
کمالوندی
Sejarah Nabi; Petik Hikmah dari Kisah Harits bin Malik
Suatu hari Nabi saw bertemu dengan Harits bin Malik bin N’uman yang mana ia adalah seorang muslim dari Madinah, dan bertanya padanya, “Bagaimana keadaanmu?”
“Wahai Rasulullah! Aku adalah seorang mukmin yang hakiki.” Jawab Harits.
“Segala sesuatu itu mempunyai hakikat. Hakikat seperti apa yang kau miliki?” tanya Nabi kembali.
Harits berkata, “Wahai Rasulullah! Aku tidak mempunyai ambisi lagi terhadap dunia. Aku hidupkan malamku untuk beribadah dan di hari yang panas, (dikarenakan berpuasa) aku bersabar menahan rasa haus. Seakan-akan aku melihat Arsy Allah swt telah disiapkan untuk menghisab amal-amal manusia di hari kiamat.
Baca juga: Kisah Abu Nawas; Tuhan Tidak Beranak
Juga seakan-akan aku melihat Ahli Surga yang saling sapa antara satu dengan yang lainnya dan seakan-akan aku mendengar jeritan para Penghuni Neraka yang sedang menerima azab.”
Rasulullah saw bersabda, “Ini adalah seorang hamba yang Allah telah berikan cahaya ke dalam hatinya.” Setelah itu beliau kembali bersabda, “Engkau telah mendapatkan bashirat, tetaplah dan kuatlah dalam keadaan seperti itu!”
“Wahai Rasulullah! Doakan aku supaya Allah swt menuliskan kesyahidan untukku dalam kitab-Nya.” Pinta Harits.
Nabi saw bersabda, “Allahummarzuq Haritsa assyahadah! Ya Allah berikanlah kesyahidan pada Harits.”
Beberapa hari setelah itu, Nabi saw mengirim Harits ke medan perang beserta pasukan untuk berperang dengan musuh. Harits berhasil mengirim musuh ke Neraka sebanyak sembilan atau sepuluh orang, setelah itu ia pun syahid.
Adapun hikmah yang penulis petik dari kisah Harits ini adalah ketika Allah swt telah memberikan cahaya pada hati seorang hamba-Nya maka seorang hamba tersebut akan mendapatkan sebuah pengalaman spiritual yang tidak pernah dirasakan sebelumnya yang akan membawanya pada kebahagiaan hakiki.
Seperti Harits yang pada waktu itu menjadi seorang hamba yang hanya melihat keridhaan Allah dan akhirat dalam setiap perkara sehingga tidak ada kecenderungan lagi pada dunia serta bisa menyaksikan para penduduk surga dan neraka.
Cerpen Hikmah; Jangan Pelit
Cerpen; Hari itu adalah hari minggu. Langit biru, angin sepoi-sepoi, dan cuaca begitu cerah seperti hari-hari di desa Mekar Manik Bandung biasanya. Anak-anak Arcamanik pun, laki-laki dan perempuan, pergi ke lapangan Sekolah Dasar Arcamanik II. Mereka berkumpul ada yang dari Pangeteran, Pamoyanan, Cilaja, namun kebanyakannya anak-anak dari Arcamanik rt04. Hari itu Asep dan Udin pun pergi ke sana untuk bermain bola dengan teman-temannya.
“Din oper kesini bolanya!” pinta Asep. Namun sayangnya ketika Udin mengoper bola, tim lawan menahan dengan kaki kirinya dan mengopernya ke si Oceng, anak dari Pamoyanan yang lincah ketika mengiring bola, sekilas mirip Messi sehingga ia menerobos masuk dalam barisan tim Arcamanik dan akhirnya..
“Gol….” Sorak sorai tim Pamoyanan.
Permainan pun selesai dan akhirnya tim Pamoyanan memenangkan permainan hari ini dengan skor 4-3 untuk Pamoyanan vs Arcamanik rt04.
“Uang saya kemana?” kata Asep sambil meraba-raba saku celananya.
“Lupa kali, tadi uangnya kamu simpan di kamar.” Udin menenangkan.
“Iya kali..”
“terus kumaha, saya haus ini. Ingin beli es cingcau nya ke warung Bi Edoh” Asep merengek.
“Harap tenang dan jangan khawatir, kan ada Si Udin” kata Udin sambil menepuk dada.
“Emang punya duit, Din? biasana mah kan kantong kamu kering” tanya Asep.
“Iyalah. Tadi malam Babeh baru pulang terus karena ulangan matematika saya bagus, dikasih uang jajan hari minggunya jadi lebih” kata Udin cengengesan.
Akhirnya mereka pun pergi ke warung Bi Edoh di belakang lapangan sekolah sekitar 200 meter dekat pohon beringin.
“Anak-anak jangan lupa surah Al-Kautsarnya dihafalkan ya. Besok ditalar kedepan saurang-saurang” kata Pak Ustadz Ujang menutup pengajian.
Ketika yang lain sudah pulang. Asep dan Udin menghampiri Pak Ustad Ujang.
“Pak ustadz, hari ini Udin beliin Asep es cingcau di warung Bi Edoh” kata Asep.
“Masa ? betul Din, kamu beliin Asep es cingcau?” tanya Ustadz Ujang.
“Iya dong Pak. Kan Udin mah gak pelit” sekali lagi Udin menepuk-nepuk dadanya.
“Alhamdulillah. InshaAllah engke kamu teh bakal menjadi orang yang mulia” kata Ustadz.
“ko bisa Ustadz?” tanya Asep
“Karena ada seorang Wali Allah berkata bahwasanya Siapasaja yang tidak pelit maka ia akan menjadi mulia. Ketika kita menjauhi sifat pelit dengan berbagi semampunya kepada keluarga, tetangga, teman, dan sahabat maka mereka akan menjadi orang mulia dan mereka akan mencintai kita. Maka dari itu jangan pelit ya!” Jelas Pak Ujang.
“Oh kalau begitu, besok-besok Asep kalau punya rezeki lebih, InshaAllah akan berbagi dengan yang lain.” kata Asep sembari mencium tangan Pak Ujang lalu meminta izin untuk pulang.
“Siapasaja yang tidak pelit maka ia akan menjadi mulia”
Amalan Yang Mampu Membersihkan Dosa Menurut Rasulullah Saw
Sayidina Ali bin Abi Thalib as pernah berkata, “Aku mendengar dari kekasihku, Rasulullah saw, bersabda bahwa ayat ini adalah ayat yang paling memberikan kita harapan.”
“Dan laksanakanlalah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat Allah.” (Q.S Hud ayat 114)
Setelah itu Rasul saw melanjutkan, ‘Wahai Ali! Aku bersumpah kepada Allah yang telah mengutusku sebagai pemberi kabar gembira kepada manusia bahwa ketika seorang manusia mengambil air untuk berwudhu, dosa-dosanya akan berguguran, ketika ia menghadap ke kiblat, maka ia bersih (dari dosa) dan tatkala ia mendirikan salat wajib harian maka ia seperti orang yang membersihkan dirinya dengan menggunakan air sungai di depan rumahnya sebanyak lima kali.’
Relasi Antara Akal, Rasa Malu, Dan Agama
Allah swt memerintah Malaikat Jibril as untuk menghampiri Nabi Adam as.
“Wahai Adam! Allah mengutusku kepadamu untuk menawarkan tiga hal yang mana kamu hanya bisa memilih satu.” Kata Jibril.
“Apa tiga hal itu?” Tanya Adam.
Jibril berkata, “Akal, rasa malu, dan agama.”
“Dari tiga hal yang engkau tawarkan padaku, aku pilih akal.” Pinta Adam.
Setelah itu Jibril as berkata pada rasa malu dan agama, “Kamu berdua pergi dari sini karena Adam tidak memilihmu.”
Namun rasa malu dan agama berkata pada Jibril, “Wahai Jibril! Kami telah diutus untuk selalu bersama akal dan tidak memisahkan diri dengan akal.”
Jibril berkata, “Kalian lebih mengetahui.” Lalu Jibril pun pergi dari sisi Nabi Adam as.
Dari riwayat di atas, kita akan mengetahui bahwasanya terdapat hubungan erat antara akal, rasa malu, dan agama. Ketika seseorang mempunyai akal dan ia menjelma dalam dirinya dan kesehariannya maka rasa malu dan agama pun akan selalu bersama dirinya. Dalam kata lain, rasa malu dan agama akan tumbuh dalam kepribadiannya.
Rahasia Shalawat Pada Baginda Nabi Muhammad Saw
Seorang laki-laki datang menghampiri Rasulullah saw kemudian ia berkata:
“Seper tiga shalawatku, aku berikan untukmu. Tidak hanya itu, setengah dari shalawatku, akanku berikan untukmu. Lebih dari itu, seluruh shalawatku, aku persembahkan untukmu.”
Rasulullah saw bersabda, “Jikalau begitu kebutuhan dunia dan akhiratmu telah terjamin.”
Abu Bashir bertanya, “Apa maksud dari kalimat ‘seluruh shalawatku, aku berikan untukmu’?”
“Yakni sebelum kamu berdoa pada Allah swt, engkau memulainya dengan bershalawat atas nabi. Serta sama sekali kamu tidak memohon apapun kepada Allah kecuali kamu harus bershalawat sebelumnya lalu setelah itu meminta sesuatu dari Allah.”
Suatu hari ketika Baginda Nabi Muhammad saw sedang berada dalam sebuah masjid, masuklah seorang pria kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah itu ia mengangkat ke dua tangannya dan berdoa.
Melihat peristiwa ini Baginda Nabi bersabda, “Pria ini begitu tergesa-gesa dalam berdoa.” (Yakni ia tidak memuja-muji Allah swt terlebih dahulu sebelum berdoa).
Setelah itu seorang pria lain masuk ke dalam masjid kemudian shalat. Lalu ia memuja-muji Allah swt kemudian ia bershalawat kepada Baginda Nabi juga pada keluarga beliau dan setelah itu ia berdoa.
Baginda Nabi Muhammad saw menerima cara pria tersebut ketika ia berdoa dan bersabda kepadanya, “Berdoalah! Niscaya doa-doa mu akan dikabulkan”.
Baca juga: Rahasia Shalawat Pada Baginda Nabi Muhammad saw
Dari riwayat di atas kita belajar bahwa salah satu adab-adaban ketika berdoa adalah sebelum berdoa, semestinya kita memuja-muji Allah swt dan bersholawat kepada baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarganya terlebih dahulu. Dan patut diketahui bahwa jika hal demikian telah kita lakukan, inshaAllah Allah akan mengabulkan doa-doa yang kita panjatkan.
Inilah Rahasia Masuk Surga Dengan Amal Sedikit
Seorang murid berkata bahwa suatu hari aku bersama dengan Cucunda Baginda Nabi saw, Sayidina Jafar ra, lalu pembahasan kami sampai pada permasalahan amal.
“Amalku begitu sedikit!” keluhku.
Beliau menjawab, “Tenanglah! Mohonlah ampunan kepada Allah swt. Ketahuilah bahwasanya amal sedikit disertai takwa itu lebih baik dari pada amal banyak tanpa takwa.”
“Bagaimana bisa banyak beramal namun tidak bertakwa?” tanyaku.
“Bisa! Ia memberikan makan pada orang-orang, beramah-tamah pada tetangganya, dan pintu rumahnya selalu terbuka untuk orang-orang. Namun di saat yang sama, ketika kesempatan untuk melakukan perbuatan haram tersedia, ia lakukan perbuatan haram tersebut. Ini adalah amal tanpa takwa.”
“Akan tetapi jika ada kesempatan untuk berbuat haram namun ia menjauhinya, walaupun sejatinya ia tidak mempunyai amal yang banyak maka yang kedua itu lebih baik.” Lanjutnya.
Dari penjelasan di atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa kita bisa mendapatkan surga dan kebahagiaan di akhirat walaupun sejatinya amal kita begitu sedikit. Dengan syarat bahwa amal sedikit kita disertai dengan takwa. Yaitu apabila kesempatan untuk berbuat haram tersedia, maka kita harus menjauhinya.
Sayidina Ali Membantu Seorang Pengikut Masehi
Suatu hari di masa pemerintahannya, Sayidina Ali berjalan mengelilingi kota. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang sedang meminta-minta. Lalu beliau bertanya pada para sahabatnya.
“Siapa laki-laki tersebut, mengapa dia menjulurkan tangannya untuk meminta-minta?” tanya Sayidina Ali.
“Lelaki tua itu adalah mantan seorang kuli dan juga seorang pengikut Masehi!” jawab mereka.
Setelah mendengar hal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib kwz menegur dan menasihati para sahabatnya.
“Mengapa kalian menelantarkannya. Kalian menggunakan tenaganya ketika ia masih muda kemudian menelantarkannya ketika ia sudah tua. Cepat, berikan padanya bantuan dari Baitul Mal!” Tegur Sayidina Ali.
Saudara-saudaraku, inilah perwujudan Islam yang sebenarnya. Islam hadir di alam semesta ini untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Jika Islam yang ada sekarang adalah Islam yang radikal maka niscayanya dia bukanlah Islam. Tapi pemikiran sebuah kelompok yang dibalut dengan Islam.
Dampak Keputusan Saqifah bagi Umat Islam
Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.
Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.
Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…
Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.
Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.
Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.
Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.
Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.
Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.
Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.
Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.
Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.
Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."
Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).
Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?
Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)
Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.
Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)
Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.
Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."
Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim.
Penyimpangan Saqifah dan Tragedi Karbala
Salah satu dampak dari keputusan syura Saqifah adalah melencengnya jalur gerakan umat Islam dari ketetapan Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum yaitu pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan pemimpin kaum Muslim.
Selama 25 tahun, Imam Ali memilih bersabar demi menjaga Islam dan persatuan masyarakat Muslim yang baru dibangun oleh Rasulullah, dan tidak mengambil tindakan apapun dalam menghadapi konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.
Tentu saja, Imam Ali pada berbagai kesempatan menyampaikan khutbah untuk menunjukkan bagaimana perintah Allah Swt dilanggar oleh sekelompok sahabat sehingga gerakan umat Islam melenceng dari jalurnya.
Bid’ah dan penyimpangan yang diwariskan oleh syura Saqifah mengantarkan keluarga Bani Umayyah ke tampuk kekuasaan dan posisi khalifah jatuh ke tangan orang-orang seperti, Mu’awiyah dan Yazid.
Peristiwa Saqifah sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Saw. Beberapa hari sebelum wafat, Nabi menyebut peristiwa itu sebagai “fitnah” dan memberikan solusi agar tidak terperosok ke jurangnya. Beliau berkata, “Fitnah akan dikobarkan tak lama setelah kepergianku. Dalam situasi seperti itu, bergabunglah dan melangkahlah bersama Ali bin Abi Thalib, karena ia orang pertama yang beriman kepadaku dan orang pertama yang mendatangiku pada hari kiamat. Ali adalah siddiq al-akbar dan al-faruq umat ini yaitu pemisah antara kebenaran dan kebatilan, ia adalah pemimpin agama yang sesungguhnya.” (Kitab Asad al-Ghabah, jilid 5, hal 287)
Salah satu pertanyaan penting yang muncul mengenai kedudukan Ahlul Bait khususnya Imam Ali as adalah keutamaan apa yang disandang oleh mereka sehingga dianggap layak menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah?
Jawaban terbaik atas pertanyaan ini bisa ditemukan dari penjelasan Rasul Saw sendiri. Suatu hari ketika sekelompok sahabat termasuk Abu Bakar berkumpul bersama Nabi, beliau menghadap ke arah mereka dan berkata, “Siapa di antara kalian seperti Nabi Adam dari segi intelektualitas, seperti Nuh dari segi pemahaman, dan semisal Ibrahim dari segi hikmah dan ilmu? Pada saat itu Imam Ali as datang dan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang engkau maksud?” Rasul bersabda, “Apakah engkau tidak mengenalinya?” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Rasul bersabda, “Maksudku adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib dimana semua sifat itu berkumpul bersamanya.” Abu Bakar kemudian berkata, “Sungguh hebat dan selamat atasmu wahai Abu al-Hasan dan tidak ada yang seperti dan sebanding denganmu.” (Al-Manaqib, bab 7, hal 44-45)
Rasulullah Saw bersabda, "Hasan dan Husein adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai."
Ucapan khalifah kedua dalam memuji Imam Ali juga layak untuk disimak. Saat menjelang ajal, Umar bin Khattab berkata kepada Ibnu Abbas, “Tidak ada keraguan bahwa orang yang paling layak untuk menyeru masyarakat mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah adalah temanmu Ali. Demi Allah, jika kepemimpinan ada di tangannya, ia akan membimbing umat ke jalan yang terang dan jalan lurus hidayah.” (Syarah Nahjul al-Balaghah Ibn Abi al- Hadid, jilid 6, hal 7-326)
Selain Abu Bakar dan Umar bin Khattab, khalifah ketika (Usman bin Affan) juga berkata, “Suatu hari aku sedang memandang wajah Ali. Kemudian ia bertanya kepadaku, mengapa engkau memandangku seperti itu? Aku berkata kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, “Memandang wajah Ali adalah ibadah.” (Tarikh Dimasyq, jilid 2, hal 392)
Di berbagai kitab induk Ahlu Sunnah, ditemukan banyak ucapan dari ketiga khalifah tersebut yang mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Disebutkan bahwa mereka secara rutin meminta pandangan Ali as dalam mengeluarkan sebuah hukum fikih dan peradilan atau dalam situasi-situasi genting sehingga tidak terjadi kesalahan. Sebuah riwayat masyhur menyebutkan Umar sebanyak 70 kali berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, Umar akan binasa.”
Bahkan dari Mu’awiyah – orang yang paling memusuhi Ali as – juga diriwayatkan bahwa seseorang datang menemui Mu’awiyah dan bertanya sesuatu kepadanya. Mu’awiyah tidak tahu jawabannya dan berkata, “Bertanyalah kepada Ali karena ia lebih pintar dariku.”
Orang tersebut berujar, “Jawaban darimu akan membuatku lebih senang.” Mu’awiyah menjawab, “Apa yang engkau ucapkan! Engkau membenci seseorang dimana Rasulullah – seperti burung memberi makan untuk anaknya – telah mengenyangkan dia dengan banyak ilmu dan pengetahuan. Rasulullah juga berkata kepadanya, “Engkau adalah dariku dan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.” (Fadhail al-Shahabah, jilid 2, hal 675)
Dengan adanya semua bukti tentang keutamaan Imam Ali as, lalu mengapa para tokoh Saqifah tetap menutup matanya atas semua hakikat ini? Padahal, mereka sendiri mengakui kelayakan dan kepatutan Imam Ali untuk memimpin umat Islam. Mengapa mereka menyusun skenario licik untuk menyingkirkan Imam Ali dari haknya ini?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada ayat 14 surat An-Naml. “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
Saqifah adalah puncak penyimpangan dimana kurang dari setengah abad setelahnya, dampak-dampak dari keserakahan ini menyebabkan cucu Rasulullah Saw dan para sahabatnya gugur syahid di Karbala.
Meski dampak dari penyimpangan ini awalnya berjalan lamban, namun setelah kekhalifahan berubah menjadi kerajaan di era Mu’awiyah, dampak penyimpangan ini semakin terlihat dan terasa di tengah umat.
Penyimpangan yang terjadi di Saqifah menjadi sempurna setelah berubahnya kekhalifahan menjadi kerajaan. Kebijakan para penguasa terutama Mu’awiyah, telah menjauhkan masyarakat dari agama dan menenggelamkan mereka dalam urusan duniawi. Imam Ali dan Imam Hasan secara perlahan kehilangan basis massa. Mu’awiyah memaksakan berbagai perang dan melanggar kesepakatan damai, dan pada akhirnya kedua figur mulia itu meneguk cawan syahadah.
Perlu dicatat bahwa pada periode kekuasaan Mu’awiyah, ia belum berani terang-terangan berbicara tentang penghancuran Islam dan masih menampakkan dirinya sebagai sosok pembela agama. Namun kondisi ini berubah total setelah Yazid naik takhta menggantikan ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah pria pemabuk dan terang-terangan berbuat maksiat, ia secara terbuka berbicara tentang agenda penghapusan Islam dan pentingnya menghidupkan era Jahiliyah.
Penyimpangan besar ini memaksa Imam Husein as untuk bangkit melakukan perbaikan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia mempersembahkan nyawanya demi menghidupkan ajaran agama dan sunnah Rasulullah Saw. Darah dan pengorbanannya telah menghidupkan kembali Islam yang lurus di tengah umat.
Kedudukan Ahlul Bait dan Perampasan Hak Ali as
Tragedi Asyura tidak dilakukan oleh musuh-musuh al-Quran dan Ahlul Bait, tetapi para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang haus kekuasaan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui kapan peristiwa itu dimulai dan siapa saja pelakunya.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para tokoh Saqifah melakukan gerakan-gerakan terencana untuk merebut kekuasaan dari Ahlul Bait pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kita juga sudah mengetahui berbagai hadis dan kesaksian para khalifah tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi, terutama Imam Ali as.
Lalu, mengapa para tokoh Saqifah tetap mengabaikan semua realitas meskipun ada banyak riwayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlul Bait. Mereka sendiri juga mengakui kelayakan, kepatutan, dan keunggulan Imam Ali as untuk posisi imamah dan pemimpin umat Islam. Para tokoh Saqifah dengan sebuah skenario licik menyingkirkan Imam Ali as dari hak sahnya selama 25 tahun.
Sekarang kita akan menukil ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait sehingga menjadi jelas bahwa para pembangkang tidak hanya melawan perintah Nabi Saw, tetapi juga menolak tunduk pada perintah Allah. Mereka memilih sebuah jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait dan menekankan kesucian mereka dari segala dosa adalah ayat 33 surat al-Ahzab atau yang dikenal dengan Ayat Tathir. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Ayat ini berbicara mengenai kehendak/iradah Allah untuk mensucikan Ahlul Bait dari dosa dan segala jenis kotoran dan noda, baik itu dalam bentuk pikiran maupun perbuatan seperti syirik, kufr, nifaq, kebodohan, dan segala bentuk dosa.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa maksud dari Ahlul Bait Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan, dan Imam Husein as.
Ayat lain yang menunjukkan perhatian khusus Allah kepada Ahlul Bait adalah Ayat Mubahalah. Menurut buku-buku referensi Syiah dan Sunni, Rasulullah Saw telah menjelaskan semua dalil untuk membuktikan kebatilan akidah kaum Nasrani Najran dan meminta mereka untuk meninggalkan akidah batil itu seperti keyakinan bahwa Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Namun, para pembesar Nasrani Najran menolak meninggalkan akidah yang berbau syirik itu dan mereka mengusulkan mubahalah yaitu berdoa kepada Tuhan dan memohon agar siapa saja yang sesat dijauhkan dari rahmat-Nya dan dibinasakan. Rasulullah pun – atas izin Allah – menerima tantangan itu.
Istilah mubahalah sendiri sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.
Di hari berikutnya, Rasul datang ke arena mubahalah dengan membawa orang-orang yang paling mulia dan paling dekat dengannya. Melihat pemandangan itu, para pembesar Nasrani Najran mulai ragu dan memutuskan untuk membatalkan mubahalah.
Al-Quran mengabadikan peristiwa ini dalam surat Ali-Imran ayat 61, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Para ulama tafsir memiliki pandangan yang sama ketika menafsirkan ayat ini. Maksud dari kata Abnaana adalah Imam Hasan dan Imam Husein as, Nisaana yaitu Sayidah Fatimah as, dan maksud dari Anfusana adalah Imam Ali as yang setara kedudukannya dengan jiwa Rasulullah Saw.
Ayat lain yang secara langsung berbicara tentang posisi imamah Ali bin Abi Thalib as adalah ayat 55 surat al-Maidah yang populer dengan Ayat Wilayah (kepemimpinan). “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Pada suatu hari seorang fakir datang ke Masjid Nabawi dan meminta bantuan, namun tidak ada seorang pun yang memberinya. Ia pun mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, "Tuhanku, saksikanlah bahwa aku berada di Masjid Nabi-Mu dan meminta pertolongan, tapi tidak ada seorang pun yang menolongku." Pada saat itulah, Ali as yang sedang rukuk memberikan isyarat dengan jari kelingking tangan kanannya. Orang fakir itu pun mendekat ke arahnya dan mengeluarkan cincin dari jari Imam Ali as, kemudian ayat tersebut turun.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa satu-satunya orang yang berbuat demikian adalah Ali bin Abi Thalib as. Allah menurunkan ayat itu untuk memperkenalkan kedudukan Ali as kepada para pencari kebenaran. (Tafsir al-Kabir, hal 431 dan Ihqaq al-Haq, jilid 2, hal 399)
Seluruh nabi tidak meminta upah apapun kepada masyarakat dalam berdakwah, karena mereka menjalankan misinya secara tulus dan semata-mata untuk Allah. Rasulullah juga tidak mengharapkan apapun dari masyarakat sejak ia diutus. Namun, para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata, “Jika engkau butuh materi; uang atau yang lain maka berapa pun yang engkau butuhkan akan kami berikan.” Saat itulah turun ayat 23 surat Ash-Syura yaitu “Katakanlah (Wahai Rasulullah) bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk mencintai Ahlul Bait adalah bukan keinginan Rasul sendiri, tetapi kehendak dan perintah Allah. Namun, para tokoh Saqifah bukan hanya mengabaikan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, tetapi mereka juga telah memusuhinya.
Ayat-ayat tersebut membuktikan tentang kesucian, kedudukan tinggi, kemuliaan, dan keutamaan Ahlul Bait Nabi as. Orang-orang yang dipertaruhkan oleh Rasulullah untuk membuktikan kebenaran risalahnya di hari mubahalah hanya Ali, Sayidah Fatimah, dan kedua putra mereka. Satu-satunya keluarga yang wajib untuk dicintai atas perintah Allah Saw adalah Ahlul Bait Nabi as.
Namun, peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan keputusan lain yang diambil setelahnya, bertentangan dengan perintah Allah mengenai kedudukan Ahlul Bait yang sudah dijelaskan dalam al-Quran.
Pada kesempatan ini, kami akan mengutip beberapa kalimat singkat dari khutbah Sayidah Fatimah az-Zahra as yang disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupannya, yang dikenal dengan Khutbah Fadakiyah. Khutbah ini disampaikan di Masjid Nabawi di Madinah.
Sayidah Fatimah as berkata, “… Ketika Rasulullah ada di antara kalian, beliau paling menanggung dan merasakan penderitaan dan di jalan ini, Ali adalah pribadi yang selalu menjadi teman dan penolongnya. Terkadang kalian hidup dengan tenang, Ali melemparkan dirinya ke mulut naga untuk membela agama Allah. Akhirnya, berkat perjuangan Nabi Muhammad Saw dan Ali, mereka berhasil memastikan agama Islam dan kalian sampai pada kemuliaan dan kehormatan ini.
Ketika Nabi Saw masih hidup, semua masalah ini dibanggakan dan diterima oleh semua orang. Tapi begitu beliau pergi, apa yang terjadi di antara kalian? Setelah ayahku meninggal kecenderungan kalian akan kemunafikan mulai tampak, bukannya mengingat komitmen kalian kepada Rasulullah, amanah yang diserahkan kepada kalian mulai dilupakan bukannya dijaga. Seakan-akan hanya nama dari Islam kalian yang tinggal dan kalian melupakan hakikat Islam.
Sekarang, orang-orang ini telah mengambil kendali kekuasaan di tangannya dan syaitan telah mengangkat kepalanya dari tempat penyembunyiannya, mengajak kalian pada kejahatan.
Kemudian kalian mulai merebut hak-hak orang lain dan memasuki musim semi yang bukan milik kalian dan kalian melakukan semua ini tidak lama setelah meninggalnya Nabi, sementara kesedihan kepergiannya masih sangat dalam di hati kami.”