
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 69-71
Ayat ke 69
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (5:69)
Sebelumnya, pada ayat, 68 telah disinggung bahwa pengikut agama manapun tidak memiliki suatu kedudukan di sisi Allah Swt, kecuali dengan melaksanakan kandungan dan ajaran kitab samawi dan membangun masyarakat dengan landasan kitab tersebut. Sedangkan ayat 69 ini menyebutkan, pemeluk agama samawi manapun antara yang satu dan yang lainnya tidak ada yang lebih utama, baik Muslimin, Yahudi, Nasrani dan Shabiin (sisa pengikut para nabi terdahulu seperti Nabi Nuh, Yahya dan sebagainya). Jumlah pengikut yang lebih besar atau usia yang sudah lama, juga banyaknya nabi di kalangan satu agama tidak menjadi ukuran keutamaan dan kelebihan agama itu.
Orang yang paling dekat dengan Allah Swt dan memiliki kedudukan paling mulia adalah dari sisi akidah ia mengimani Tuhan dan hari kebangkitan, sedang dari sisi perbuatan, melakukan amal saleh dan berbuat baik untuk masyarakatnya. Tentunya, dengan datangnya nabi yang baru, para pengikut semua agama Allah harus beriman kepada nabi itu dan mengamalkan syariat yang ia bawa. Jika tidak, maka pengutusan nabi yang baru tidak berguna dan sia-sia belaka. Mengingat nabi terakhir adalah Nabi Muhammad Saw, maka keimanan yang sebenarnya kepada Allah, harus ditunjukkan dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kunci kebahagiaan pada semua agama samawi adalah iman dan amal saleh, bukan pengakuan dan pernyataan lisan.
2. Ketenangan manusia yang sebenarnya pada Hari Kiamat nanti hanya bisa didapatkan melalui iman kepada Allah Swt.
Ayat ke 70
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (5: 70)
Setelah Nabi Musa as berhasil menyelamatkan kaum Bani Israil dari cengkeraman Firaun dan kaki tangannya, beliau diperintahkan untuk mengambil sumpah dari Bani Israil yang isinya memerintahkan mereka untuk selalu menjaga dan komitmen terhadap ajaran-ajaran Allah Swt. Mereka menerimanya. Namun, tak berapa lama kemudian mereka melanggar janji itu, seperti yang disinggung dalam banyak ayat al-Quran. Mereka bukan saja menginjak-injak hukum Allah, membohongkan para nabi dan utusan-utusan Allah, dan memutar balikkan perintah-perintah agama menurut hawa nafsu mereka, bahkan mereka juga membunuh para nabi. Ayat ini memberikan peringatan kepada kaum Muslimin agar selalu menjaga wasiat Nabi Muhammad Saw, yaitu jangan mengabaikan para washi beliau Saw, dan supaya mereka loyal terhadap sumpah setia Ghadir yang telah dua kali disinggung dalam surat ini.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1.Ingkar atau membohongkan risalah para nabi oleh orang-orang Kafir, tidak memiliki dasar akal dan logika. Sumber penentangan ini ialah keinginan manusia untuk bebas dan melakukan apa saja sesuai dengan hawa nafsunya. Sedangkan agama samawi datang untuk mengontrol hawa nafsu manusia, sehingga dimensi kejiwaan manusia tumbuh sempurna.
2. Dalam masyarakat yang bobrok, orang-orang suci dan saleh menjadi sasaran fitnah dan teror.
Ayat ke 71
Artinya:
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (5: 71)
Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, kaum Yahudi menyebut diri mereka sebagai ras terbaik bila dibandingkan dengan kelompok atau ras lainnya. Mereka merasa sebagai kaum yang paling dicintai dan dekat di sisi Tuhan. Karena itu mereka menyangka tidak akan pernah mengalami ujian dan cobaan dari Allah Swt, ataupun bila diuji atau dicoba, segala amal perbuatan mereka tidak akan mendatangkan siksaan dan sanksi Tuhan, atau ujian itu hanya sebentar saja.
Sifat congkak inilah yang membutakan mata mereka. Sehingga mereka tidak ingin memahami bahwa cobaan, siksa dan pahala adalah sunnah Allah yang tidak mengecualikan siapapun juga. Semua manusia harus melewati tahap cobaan untuk bisa diketahui jatidirinya yang sebenarnya. Allah Swt adalah Tuhan dengan rahmat yang maha luas. Kemurahan Allah ini tidak akan dicabut dari manusia hanya dengan sekali pelanggaran manusia. Allah Swt akan menerima taubat mereka meski berulang-ulang. Namun, sebagian orang tidak mempedulikan hal ini dan melalaikan ayat-ayat Allah, yang tentunya hal ini akan melenyapkan kesempatan mereka untuk memperoleh anugrah dan rahmat Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Prasangka yang tidak pada tempatnya dan berdasarkan pada kesombongan dan bangga diri mengakibatkan manusia dijauhkan hakikat yang sebenarnya.
2. Sekalipun manusia mengingkari Allah dan tidak melihat keberadaan-Nya di muka Bumi, namun Allah Swt senantiasa melihat manusia.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 67-68
Ayat ke 67
Artinya:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (5: 67)
Ayat ini memiliki keistimewaan yang berbeda dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, dan merupakan sebuah ayat tersendiri yang patut diberi perhatian. Keistimewaan pertama ialah ayat ini menyeru Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan lafad (yaa Ayyuharrasul). Bentuk kalimat panggilan seperti ini di dalam seluruh al-Quran digunakan sebanyak dua kali, dan keduanya berada di dalam surat al-Maa-idah. Keistimewaan kedua ialah Rasulullah Saw diperintahkan untuk menyampaikan sebuah masalah yang memiliki nilai dan kedudukan yang sama persis dengan seluruh risalah beliau, dimana seandainya Rasulullah Saw tidak menyampaikan masalah yang satu ini kepada masyarakat, beliau akan dianggap tidak menyampaikan risalah ilahi yang diembannya. Poin ketiga tentang kedudukan Nabi Muhammad Saw yang sedemikian penting di sisi Allah Swt, sehingga Rasulullah Saw merasa khawatir bahwa masyarakat tidak akan mau menerimanya, lalu mengingkarinya. Bagian akhir ayat ini mengancam siapa pun yang menolak masalah ini karena sifat ingkar dan keras kepala, dan mengatakan bahwa orang-orang semacam ini akan dijauhkan dari petunjuk Allah yang khusus.
Dan saat ini pun harus disaksikan, betapa pentingnya perkara ini, sehingga Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk tidak takut dan khawatir dan segera menyampaikannya kepada masyarakat serta tidak boleh gentar terhadap penentangan mereka. Dengan memperhatikan turunnya ayat-ayat surat al-Maidah ini pada tahun-tahun terakhir usia Nabi Saw akan jelas, bahwa perkara ini bukan berkaitan dengan shalat, puasa, zakat, haji, jihad ataupun kewajiban-kewajiban agama lainnya. Karena semua perkara tersebut telah diterangkan dan dikerjakan sepanjang tahun-tahun sebelumnya. Jadi jelasnya perkara penting apa gerangan yang diketengahkan oleh Nabi Muhammad Saw diakhir usia beliau, yang Allah Swt juga menekankan perkara ini dan pada saat yang sama Nabi juga merasa cemas dan khawatir atas penentangan orang-orang Munafik di sekitar beliau ?!
Ternyata masalah tersebut semata-mata menyangkut pengganti Nabi dan nasib masa depan Islam serta kaum Muslimin, yang merupakan realisasi terpenuhinya keistimewaan dan syarat-syarat tersebut? karena itu, para mufassir besar Ahli Sunnah seperti Fakhrur Razi yang mengutip masalah tersebut sebagai salah satu kemungkinan penerimaan ayat ini, dan riwayat-riwayat sejarah yang berhubungan dalam masalah ini dalam tafsir-tafsir beliau.
Kelompok Syiah yang menerima penafsiran dan penjelasan ayat-ayat al-Quran melalui tafsir-tafsir Ahlul Bait Nabi Saw berkeyakinan bahwa ayat ini merupakan mengangkatan Ali bin Abi Thalib as pada jabatan Khalifah, dimana Nabi Muhammad Saw dalam haji terakhir beliau (haji wada) sewaktu hendak pulang ke Madinah mengumpulkan kaum Muslimin di suatu tempat bernama GhadirKhum. Maka saat itu beliau mengambil tempat yang agak tinggi, untuk memberitahukan mengenai dekatnya ajal Nabi, dan menetapkan pengganti beliau Saw yang merupakan sahabat beliau yang paling setia dan komit sepanjang 23 tahun risalah kenabian beliau Saw yakni Ali bin Abi Thalib as, dengan mengatakan :
(Ayyuhan-Nas! Man kuntu Maulahu fahadza Aliyun Maulahu) yang artinya, Wahai Mukminin! Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai wali (pemimpin), maka sesudah aku harus menjadikan Ali sebagai wali atau pemimpinnya. Selanjutnya beliau mengatakan, barangsiapa yang hadir dalam pertemuan besar ini, hendaknya menyampaikan kabar ini kepada yang tidak hadir.
Dengan berakhirnya pidato Nabi Saw, maka para sahabat besar dan kaum mukminin lainnya yang hadir dalam peristiwa bersejarah ini, menyampaikan ucapan selamat kepada Ali bin Abi Thalib as yang memikul tanggung jawab besar dan menjadi pemimpin mereka setelah Nabi Saw. Sayangnya sebagian kalangan mengatakan, bahwa maksud Nabi mengenai "Wilayah" Ali bin Abi Thalib adalah kecintaan dan suka kepada beliau, bukan kepemimpinan. Hal ini sudah jelas bahwa tak seorangpun dari kaum Muslimin yang meragukan hubungan dan kecintaan Nabi terhadap Ali, sehingga Nabi menginginkan dalam pertemuan besar ini, yang juga sebagai hari-hari akhir dari usia beliau menekankan poin ini, sedang para sahabat Nabi menganggapnya sebagai kemenangan dan keberhasilan bagi Ali bin Abi Thalib as.
Bagaimanpun juga, mengenai turunnya ayat ini serta keistimewaan khususnya, menunjukkan betapa tugas-tugas Nabi lebih luas dan berat dibandingkan perkara mengumumkan mengenai cinta dan suka, bahkan perkara ini lebih luas dari sekedar sebuah masalah perasaan dan naluri. Yaitu, masalahnya berhubungan dengan umat Islam, dan hal itupun merupakan poin terpenting yakni kepemimpinan, memberi petunjuk kepada masyarakat Islam setelah Nabi Muhammad Saw.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Apabila pemimpin umat Islam tidak ditentukan pada orang-orang saleh yang telah diangkat oleh Allah Swt, maka dasar-dasar agama ini dalam bahaya.
2. Hal-hal yang menjadikan Nabi Muhammad Saw memiliki kecemasan dan kekhawatiran, bukan terhadap para musuh dari luar, tetapi justru bahaya yang datang dari dalam berupa penentangan dan tindakan-tindakan agitasi dari dalam kaum Muslimin sendiri.
Ayat ke 68
Artinya:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (5: 68)
Ayat ini isinya sama dengan ayat 66 surat al-Maidah yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, kemudian dijelaskan kembali posisi Ahlul Kitab dihadapan Islam dan Nabi Muhammad Saw, lalu Nabi diperintahkan untuk menyatakan kepada mereka bahwa tidak cukup mereka mendakwakan sebagai pengikut para Nabi seperti Nabi Musa as dan Nabi Isa as, tetapi justru tanda-tanda iman yang sebenarnya adalah melaksanakan hukum-hukum dan perintah-perintah Allah Swt di segala aspek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat.
Dari sanalah dapat dipahami bahwa diutusnya para Nabi merupakan sebuah sunnatullah sepenjang sejarah, keras kepala dan tidak menerima para Nabi sesudahnya justru menunjukkan sejenis diskriminasi agama yang dapat mencegah pertumbuhan kemerdekaan manusia, serta menyebabkan keingkaran mereka dalam menerima kebenaran. Karena itulah Allah Swt dalam ayat ini menekankan keimanan mereka terhadap seluruh kitab Samawi. Lalu selanjutnya mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan, banyak kalangan Ahlul Kitab yang tidak mau menerima al-Quran, sehingga pemikiran dan penentangan semacam ini menjadi benih kekufuran mereka. Karena mereka mengerti dan sadar melalui ilmu sengaja memilih jalan ini, lalu atas kekufuran mereka hisab mereka menjadi sangat menyedihkan dihadapan Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1.Pengakuan iman tidaklah cukup, maka dari itu berdiri melaksanakan kewajiban merupakan suatu keharusan. Seseorang yang tidak memiliki amal pada dasarnya tidak memiliki agama.
2. Kemuliaan seseorang di sisi Allah didasarkan pada tolok ukur komitmen mereka terhadap ajaran dan perintah agama dan dalam masyarakat juga hendaknya demikian, sikap dan posisi seseorang harus ditentukan pada dasar ini.
3. Kita seharusnya bisa melenyapkan sikap ekstrim yang tidak pada tempatnya dan senantiasa menghormati keyakinan-keyakinan orang lain, di samping kita harus dapat mengetengahkan jalan kita.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 64-66
Ayat ke 64
Artinya:
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (5: 64)
Sebelumnya sudah dikaji beberapa ayat tentang sebagian kehidupan orang-orang Yahudi dalam urusan keluarga, akhlak dan ekonomi. Ayat ini bercerita tentang salah satu kepercayaan sesat orang-orang Yahudi dan ucapan mereka yang menyesatkan berkenaan dengan Allah Swt. Ayat ini mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mengira tangan Allah di awal penciptaan terbuka; dalam arti bahwa Allah memiliki kebebasan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu Allah mampu mengabulkan permintaan siapa saja yang ingin Dia kabulkan. Namun setelah Allah Swt menciptakan segala sesuatu dan memberlakukan ketentuan-ketentuan-Nya sendiri, maka Allah tidak mampu lagi melakukan perubahan-perubahan di dalam ketentuan-ketentuan-Nya itu. Bahkan manusia yang Allah beri kebebasan, ternyata kemudian mampu berbuat apa saja dikehendakinya tanpa kemampuan Allah untuk mencegahnya. Demikianlah secara singkat keyakinan sesat Yahudi berkenaan dengan Allah Swt.
Kepercayaan yang tidak benar ini diterima secara luas dalam masyarakat Yahudi sehingga ketika perintah infak kepada orang-orang yang lemah dan menderita Allah turunkan kepada orang-orang Yahudi, mereka mengatakan bahwa ini menunjukkan bahwa tangan Allah terbelengggu. Sebab kalau tangan Allah tidak terbelengggu dan Dia memiliki kekuasaan, tentu Allah akan mampu memberikan kepada fakir miskin itu apa yang mereka perlukan, dan tidak akan memerintahkan kita untuk memperhatikan orang-orang miskin tersebut.
Dalam menjawab kata-kata yang mengandung kekafiran ini, Allah Swt mengatakan, kekuasan Allah sama sekali tidak terkekang dan tidak akan tertutup. Dia memberikan kepada siapa saja sesuai ukuran dan memberikan infaknya. Perintah untuk berinfak tidak menunjukan bahwa Allah tidak mampu atau menandakan bahwa tangan Allah terikat. Tapi infak adalah tanda ketulusan seorang mukmin dan menunjukkan keimaman yang sejati dari seorang mukmin yang harus senantiasa menerima aturan-aturan Allah.
Selanjutnya Ayat ini mengatakan, kepercayaan yang salah ini membangkitkan kedengkian dan permusuhan Yahudi yang besar terhadap para pengikut umat Islam dan melahirkan keinginan untuk menaklukkan dan memerangi mereka. Namun setiap kali api permusuhan Yahudi di awal Islam menyala, Allah menjadikan akhir dari segalanya ini untuk kemenangan umat Islam. Bukti terbesar dalam hal ini ialah kekalahan umat Yahudi dalam peperangan Khaibar.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menyucikan Allah dari segala cacat, aib dan kekurangan adalah syarat dari iman. Yahudi meyakini wujud Tuhan,namun mereka menyangka bahwa Tuhan itu kikir, lemah, dan tidak mampu mengabulkan permintaan orang-orang miskin. Al-Quran menentang keras cara berpikir seperti ini.
2. Menciptakan fitnah dan pengobaran api peperangan adalah karakter bangsa Yahudi. Tetapi berkat kehendak Allah, mereka tidak pernah mampu mencapai kemenangan dan kekuatan. Tentu saja bantuan Ilahi ini akan diberikan, selama umat Islam mengikuti jalan al-Quran dan Sunah Nabi.
Ayat ke 65-66
Artinya:
Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. (5: 65)
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (5: 66)
Di akhir ayat ini, Allah menyinggung pemikiran serta perilaku sesat dan menyimpang Ahlul Kitab. Ayat ini mengatakan, jalan Allah tidak tertutup. Jika mereka bertaubat dan meninggalkan perbuatan dan kesalahan mereka Allah pasti akan mengampuni dosa-dosa mereka yang lampau dan juga akan menjamin masa depan mereka. Di dunia mereka akan mendapatkan keberkatan dan nikmat Tuhan yang turun dari langit dan dari bumi. Sementara di akhirat mereka akan memperoleh kenikmatan surga. Di akhir Ayat ini juga disinggung tentang bahwa ada diantara kalangan Ahlul Kitab orang-orang mukmin yang selalu berusaha menghindari segala bentuk ekstrimitas, baik dalam amal perbuatan maupun dalam kepercayaan. Tapi kelompok ini sangat sedikit, sementara mayoritas orang Yahudi bersikeras di atas jalan yang sesat mereka.
Sekalipun ayat-ayat ini berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, tapi jelas sekali bahwa bahaya ini bisa juga mengancam umat Islam. Sebab kalau mereka mengamalkan cara seperti itu maka mereka juga akan mendapatkan azab yang sama pula. Seperti halnya juga, kalau mereka berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama, maka mereka akan mendapatkan bantuan dan berkah Allah.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman tanpa ketakwaan sama sekali tidak berguna. Sedangkan ketakwaan akan menjamin keselamatan dan kesempurnaan iman.
2. Selain mengampuni orang-orang berdosa, Allah Swt juga membuka pintu pertolongan dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang berdosa.
3. Iman kepada Tuhan dan amal shaleh akan mendatangkan kebahagiaan akhirat dan juga kebahagian duniawi. Agama dan dunia bukan tidak sesuai dengan syarat dunia jangan dipertentangkan dengan prinsip-prinsip agama.
4. Kitab-Kitab Suci bukan untuk dibaca saja. Akan tetapi ajaran-ajarannya harus dilaksanakan dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 60-63
Ayat ke 60
Artinya:
Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (5: 60)
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebagian Ahli Kitab memiliki hubungan yang lebih baik dengan Musyrikin penyembah patung, daripada dengan kaum Muslimin. Bahkan mereka (Ahli Kitab) suka menghina dan mengejek kaum Mukminin yang tengah melakukan shalat dan ibadah. Ayat ini mengatakan, mereka yang menghina dan mengejek agama dan ritual-ritual kaum Muslimin serta mengganggu mereka, mengapa tidak memandang kehidupan masa lalu orang-orang tua mereka yang sangat memalukan. Akibat pengingkaran mereka terhadap perintah-perintah Ilahi dan mempermainkannya, mereka menerima azab Ilahi dan wajah atau tingkah laku mereka berubah menjadi seperti kera dan babi. Mengapa mereka (Ahli Kitab) tidak mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan menghentikan perbuatan jahat mereka?
Sudah jelas bahwa Bani Israil pada zaman Nabi Muhammad Saw tidak diberi azab oleh Allah Swt dengan mengubah wajah mereka menjadi babi atau kera. Akan tetapi, karena kaum Yahudi menganggap mereka semua merupakan kaum yang satu, dan memiliki identitas keagamaan yang khusus, bahkan mereka menisbahkan kebanggaan nenek moyang mereka kepada mereka sendiri. Karena itu al-Quran menujukan kata-katanya kepada mereka, sehingga rasa bangga diri mereka yang tidak pada tempatnya dapat dilenyapkan, dan mempermalukan mereka.
Adapun yang dimaksud dengan kutukan dan murka Allah Swt ialah keterjauhan manusia yang berbuat dosa dari kasih sayang dan rahmat Allah, serta ketertimpaan murka dan balasan amal perbuatan jahat yang sesuai dengan perbuatan itu sendiri.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keterjauhan dari kemuliaan manusia, dan perubahan menjadi binatang yang dari segi fisik memiliki kemiripan dengan manusia, merupakan salah satu dari siksaan dan azab Allah Swt.
2. Mereka yang terkena kutukan dan murka Allah Swt tidak seharusnya memperoleh kedudukan di kalangan kaum Mukminin.
Ayat ke 61-62
Artinya:
Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: "Kami telah beriman", padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (5: 61)
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. (5: 62)
Setelah menjelaskan sikap Ahlul Kitab terhadap kaum Mukminin, ayat ini mengatakan, meskipun memiliki sikap dan tingkah laku yang tidak layak, mereka mengaku beriman dan menganggap diri mereka sebagai golongkan Mukminin. Padahal sedikitpun mereka tidak beriman dan hati mereka dipenuhi dengan kekafiran dan keingkaran. Mereka menyusup ke dalam kelompok orang-orang beriman dengan semangat kekafiran dan dengan kondisi seperti itu pulalah mereka keluar. Sekalipun mereka menyembunyikan identitas, tetapi Allah Swt mengetahui keadaan mereka.
Sebaik-baik bukti yang menunjukkan kekufuran mereka ialah kehebatan mereka dalam melakukan dosa, memakan barang dan harta haram, kezaliman, dan berbagai pelangaran. Karena semua perbuatan ini tidak pernah cocok dengan iman. Tentu saja al-Quran tidak menuduh seluruh Ahlul Kitab dan Yahudi dengan kejelekan dan keburukan seperti ini. Karena jelas sekali bahwa sebagian dari mereka adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menampakkan iman dengan lisan saja tidak cukup. Amal saleh yang menunjukkan iman yang sebenarnya.
2. Meningkatnya penyelewengan akhlak, sosial dan ekonomi, mengakibatkan jatuhnya agama. Sedang kerusakan-kerusakan tersebut bersumber pada syahwat, kekayaan dan kekuasaan.
3. Ciri khusus masyarakat Islam ialah senantiasa berlomba pada kebaikan, sedang ciri khusus masyarakat Kafir ialah kemunafikan dan berlomba dalam kejelekan dan kerusakan.
4. Sejelek-jelek dosa ialah terang-terangan melakukan dosa dan kejahatan, tenggelam dan sudah terbiasa dengan perbuatan dosa.
Ayat ke 63
Artinya:
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (5: 63)
Ayat ini menjelaskan tanggung jawab besar yang ada di pundak para ulama, cerdik pandai dan para pembimbing masyarakat. Ia mengatakan, jika masyarakat berbuat dosa dan kesalahan, akan tetapi mengapa para tokoh dan ulama itu, diam tidak melarang dan bungkam seribu bahasa? Sekedar menjauhkan diri dari dosa tidaklah cukup. Namun hendaknya para pendosa dicegah dari perbutan-perbuatan dosanya. Karena sikap diam di hadapan perbuatan jahat dan dosa, merupakan sejenis dukungan terhadap dosa tersebut, yang bakal menghantarkan manusia kepada balasan dan siksa.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Diam dan sikap tidak perduli, bukan alasan dan tidak akan melepaskan seseorang dari kewajibannya. Bahkan yang demikian itu akan semakin mendorong dan membuka peluang bagi seseorang untuk semakin berani melakukan dosa.
2. Tanggung jawab amar makruf dan nahi mungkar pada tahap pertama merupakan kewajiban para ulama agama.
3. Ilmu pengetahuan akan berharga jika ia ditampakkan dan diarahkan untuk mencegah tingkah laku dan watak-watak jahil.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 55-59
Ayat ke 55-56
Artinya:
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (5: 55)
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (5: 56)
Dalam riwayat sejarah disebutkan bahwa seorang fakir masuk kedalam masjid dan meminta-minta kepada orang yang ada di sana. Namun tak seorangpun memberikan sesuatu kepadanya. Waktu itu Imam Ali bin Abi Thalib as sedang melakukan shalat dan ketika sedang ruku Imam memberikan cincin-nya kepada orang fakir tersebut. Untuk memuji perbuatan Imam Ali as tersebut, Allah Swt menurunkan ayat ini kepada Nabi Saw. Ammar bin Yasir salah seorang sahabat besar Nabi mengatakan, setelah peristiwa itu dan turunnya ayat ini kepada Nabi, maka Rasulullah Saw mengatakan, "Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka dia juga harus menjadikan Ali sebagai pemimpinnya."
Sudah jelas bahwa kalimat Wala dalam ayat ini adalah bermakna wilayah atau pemimpin, dan bukan bermakna suka atau cinta. Karena cinta berhubungan dengan semua kaum Muslimin dan tidak terbatas pada mereka yang melakukan shalat, kemudian menginfakkan sesuatu dalam keadaan ruku. Selain itu ayat ini menunjukkan langsung kepada pribadi Ali bin Abi Thalib as. Karena peristiwa ini hanya menyangkut perbuatan infak yang beliau lakukan. Penggunaan kalimat Alladzina Aamanuu yang disebutkan dalam bentuk jamak dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan pentingnya masalah ini. Hal serupa dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Quran.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam selaian agama berlepas tangan (Bara'at) juga agama Wilayah atau kepemimpinan. Ayat-ayat sebelumnya menerangkan larangan menerima kepemimpinan orang-orang Kafir, sedang ayat ini justru menekankan Wilayah Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin yang khusus.
2. Barangsiapa yang termasuk orang beriman, tetapi tidak melakukan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka tidak berhak memegang segala bentuk kendali kepemimpinan dan memerintah atas orang-orang Mukmin.
3. Shalat bukan penghalang bagi seseorang untuk memberikan bantuan kepada kaum fakir miskin. Ayat ini menyatukan shalat dan zakat.
4. Barangsiapa yang tidak memikirkan nasib orang-orang lemah dan miskin di tengah masyarakat, tidak pantas menjadi pemimpin dalam masyarakat Islam.
5. Apabila orang-orang Mukmin hanya menerima kepemimpinan Allah, Rasul dan para Maksumin, maka sudah pasti akan dapat mengalahkan orang-orang Kafir.
Ayat ke 57-58
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (5: 57)
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (5: 58)
Kedua ayat sebelum ini mengingatkan kaum Mukminin, khususnya mereka yang lemah iman, agar jangan cepat tertarik kepada orang-orang Kafir dan Ahlul Kitab, serta menjalin hubungan wilayah dengan mereka? Dua ayat ini melarang mereka dari melakukan hal tersebut.
Ayat-ayat ini menyatakan, bagaimana bisa kalian berpaling kepada orang-orang Kafir, padahal mereka tidak menerima dasar-dasar pemikiran kalian, sedang mereka selalu mengejek dan mempermainkan agam dan shalat yang menjadi dasar agama kalian. Dengan ungkapan lain, mereka tidak akan melayani kalian untuk beradu dalil dan logika!? Bahkan dengan kelicikan, mereka mempermainkan dan mengejek kesucian Agama dan ibadah kalian.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Syarat iman ialah memiliki kecemburuan agama dan menjauhkan diri dari orang-orang yang suka mengejek dan mempermainkan agama.
2. Dengan alasan takut dan kerakusan peribadi, kita tidak boleh menjalin persahabatan dengan orang-orang Kafir. Namun kita harus semata-mata takut kepada Allah dan takut terhadap siksaan-Nya.
3. Orang-orang Kafir sangat khawatir terhadap shalat jamaah yang dilakukan orang-orang Muminin dan berusaha mempermainkan ritual Islam ini. Karena itu kita harus bisa menguatkan mereka.
4. Mengejek dan mengolok-olok adalah tanda ketidakmampuan menggunakan akal sehat. Sedangkan orang-orang yang berakal selalu menjunjung tinggi logika dan dalil.
Ayat ke 59
Artinya:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik? (5: 59)
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw dan orang-orang Mukmin dengan mengatakan, dalam menghadapi ejekan orang-orang Kafir, maka katakanlah kepada mereka, apakah dikarenakan kami beriman kepada Tuhan, kalian melakukan tindakan yang jahat seperti ini kepada kami dan kepada ajaran kami? Padahal kami beriman kepada al-Quran dan juga beriman kepada Taurat dan Injil kalian, sedang kalian sendiri justru acuh tak acuh terhadap kitab suci kalian dan berusaha menyelewengkannya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Terhadap para penentang hendaknya kita melakukan dialog dengan cara yang baik. Perselisihan dan kesalahan mereka harus kita ketengahkan dalam bentuk pertanyaan, tidak secara langsung yang bisa menciptakan ketegangan. Sedang di hadapan musuh kita tidak boleh menyerahkan keadilan kepada mereka.
2. Kita tidak boleh meragukan kebenaran agama Islam, sebab permusuhan yang disulut oleh orang-orang kafir tidak memiliki dasar logika atau berpijak pada logika.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 51-54
Ayat ke 51
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (5: 51)
Sejak awal mempelajari tafsir, itu berarti kita telah mempelajari ayat-ayat yang cukup banyak yang berhubungan dengan masalah sosial dan politik Islam. Hal ini mengindikasikan begitu komprehensifnya al-Quran dalam mengatur kehidupan manusia, serta menjamin kebahagian mereka di dunia maupun di akhirat. Dalam ayat ini Allah Swt menyinggung salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Disebutkan, orang-orang Mukmin tidak boleh menjadikan orang-orang Kafir sebagai rujukan atau pemimpin mereka. Karena setiap kali kalian menampakkan simpati kepada mereka, ternyata mereka justru semakin tidak menyukai kalian. Mereka hanya suka pada golongan mereka sendiri. Lanjutan ayat ini mengatakan, menerima kepemimpinan orang-orang Kafir sekecil apapun dapat memasukkan orang ke dalam golongan Kafir dan menghidupkan jiwa kekafiran dan kemunafikan di dalam hatinya. Hal ini merupakan kezaliman terbesar mengenai kebenaran bagi diri dan masyarakat
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam hubungan politik luar negeri negara Islam, segala bentuk hubungan yang dapat membuat orang-orang Kafir menjadi penguasa kaum Muslimin adalah terlarang.
2. Diterimanya kepemimpinan orang-orang Kafir dapat mengeluarkan manusia dari kepemimpinan Tuhan serta dijauhkan dari hidayah Allah.
3. Kehidupan yang tentram, damai dan rukun dengan Ahlul Kitab merupakan pesan Islam dan yang dilarang adalah menerima dominasi orang Kafir.
Ayat ke 52-53
Artinya:
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (5: 52)
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (5: 53)
Dengan adanya larangan Allah Swt terhadap segala bentuk persahabatan dan hubungan yang menyebabkan orang-orang Kafir berkuasa, ayat ini menjelaskan adanya sekelompok orang yang imannya lemah atau munafik. Mereka berlomba-lomba untuk menjalin persahabatan dan memperoleh dukungan orang-orang Kafir. Al-Quran mengatakan, suatu saat dimana Islam memegang kendali kekuasaan dan memperoleh kemenangan, berkat pertolongan gaib Allah, maka yang menjalin hubungan dengan orang-orang Kafir karena rasa takut akan menyesali perbuatan mereka. Segala apa yang mereka sembunyikan pasti terbongkar. Saat itulah orang-orang Mukmin yang sebenarnya dengan keheranan mengatakan, orang-orang yang mengaku secara lisan telah beriman, bahkan bersumpah atas pengakuannya itu dengan serius, mengapa sekarang mereka kehilangan segala sesuatu, bahkan seluruh pekerjaan mereka hancur lebur dan musnah.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Suka bersahabat dengan orang-orang Kafir dan meminta dukungan mereka merupakan tanda-tanda munafik dan lemah iman.
2. Iman yang lemah merupakan penyebab rasa takut terhadap kekuatan-kekuatan musuh dan menjadi penyebab takluknya mereka dihadapan musuh tersebut.
3. Kekuatan politik, kemampuan ekonomi, keberhasilan dalam melaksanakan undang-undang, semua itu ditangan Allah Swt dan akan diberikan kepada mereka yang beriman teguh.
4. Akhir dari perbuatan nifak adalah terhapusnya amal ibadah, terhina dan menanggung malu.
Ayat ke 54
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (5: 54)
Setelah ayat-ayat sebelumnya, dimana orang-orang Mukmin dilarang menerima segala bentuk dominasi orang-orang Kafir, ayat ini juga memberi peringatan kepada Mukminin agar berhati-hati. Karena perkara ini dapat menyebabkan keluarnya kalian dari agama yang hak, yakni menjadi kafir dan murtad. Maka dari itu hendaknya kalian mengerti bahwa apabila kalian bergerak menuju orang-orang Kafir hanya untuk mencari keselamatan dari mereka, atau berharap bisa mendapatkan bantuan mereka di saat-saat krisis, ketahuilah agama Allah tetap tidak akan hancur. Karena masih ada orang-orang Mukmin dengan jiwa yang dipenuhi iman dan kecintaan kepada Allah. Mereka tak pernah gentar menghadapi mara bahaya.
Yang menarik dalam ayat ini ialah Allah Swt menyifati orang-orang Mukmin dengan mengatakan, meskipun mereka sangat tegas dan keras terhadap musuh, tetapi terhadap sesama mereka sangat lemah lembut dan bersahabat. Dalam riwayat disebutkan bahwa sewaku turunnya ayat ini Nabi Muhammad Saw memegang pundak Salman al-Farisi dan mengatakan, kelompok orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah engkau dan kaummu dari negeri Persia.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bahaya murtad dan kembali kepada agama senantiasa mengancam setiap orang mukmin, maka dari itu berhati-hatilah dan hendaknya memikirkan akibat perbuatan kalian.
2. Murtad adalah akibat dari kekosongan makrifat dan kecintaan kepada Allah Swt dan agama yang hak ini. Agama yang tidak dibangun dengan dasar akidah yang benar dan kokoh, senantiasa terancam bahaya.
3. Allah Swt tidak memerlukan kita dan bantuan kita. Karena selalu ada orang-orang yang siap memperjuangkan agama Allah dan menjaganya.
4. Sikap kaum Muslimin terhadap sesamanya ialah cinta kasih dan lemah lembut, namun terhadap musuh-musuh Islam, mereka sangat keras dan tegas. Karenanya, lemah lembut atau sikap keras tidak bisa menjadi sikap yang mutlak.
5. Kemuliaan yang diberikan oleh Allah tidak semata-mata terbatas pada kekayaan dan kedudukan. Kecintaan Allah, jihad fi sabilillah, tegas dalam urusan agama juga merupakan manifestasi dari anugerah dan kelembutan Allah Swt.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 48-50
Ayat ke 48
Artinya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (5: 48)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah Swt mengutus para nabi dan menurunkan syariat kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada manusia sepanjang sejarah. Sayangnya, sebagian dari ajaran-ajaran mereka disembunyikan atau diselewengkan. Sebagai ganti ajarah para nabi, mereka membuat ajaran sendiri yang bersifat khurafat dan khayalan. Sementara ayat ini menyinggung kedudukan tinggi al-Quran sebagai pembenar kitab-kitab samawi, juga menyebutnya sebagai penjaga kitab-kitab tersebut. Dengan menekankan terhadap dasar-dasar ajaran para nabi terdahulu, al-Quran juga sepenuhnya memelihara keaslian ajaran itu dan menyempurnakannya.
Menyikapi adanya banyak agama, ada pertanyaan mengapa Allah Swt tidak menetapkan sebuah agama dan syariat yang satu untuk semua masyarakat sepanjang sejarah, sehingga hal ini tidak akan menimbulkan perselisihan? Menjawab pertanyaan ini, ayat ini menegaskan, Allah Swt mampu menjadikan semua masyarakat sebagai umat yang satu, serta mengikuti satu agama, Tapi hal ini tidak sesuai dengan prinsip penyempurnaan dan pendidikan manusia secara bertahap. Sebab, dengan berkembangnya pemikiran umat manusia, maka banyak hakikat yang harus semakin diperjelas dan metode yang lebih baik dan sempurna juga harus dipaparkan untuk kehidupan manusia.
Persis seperti tingkatan kelas dalam sebuah sekolah, yang memberikan pendidikan sesuai dengan perkembangan pengetahuan pelajarnya. Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia dalam penciptaan yang menjadi lahan untuk berbagai ujian Tuhan dan jalan untuk menumbuhkan berbagai kemampuan, bukan malah menjadi ajang perdebatan. Semua orang dengan kadar kemampuan dan fasilitas yang ia punyai, harus berlomba dalam melaksanakan kebaikan, dimana Allah Swt senantiasa melihat dan memantau terhadap perbuatan manusia dan bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tersembunyi.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran bila dibandingkan dengan kitab-kitab samawi terdahulu memiliki kemuliaan dan keistimewaan.
2. Bahaya yang mengancam para tokoh masyarakat ialah ketidakpedulian terhadap hakikat ilahi demi menarik simpati manusia, serta menuruti keinginan mereka yang tidak pada tempatnya.
3. Salah satu dari sarana cobaan Allah ialah adanya perbedaan agama di sepanjang sejarah, sehingga dapat memperjelas siapa gerangan yang bisa menerima kebenaran, serta siapa yang ekstrim dan keras kepala.
Ayat ke 49-50
Artinya:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (5: 49)
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (5: 50)
Meskipun dalam sejarah disebutkan bahwa beberapa orang pembesar dan tokoh Yahudi datang kepada Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, kami adalah ulama, ilmuwan dan pembesar Yahudi, apabila kami beriman kepadamu, maka seluruh orang Yahudi akan beriman kepadamu! Tetapi syarat iman kami adalah jika ada perselisihan, kami harap engkau menguntungkan kami dalam memutuskan perkara. Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Saw telah menyadari konspirasi orang-orang Yahudi ini. Karena itu beliau dalam hal ini sangat waspada dan hati-hati.
Lanjutan dari ayat ini menyinggung mengenai bahaya dari dosa dalam kehidupan manusia dan mengatakan, bahwa akibat dosa dapat menjadikan hati manusia keras membatu. Dengan demikian, pelaku dosa tidak akan sanggup menerima kebenaran meski telah mengenalnya, demi untuk menjaga kepentingannya. Lebih dari itu, dia justru melakukan tawar menawar terkait kebenaran yang bisa menguntungkan dirinya.
Ayat ini juga menyinggung sebuah poin penting dan mengatakan, apabila kalian mencari aturan kehidupan, maka siapa gerangan yang lebih baik dari Tuhan, Zat yang menentukan undang-undang? Dia Maha Tahu terhadap rahasia seluruh kehidupan dan manusia itu sendiri! Allah tidak pernah berbuat khilaf dan salah sedikitpun, tidak haus kekuasaan, dan tidak serakah terhadap harta dan kepentingan kalian! Karena itu, kenapa kalian tidak menerima perintah dan ketetapan Allah dan kalian mencari undang-undang yang hanya memenuhi hawa nafsu kalian, yang berisikan khurafat dan khayalan?!
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kapan saja manusia keluar dari lingkungan kebenaran, pasti dia terperangkap dalam lingkungan jahiliah, sekalipun secara zahirnya berilmu dan berpendidikan tinggi. Karena itu tanda-tanda orang berilmu yang sebenarnya ialah memahami hakikat dan menerimanya dengan ikhlas.
2. Tanda-tanda iman yang sebenarnya ialah menerima dengan ikhlas undang-undang samawi. Mereka yang berpaling kepada undang-undang buatan manusia, maka ia ragu pada imannya.
3. Kita harus hati-hati terhadap pengaruh kebudayaan musuh. Karena musuh dengan berbagai makar beruapaya menjerat orang-orang Mukmin dan para pemimpin masyarakat Islam, sehingga melalui cara lunak mereka dapat memperdaya para pemuda.
4. Penyebab kekafiran adalah dosa, bukan karena kekurangan dan kesalahan Islam.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 44-47
Ayat ke 44
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (5: 44)
Sebelum ayat ini telah dijelaskan mengenai sekelompok orang-orang Yahudi yang lari dari hukum Taurat dan mendatangi Nabi Muhamma Saw untuk meminta ketetapan hukum dari perbuatan maksiat yang mereka lakukan menurut agama Islam. Mereka berharap akan memperoleh hukuman yang lebih ringan. Namun Nabi Muhammad Saw justru menetapkan hukuman bagi mereka sesuai dengan kitab Taurat.
Ayat ini dan ayat sesudahnya masih meneruskan pembahasan ini dan mengatakan, tidak saja para nabi, tapi para ulama Yahudi sesudah Nabi Musa as berkewajiban menetapkan hukum berdasarkan kitab Taurat. Mereka juga bertanggung jawab dalam menjaga kitab dan hukum-hukum Ilahi. Mereka tidak boleh menyembunyikan atau mengubah hukum Ilahi dengan alasan penentangan masyarakat atau demi memperoleh kepentingan pribadi karena perbuatan seperti itu termasuk sejenis Kufur kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan tanggung jawab yang berat para ulama rabbani dalam menjaga ajaran-ajaran samawi, serta tetap kukuh dalam menentang keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak pada tempatnya, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari masyarakat luas. Bahkan mereka diseru untuk memberantas kepincangan, khurafat dan penyelewengan-penyelewengan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para ulama hendaknya melihat segala permasalahan dengan pandangan yang bijaksana. Mereka tidak boleh takut dari ancaman apapun dalam rangka menjaga ajaran agama.
2. Dengan adanya aturan dan undang-undang dari langit, maka aturan manusia merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus
Ayat ke 45
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (5: 45)
Dari sisi lain, ternyata ulama dan pembesar Yahudi tidak menjelaskan dengan baik dan benar mengenai masalah qishas. Mereka selalu melaksanakan dengan pilih kasih dan diskriminatif. Mereka tidak menjalan hukuman qishas ini pada satu kabilah, tetapi melaksanakannya pada kabilah yang lain. Dengan menjelaskan masalah qishas yang juga ditetapkan di dalam Islam, al-Quran mengingatkan bahwa hukuman jenis ini juga telah disyariatkan dalam Kitab Taurat. Bahkan setiap berbuatan yang mengakibatkan orang lain terluka baik luka kecil maupun besar semua itu terdapat qishasnya. Dalam pelaksanakan hukum ini tidak ada diskriminasi antara bangsawan dan rakyat jelata.
Jika suatu masyarakat menolak hukum ini dan memilih hukum lain, maka mereka telah menzalimi diri sendiri. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa memberikan maaf kepada orang lain atas kesalahan yang dilakukannya dalam segala kondisi sangatlah baik dan terpuji. Karena itu al-Quran mengatakan, siapapun yang melepaskan haknya artinya memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah pasti akan memaafkan kesalahan yang diperbuatnya
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1.Setiap orang sama di hadapan hukum Allah, baik dia miskin maupun kaya, kulit putih ataupun hitam bahkan bangsawan maupun rakyat jelata.
2. Hukum qishas tidak hanya khusus dalam Islam. Sejak zaman Nabi Musa as hukum ini telah diberlakukan di kalangan masyarakat dan hingga saat inipun masih terus berlanjut.
3. Sedekah tidak hanya merupakan infak berupa uang, memaafkan kekhilafan dan kesalahan orang lain juga merupakan sejenis sedekah.
4. Islam sangat tegas dalam melaksanakan sanksi hukum terhadap para penjahat, tetapi senantiasa diiringi dengan rahmat dan kecintaan.
5. Sanksi membayar denda dan penjara saja masih belum cukup untuk mencegah timbulnya kejahatan. Pelaksanaan qishas merupakan penjamin keamanan masyarakat.
Ayat ke 46-47
Artinya:
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (5: 46)
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (5: 47)
Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan hukum Allah dalam kitab Taurat dan orang-orang Yahudi kemudian dipesan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut sesuai dengan Taurat. Sementara dua ayat ini berbicara kepada orang-orang Kristen dan mengatakan, Injil adalah kitab Allah yang menjadi petunjuk dan pencerah, sekaligus menetapkan hukum-hukum yang ada pada kitab Taurat. Begitu juga terkait ciri nabi yang akan datang setelah Nabi Musa as memiliki kesesuaian dengan Nabi Isa as. Bila memang demikian adanya, kalian harus menaati semua ajaran yang ditetapkan di dalam Injil dan janganlah kalian menolak serta mengingkari perintah-perintah Allah Swt. Karena jika demikian kalian akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang munafik.
Bagaimanapun juga, setiap yang disebutkan al-Quran tentang Taurat dan Injil, maka yang dimaksud adalah Taurat dan Injil yang belum diselewengkan. Sedangkan Taurat dan Injil yang sudah disimpangkan, maka ia tidak lagi memiliki sifat-sifat sebagai kitab pemberi petunjuk. Seandainya seseorang benar-benar mengamalkan ajaran kitab Taurat dan Injil, maka sudah tentu ia akan beriman pula kepada nabi akhir zaman yang kitab sucinya ialah al-Quran. Karena Taurat dan Injil yang sudah menyimpang dari aslinya sudah tidak dapat lagi diamalkan. Kalaupun seseorang mengamalkan ajaran Taurat dan Injil yang ada sekarang dengan baik dan benar, tetap saja Allah tidak menerimanya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Semua kitab samawi mengajak dan menyeru manusia kepada kebersihan dan takwa. Karena itu hanya orang-orang yang bersih dapat menerima teladan dan pengaruh.
2. Semua kitab samawi serta para nabi berada di jalan yang sama. Satu sama lain saling membenarkan, bahkan di kalangan mereka tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.
3. Semua kitab samawi tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk diamalkan baik pada pribadi, keluarga dan masyarakat.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat41-43
Ayat ke 41-42
Artinya:
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (5: 41)
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (5: 42)
Berdasarkan riwayat-riwayat sejarah, dua ayat ini diturunkan mengenai sebuah kelompok orang Yahudi di kota Madinah. Peristiwanya sebagai berikut, salah seorang pedagang kaya Yahudi telah melakukan zina. Berdasarkan hukum agama Yahudi orang tersebut harus dirajam atau dilempari batu. Ia berusaha melarikan diri dari tuntutan hukum. Oleh karenanya ia mengatakan, "Kami akan mengirim beberapa orang kepada Nabi Muhammad Saw untuk mencari hukuman perbuatan ini dalam agama Islam. Karena mungkin hukum Islam lebih mudah dan ringan."
Tetapi Nabi Muhammad Saw justru mengetengahkan hukum rajam, yakni hukum dilempari batu. Karena itu dia menolak menerima ketetapan hukum ini. Ayat ini diturunkan dan berkata kepada Nabi Saw, "Janganlah kamu bersedih karena orang Yahudi itu tidak mau menerima hukum Allah. Karena kebiasaan mereka sejak dulu hingga sekarang mendustakan para nabi dan mengubah serta menyimpangkan ajaran. Jangan juga sedih dan kecewa atas ketidaksediaan mereka untuk beriman kepadamu. Mereka itu datang kepadamu tak lain adalah dengan tujuan memenuhi keinginan mereka dan teman-temannya. Namun dikarenakan keputusanmu bertentangan dengan pandangan dan keinginan mereka, akhirnya merekapun lari dan meninggalkanmu. Tapi mereka jangan menyangka bisa melarikan diri dari balasan dan siksaan Allah. Karena Allah Swt akan memberikan siksaan yang pedih kepada mereka baik di dunia maupun di akhirat, bahkan Allah akan mempermalukan mereka. Karena ternyata hati mereka tidak bersih dan hati mereka juga telah tercemar kejelekan dan dosa.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman dengan penerimaan yang meresap dalam hati, bukan hanya dilahirkan melalui lisan.
2. Kita harus menerima dan menjunjung tinggi perintah-perintah Allah, bukan kita menginginkan agar Allah menerima keinginan-keinginan kita.
3. Musuh-musuh Allah dengan cepat melaksanakan kekufuran dan kemunafikan mereka, tapi mengapa kaum Muslimin sangat lemah dan lamban dalam menempuh jalan mereka yang benar?
4. Pemakan riba dan yang diharamkan telah menjadi sifat orang-orang Yahudi.
5. Tolok ukur dalam Islam ialah pelaksanaan keadilan tanpa membedakan kawan dan lawan atau kaya dan miskin. Karena itu, kepentingan pribadi dan ancaman dari pihak lain tidak boleh mempengaruhi penilaian ini.
Ayat ke 43
Artinya:
Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman. (5: 43)
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan ada sekelompok orang Yahudi yang ingin lari dari hukum Taurat. Untuk itu mereka mendatangi Nabi Muhammad Saw untuk mengetahui apa keputusan Islam mengenai masalah yang dihadapinya. Tapi ketika Nabi Saw menyampaikan hukum yang sama dengan Taurat, mereka kemudian menolak hukum Islam. Setelah itu Rasulullah Saw mengirimkan utusan kepada salah seorang ulama Yahudi bernama Ibnu Shurya yang menjadi rujukan semua orang Yahudi.
Kepada ulama itu Nabi mengatakan, "Demi Allah yang telah menurunkan Kitab Taurat kepada Musa as. Apakah hukum rajam terhadap pelaku zina juga terdapat dalam kitab Taurat anda atau tidak?" Ulama itu menjawab, "Iya, ada." Lalu Nabi mengatakan, "Mengapa orang-orang ini menghindar dari hukum tersebut !" Ulama Yahudi itu menjawab, "Hukum ini kami berlakukan terhadap orang-orang awam, tetapi bagi orang-orang yang terhormat dan tokoh tidak kami berlakukan. Sehingga dengan demikian dosa ini terus membudaya di kalangan orang-orang kaya dan terhormat." Oleh sebab itulah masyarakat awam mencela dan mengecam kami. Untuk itu kami sendiri membuat dan menetapkan undang-undang yang lebih ringan, yaitu bahwa bila seseorang melakukan zina, kami tetapkan hukuman cambuk sebanyak 40 kali, dan orang itu kami bawa keluar masuk gang dan Pasar." Nabi Saw kemudian menjawab, "Ya Allah! Saksikanlah bahwa aku telah menghidupkan kembali hukum-MU yang telah terlupakan di dalam agama Yahudi ini."
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menurut pandangan al-Quran tidak semua kitab Taurat telah diselewengkan, tapi hanya sebagian.
2. Menghindar dari hukum dan aturan Ilahi menunjukkan tidak adanya iman atau lemahnya iman. Karena itu tanda-tanda iman ialah tunduk patuh di hadapan hukum-hukum Allah.
3. Hidup rukun dan berdampingan antara kaum Muslimin dan Ahli Kitab pada suatu batas dibenarkan, dimana mereka terkadang mendatangi Nabi Muhammad Saw meminta penentuan hukum.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Maidah Ayat 36-40
Ayat ke 36-37
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang dibumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (5: 36)
Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal. (5: 37)
Setelah ayat-ayat yang lalu, yang memesankan kepada orang-orang Mukmin agar berbuat baik dan takwa, serta berusaha untuk melaksanakan jihad dijalan Allah, dua ayat ini mengatakan, wahai orang-orang Mukmin! janganlah kalian terkecoh terhadap kekayaan dan kemampuan orang-orang Kafir, sehingga menyebabkan kalian merasa pesimis dan berkecil hati. Karena seluruh kemegahan dan kebesaran ini hanyalah di dunia yang fana ini, namun kelak di Hari Kiamat seluruh kekayaan ini tidak akan berperan apapun. Tidak hanya seluruh kekayaan yang ada di bumi, bahkan jika seseorang memiliki kekayaan dua kali lipat dari seluruh kekayaan dunia, tetap saja kekayaan tersebut tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari api jahannam.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam pengadilan Ilahi di Hari Kiamat tidak akan diterima tebusan apapun untuk menyelamatkan manusia dari siksaan api neraka.
2. Hal-hal yang bisa menciptakan manusia berbahagia ialah perkara yang berhubungan dengan batin dan bukan yang lahir. Sedang iman dan amal saleh merupakan unsur yang dapat membahagiakan manusia, bukan harta dan kekayaan.
3. Seseorang yang di dunia mengumbar kekufuran dan bersikap keras kepala, maka kelak akan mendapat azab yang abadi.
Ayat ke 38
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (5: 38)
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum-hukum global mengenai seseorang yang menentang. Yakni, seseorang yang dengan terang-terangan melakukan ancaman menggunakan senjata, yang dapat merenggut jiwa dan harta masyarakat. Ayat ini juga menerangkan syarat-syarat tertentu mengenai hukum mencuri, yang menurut kebiasaanya pencuri itu mengambil harta atau milik seseorang secara diam-diam. Biasanya, pencuri melaksanakan aksinya dengan menggunakan tangannya. Karena itu tangan tersebut berkhianat terhadap harta milik masyarakat, maka ia tidak ada nilainya.
Oleh sebab itulah Allah Swt dalam ayat ini mengatakan, barangsiapa yang mencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka tangan keduanya harus dipotong. Balasan ini adalah hasil dari perbuatannya sendiri, dan bukan kezaliman Allah. Karena Allah Swt yang Maha Bijaksana telah menentukan balasan yang berat semacam ini, guna menjaga keamanan masyarakat.
Perlu diperhatikan ! tidak semua pencuri harus dipotong tangannya. Seorang pencuri akan dipotong tangannya, jika harta yang dicurinya itu mencapai ukuran yaitu seperempat mitsqal emas. Sementara pencuri itu melakukan pencuriannya tidak karena dorongan keadaan yang memaksanya mencuri, dan ada syarat-syarat lain sebagaimana yang disebutkan dalam hukum-hukum fiqih. Hukum potong tangan juga harus diberikan setelah melalui proses hukum yang sah. Demikian pula tangan yang dipotong itu hanyalah empat jari-jemari saja selain ibu jari, bukan dari pergelangan tangan, demikian menurut mazhab Ahlul Bait as.
Yang mengherankan adalah adanya sebagian cendekiawan yang menganggap hukum Islam semacam ini, justru merupakan tindak kekerasan dan tidak berprikemanusiaan. Padahal, memotong jari jemari yang berkhianat itu justru untuk menjaga keamanan sebuah masyarakat secara keseluruhan dan ia merupakan perkara kemanusiaan. Karena pengalaman menunjukkan bahwa suatu masyarakat yang melaksanakanhhukum Ilahi ini, volume dan tingkat pencurian pada angka statistik menunjukkan penurunan drastis. Sedang dalam masyarakat Barat yang tidak mengindahkan hukum Ilahi ini, betapa angka statistik ini terus melonjak ke atas.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam hukum Islam, selain dimaksudkan untuk mengingatkan kepada orang yang jahat, juga merupakan pelajaran bagi masyarakat yang lain. Karena itu, pelaksanaan hukum Islam harus dilaksanakan di depan masyarakat, agar mereka dapat mengambil pelajaran.
2. Harta milik pribadi seseorang dan keamanan masyarakat, sangat diperhatikan Islam, sehingga barangsiapa yang melanggar dua hal tersebut akan menanggung balasan yang berat.
3. Islam bukan agama individual yang hanya mengurus masalah-masalah pribadi, tapi merupakan sistem yang komprehensif. Islam mengurusi pribadi dan sosial, begitu juga Islam mengurusi kepentingan akhirat dan duniawi manusia.
Ayat ke 39-40
Artinya:
Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5: 39)
Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (5: 40)
Sekalipun ayat-ayat sebelum ini menjelaskan mengenai hukuman berat yang dijatuhkan kepada pencuri, tapi harus diketahui bahwa pintu-pintu rahmat Allah senantiasa terbuka. Karena rahmat Allah lebih luas dan mendahului murka-Nya. Oleh sebab itu, di dalam ayat-ayat ini ditegaskan bahwa jika seorang pencuri bertaubat dari dosa-dosanya dan bersedia menebus kesalahan-kesalahan masa lalunya, maka sudah pasti Allah Swt menerima taubatnya. Karena Allah Swt Maha Kasih Sayang dan Pemberi taubat. Tidakkah kalian mengerti bahwa Allah Swt yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Allah Swt memberikan ampunan atau menurunkan siksaan berdasarkan keadilan dan kebijakan. Semua itu karena Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Taubat yang sebenarnya akan memiliki arti ketika belum dijatuhi vonis dan kejahatannya beluk terbukti di pengadilan. Karena itu sudah barang tentu setiap pencuri akan meminta maaf dan mengaku telah bertaubat serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, ketika akan dijatuhi hukuman berat. Tapi tentu saja taubat semacam ini tidak ada maknanya. Allah akan memaafkan perbuatan seorang pencuri dan tidak menjatuhkan hukuman kepadanya bila seorang pencuri itu berjanji untuk bertaubat dan mengembalikan barang curian serta mendapat kerelaan dari sang pemilik sebelum ia diseret ke pengadilan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Taubat bukan hanya semata-mata sebuah penyesalan batin, tetapi sebuah penyesalan yang disertai dengan penebusan masa lalu dengan perbuatan baik.
2. Apabila manusia bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, maka Allah Swt akan membukakan pintu rahmat dan anugerah kepadanya.
3. Sanksi hukum dan pengampunan ada di tangan Allah. Sedang tangan Allah Swt senantiasa terbuka terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Swt menyiksa hamba-Nya berdasarkan keadilan, sebagaimana ia mengampuni orang yang bertaubat juga berdasarkan keadilan.