
کمالوندی
Hadits Nabawi; Khidmat Pada Ibu Mampu Hapus Dosa-Dosa
Seandainya saja ibu kalian masih hidup, kalian akan beruntung karena berkhidmat pada beliau mampu gugurkan dosa-dosa besar.
Seseorang datang menghampiri Baginda Rasul saw dan berkata,
“Ya Rasulallah! Aku begitu banyak melakuka dosa. Setiap jenis dosa aku telah lakukan. Setiap perbuatan buruk yang engkau larang, aku melakukannya. Apakah tidak ada lagi cara yang bisa menolongku?”
Baginda Nabi bertanya,
“Apakah kamu punya ayah dan ibu?”
“Aku masih punya ayah.” jawabnya.
“Berkhidmatlah pada ayahmu!” sabda Baginda Nabi.
Ketika Baginda Nabi pergi beranjan dan berpapasan dengannya, Beliau bersabda;
“Aduhai! Seandainya saja ibu mu masih hidup, maka engkau akan dengan cepat bisa menghapuskan dosa-dosa mu!”
Berkhidmat pada kedua orangtua, terutama ibu mampu menghapuskan dosa-dosa kita dan berkhidmat kepada Ibu lebih penting dari pada ayah.
Kisah Abu Nawas; Mencari Cincin
Suatu hari, Abu nawas sibuk mondar-mandir mencari sesuatu di sekitar rumahnya. Ia terus mencari-cari namun tetap saja tidak menemukannya. Waktu pun terus berjalan hingga sudah berjalan setengah hari.
Karena sudah terlalu lama mencari namun tetap saja tidak menemukan, akhirnya banyak diantara tetangga-tetangganya yang bertanya-tanya padanya karena penasaran. Akhirnya, mereka pun bergabung untuk membantu Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, apa yang sedang engkau lakukan?” tanya seorang tetangga.
“Mencari cincin!” jawab Abu Nawas santai.
Para tetangga yang bergabung pun turut serta membantu sebisanya. Ikut mondar-mandir kesana-kemari. Mereka pun kelelahan dan bosan.
“Memangnya cincinmu itu kira-kira jatuhnya di mana?” tanya salah satu tetangga yang lain.
“Seingatku cincin itu jatuh di dalam rumahku” jawab Abu Nawas dengan santai tanpa merasa bersalah.
Mendengar jawaban Abu Nawas, para tetangga yang ikut membantu langsung berhenti dari pencariannya. Sebagian ada yang marah dan sebagian ada yang langsung pergi. Sedangkan sebagiannya tetap tinggal.
“Jika jatuhnya di dalam rumah, mengapa engkau mencarinya di luar rumah?” tanya salah satu dari mereka yang tinggal.
Sejenak menghela nafas, Abu Nawas pun memberikan alasan.
“Bukankah kita sering melakukan itu, wahai saudara-saudaraku? Seringkali kita mencari penyebab di luar kita atas berbagai persoalan yang kita hadapi.”
Abu Nawas kemudian menambahkan,
“Bahkan, kita menyalahkan pihak lain saat ditimpa masalah. Dan menjadikan orang-orang di luar kita sebagai penyebab utama atas persoalan yang melilit kita sendiri?”
Kisah Abu Nawas; Abu Nawas Jadi Korban Pelintiran
Suatu hari Abu Nawas melarang karib setianya untuk rukuk dan sujud dalam salat. Hal ini sampai pada telinga Khalifah Harun Al-Rasyid sehingga ia marah besar pada Abu Nawas. Harun Al-Rasyid ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.
Terlebih, Harun Al-Rasyid juga mendengar bahwa Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya khalifah yang suka fitnah. Khalifah Harun Al-Rasyid mulai terpancing saat para pengikutnya mengatakan bahwa Abu Nawas layak dipancung karena telah melanggar syari’at Islam dan menyebar fitnah. Pasa saat itu Khalifah Harun Al-Rasyid mulai gelisah, ia ingin bertemu Abu Nawas untuk klarifikasi.
Abu Nawas pun dibawa ke istana untuk menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Pada saat itulah Khalifah bertanya tentang kebenaran kabar yang didengarnya.
“Hai Abu Nawas, benarkah kamu berpendapat bahwa tidak ada rukuk dan sujud dalam salat?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid ketus.
Setelah pertanyaan itu dilontarkan, Abu Nawas pun langsung menjawab dengan tenang “Benar, saudaraku.”
Mendengar jawaban Abu Nawas, Khalifah kembali bertanya dengan suara yang lebih tinggi.
“Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid adalah khalifah yang suka fitnah?” tanya Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas menjawab, “Benar, saudaraku.”
Mendengar jawaban Abu Nawas itu Harun Al-Rasyid berteriak dengan suara yang menggelegar.
“Kamu memang pantas dihukum mati karena melanggar syari’at Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!” ujar Harun Al-Rasyid dengan nada tinggi.
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, “Saudaraku, memang aku tidak mengelak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata ketus, “Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan bahwa kabar itu adalah benar.”
Abu Nawas kemudian beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, “Saudaraku, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tak perlu rukuk dan sujud.”
“Bagaimana soal aku yang suka fitnah?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas menjawab dengan senyum, “Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ‘fitnah’ (ujian) itu.”
Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus bernada kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu. Ia lantas menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pengikut-pengikutnya.
Abu Nawas memanggil Khalifah dengan “Ya Akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pengikut-pengikut khalifah yang menghasut, ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.
Sayidina Ali Membantu Seorang Pengikut Masehi
Suatu hari di masa pemerintahannya, Sayidina Ali berjalan mengelilingi kota. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang sedang meminta-minta. Lalu beliau bertanya pada para sahabatnya.
“Siapa laki-laki tersebut, mengapa dia menjulurkan tangannya untuk meminta-minta?” tanya Sayidina Ali.
“Lelaki tua itu adalah mantan seorang kuli dan juga seorang pengikut Masehi!” jawab mereka.
Setelah mendengar hal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib kwz menegur dan menasihati para sahabatnya.
“Mengapa kalian menelantarkannya. Kalian menggunakan tenaganya ketika ia masih muda kemudian menelantarkannya ketika ia sudah tua. Cepat, berikan padanya bantuan dari Baitul Mal!” Tegur Sayidina Ali.
Saudara-saudaraku, inilah perwujudan Islam yang sebenarnya. Islam hadir di alam semesta ini untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Jika Islam yang ada sekarang adalah Islam yang radikal maka niscayanya dia bukanlah Islam. Tapi pemikiran sebuah kelompok yang dibalut dengan Islam.
Kisah Abu Nawas; Para Jin Ingin Menguji Abu Nawas
Selain dikenal dengan kecerdikannya, Abu Nawas juga terkenal dengan kejujuran dan kezuhudannya. Kali ini kita akan membaca sebuah cerita yang akan mengisahkan kejujuran Abu Nawas serta kezuhudannya dan kepatuhannya terhadap agama.
Abu Nawas Diuji Oleh Jin
Abu Nawas selalu saja berhasil mematahkan teka-teki dengan sasaran yang tepat serta dapat diterima oleh akal. Sepak terjangnya yang demikian itulah membuat penasaran kaum jin dan ingin mengujinya.
Mereka para jin akhirnya sepakat untuk memberi pengujian kepada Abu Nawas, apakah benar-benar jujur atau tidak. Nah, apakah Abu Nawas lulus dalam uji kejujuran itu?
Dahulu Abu Nawas pernah bekerja sebagai tukang kayu di kampungnya. Dengan pekerjaannya tersebut, ia sering menebang kayu di hutan belantara. Dan karena ia teledor, kapak kesukaannya yang ia gunakan untuk menebang kayu malah jatuh masuk ke jurang yang sangat dalam letaknya.
Kejadian itu membuat Abu Nawas bersedih hati karena kapak itu adalah satu-satunya peralatan yag dipunyainya dan ia belum mempunyai pengganti.
Tanpa kapaknya, otomatis ia tidak bisa bekerja seperti biasanya.
Dalam perasaan yang sangat sedih itu, tiba-tiba datanglah jin yang menyamar menjadi seorang laki-laki berbaju putih. Jin itu datang dan menggoda Abu Nawas yang kondisinya mulai labil.
“Hai Abu Nawas, kenapa kamu kelihatan sediah sekali?” tanya jin.
“Iya, kapak saya sebagai satu-satunya alat untuk bekerja telah jatuh ke jurang. Kalau begini, bagaimana saya bisa bekerja lagi?” jawab Abu Nawas sedih.
“Oh begitu, saya akan bantu untuk mengambilkannya untukmu,” kata jin.
beberapa lama kemudian, sang jin pun turun ke bawah jurang. Ternyata jin tersebut memiliki keinginan untuk menguji kejujuran Abu Nawas yang sering didengarnya.
Terbersit di benak jin untuk memberikan kapak yang lain yang terbuat dari emas, apa reaksi Abu Nawas nantinya.
“Wahai Abu Nawas, apakah ini kapakmu?” tanya jin.
“Bukan, kapak saya itu jelek,” jawab Abu nawas.
Sesaat kemudian jin memberikan kapak kedua yang terbuat dari perak. Namun Abu Nawas tetap saja tak mengakui.
“Bukan, bukan itu. Kapak saya sudah jelek!” tegasnya.
Mendengar jawaban seperti itu, sang jin menjadi senang karena ternyata Abu Nawas benar-benar seorang yang jujur.
“Hai Abu Nawas, kenapa kamu ini begitu jujur, apa tidak mau aku barang yang lebih baik?” tanya jin.
Pak, sesungguhnya aku telah bersyukur pada apa yang aku miliki. Aku tidak ingin mendapatkan sesuatu yang bukan hakku. Bagiku, kapak yang jelek itu adalah milikku. Dengan kapak itulah aku bisa bekerja secara halal dan mendapatkan kayu untuk aku jual, “terang Abu Nawas.
“Rasa syukur?” tanya jin dengan heran.
“Ya, karena rasa syukur itulah yang membuatku tidak mau mengambil barang yang bukan hakku, “tegas Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, karena rasa syukurmu itu, maka ketiga kapak ini aku berikan kepadamu,”kata jin.
Kemudian Abu Nawas pergi sambil membawa ketiga kapak itu.
Keistimewaan Bershalawat Pada Baginda Nabi Muhammad Saw
Telah ditanya seorang Sufi, “Kenapa bershalawat pada Baginda Nabi Muhammad saw itu banyak sekali dinukil di sumber-sumber dan begitu sangat ditekankan?
Begitu juga ketika hendak memohon ampunan, keluasan rezeki, kesehatan dan lain sebagainya, semuanya menasihati untuk bershalawat. Sebenarnya apa rahasia dari shalawat ini?”
Sang sufi menjawab, “Jikalau kau melihat al-Quran, hanya ada satu tempat di mana Allah swt menjadikan Dzat-Nya sejajar dengan manusia. Dalam artian, Allah mengajak manusia untuk melakukan hal tersebut secara bersama-sama. Dan ayat tersebut berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.” (Surat Al-Ahzab ayat 56)
Inilah rahasia shalawat yang begitu sangat istimewa yang mana ia bisa menganggkat manusia pada derajat yang tinggi.”
Dua Sahabat Nabi Memakan Daging Salman Al-Farisi
Pada suatu hari, Nabi saw meminta Salman pergi mengambil makanan dari BaitulMal untuk dihidangkan pada dua orang yang datang meminta bantuan pada Nabi saw.
Pengurus BaitulMal, Usamah bin zaid, berkata pada Salman bahwa ia sekarang tidak mempunyai apa-apa.
Ternyata ada sahabat yang mengintip perbincangan Salman dan Usamah ini. Ketika melihat dan mendengar kejadian ini, salah satu dari dua sahabat Nabi tersebut berkata pada temannya,
“Usamah itu pelit” dan tentang Salman, mereka berberkata “Kalau seandainya Salman disuruh untuk mengeringkan sumur yang penuh dengan air, maka ia akan melakukannya.”
Setelah itu, dua sahabat Nabi saw pergi untuk mengintai apa yang sedang dilakukan oleh Usamah.
Ketika mereka berdua datang ke sisi Nabi saw, beliau bersabda bahwa “Aku mencium bau daging dari mulut kalian.”
Mereka berdua berkata, “Sesungguhnya kami hari ini benar-benar tidak memakan daging wahai Rasulullah.”
Rasul saw bersabda, “Iya! Kalian telah memakan daging Salman dan Usamah.”
وَ لا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَ يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحيمٌ (12)
Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Surat al-Hujurat [49]: 12)
Para ulama akhlak mendefinisikan gibah atau menggunjing sebagai segala sesuatu yang apabila orang yang digunjing mendengarnya, ia akan merasa sakit hati. Adapun tentang ibarat “memakan daging saudaraya”, sebagian mufasir, berpendapat bahwa itu semua karena yang digunjing tidak berdaya dan tidak bisa membela dirinya sendiri. Sehingga orang yang menggunjing berarti mereka telah memakan saudaranya sendiri yang tidak bisa membela diri.
Kisah Sahabat Nabi; Menjadi Kaya Raya
Jika ada yang ingin mendapatkan kekayaan, maka ia harus bekerja cerdas dan keras. Juga seharusnya ia membumbui kerja cerdas dan kerasnya tersebut dengan sabar dan ketekunan serta kedermawanan. Seperti yang akan kita saksikan pada sahabat Baginda Nabi Muhammad saw di bawah ini.
Suatu ketika salah satu sahabat Nabi saw -dari sisi harta- sedang begitu sangat kekurangan. Istrinya berkata kepadanya, “Seandainya engkau pergi ke sisi Nabi saw dan engkau meminta sesuatu dari beliau.”
Sahabat tersebut pergi ke sisi Nabi saw dan ketika ia melihat beliau, Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang meminta sesuatu dari kami, kami akan memberikannya. Dan barang siapa yang memenuhi kebutuhannya (sendiri) maka Allah swt akan membuatnya kaya.”
Sahabat tersebut dalam hatinya berkata, “Maksud dari perkataan Nabi ini tidak ada yang lain lagi selain itu adalah aku.” Ia pun akhirnya kembali ke istrinya dan menceritakan sabda Nabi ini.
Sang istri berkata, “Nabi itu hanya manusia (menurutnya yakni beliau tidak tahu akan keadaanmu), cepatlah kembali pada Nabi dan ceritakan keadaanmu.”
Sahabat tersebut pun kembali menghadap Nabi saw dan hal sebelumnya terulang kembali. Ketika ia melihat Nabi saw, beliau bersabda, “Barang siapa yang meminta kepada kami maka kami akan memberinya dan siapa saja yang pergi berusaha maka Allah akan membuatnya kaya.”
Hal ini yakni pulang-pergi kembalinya sahabat terjadi sebanyak tiga kali. Pada akhirnya sahabat tersebut berencana untuk mencari pekerjaan. Ia keluar dari rumahnya, lalu ia meminjam sebuah sekop dan pergi ke gunung. Sahabat tersebut mengumpulkan sejumlah kayu bakar dan pergi ke Madinah lalu menukarnya dengan lima kantong tepung. Lalu ia kembali ke rumah, membuat roti setelah itu memakannya.
Esok harinya, ia kembali ke pegunungan dan kembali untuk mengumpulkan kayu bakar lebih banyak setelah itu membawanya ke kota dan menjualnya. Sedikit demi sedikit ia bisa menabung dan hasilnya ia bisa membeli sekop baru. Ia pun mencari pekerjaan (dengan sekopnya). Lambat laun, ia bisa membeli dua unta dan satu budak sehingga akhirnya ia pun menjadi kaya.
Ketika ia datang ke sisi Nabi saw, ia bercerita tentang apa yang telah ia kerjakan dan ia dapatkan. Tak lupa juga ia mengisahkan pulang pergi dirinya ke sisi Nabi saw sebanyak tiga kali pada waktu itu. Setlah itu Nabi saw bersabda, “Aku dari dulu berkata padamu bahwasanya siapa saja yang meminta kepada kami, kami akan memberinya dan siapa saja yang berusaha keras dan berupaya (menutupi kebutuhannya) maka Allah akan membuatnya kaya.”
Kisah Abu Nawas; Cara Cepat Dapatkan Hadiah Dari Khalifah
Abu Nawas selalu berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Kali ini ia menginginkan hadiah dari raja. Bagaimana cara ia mendapatkan hadiah dari raja, mari kita simak bersama-sama!
Kisah Abu Nawas; Suatu hari ketika berada di pasar bersama para temannya, Abu Nawas tiba-tiba berkata,
“Kawan-kawan, hari ini saya menjadi orang yang paling kaya, bahkan lebih kaya daripada Allah swt ” Ujar Abu Nawas.
kata-kata Abu Nawas tersebut dipandang sangat aneh oleh teman-temannya dan membuat kegaduhan di pasar, orang-orang sekitar mulai membicarakan sikap Abu Nawas ini, karena selama ini dia dianggap orang yang alim dan taqwa meski suka jenaka.
Kata-kata Abu Nawas tersebut sampai ke istana. Baginda memerintahkan pengawal kerajaan untuk segera menangkap dan membawa Abu Nawas kehadapannya, menanyai pertanggungjawaban Abu Nawas.
Sesampai di istana, baginda raja bertanya,
“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata seperti yang dibicarakan orang-orang?” Tanya Raja.
“Benar, Baginda?” Jawab Abu Nawas.
“Mengapa kau berkata begitu, apa engkau sudah kafir?” Tanya baginda lagi.
“Ampun baginda, jangan marah dahulu dengarkan penjelasan hamba!” Kata Abu Nawas menenangkan suasana.
“Apa yang telah engkau dakwahkan disana? Mengapa engkau menyebut jika engkau lebih kaya dari Allah swt yang maha kaya?” Tanya baginda.
“Saya lebih kaya daripada Allah SWT karena saya mempunyai anak, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” Jawab Abu Nawas.
“Itu memang benar, tetapi apa maksudmu berkata begitu di tengah pasar sehingga membuat kegaduhan?” Tanya baginda tidak habis pikir.
Dengan santai Abu Nawas menjawab,
“Hanya untuk ditangkap dan dihadapkan pada baginda yang mulia.”
“Apa perlunya kamu menghadapku?”
“Agar memperoleh hadiah dari Khalifah.” Jawab Abu Nawas tegas.
“Dasar kamu!” Komentar baginda. Kemudian memerintahkan Abu Nawas untuk meninggalkan istana dan juga tidak lupa diberikan hadiah.
Mata Rasulullah Pun Berlinang, “Surga Untukmu Wahai Fathimah”
Pada saat malam Takbiran, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk membagi-bagikan gandum dan Kurma. Beliau bersama istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra putri Rasulullah Saw, Sayyidina Ali menyiapkan tiga karung gandum dan dua karung Kurma. Terihat, Sayyidina Ali memanggul gandum, sementara istrinya Sayyidah Fatimah menuntun Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Mereka sekeluarga mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni.
Esok harinya tiba Shalat ‘Idul Fitri. Mereka sekeluarga khusyuk mengikuti Shalat jama’ah dan mendengarkan khutbah. Selepas khutbah ‘Id selesai, keluarga Rasulullah Saw itu pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.
Sahabat beliau, Ibnu Rafi’i bermaksud untuk mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga putri Rasulullah Saw. Sampai di depan pintu rumah, alangkah tercengang Ibnu Rafi’i melihat apa yang dimakan oleh keluarga Rasulullah itu.
Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein yang masih balita, dalam ‘Idul Fitri makanannya adalah gandum tanpa mentega, gandum basi yang baunya tercium oleh sahabat Nabi itu.
Seketika itu Ibnu Rafi’i berucap Istighfar, sambil mengusap-usap dadanya seolah ada yang nyeri di sana. Mata Ibnu Rafi’i berlinang butiran bening, perlahan butiran itu menetes di pipinya.
Kecamuk dalam dada Ibnu Rafi’i sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah Saw.
Sesampainya tiba di depan Rasulullah, “Ya Rasulullah, ya Rasulullah, ya Rasulullah, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ibnu Rafi’i. “Ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah.
“Tengoklah ke rumah putri baginda, ya Rasulullah. Tengoklah cucu baginda Hasan dan Husein.”
“Kenapa keluargaku?”
“Tengoklah sendiri oleh baginda, saya tidak kuasa mengatakan semuanya.”
Rasulullah Saw pun bergegas menuju rumah Sayyidah Fatimah. Tiba di teras rumah, tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah dan kedua putranya.
Mata Rasulullah pun berlinang. Beliau menangis melihat keluarga putri tercinta dan dua cucunya yang hanya makan gandum basi dihari Raya Idul Fitri.
Di saat semua orang berbahagia, di saat semua orang makan yang enak-enak. Keluarga Rasulullah Saw penuh tawa bahagia dengan hanya makan gandum yang baunya tercium tak sedap.
“Ya Allah, Allahumma Isyhad…Ya Allah, Allahumma Isyhad… (Ya Allah saksikanlah, saksikanlah) Di hari ‘Idul Fitri keluargaku makanannya adalah gandum yang basi. Mereka membela kaum papa, ya Allah. Mereka mencintai kaum fuqara dan masakin. Mereka relakan lidah dan perutnya mengecap makanan basi, asalkan kaum fakir-miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Isyhad, saksikanlah ya Allah, saksikanlah,” bibir Rasulullah berbisik lembut.
Sayyidah Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, sang ayah sedang berdiri tegak. “Duhai ayahnda, ada apa gerangan ayah menangis?”
Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar,
“Surga untukmu, Nak…Surga untukmu.”
Demikianlah, menurut Ibnu Rafi’i, keluarga Rasulullah Saw pada hari ‘Idul Fitri menyantap makanan yang basi dan bau.
Ibnu Rafi’i berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri dan aku pun simpan kisah itu dalam hatiku.
Namun, selepas Rasulullah Saw wafat, aku takut dituduh menyembunyikan Hadits, maka aku ceritakan hal ini agar menjadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin.”
(Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 232).
Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa ‘Alaa Aali Sayyidina Muhammad.