyang atau para pendahulunya, meskipun para pendahulunya itu tidak mendapat petunjuk. Karena tidak ada jaminan, apa yang diajarkan para pendahulu pasti benar, maka sudah selayaknya senantiasa dilakukan pengkritisan dan penelaan ulang. Ataupun misalnya, yang dilakukan  orang-orang terdahulu itu benar untuk zamannya, namun belum tentu sesuai dengan zaman kita. Jika menemukan orang yang ngotot memaksakan pendapatnya dengan menyebut bahwa itulah pendapat yang final sebab itu pula yang menjadi pendapat orang-orang saleh terdahulu, waspadalah, bisa jadi itu ajakan untuk sama-sama terjebak dalam taklid buta.

Dan jika kita mentadabburi kisah tersesatnya Bani Israel yang terjebak pada praktik kesyirikan yaitu menyembah patung anak sapi yang dibuat Samiri, sebagaimana misalnya yang terdapat pada surah Al-A’raf ayat 148 maka kita dapat menyebutkan, penyebab lain penyimpangan dan tersesatnya seseorang atau satu kaum adalah ketiadaan pemimpin, kejahilan /kebodohan kaum, pemanfaatan tekhnologi atau seni yang disalah gunakan orang-orang yang cerdas dan kelihaian propaganda dan tabligh pihak-pihak yang menyerukan kesesatan.

Itulah diantara faktor-faktor penyebab manusia bisa terjebak dalam kesesatan dan penyimpangan dari jalan Allah Swt,  baik dalam bentuk menyembah kepada selain Allah Swt maupun melakukan amalan-amalan yang menyimpang dari agama Allah Swt.

Allah Swt berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(Qs. An-Nisa: 115).

Dalam ayat diatas, Allah Swt mengingatkan, mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, maka Allah Swt akan membiarkannya leluasa berada dalam kesesatan. Siapakah orang-orang Mukmin itu dan kemanakah jalannya?. Insya Allah akan kita singgung pada tulisan yang lain.

Dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 8, Allah Swt mengajarkan kita sebuah doa, dan sekaligus saya jadikan penutup tulisan ini:

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (Qs. Ali-Imran: 8) []

Ismail Amin

[Studi di Jurusan Tafsir Al-Qur'an pada Program Pasca Sarjana Mostafa International University Qom Islamic Republic of Iran)

Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman-firman Allah Swt) yang menjadi mukjizat kenabian  terakhir Nabiullah Muhammad Saw yang menyempurnakan dan menjadi pelengkap kitab-kitab Samawi sebelumnya. Sebagai penyempurna, kitab suci terakhir yang memuat ajaran-ajaran Ilahiah yang berlaku sampai akhir zaman, maka sudah semestinya Al-Qur’an menjadi kitab suci yang bebas dari segala bentuk tahrif (perubahan). Allah Swt sendiri menjamin kesucian Al-Qur’an dari berbagai bentuk perubahan, baik penambahan maupun pengurangan dengan berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9). Kesucian Al-Qur’an dari perubahan adalah keyakinan semua umat Islam sejak generasi awal sampai hari ini, sementara pandangan yang menyebutkan Al-Qur’an mengalami perubahan baik itu berupa penambahan maupun pengurangan, maka itu pandangan yang batil dan bertentangan dengan aqidah Islamiyah sendiri. Syaikh Shaduq rahimahullah, salah seorang ulama besar Syiah (w. 381 H) dalam kitabnya “Al-I’tiqād fi Din al-Imāmiyah” halaman 59 menulis, “Akidah kami (penganut mazhab Imamiyah) mengenai Al-Qur’an yang diturunkan untuk Nabi Muhammad Saw, tidak mengalami sedikitpun perubahan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami meyakini Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw lebih banyak dari Al-Qur’an yang ada saat ini, maka dia adalah pendusta.”

Setiap yang mengaku muslim, tidak ada satupun yang tidak pernah bersentuhan dengan Al-Qur’an disepanjang hidupnya. Mencintai Al-Qur’an adalah bagian dari hidup seorang muslim yang tidak terpisahkan. Sejak lahir, dikeluarga muslim, sang bayi akan diperdengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an pada saat ia diaqiqah atau momen hari kesyukuran atas kelahirannya. Ketika hadir di majelis-majelis yang memperingati hari-hari penting Islam (Maulid, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain). Ketika bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam Qadr, membacanya dalam shalat, ketika malam dan hari Jum’at, membaca di rumah-rumah, di pesta pernikahan, membacanya didalam perjalanan atau paling minimal, sengaja menghafal surah-surah pendek untuk mengusir syaitan dan menolak bala. Intinya, betapa Al-Qur’an dengan hidup seorang muslim itu sangat dekat, sehingga mushaf Al-Qur’an menjadi properti yang wajib ada disetiap rumah kaum Muslimin, yang semuanya meyakini, membaca Al-Qur’an mengandung fadhilah/keutamaan yang sangat besar.

Untuk lebih mendapatkan manfaat Al-Qur’an dan fadhilah yang lebih besar ketika membacanya, ada baiknya kita memenuhi adab-adab dalam membaca Al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an sendiri dan sebagaimana yang disampaikan oleh Nabiullah Muhammad Saw dan para Aimmah As.

Keutamaan Membaca Al-Qur’an

Untuk memotivasi diri agar termasuk golongan yang akrab dengan Al-Qur’an, maka yang terlebih dahulu dilakukan, adalah mengetahui fadhilah dan keutamaan membaca Al-Qur’an.

Membaca Al-Qur’an adalah perintah langsung dari Allah Swt, yang menunjukkan adanya hikmah besar yang terkandung dibalik perintah tersebut. Allah Swt berfirman. “فَاقْرَؤُوا ما تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ” Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Qs. Al-Muzammil: 20). Prinsip ibadah yang diperintahkan dalam Islam, adalah semakin mudah amalan yang diperintahkan, semakin menunjukkan pentingnya dan besarnya keutamaan ibadah tersebut di sisi Allah Swt. Shalat misalnya, Allah Swt memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaannya, jika tidak bisa berdiri, maka dibolehkan melaksanakannya dengan duduk, berbaring dan seterusnya. Jika tidak bisa menggunakan air yang disebabkan kondisi tertentu, maka dibolehkan bertayammum. Kemudahan-kemudahan tersebut diberikan, karena Allah Swt menghendaki agar amalan shalat tidak ditinggalkan disebabkan besarnya fadhilah yang terkandung di dalamnya. Shalat adalah amalan pertama di hari dihisabnya amal-amal dan shalat pulalah yang menjaga keterikatan batin seorang hamba dengan Khaliknya. Demikian juga dengan membaca Al-Qur’an. Allah Swt memerintahkan agar membaca yang mudah dari Al-Qur’an, agar membaca Al-Qur’an tersebut jangan sampai ditinggalkan. Allah Swt berfirman, “. Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan. Adakah orang yang mau ingat?” (Qs. Al-Qamar: 17). Membaca Al-Qur’an adalah tarikat untuk senantiasa mengingat Allah Swt dalam setiap keadaan.

Fadhilah lainnya dari membaca Al-Qur’an sebagaimana yang disampaikan Nabiullah Muhammad Saw kepada sahabatnya, Salman al Farisi Ra. Nabi Saw bersabda, “Wahai Salman, bacalah Al-Qur’an, karena bacaan Al-Qur’an dapat menjadi kafarah/pelebur dosa-dosa, menjadi hijab/penghalang antara manusia dengan api neraka dan menjadi penyebab amannya seseorang dari azab Ilahi.” (Bihār al-Anwār, jld. 89, hlm. 17).

Ketika Nabi Muhammad Saw ditanya mengenai amalan yang dapat menjaga dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt, beliau Saw menjawab, “Bacalah Al-Qur’an pada setiap keadaan.” (Bihār al-Anwār, jld. 66, hlm. 392).

Mengenai keutamaan  membaca Al-Qur’an, Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Al-Qur’an adalah surat yang dikirim Allah Swt untuk hamba-hambaNya. Karenanya sudah semestinya setiap Muslim membacanya minimal 50 ayat setiap harinya.”

Waktu-waktu yang Utama untuk Membaca Al-Qur’an

Allah Swt memberikan pahala setiap seorang muslim membaca Al-Qur’an, kapanpun itu. Namun Allah Swt menyampaikan adanya waktu-waktu yang khusus yang ketika membaca Al-Qur’an di waktu-waktu itu pahala dan keutamaannya jauh lebih besar. Diantara waktu-waktu utama untuk membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Bulan Ramadhan

Imam Baqir As berkata, “Segala sesuatu memiliki musim semi, dan musim semi Al-Qur’an adalah bulan Ramadhan.” (Wasail al-Syiah, jld. 4, hlm. 852).

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu ayat dari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, seperti seseorang yang membaca keseluruhan Al-Qur’an pada bulan-bulan lainnya.” (Amali Shaduq, hlm. 95).

Dari sabda Rasulullah Saw diatas menunjukkan besarnya perbandingan antara membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dengan bulan selainnya. Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam bulan Ramadhan disamakan pahala dan kedudukannya dengan membaca satu Al-Qur’an penuh yang dibaca diluar bulan Ramadhan. Belum lagi ketika membacanya pada malam al-Qadr, salah satu malam di bulan Ramadhan yang beribadah di dalamnya lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan, maka tentu keutamaannya jauh lebih berlipat ganda lagi.

Setelah Melaksanakan Shalat Wajib

Disunnahkan dan sangat diutamakan bagi setiap muslim sehabis mendirikan shalat 5 waktu yang wajib untuk berzikir, berdoa dan membaca Al-Qur’an. Hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan amalan ini dirangkum dalam kitab ‘Urwatu al-Wutsqa, jilid 1 halaman 332. Dan juga para ulama marja taklid sangat menekankan hal ini karena besarnya keutamaan membaca Al-Qur’an sehabis mendirikan shalat fardhu. Diantara karakteristik muslim Syiah sebagaimana yang dijabarkan Imam Shadiq As, adalah membaca minimal 50 ayat Al-Qur’an setiap harinya. Karena itu para ulama menganjurkan, jika terjebak dalam kesibukan harian, dan untuk mempermudah maka setidaknya membaca 10 ayat Al-Qur’an setiap habis mendirikan shalat 5 waktu, sehingga dalam sehari semalam, sunnah membaca 50 ayat Al-Qur’an tidak ditinggakan.

Disepertiga Malam

Membaca Al-Qur’an dipertigaan malam mengandung keutamaan dan fadhilah yang sangat besar dan juga memberi pengaruh positif yang sangat membekas pada kondisi ruhaniah pembacanya. Membaca Al-Qur’an pada sepertiga malam adalah perintah langsung Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebihkan dari seperdua itu, ban bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 1-4). Pada ayat ke-enam Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”

Membaca Al-Qur’an disepertiga malam atau lebih masyhur dikenal dengan waktu sahur, dikatakan waktu yang tepat untuk khusyuk dan waktu itu bacaan Al-Qur’an jauh lebih berkesan karena kita melakukannya dalam keheningan, disaat kebanyakan manusia memilih tetap terlelap dalam tidurnya. Sehingga amalan yang dilakukan dalam kesendirian inipun lebih menjauhkan seorang muslim dari sifat riya.

Pada Malam dan Hari Jum’at

Bejibun hadits dari Rasulullah Saw dan Maksumin As mengenai keutamaan malam dan hari Jum’at termasuk dilipatgandakannya pahala dari amalan-amalan saleh yang dilakukan didalamnya, termasuk membaca Al-Qur’an. Bahkan sejumlah hadits dari Rasulullah Saw secara khusus memaparkan keutamaan beberapa surah pilihan yang memiliki keutamaan besar ketika dibaca pada malam dan hari Jum’at. Seperti membaca surah al-Kahfi, Yasin, al-Waqiah dan lain-lain.

Adab Membaca Al-Qur’an

Untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari amalan membaca Al-Qur’an, sudah semestinya kita memperhatikan dan mengamalkan adab-adab ketika membacanya. Diantaranya sebagai berikut:

Dalam Keadaan Suci

Sangat diutamakan ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci yaitu memiliki wudhu. Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Ketika seorang hamba tidak memiliki wudhu, maka janganlah membaca Al-Qur’an sampai kemudian dia mengambil wudhu terlebih dahulu.” (Bihār al-Anwār, jld. 10, hlm. 105).

Bersiwak (Menyikat Gigi) Sebelum Membaca Al-Qur’an

Imam Ali As berkata, “Mulut kamu adalah jalan keluarnya bacaan Al-Qur’an, karena itu bersihkanlah terlebih dahulu dengan siwak, sebelum engkau membacanya.” (Man Lā Yahdhuru al-Faqih, jld. 1, hlm. 81).

Membaca dengan Suara yang Indah

Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan suara yang indah, sebab suara yang indah semakin menambah keindahan Al-Qur’an.” (‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm 69).

Pada hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan lahn Arab dan suara yang indah.” (Al-Kāfi, jld. 2, hlm. 614).

Menghadap Kiblat

Disaat membaca Al-Qur’an, diutamakan menghadap kiblat dan dalam keadaan tuma’ninah, baik itu berdiri, maupun duduk. (‘Urwatu al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 548). Meski dianjurkan tu’maninah (kondisi tubuh dalam keadaan tenang) namun melakukannya dengan bersandar di dinding bukan sesuatu yang dilarang, dan tidak pula dianggap makruh.

Membaca dengan Mushaf

Membaca dengan menggunakan mushaf lebih diutamakan dan mengandung pahala yang lebih besar. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada yang lebih sulit bagi Syaitan dari menggoda manusia selain ketika membaca Al-Qur’an, itupun ketika membacanya dengan mushaf dan memusatkan pandangannya pada mushaf.” (Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 202).

Ishaq bin Ammar bertanya kepada Imam Ja’far as-Shadiq As, “Saya menghafal Al-Qur’an, apakah membacanya dengan mushaf lebih baik atau membacanya dengan hafalanku?”.

Imam Ja’far As menjawab, “Membacanya dengan mushaf jauh lebih baik. Apakah engkau tidak mendengar, memandang kepada tulisan Al-Qur’an adalah amalan ibadah?.” (Mahajatah al-Baidhāh, jld. 2, hlm. 231).

Membaca Do’a Sebelum Tilawah

Imam Ja’far as-Shadiq As diriwayatkan setiap hendak memulai membaca Al-Qur’a, ia membaca doa terlebih dahulu:

أَللهُمَّ اِنّی أَشْهَدُ أَنَّ هذا کِتابُکَ المُنَزَلُ مِنْ عِنْدِکَ عَلی رَسولِکَ محمّد بن عبدالله، وَ کَلامُکَ النَّاطِقُ عَلی لِسانِ نَبِیِّکَ، جَعَلْتَهُ هادِیاً مِنْکَ اِلی خَلْقِکَ وَ حَبْلاً مُتَّصِلاً فیما بَیْنَکَ وَ بَیْنَ عِبادِکَ. أَللهمَّ إِنّی نَشَرْتُ عَهْدَکَ وَ کِتابَکَ، اللهمَّ فَاجْعَلْ نَظَری فیهِ عِبادَةً، وَ قِرائَتی فِیهِ فِکْراً، وَ فِکْری فیهِ اعْتِباراً، وَاجْعَلْنی مِمَّنِ اتَّعَظَ بِبَیانِ مَواعِظِکَ فیهِ وَاجْتَنَبَ مَعاصیکَ، وَ لا تَطْبَعْ عِنْدَ قِرائَتی عَلی سَمْعی، وَ لا تَجْعَلْ عَلی بَصَریی غِشاوَةً، وَ لا تَجْعَلْ قِرائَتی قِرائَةً لا تَدَبُّرَ فیها، بَلِ اجْعَلْنی أتَدَبَّرُ آیاتِهِ وَ أَحْکامَهُ، آخِذاً بِشَرائِعِ دینِکَ، وَ لا تَجْعَلْ نَظَری فیهِ غَفْلَةً وَ لا قِرائَتی هَذَراً، إِنَّکَ أَنْتَ الرَّؤُوفُ الرَّحیمُ.

(Makārim al-Akhlāq, hlm. 343).

Membaca Doa Isti’ādzah dan Basmalah

Sebelum membaca Al-Qur’an disunnahkan untuk mengawalinya dengan membaca Isti’adzah terlebih dahulu, yaitu A’udzu billahi min asySyaithanirrajim, dengan maksud untuk meminta perlindungan dari Allah Swt agar tidak dipengaruhi dan terhindar dari tipudaya/was-was Syaitan ketika membaca Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca Basmalah. Allah Swt berfirman, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Qs. An-Nahl: 98).

Membaca dengan Tartil

Yang dimaksud membaca dengan tartil adalah memenuhi kaidah tajwid dari bacaan Al-Qur’an. Yaitu tidak membacanya dengan tergesa-gesa, sehingga melalaikan kaidah-kaidah tajwid seperti panjang pendeknya harakat dan lafadz huruf, waktu-waktu harus berhenti dan seterusnya. Membaca dengan tartil adalah perintah langsung dari Allah Swt. Allah Swt berfirman, “…bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 4).

Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Janganlah membaca Al-Qur’an dengan tergesa-gesa, melainkan bacalah dengan tartil (perlahan-lahan). Ketika kau membaca ayat yang menceritakan mengenai surga, maka berhentilah dan berdoalah agar Allah Swt memasukkanmu ke dalam surga. Begitupun ketika engkau membaca ayat mengenai siksa api neraka, berhentilah sejenak, dan mohonlah kepada Allah Swt agar engkau dihindarkan dari siksa api neraka.” (Ushul al-Kāfi, jld/ 2, hlm. 617).

Fokus dan Tadabbur

Dengan memahami dan menyadari bahwa bacaan Al-Qur’an adalah firman-firman Allah Swt yang seolah-oleh berbincang langsung dengan kita, maka sudah semestinya ketika membaca Al-Qur’an harus dibarengi kesadaran penuh, fokus dan penuh keseriusan sehingga bisa mentadabburi bacaan Al-Qur’an dengan baik. Dengan seolah-olah berbincang dengan Allah Swt maka disaat membaca Al-Qur’an tidak dilakukan dengan bermain-main, sikap santai, dan sambil berbicara dengan orang lain.

Allah Swt berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supayamereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Shad: 29).

Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan Al-Qur’an yang tidak disertai dengan tadabbur.” (Bihār al-Anwār, jld. 2, hlm. 49).

Mendapatkan manfaat yang lebih besar dari bacaan Al-Qur’an bergantung dari bacaan yang disertai dengan tadabbur dan kemampuan untuk fokus pada bacaan. Namun bukan berarti bahwa jika seseorang bukan ahli tadabbur, maka dia tidak mendapatkan manfaat dari bacaannya. Siapapun yang membaca Al-Qur’an dengan niat Lillahi Ta’ala akan mendapatkan manfaat dan keberkahan dari bacaannya, namun bagi  yang membacanya disertai dengan tadabbur dengan merenungkan ayat-ayatnya maka manfaat dan keberkahan yang didapatnya jauh lebih besar dan lebih sempurna.

Bersih dari Riya

Hal yang terpenting dari adab membaca Al-Qur’an adalah ketulusan niat. Amalan yang tidak disertai keikhlasan karena Allah Swt maka amalan tersebut tidak memiliki arti dan akan sia-sia. Ikhlas adalah ruh dari ibadah, termasuk ruh dari amalan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an harus diniatkan Lillahi Ta’ala, bukan karena hendak dipuji orang lain sebagai orang yang saleh, sebagai qari yang memiliki bacaan dengan suara yang merdu ataupun niat-niat yang ternodai hasrat besar meraup keuntungan materi.

Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an karena hendak mendapatkan sesuatu dari manusia, maka kelak di hari Kiamat dia akan datang dalam keadaan wajahnya tidak memiliki daging.” (Tsawāb al-A’māl, hlm. 280).

Menaaati Perintah-perintah dalam Al-Qur’an

Kewajiban yang terpenting terkait dengan Al-Qur’an, adalah mengamalkan perintah-perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an termasuk menjauhi hal-hal yang dilarang.

Allah Swt berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu..” (Qs. Al-A’raf: 3).

Pada bagian lain, “Dan Al-Qur’an itu adalah kitab penuh berkah yang Kami turunkan (kepadamu), maka ikutilah kitab ini dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat..” (Qs. Al-An’am: 155).

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah beriman kepada Al-Qur’an, yang menghalalkan apa yang diharamkan.” (Bihār al-Anwār, jld. 74, hlm. 161).

Imam Hasan al Mujtaba As berkata, “Sedekat-dekatnya manusia dengan Al-Qur’an  adalah yang mengamalkannya, meskipun tidak menghafal ayatnya. Dan sejauh-jauhnya manusia dengan Al-Qur’an adalah yang tidak mengamalkannya, meskipun ia telaten membacanya.” (Arsyād al-Quluub, jld. 1, hlm. 79).

Membaca doa Khatamul Qur’an

Setiap selesai membaca Al-Qur’an, disunannahkan untuk membaca do’a penutup Al-Qur’an. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As meriwayatkan bahwa setiap Rasullah Saw habis membaca Al-Qur’an, beliau membaca doa berikut:

أَللهمَّ ارْحَمْنی بِالقرآنِ وَاجْعَلْهُ لی اِماماً وَ نُوراً وَ هُدًی وَ رَحْمَةً. أَللهمَّ ذَکِّرْنی مِنهُ ما نَسیتُ وَ عَلِّمْنی مِنهُ ما جَهِلْتُ، وَارْزُقْنی تِلاوَتَهُ آناءَ اللَّیلِ وَالنَّهارِ، وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لی یارَبَّ العالمینَ. 

(Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 206).

Demikianlah diantara adab-adab membaca Al-Qur’an menurut ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dan petunjuk dari Maksumin As.

Sebagai penutup, ada baiknya kita membaca pesan dari Imam Baqir As mengenai tiga golongan pembaca Al-Qur’an. Beliau As berkata, “Pembaca Al-Qur’an itu terbagi atas tiga golongan:

Pertama, yang membaca Al-Qur’an untuk popularitas, ia mendapatkan keuntungan dari raja dan pujian dari masyarakat.

Kedua, yang membaca Al-Qur’an bahkan menghafalnya, namun tidak mengamalkannya.

Ketiga, yang membaca Al-Qur’an dan ia menyembuhkan penyakit-penyakit hatinya dengan itu. (Amāli Shaduq, hlm 202).

***

 

 

Ismail Amin

[Studi di Jurusan Tafsir Al-Qur’an pada Program Pasca Sarjana Mostafa International University Qom, Republik Islam Iran]

Bahasa merupakan media yang paling penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi di antara umat manusia.

Allah Swt memandang kemampuan berbahasa dan bertutur kata sebagai anugerah besar yang diberikan kepada manusia sebagaimana firman-Nya pada pembukaan surah al-Rahman. Para nabi yang diutus oleh Allah Swt untuk memberikan petunjuk kepada manusia harus bertutur kata dan berbicara dengan mereka dengan bahasa kaum tempat para nabi tersebut diutus. Dengan bahasa kaum tersebut, para nabi menjelaskan aturan-aturan moral, hukum dan akidah kepada mereka.

Dengan memerhatikan pelbagai kondisi sebelum pengutusan (bi'tsat) di kalangan Arab, Allah Swt mengutus Nabi saw kepada kaum Arab, sehingga dengan demikian Nabi saw harus bertutur kata dengan bahasa mereka dan membawa mukjizat yang dapat dipahami oleh mereka. Karena itu, Al-Qur’an, sebagai mukjizat Nabi saw, juga diturunkan dalam bahasa Arab. Meski demikian tipologi esensial bahasa Arab seperti, struktur, elokuensi dan retorika bahasa Arab tentu saja tidak boleh diabaikan begitu saja.

Adapun terkait dengan pertanyaan tentang mengapa Nabi Pamungkas Allah Swt adalah nabi yang berbahasa Arab, sehingga konsekuensinya bahasa yang digunakan juga adalah bahasa Arab? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:

Dengan memerhatikan bahwa bangsa Arab adalah orang-orang yang fanatik dengan metode, ajaran dan keturunan mereka (faktor internal penjagaan) dan sepanjang perjalanan sejarah, tiada satu pun penguasa atau pemerintahan yang dapat memaksa mereka mengganti bahasanya (tiadanya faktor eksternal) dan tersedianya pelbagai faktor dalam bahasa Arab untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam format lafaz tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan, semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan pembelaan natural dan non-adikodrati agama dan penjagaan agama pamungkas dan kitabnya.

Maka itu, salah satu dalil mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara keabadiannya. Salah satu sunnah Ilahi adalah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Para nabi juga—dalam berinteraksi dengan orang-orang yang kepadanya mereka diutus—menggunakan bahasa kaum tersebut.

Karena bahasa merupakan satu-satunya media komunikasi antarmanusia dan para nabi pun harus menggunakan media ini. Tutur kata para nabi dengan bahasa kaum merupakan salah satu sunnah Ilahi yang pasti.

Allah Swt berfirman, Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (QS Ibrahim [23]: 4) Sunnah ini juga berlaku bagi para nabi yang seruannya mendunia.

Meski diutus untuk memberikan petunjuk kepada seluruh manusia, seperti para nabi ulul azmi, namun mereka berkata-kata dengan bahasa sebuah kaum dimana apabila mereka menggunakan bahasa selain bahasa kaum maka syariat nabi tersebut tidak akan dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Al-Qur'an merupakan sebuah hakikat dan realitas metabahasa (di atas bahasa). Sebelum Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ia berada pada sebuah tingkatan wujud (hakikat) yang pada tingkatan tersebut akal manusia tidak dapat mencapainya. Allah Swt menurunkan Al-Qur'an dari kediaman aslinya dan membuatnya dapat dipahami oleh manusia dan mengenakan busana redaksi Arab padanya. Dengan demikian, manusia dapat mengenal dan mencerap aneka hakikat yang terpendam di dalamnya.[1]

Karena itu, inti dan pokok Al-Qur'an berada di atas format bahasa dan terkandung dalam sebuah bahasa khusus. Namun, terkait dengan persoalan mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjawab persoalan ini harus dikatakan bahwa: terpisah dari tipologi esensial bahasa Arab yang bahasa ini merupakan bahasa yang memiliki struktur dan berada di puncak kefasihan dan retorika di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia, Nabi Saw diutus pada suatu kaum yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab dan untuk menyampaikan pesan Ilahi, maka beliau harus menunjukkan sebuah mukjizat yang dapat dipahami oleh masyarakat Arab sehingga mereka tidak mengingkarinya, beriman kepada Allah Swt dan berupaya untuk menyebarkan agama.

Akan tetapi, dapat dipahaminya agama bukan berarti bahwa seluruh al-Qur'an dapat dipahami; lantaran seluruh hakikatnya tidak terbatas, melainkan bermakna memahami bahasa dan memahami secara global dari sebagian hakikatnya. Masyarakat jahilah Arab prapengutusan Nabi Saw, hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan dan atas dasar ini, Allah Swt mengutus Nabi Saw di kalangan kaum Arab.

Terkait dengan kondisi masyakarat jahiliah pra-Islam dan kedatangan Rasulullah Saw, Ali As bersabda, “Allah mengutus Nabi ketika manusia sedang tersesat dalam kebingungan dan sedang bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu telah menyelewengkan mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka.

Kejahilan yang amat sangat telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi Saw berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasehat yang tulus. Beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil (mereka) kepada kebijaksanaan dan nasehat yang baik.”[2]

Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi penyebab diutusnya Rasulullah Saw di kalangan Arab, karena itu Al-Qur'an harus disampaikan dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa lain. Akan tetapi, apa yang penting adalah bahwa pemanfaatan Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada bahasa Arab saja. Allah Swt berfirman, Dan jika Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa jelas ayat-ayatnya? Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?” Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan pada telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS Fushshilat [41]: 44)

Akan tetapi, boleh jadi pertanyaan lain mengemuka di sini yaitu mengapa nabi terakhir dari sisi Allah Swt harus seorang nabi yang berbahasa Arab sehingga kitabnya juga harus berbahasa Arab? Mengapa bukan bahasa Persia, Inggris dan seterusnya? Di sini kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin sebelum menjawab pertanyaan ini:

A. Tatkala persoalan terkait dengan Nabi Pamungkas Saw maka harus ada beberapa orang yang menerima pesan dan menjaganya dengan baik (faktor internal yang menjaga).

B. Dari sisi lain sebagian orang berada pada tataran ingin melenyapkan agama dan para penjaganya, sebagaimana hal ini kita saksikan pada sejarah seluruh nabi (faktor eksternal untuk mengubah). Karena itu, solusi untuk berhadapan dengan dua faktor ini harus dipikirkan sebelumnya.

C. Dari sisi lain, tidak mesti bahwa untuk menjaga agama dan Al-Qur'an harus senantiasa—khususnya pascawafatnya Rasulullah saw—melalui mukjizat dan tindakan-tindakan adikodrati. Dengan memerhatikan beberapa pendahuluan ini, sekarang mari kita alihkan perhatian pada manusia dan lingkungan hidup mereka sehingga kita dapat menyaksikan pada lingkungan dan kondisi yang mana beberapa poin berikut ini cocok diterapkan:

Pertama: Orang-orang Arab adalah orang-orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap bahasa, cara, ajaran, metode sedemikian sehingga mereka tidak bisa dipisahkan dari bahasa dan kebudayaan mereka. Bahkan hingga pada masa kini mereka, meski dengan adanya serangan propaganda globalisme, tidak rela melepaskan pakaian (jubah) tradisional mereka (faktor internal).

Kedua: Orang-orang Arab Hijaz tidak hanya tidak melepaskan bahasa ibu mereka melainkan sepanjang sejarah, tiada satu pun pemerintahan atau penguasa asing yang mampu memaksa mereka untuk melupakan bahasa mereka. Artinya, mereka tidak menerima pengaruh dari luar (tiadanya faktor eksternal untuk mengubah budaya orang Arab ini).

Ketiga: Bahasa orang-orang Arab Hijaz dengan banyaknya kata ganti (dhamir, pronomina), perbedaan kata ganti orang kedua tunggal, kata ganti orang pertama tunggal, jamak, perbedaan formula maskulin (mudzakkar) dan feminin (muannats), ragam jumlah kalimat jamak, kata kiasan, dan seterusnya merupakan beberapa keunggulan bahasa Arab dalam mengekspresikan banyak persoalan dalam bahasa yang sederhana tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan.

Dengan memerhatikan beberapa poin di atas, untuk menjaga kelestarian agama pamungkas dan kitabnya, Semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan untuk membela agama secara natural dan non-adikodrati. Al-Qur'an dengan aneka macam daya tarik internalnya, irama dan bacaannya, membuka benak orang-orang Arab Badui yang mencintai ucapan-ucapan yang sarat makna dan fasih dan terpelihara dari ragam jenis penyimpangan redaksional dan literal. Karena itu, diturunkannya Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.[3]

Namun, dapat dikatakan bahwa turunnya Al-Qur'an dalam bahasa Arab, merupakan kemurahan dan anugerah bagi orang-orang yang berbahasa Arab. Sekiranya diturunkan bukan dalam bahasa Arab, maka orang-orang yang berbahasa Arab yang sangat berstrata tidak akan beriman kepadanya. Allah Swt berfirman, Dan kalau Al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199) []

Catatan Kaki:

[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.

[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.

[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.

Minggu, 25 September 2016 00:13

Kedudukan Al-Quran dalam Mazhab Islam Syiah

Ayatullah Sayyid Milani Mengatakan bahwa Alquran adalah penjelas segala sesuatu dan juga penjelas bagi dirinya (quran). Ayatullah Ja'far Subhani mengatakan Alquran adalah asas bagi syariat Islam, dan sunnah nabawiah yang menjadi qarinah baginya, Alquran adalah cahaya yang jelas untuk dirinya dan menerangi selainnya dan Alquran seperti Matahari yang menyinari sekelilingnya. Allah SWT berfirman didalam surat Al-Isra 9 :

إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدي لِلَّتي‏ هِيَ أَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنينَ الَّذينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبيراً

Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka memiliki pahala yang besar.

Allah berfirman didalam surat Annahl ayat 89:

وَ نَزَّلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْ‏ءٍ وَ هُدىً وَ رَحْمَةً وَ بُشْرى‏ لِلْمُسْلِمينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur'an) ini untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Dan juga secara jelas Allah menjadikan Quran sebagai pembeda antara Haq dan Bathil surat Al-Furqan ayat pertama:

تَبارَكَ الَّذي نَزَّلَ الْفُرْقانَ عَلى‏ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعالَمينَ نَذيراً

Maha Agung nan Abadi Dzat yang telah menurunkan al-Furqân (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.

Tahrif quran sudah menjadi isu yang sengaja dilemparkan oleh sebagian golongan kepada mazhab ahlulbait as, isu yang masih hangat di masyarakat dan tanpa disadari menjadi sebuah doktrin bagi sebagian golongan untuk menyudutkan mazhab lainnya tanpa didasari dalil-dalil yang jelas, berikut ini penjelasan dan pengenalan mengenai apa itu tahrif dan penjelasan ulama syiah dalam menolak keberadaan tahrif didalam Alquran.

A. Makna Takhrif dan Pembagiannya

Tahrif secara lughawi : Tafsirulkalam ‘alagheiri wajhin /harrafa assyai ‘an wajhi (menyelewengkan sesuatu pada arah tertentu) Seperti dalam al-Qur'an ayat Annisa : 46

 

يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَواضِعِهِ

Mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya

Attabarsi mengatakan : Yufassiruunaha ‘ala gheiri ma unzilat ( menafsirkan sesuatu selain apa yang diturunkan)

Secara Istilah ada beberapa bentuk dalam memahami tahrif :

Tahrif maknawi : tahrif madlul kalam atau yufassiru ‘ala wajhin yuwafiqu ra'yu almufassir sawaun awafiqu alwaqi' am la ( menafsirkan pada bentuk tertentu yang sesuai dengan Ra'yu mufassir baik itu sesuai dengan yang sebenarnya atau tidak) .

Bentuk tahrif ini banyak dilakukan oleh sebagian mufassir sehingga jauh dari makna yang sebenarnya. Mazhab Syiah meyakini bahwa Allah SWT menurunkan ayat tidak sendiri atau tidak telanjang tanpa penjelasan, akan tetapi berikut takwil dan tafsir ayat tersebut secara terperinci, seperti didalam hadits dan qaul para ulama Syiah. Sehingga seperti yang dikatakan Syeikh Mufid bahwa tangan-tangan orang dzalim inilah yang hendak menghapus dan menyembunyikan keterangan yang jelas berupa tafsir dan takwil alquran tersebut, bukan menghilangkan ayat Alquran, tetapi penjelasannya.

Tahrif Qira'ah:

Perubahan Harakat , huruf dengan masih terjaga keutuhan Quran , seperti membaca Yathhuran atau yathhuranna , yang satu menggunakan nun khafifah yang lain menggunakan tsaqilah.

Perubahan Lahjah/dialek , seperti lahjah Hijaz berbeda dengan lahjah iraq dan iran bahkan dengan libanon dan di daerah sekitarnya, semisal : Qaf , sebagian mengucapkan dengan Gaf.

Tahrif Perubahan Kata:

Seperti kata "asra'u" dengan "Amdhu" , dan "Alhakim" dengan "Al'adil" Tahrif seperti ini tidak terjadi di dalam Alquran. Walaupun sebagian hadits didalam mazhab Suni menceritakan perubahan itu.

Tahrif penambahan, pengurangan kalimat dan ayat:

Tahrif sejenis inipun tidak terjadi didalam Alquran, walaupun ada keterangan hadits dhaif baik itu dalam literatur mazhab Suni ataupun Syiah. tahrif perubahan kata dan penambahan serta pengurangan kalimat atau ayat inilah yang akan dibahas pada pembahasan kita kali ini.

Dalil Ketiadaan Tahrif Al-Qur'an

a) Dalil dari ayat Alquran

Ayat al Hifdz
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr ayat-9)

"Adzikr" yang dimaksud disini adalah Alquran.

Dan dilam ayat ini terdapat makna janji Allah SWT sendirilah yang menjaga keaslian Alquran itu sendiri.

Ayat Nafi al Bathil
إِنَّ الَّذينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جاءَهُمْ وَ إِنَّهُ لَكِتابٌ عَزيزٌ لا يَأْتيهِ الْباطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزيلٌ مِنْ حَكيمٍ حَميدٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur'an ketika Al-Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka juga tidak tersembunyi dari Kami), dan sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia.

Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

(Alfushilat : 41-42)

Makna Addzikr disini adalah Alquran, dan "Adzikr" dikatakan "Al-kitab al'aziz", jadi makna Addzikr disini adalah Quran. Al-bâthil berlawanan dengan Al-haq (kebenaran), dan Alquran Adalah kebenaran dalam lafadz dan maknanya atau makna-maknanya, serta hukumnya yang abadi, pengetahuannya bahkan dasar-dasarnya sesuai dengan fitrah manusia. Seperti yang dikatakan Syeikh Thabarsi dalam Majma Al-bayan mengenai ayat ini ,dikatakan : Alquran tidak ada hal yang tanaqudh (kontradiktif) dalam lafadznya tidak ada kebohongan dalam khabarnya, tidak ada yang ta'arudh (berlawanan), tidak ada penambahan dan pengurangan. Sehingga pantaslah kalau ayat Alquran ini saling menjelaskan yang satu dengan yang lainnya.

Ayat Jam'ul Qur'an dan Qiraatnya
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ

إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ

فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa ingin (membaca) Al-Qur'an.

Karena mengumpulkan dan membacanya adalah tanggungan Kami.

Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.

Kemudian, penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami."

(Al-Qiyamah : 17-19)

Allah SWT lah yang menjaga , mengumpulkan, membacanya, dan menjelaskannya juga.

Disinilah yang diyakini mazhab Syiah Bahwa Wahyu itu bukan hanya Ayat alquran yang ada di tangan kita tetapi meliputi juga wahyu penjelasan, takwil, dan keterangan-keterangan lainnya kepada nabi saww yang bukan termasuk ayat seperti Alquran yang ada pada tangan kita, sehingga dalam hal ini Imam Ali as menuliskannya secara lengkap dalam Qurannnya yang makruf dikenal sebagai Quran Ali yang diperintahkan oleh Rasulullah saww. Sehingga banyak yang keliru memahami Quran Ali disini. Quran Ali memang memiliki banyak ayat tetapi bukan ayat seperti yang ada didepan kita, tetapi ayat-ayat penjelasan secara terperinci, meliputi asbab annuzul, tafsir, takwil, dan keterangan penjelasan lainnya yang dinamakan didalam sebagai riwayat sebagai ayat sehingga berjumlah 17000 ayat. Tetapi bukanlah ayat Alquran secara asas, hanya ayat penjelasan, tafsir, takwilnya.

b). Dalil riwayat dari orang-orang Maksum as

Hadits Ghadir
Semisal dalam kitab Alihtijaj 1/60 Syeikh Attabarsi:

(معاشر الناس) تدبروا القرآن وافهموا آياته وانظروا إلى محكماته ولا تتبعوا متشابهه، فوالله لن يبين لكم زواجره ولا يوضح لكم تفسيره إلا الذي أنا آخذ بيده ومصعده إلى - وشائل بعضده - ومعلمكم إن من كنت مولاه فهذا علي مولاه، وهو علي بن أبي طالب عليه السلام أخي ووصيي،

Di dalam peristiwa Ghadir Khum yang makruf pada tanggal 18 Julhijjah

Nabi saww bersabda : Wahai kaum manusia sekalian, pelajarilah Alquran, dan fahamilah ayat-ayatnya, dan lihatlah pada ayat Muhkamah janganlah mengikuti yang mutasyabihah, dan Allah tidak akan menjelaskankan makna bathinnya dan menerangkan tafsirnya kecuali aku yang mengangkat tangannya dan yang mengangkat lengannya, dan yang menunjukkan kamu sesungguhnya barangsiapa yang Aku Maulanya maka ali Maulanya juga dan dia Ali ibn Abi thalib as saudaraku dan washiku.

Hadits Ghadir merupakah hadits fauqu mutawatir di kalangan umat Islam. Dan saya sengaja mengambil sebuah contoh hadits ghadir dari mazhab syiah yang menunjukkan keterjagaan Quran dari tahrif . Dikatakan disana bahwa perintah mentadabbur quran dan memahaminya dan melihat yang muhkamah bukan mutasyabihah melazimkan bahwa Alquran pada saat itu telah terkumpul tersusun, tidak ada perubahan.

Hadits Tsaqalain
Hadits Ini juga merupakan hadits mutawatir di kalangan umat Islam :

إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله و عترتي أهل البيتي، ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا بعدي أبداً...

Rasulullah saww bersabda : Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian semua dua pusaka yang berat yang pertama Kitabullah dan kedua itrati Ahlulbaiti , yang berpegangteguh padanya maka tidak akan tersesatkan selama-lamanya setelahku...

Keterangan :

- Perintah Tamassuk (berpegang teguh) adalah far'u (bagian) dari wujud Alquran di tangan almutamassikin (orang yang berpegang teguh), jadi sesuatu yang mustahil perintah berpegang teguh kepada Quran yang tidak wujud atau tidak diyakini keutuhannya dari kurang atau lebihnya ayat atau surat dalam Alquran.

Hadits yang menjelaskan bahwa Qur'an kuat rukunnya
Imam Ali as berkata :

و كتاب الله بين اظهاركم ناطق لا يعيا لسانه، و بيت لا تهدم أركانه، و عزّ لا تهزم أعوانه

Dan kitabullah yang hadir padamu yang Nathiq tidak lelah lidahnya, dan rumah yang tidak roboh rukun (tiangnya), dan mulia tidak terputus pertolongannya. ( khutbah 133 nahjul balaghah)

Hadits Perintah untuk merujuk kepada al-Qur'an
Perintah untuk merujuk pada quran ,dan hadits yang sesuai dengannya telah dipakai dan yang tidak sesuai dengan quran harus ditinggalkan, merupakan bukti yang sangat jelas tentang ketiadaan tahrif dalam alquran. Hal ini melazimkan Alquran sebagai pokok asas untuk merujuk, dan asas melazimkan keaslian dan keutuhannya, Karena bagaimana mungkin memerintahkan untuk merujuk kepada Quran sedangkan yang menjadi sumber nya diragukan keasliaannya, hal ini mustahil.

محمد بن يعقوب: عن علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن النوفلي، عن السكوني، عن أبي عبدالله (عليه السلام) قال: «قال رسول الله (صلى الله عليه و آله): إن على كل حق حقيقة، و على كل صواب نورا، فما وافق كتاب الله فخذوه، و ما خالف كتاب الله فدعوه».

( الكافي 1: 55/ 1)

"Muhammad Ibn Ya'qûb berkata : dari Ali Ibn Ibrâhîm dari ayahnya dari An-Naufali dari As-Saukani, dari Abu Abdillah bersabda : Rasulullah saww bersabda : Sesungguhnya dari segala hal yang benar adalah sebuah hakikah kebenaran, dan dari segala pahala adalah cahaya, dan apa-apa yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah dan yang bertolak belakang dengan kitabullah tinggalkanlah".

قول الإمام الصادق عليه السّلام: «إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فأعرضوهما على كتاب اللّه، فما وافق كتاب اللّه فخذوه، و ما خالف كتاب اللّه فردّوه ...» (وسائل الشيعة : 18:84)

"Perkataan Imam As-Sâdiq as : Jikalau datang kepadamu dua hadits yang berbeda maka rujuklah kepada kitabullah , mana yang sesuai dengan Quran maka ambillah dan yang tidak sesuai tolaklah".

Isi dari hadits tersebut tidak lain dari perintah merujuk kepada Alquran maka hadits yang tidak sesuai dengan Quran maka tinggalkanlah dan yang sesuai ambillah, bahkan ditegaskan bahwa yang sesuai dengan Quran itu dariku (Maksumin as) dan yang tidak sesuai itu bukan dariku.

Hadits semodel ini banyak di dalam literatur Syiah, saya menuliskan sebagian hanya sebagai sebuah gambaran saja.

Anjuran Imam Maksum as untuk mengkhatamkan Qur'an
من ختم القرآن بمكة من جمعة إلى جمعة و أقل من ذلك ، و خنمه في يوم الجمعة، كتب الله له الأجر و الحسنات من أوّل جمعة كانت إلى آخر جمعة تكون فيها، و إن ختم في سائر الأيام فكذلك.

Imam Baqir as berkata : Barangsiapa yang mengkhatam Alquran di Mekkah dari hari Jumat ke hari Jumat lagi atau lebih sedikit dari itu, dan mengkhatamnya di hari Jumat, Allah SWT menuliskannya pahala (yang banyak) dan kebaikan ( yang berlimpah) dari awal jum'at sampai akhir Jum'at. Dan yang mengkhatam di hari lainnyapun seperti demikian (pahalanya) juga.

Khatam Quran menunjukkan Alquran telah ada dan terkumpul seperti yang ada sekarang. Karena Khatam melazimkan membaca dari awalnya sampai akhirnya, karena kalau adanya tahrif berupa kurang ayat maka tidak bisa dikatakan "khatam" kalau dikatakan adanya penambahan ayat, maka tidak ada wujudnya dan yang wujud di tangan syiah dari zaman Imam Ali as ataupun di zaman Imam Baqir as sekalipun sama dengan muslimin lainnya, lalu bagaimana bisa dikatakan adanya tahrif kurang dan tambah di dalam mazhab Syiah?

Dalil kitab yang ada ditangan kaum muslimin sudah lengkap
كتاب ربكم فيكم، مبيناً حلالح و حرامه و فرائضه و فضائله و ناسخه و منسوخه....

Kitab yang ada di tanganmu (kaum Muslim), penjelas halal dan haramnya , fardhu dan fadhailnya, nasikh dan mansukhnya...

Menjelaskan kesempurnaan alquran yang ada di tangan muslimin

(Nahjulbalaghah , khutbah 1:23)

Surat Imam Ridha as
Perlu kita ketahui bahwa Imam Ridha as adalah Imam ke delapan di zaman kekhalifahan zalim Abbasiah Al-makmun yang bukan syiahnya.

وأن جميع ما جاء به محمد بن الله هو الحق المبين والتصديق به وبجميع من مضى قبله من رسل الله وأنبيائه وحججه والتصديق بكتابه الصادق العزيز الذي (لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل حكيم حميد) وأنه المهيمن على الكتب كلها، وأنه حق من فاتحته إلى خاتمته نؤمن بمحكمه ومتشابهه وخاصه وعامه ووعده ووعيده وناسخه ومنسوخه وقصصه وأخباره لا يقدر أحد من المخلوقين، أن يأتي بمثله وأن الدليل بعده والحجة على المؤمنين

Imam Ridha as berkata : Sesungguhnya Jami' (seluruh) apa yang diturunkan Muhammad ibn abdillah adalah Haqqul mubin, dan membenarkan dengannya seluruh (kitab ) sebelumnya dari utusan Allah SWT dan para nabi-Nya, dan yang menjadi hujjah (keasliannya) dan membenarkannya adalah Kitabullah Assadiq alaziz ayat- Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dan Hujjah ayat tersebut menjaga seluruh kitab ( quran) seluruhnya (kandungannya), dan Alquran benar dari mulai Fatihahnya sampai akhirnya , kami mengimani Almuhkamah dan mutasyabihah, alkhashah dan ‘amah , janji dan ancamannya, nasikh dan mansukhnya, kisah dan akhbarnya, tidak ada seorangpun dari makhluk yang mampu membuat sepertinya, dan dalil setelahnya serta Hujjah bagi orang Mukmin.

-sangat jelas pernyataan Imam Ridha as membenarkan Quran yang ada di tangan Makmun yang bukan syiahnya.

Peintah mengumpulkan Qur'an di masa Nabi Saw
Perlu diketahui para Ulama syiah dengan analisa yang terperinci dan detail berkesimpulan bahwa Quran telah tersusun di jaman Nabi saww seperti sekarang ini, karena banyak dalil yang menunjukkan hal itu, baik itu di dalam kitab-kitab mazhab Syiah ataupun Suni. Dan yang setelahnya adalah ikhtilaf dalam masalah qiraah, seperti yang dilakukan penyatuan qiraah di zaman Utsman bin Affan - jadi Khalifah Utsman bukanlah menyusun al-quran tetapi menyatukan qiraahnya dan kesepakatan tulisan dalam huruf seperti titik dan harakat, sebagian berpendapat urutan suratnya-,walaupun setelahnya masih terjadi perbedaan yang mencapai qiraah tujuh sebagian mengatakan sampai sepuluh.

علي بن الحسين، عن أحمد بن أبي عبد الله، عن علي بن الحكم عن سيف، عن

أبي بكر الحضرمي، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن رسول الله صلى الله عليه

وآله قال لعلي: يا علي القرآن خلف فراشي في المصحف والحرير والقراطيس فخذوه واجمعوه ولا تضيعوه كما ضيعت اليهود التوراة، فانطلق علي فجمعه في ثوب أصفر، ثم ختم عليه في بيته ....dari Abi Abdillah as, Rasul saww bersabda kepada Ali as : Wahai Ali Alquran yang ada dibalik tilam/kasur, didalam mushhaf dan kain serta kertas, ambillah dan kumpulkanlah janganlah kau telantarkannya /menghilangkannya seperti orang-orang Yahudi menelantarkan/menghilangkan tauratnya, maka bersegeralah Ali untuk mengumpulkannya dan menyusunnya di dalam kain yang kuat (dijilid) yang kuning, kemudian menyelesaikannya di rumahnya. (Alamah majlisi -Biharulanwar 89/48)

Penyusunan dan pengumpulan Quran di zaman rasulullah saww banyak tertulis di dalam kitab rujukan umat Islam, sebagian dari hadits Suni seperti yang dinukil Al-khawarizmi di dalam kitab Al-manaqib dari Ali ibn Ribah sesungguhnya Ali ibn Abi thalib as dan ibn Ka'ab mengumpulkan dan menyusun Alquran Alkarim di zaman rasulullah saww.

c). Pernyataan para ulama Syiah Syeikh Shaduq (wafat-318 H)

Kitab Ali'tiqad 59-60

اعتقادنا أن القرآن الذي أنزله الله على نبيه محمد صلى الله عليه و آله هو ما بين الدفتين و هو ما في أيدي الناس ليس بأكثر من ذلك ، ومبلغ سوره عند الناس مائة و أربع عشرة سورة ، وعندنا أن الضحى وألم نشرح سورة واحدة ولإيلاف وألم تر كيف سورة واحدة ، ومن نسب إلينا أنا نقول أكثر من ذلك فهو كاذب "

Keyakinan Kami bahwa Quran yang diturunkan Allah kepada nabinya Muhammad saww dan quran itu diantara dua sisi, dan dia yang ada di tangan manusia (sekarang) yang tidak ada lebih dari hal itu yaitu yang berjumlah 114 surat, dan di kita(syiah) , surat dhuha dan alam nasyrah dianggap satu surah, dan alilaf dengan alam tara kaifa dianggap satu surah, dan yang menuduh kita lebih dari demikian maka hal itu bohong.

Syeikh Mufid ( wafat 413 H)

Kitab Awailul Almaqalat , hal 54 - 56

وقد قال جماعة من اهل الامامة : انه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ..) الخ .. لتعلم مدى كذبه ودجله

Dan berkata ulama Jamaah dari Ahli Imamah (Syiah) : bahwa sesungghunya Quran tidak ada kurang dari kalimat dan tidak pula dari ayat dan tidak pula dari surah ....sampai kamu tahu siapa yang membohonginya dan menipunya. (orang yang mengatakan adanya tahrif)

Syeikh Murtadha ( wafat 436 H)

Risalah aljwabiah alula

لأن القرآن معجزة النبوة ومأخذ العلوم الشرعية والاحكام الدينية' وعلماء المسلمين قد بلغوا في حفظه وحمايته الغاية حتى عرفوا كل شئ اختلف فيه اعرابه وقراءته.. فكيف يجوز ان يكون مغيراً أو

منقوصاً مع العناية الصادقة والضبط الشديد ! وقال : ان القران كان على عهد رسول الله (ص) مجموعاً مؤلفاً على ما هو عليه

الآن ..)

... Sesungguhnya Quran sebuah mukjizah , yang meliputi ilmu-ilmu Syar'iyyah dan Ahkam diniyyah, dan Ulama Muslimin telah banyak menghapalnya dan menjaganya sampai dimana mereka mengetahui segala kekeliruan ( kalau terjadi) didalamnya pada i'rabnya dan bacaannya, dan bagaimana bisa Quran itu terdapat perubahan atau kekurangan sedangkan banyak yang menjaganya dan menghapalnya dengan sangat banyaknya , maka dia berkata : sesungguhnya Quran di zaman rasulullah saww telah terkumpul , ditulis seperti sekarang ini.

Syeikh Thaifah -Syeikh Thusi ( 460 H)-syeikh thaifah adalah ulama ijma' yang penting didalam mazhab Syiah.

Albayan fi tafsir Quran juz 1 hal 3

أما الكلام في زيادته ونقصانه فمّما لايليق به ‘لأن الزيادة فيه

مجمع على بطلانها'

Dan pernyataan dalam ziadah ( lebih ) dan kurang dari quran tidak layak karena kelebihan (ziadah) adalah secara sepakat merupakan sebuah kebathilan.

Syeikh Tabarsi (548 H)

(اما الزيادة فمجمع على بطلانها' واما القول بالنقيصة فالصحيح من مذهب أصحابنا الامامية خلافه .

Ziadah (kelebihan) dan kekurangan ayat (didalam Alquran) secara ijma adalah bathil maka yang betul dalam mazhab Imamiah (syiah) adalah tidak sependapat dengannya (dengan kekurangan dan kelebihan)

( Majma Al-bayan juz 1 hal 15) Sayyid Ali ibn Thawus Alhilli ( 663 H)

إنَ رأي الإمامة هو عدم التحريف

Sesungguhnya pandangan Syiah Imamiah adalah ketiadaan tahrif Quran ( Sa'du AsSu'ud 144) Alamah Hilli (728 H)

جعل القول بالتحريف متنافياً مع ضرورة تواتر القرآن بين المسلمين

Anggapan Tahrif berlawanan dengan dharuriyat tawatur Alquran diantara muslimin

( Ajwibah Al-Masail Al-Muhawiah 121) Almaula Muhaqiq Ahmad Ardabili (993 H)

جعل العلم بنفي التحريف ضرورياً من المذهب .

Telah sampai tinggkatan al-‘ilm (qath'i) terhadap penafian tahrif adalah kedaruriatan Mazhab (syiah)

(Majma Alfaidah jilid 2 hal 218) Sayyid Nurullah Tastari Al-Mustasyhid (1029 H)

ما نسب الى الشيعة الامامية من القول بوقوع التغيير في القرآن ليس مما قال به جمهور الامامية' انما قال به شرذمة قليلة منهم لااعتداد بهم فيما بينهم

Barangsiapa yang menisbatkan kepada syiah mengenai pendapat adanya perubahan dalam Quran bukanlah pendapat Jumhur Imamiah (syiah) ,mereka yang mengatakan perubahan hanyalah segolongan kecil dari mereka dikarenakan keyakinan mereka dengan apa yang ada diantara mereka ( Akhbariun)

(Kitab Mashaib An-Nashaib atau Al-Ala' Arrahman 1/25) Al-Maula Muhaddits Muhammad ibn Hasan Feidz Al-kasyani (1090 H)

: (على هذا لم يبق لنا اعتماد بالنص الموجود' وقد قال تعالى :{ وَاِنهُ لكتاب عَزيز لا يَأتيهِ الباطل من بين يديه ولا من خَلفه} وقال :{ وإنا نَحنُ نَزلنَا الذِكرَ وإنا لهُ لَحافِظون}. وأيضاً يتنافى مع روايات العرض على القرآن . فما دل على وقوع التحريف مخالف لكتاب الله وتكذيب له فيجب رده والحكم بفساده أو تأويله .

Setelah meriwayatkan sebuah hadits mengenai tahrif.... terhadap hal itu tidak ada bagi kita keyakinan (taharif) dikarenakan adanya nash Quran, Allah berfirman :

sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia, Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya

dan firman allah Ta'ala :

Sesungguhnya kami yang menurunkan Alquran dan kamilah yang menjaganya.

Dan juga berlawanan dengan riwayat-riwayat mengenai Quran , oleh sebab hadits apa saja saja yang menunjukkan tahrif quran berlawanan dengan Kitabullah dan merupakan suatu kedustaan dan maka wajib bagi kita untuk menolaknya dan menghukuminya dengan kefasidan, atau dengan menak'wilnya.

(tafsir Shâfi jilid 1 hal 33)

Syeikh Muhammad Ibn Hasan Hurr Al-Amili (1104 H)

: إن من تتبع الاخبار وتفحص التواريخ والآثار علم -علماً قطعياً- بأن القرآن قد بلغ أعلى درجات التواتر' وأن آلآلف الصحابة كانوا يحفظونه ويتلونه' وأنه كان على عهد رسول الله (ص) مجموعاً مؤلفاً

Sesungguhnya barangsiapa yang menelusuri akhbar (rwiayat) dan meneliti Tarikh , dan atsar , telah diketahui - dengan ilmu Qath'i-sesungguhnya Quran telah mencapai yang paling tinggi derajatnya pada tingkatan mutawatir dan ribuan dari shahabat menghapal quran dan membacanya dan hal itu pada zaman rasulullah saww telah terkumpul dan tertulis quran tersebut ( Al-fushul Al-Muhimmah fi ta'lif Al-Ummah hal 166) Syeikh Ja'far kabir Kasyiful Ghitha (1228 H)

كذلك جعله من ضرورة المذهب بل الدين واجماع المسلمن واخبار النبي والأئمة الطاهرين .

...oleh sebab itu menjadikannya (penolakan tahrif) dari daruriat Mazhab (syiah) bahkan agama (Islam umumnya) dan Ijma Muslimin serta Akhbar dari Nabi saww dan Imam suci as.

( Kasyifulghtha , kitabulquran min Ashalat hal 298)

Syeikh Muhammad ibn Husein Kasyiful ghitha ( 1373 H)

جعل رفض احتمال التحريف أصلاً من اصول المذهب .اصل الشيعة واصولها

Penolakan terhadap kemungkinan Tahrif adalah bagian dari Ushul Mazhab , hal itu merupakan keaslian Syiah dan ushulnya.

Dan masih banyak lagi pernyataan ulama mutaqaddimin (terdahulu) ....

Ulama Mutaakkhirin sudah jelas dengan ijma' nya menolak tahrif quran diantaranya :

Sayyid Khui

إنَ من يدَعي التحريف يخالف بداهة العقل

(sesungguhnya yang beranggapan adanya tahrif maka berlawanan dengan kebadihiahan aqal ) (Al-Bayan fi tafsir Al-quran : 220)

Imam Khumaeni

...والآن وبعد أن أصبحت صورته الكتبية في متناولنا بعد أن نزلت بلسان الوحي على مراحل ومراتب من دون زيادة أو نقصان وحتى لو حرف واحد.

Dan sekarang setelah menjadi bentuk secara kitabiah dan kita menerimanya setelah turun dengan lisan wahyu para tahapan dan susunan tanpa adanya lebih dan kurang walalupun satu huruf pun. Alquran annaql akbar 1/66 dan puluhan para maraji mutaakhirin dalam kitabnya dan fatwanya masing-masing.

Kesimpulan : Alquran merupakan Kitab Tsiql Akbar (pusaka besar) yang terjamin keasliannya Dengan dalil yang mutawatir dan kuat Alquran yang sekarang sama dengan di zaman nabi saww, bahkan ditegaskan bahwa Alquran telah tersusun dan terkumpul sejak zaman Nabi saw. Hadits-hadits yang mengandung tahrif adalah hadits dhaif (lemah) dan sangat jarang. Hadits-hadits lemah tersebut terdapat didalam litelatur Suni dan Syiah dan para ulama telah sepakat dalam penolakan hadits tersebut. Hadits-hadits yang mengandung tahrif bertolak belakang dengan dhahir kitab Alquran Quran Ali bukanlah quran yang berbeda dengan Quran yang ada ditangan muslimin sekarang, akan tetapi perbedaan terletak pada adanya keterangan penjelasan, takwil dan tafsir didalam Quran Ali. Alquran syiah sama dengan alquran muslimin umumnya.

Minggu, 25 September 2016 00:13

Al-Quran, Kitab Yang Tak Mungkin Ditahrif

Syi’ah dengan berbagai tuduhan dan tudingan tetap berkeyakinan bahwa Quran yang ada ditangan kita dan yang ada di tangan semua orang muslim adalah Quran yang sama yang diturunkan pada kita Muhammad Saw;tidak bertambah dan berkurang walau satu kalimatpun. Masalah ini begitu jelas dipahami dari kitab-kitab tafsir, ushul fiqih dan lainnya dengan berbagai dalil aqli dan naqil.
Syi’ah dengan berbagai tuduhan dan tudingan tetap berkeyakinan bahwa Quran yang ada ditangan kita dan yang ada di tangan semua orang muslim adalah Quran yang sama yang diturunkan pada kita Muhammad Saw;tidak bertambah dan berkurang walau satu kalimatpun. Masalah ini begitu jelas dipahami dari kitab-kitab tafsir, ushul fiqih dan lainnya dengan berbagai dalil aqli dan naqil. Kita meyakini sesuai dengan ijma’ para ulama Islam baik Syi’ah atau Ahli sunnah bahwa Quran tidak bertambah dan juga menurut kesepakatan moyoritas muhaqqiq bahwa tidak ada yang terkurangi dari Al-Quran sedikitpun. Memang ada sedikit dari dua kelompok tersebut meyakini bahwa Quran ada yang bekurang akan tetapi keyakinan mereka tidak didukung oleh cendikiawan-cendikiawan terkenal Islam. Dua Kitab Dari Dua Kelompok Diantara mereka adalah Ibnul-Khatib Misry dari golongan ahli sunnah yang menulis kitab Al-Furqan fi Tahrifil Quran dimana kitab tersebut telah tersebar pada tahun 1948M ( 1367 H.Q). Universitas Al-Azhar pada waktu yang tepat menyadari keberadaannya mahaminya hal teesebut dan akhirnya mengumpulkan berkas-berkas itu dan melenyapkannya. Akan tetapi beberapa berkas darinya masih di tangan beberapa orang. Begitu juga dengan kitab Faslul Khitab fi Tahrifi Kitab Rabbil Arbab yang ditulis oleh salah satu muhaddis yang bernama Haji Nuri dan telah dicetak pada tahun 1291H.Q , para pemuka hauzah ilmiah Najaf mengingkarinya dan mengeluarkan perintah untuk mengumpulkannya dan ditulislah beberapa kitab yang banyak yang menentang kitab tersebut, diantara para ulama yang mengkritik dan menentang kitab tersebut adalah: 1. Seorang faqih yang terpilih yang bernama marhum Syekh Mahmud bin Abi Qasim yang terkenal dengan Muarrab Tehrani (wafat pada tahun 1313) yang mana beliau menulis kitab Kasyful Irtiyab fi Adami Tahrifil Kitab. 2. Marhum Allamah Sayyid Muhammad Husain Syahristani (wafat pada tahun 1315) beliau menulis kitab lain dalam rangka menolak kitab Faslul Khitab karnya Haji Nuri yang bernama Hifdzul Kitabisy Syarif ‘an Syubhatil Qaul bit Tahrif. 3. Marhum Allamah Balaghi (wafat pada Tahun 1352) salah seorang muhaqqiq hauzah ilmiyah Najaf yang terkenal dengan karangannya kitabTafsiru Alau Rahman, merupakan salah satu ulama yang menulis kitab untuk menjawab isi kitab Faslul Khitab.[1] 4. Kami juga mendapatkan dalam kitab Anwarul-Usul pembahasan yang cukup luas tentang tidak adanya tahrif Quran Majid dan kami juga memberikan jawaban yang memuaskan pada syubhah-Syubhah kitab Faslul-Khitab. Marhum Haji Nuri walaupun seorang alim akan tetapi dia sebagaimana perkataan Allamah Balaghi selalu bersandar pada hadis-hadis dzaif dan lemah, dan dia sendiri merasa menyesal setelah tersebarnya kitab tersebut, semua pembesar hauzah ilmiyah Najaf menyimpulkan bahwa penyesalannya dikarenakan kesalaha-kesalahannya yang jelas tersebut.[2] Yang menarik perhatian adalah Haji Nuri setelah bukunya tersebar dan dikarenakan serangan yang ditujukan kepadanya, untuk membela diri terpaksa dia menulis risalah yang isinya adalah maksud saya dari kitab tersebut adalah tidak adanya tahrif dalam al-Quran akan tetapi dari ungkapan-ungkapan yang saya pakai telah ........salah difahami.[3] Marhum Allamah Sayyid Hibbatuddin Syahristani mengatakan: ketika aku berada di Samira, berkata Marhum Mirza Syirazi Buzurg, Samira dirubah menjadi markas ilmu-ilmu Syi’ah, setiap aku memasuki suatu acara aku mendengarkan jeritan-jeritan dalam rangka menentang Haji Nuri dan kitab yang ia tulis dan sebagian dari mereka menyebutkannya dengan kalimat-kalimat yang buruk. [4] Dengan ini semua apakah masih bisa perkataan Syekh Nuri dinisbatkan dengan akidah Syi’ah? Sebagian dari mutaassib wahabi kitab Faslul-Khitab ini dibut sebagai alasan dan memaksa menisbatkan masalah tahrif Quran pasa Syi’ah, sedangkan: 1. Kalau hanya dengan satu kitab bisa dijadikan dalil bahwa Syi’ah meyakini hal ini maka masalah tahrif Quran ini juga harus dinisbatkan pada Ahli Sunnah, karena Ibnu Khatib Misri juga menulis kitab Alfurqan fi Tahrifil Quran. Jika protes para ulama al-Azhar terhadap kitab tersebut merupakan dalil akan ketiadak benaran isi kitab tersebut, maka penolakan dan protes para ulama Najaf terhadap kitab Faslul-Kihitab juga merupakan dalil yang sama akan ketidakbenaran isi kitab. 2. Dalam tafsir Qurtubi dan Durul-Mantsur yang mana kedua kitab tersebut termasuk kitab tafsir yang makruf di kalangan ahli sunnsh, dinukil dari Aisyah (istri nabi Saw) dimana dia mengatakan:” sesungguhnya surah Al- Ahzab memiliki 200 ayat, maka yang tersisa hanya 73 ayat saja.[5] Lebih dari itu, dalam kitab Bukhari dan Muslim riwayat semacam itu juga yang mengesankan tahrif Quran dapat dijumpai dalam kedua kitab standar tersebut.[6] Akan tetapi, tidak bisa kita mengatakan akan tahrif Quran dengan berlandaskan kepada seorang penulis atau beberapa riwayat lemah. 3. Mayoritas riwayat yang dinukil oleh Haji Nuri dinukil dari tiga perawi yang mazhabnya tidak jelas atau seorang pembohog atau kondisi tidak diketahui; Ahmad bin Muhammad Al-Yasari, Ali bin Muhammad Kufi dan Abu Jarud. 4. Pada dasarnya tuduhan tahrif Quran yang dinisbahkan kepada sebuah sekte imbas dan citra buruknya mengarah kepada agama Islam sendiri. Karena hal inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam. 5. Para qari’ dan hafiz Quran dari Iran (yang secara note bene pengikut Syi’ah) yang kerap kali mendapat peringkat terbaik dalam musabaqah qurani, terlebih para hafiz kecil, serta ribuan hafiz setiap tahunnya yang muncul dari negeri ini, semuanya membaca dan menghafal al-Quran yang sama dengan Quran yang ada di tangan musimin. Dalil Aqli Dan Naqli Di dalam al-Quran terdapa banyak ayat yang menegaskan bahwa kitab agung ini tidak akan ditahrif. Allah berfirman:” sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr dan Kamilah yang akan menjaganya.[7] Dalam ayat lain disebutkan:” Dan sesungguhnya dia adalah kitab yang tidak ada tandingannya, tidak akan sesuatu (yang batil) yang akan mengahmpirinya; baik dari depan, belakang, karena dia diturunkan dari Dzat yang bijak danterpuji.[8] Selain itu, para pencatat wahyu yang jumlahnya sekitar 14 orang hingga 400 orang senantiasa siogap dan dengan cepat mencatat ayat-ayat yang baru turun kepada Rasulullah Saw. Terdapat ratusan para hafiz di zaman itu saat ayat turun mereka langsung menghafalnya. Bacaan kitab ini saat itu merupakan ibadah penting yang dibaca siang dan malam. Di samping itu, Quran merupakan kitab pedoman kehidupan kaum muslimin yang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan. Dengan memperhatikan bukti-bukti di atas, akal sehat tidak mungkin membenarkan bahwa dia dapat dirubah; ditambah atau dikurangi. Dalam riwayat yang dinukil dari para maksum juga telah ditekankan keterjagaan Quran dari tahrif. Amirul mukminin Ali a.s. dalam Nahjul balaghah bersabda:” Allah telah menurunkan kepada kalian sebuah kitab yang menjadi penjelas segala sesuatu, dan Dia menganugrahkan usia Rasulullah Saw sampai agama yang diridhai itu sempurna melalui al-Quran.[9] Catatan Kaki: [1] Alaur-Rahman, jilid 1, hal 25. [2] Alaur-Rahman, jilid 2, hal 311. [3] Adz-Dzariah, jilid 16, halaman 231. [4] Burhane Rusyan, halaman 143. [5] Yafsir Qurthubi, jilid 14, halaman 113 dan Durul-Mantsur, jilid 5, halaman 180 [6] Shahih Bukhari, jilid 8, halaman 208-211 dan shahih Muslim, jilid 4, halaman 167 dan jilid 5, halaman 116. [7] Surah Hijr, ayat 9. [8] Surah Fushilat, ayat 41 dan 42. [9] Nahjul Balaghah, khutbah 86.