کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:23

Pembangkangan Sahabat dan Tragedi Karbala

Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti.”

Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Lalu siapa lagi? Kalian akan mematahkan pegangan Islam satu demi satu. Hal pertama yang kalian rusak adalah amanah dan yang terakhir shalat."

Maksud Rasulullah Saw dari amanah adalah yang pertama al-Quran dan yang kedua Ahlul Baitnya. Beliau berkata, "Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlul Bait) tidak akan terpisah sampai mendatangiku di telaga Kautsar. Janganlah kalian mendahului dan meninggalkan mereka, maka kalian akan tersesat dan bisana."

Banyak orang bertanya, mengapa – langsung setelah wafatnya Rasulullah Saw – jalur gerakan kemajuan Islam seketika berubah haluan dan keadaan seperti ini terus berlanjut, dari satu sisi ajaran al-Quran sudah tidak diamalkan dan dari sisi lain, al-Quran dianggap sudah cukup sebagai pegangan dan Ahlul Bait dihalangi dari memperoleh haknya yaitu posisi khalifah dan imamah. (Shahih Bukhari, jilid 1, hal 2-22)

Dalam menjawab pertanyaan penting ini – mengapa dua amanah peninggalan Rasulullah Saw (Quran dan Ahlul Bait) diperlakukan seperti itu – sebagian intelektual Muslim hanya menyinggung peristiwa dan keributan para pemimpin Muhajirin dan Ansar di tengah persiapan pemakaman Rasulullah.

Sekelompok lain hanya berusaha memperkenalkan para aktor pembuat keributan ini tanpa memberikan sebuah kesimpulan yang rasional. Kelompok intelektual lain justru menjustifikasi tindakan-tindakan yang terjadi selama proses pemakaman Rasulullah Saw.

Jadi untuk memperoleh sebuah penjelasan yang rasional, faktual, dan jawaban yang memuaskan, kita perlu mencari akar penyebab terjadinya peristiwa dan keributan itu sehingga semua tabir tersingkap dan menemukan titik terang. Semua tindakan dan keributan ini tidak terjadi seketika dan sekaligus, tetapi sebuah rentetan dari gerakan sistematis dan terencana.

Saqifah Bani Sa'idah.
Gerakan politik bawah tanah yang berkedok agama ini sudah dimulai sejak dulu, tetapi ia tidak muncul ke permukaan karena kehadiran dan pengaruh Rasulullah Saw di tengah umat. Namun begitu Nabi wafat, mereka langsung melaksanakan skenarionya langkah demi langkah tanpa perlu takut lagi.

Dengan semangat fanatisme kabilah, mereka melencengkan gerakan progresif masyarakat Islam dari jalurnya dan sistem imamah dalam Islam dirubah menjadi sistem kerajaan dan barang warisan. Padahal, kemajuan masyarakat Muslim masa itu adalah hasil dari 23 tahun jerih payah dan perjuangan Rasul dengan menanggung segala penderitaan, pengucilan, dan pengusiran.

Tindakan mereka telah menghancurkan pencapaian yang dicapai oleh umat Islam bersama Rasulullah dan memicu pertumpahan darah dalam sejarah Islam.

Sejak Rasulullah Saw memulai dakwahnya untuk menyebarkan agama Islam di Mekkah, para pemimpin dan tokoh Quraisy terbelah menjadi dua kubu. Pertama, orang-orang seperti Abu Sufyan, Abu Jahl, dan Abu Lahab mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan dakwah Nabi.

Para tokoh Quraisy ini menyiksa orang-orang yang masuk Islam, melakukan embargo ekonomi, mengejar sekelompok orang Muslim yang hijrah ke Habasyah, dan menyusun rencana teror terhadap Rasulullah. Mereka terus melancarkan permusuhan terhadap Islam dan mengobarkan perang bahkan ketika Nabi telah hijrah ke Madinah. Orang-orang ini juga menolak menyerah selama penaklukan Mekkah.

Kubu Quraisy yang lain memutuskan untuk membentuk sebuah gerakan politik bawah tanah yang berkedok agama sehingga mereka bisa mengejar dan mencapai kepentingan politiknya seiring berjalannya waktu.

Ada dua poin yang patut diperhatikan dalam hal ini. Pertama, gerakan politik bawah tanah ini dibentuk di Mekkah dan pada permulaan pengutusan Rasulullah Saw. Kedua, orang-orang yang sama langsung berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah setelah Rasul wafat. Ini menunjukkan bahwa gerakan agama-politik ini dibentuk dengan rencana yang matang dan tujuan jangka panjang.

Demi menunjukkan bahwa gerakannya tidak memiliki motif politik, para tokoh Saqifah selalu memilih hadir bersama Rasulullah dan berperan aktif di semua pasang-surut sejarah Islam, tetapi ketika beliau membentuk sebuah pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk melawan Romawi, mereka mulai membangkang dengan berbagai alasan seperti, usia Usamah masih sangat muda untuk menjadi seorang panglima pasukan dan tidak tega meninggalkan Rasul dalam kondisi sakit di Madinah.

Ilustrasi peristiwa pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Rasul kesal dengan sikap mereka dan melaknat para sahabat yang menolak perintahnya. Al-Quran jelas-jelas mengingatkan kaum Muslim tentang kewajiban mematuhi perintah Nabi. Allah Swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS: An-Nisa' ayat 65)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak menerima Nabi Saw sebagai hakim ketika mereka berselisih atau tidak tulus menerima putusannya, maka mereka bukan orang yang beriman. Di samping itu, setelah Nabi mengeluarkan putusan, orang-orang Mukmin harus mematuhinya dan ikhlas menerima apa yang sudah menjadi keputusan serta tunduk mutlak atas keputusan Nabi Saw.

Penekanan ini bertujuan agar budaya menaati perintah Nabi Saw terbentuk di tengah masyarakat Muslim dan semangat tunduk mutlak di hadapan putusan Rasulullah tertanam di hati mereka.

Oleh karena itu, pembangkangan beberapa sahabat dan penolakan mereka untuk bergabung dengan pasukan Usamah, sama sekali tidak dibenarkan. Sikap ini tidak menunjukkan kepatuhan mereka pada putusan dan perintah Rasul Saw.

Jika melihat hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah Saw, bisa dikatakan bahwa beliau memiliki tujuan khusus dari pembentukan pasukan Usamah yaitu hendak mengosongkan Madinah dari sahabat-sahabat yang rakus kekhilafahan.

Pesan yang ingin disampaikan Nabi Muhammad Saw dengan mengangkat Usamah sebagai panglima pasukan yang masih muda, adalah bahwa parameter pengangkatan pemimpin tidak didasarkan pada faktor usia, melainkan dari kelayakan dan kecakapannya.

Setelah Rasulullah wafat, pihak yang menentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah menjadikan usianya yang lebih muda dari para sahabat senior lainnya sebagai alasan penolakan mereka.

Penolakan dan pembangkangan ini dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi dan musibah ini menimpa umat Islam, bukankah Allah telah berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS: Al-Hashr ayat 7) 

Dengan tibanya bulan Muharam dan syahadah Imam Husein as, para pengikut Syiah di seluruh dunia mempersiapkan diri untuk acara duka di bulan ini dengan dengan hati penuh kesedihan. Mereka melaksanakan acara duka Imam Husein as demi mengingatkan kembali pengorbanan Imam Husein as dan para sahabat loyalnya.


Cinta kepada Imam Husein as melampaui batas-batas teritorial pelbagai negara di dunia dan para pecinta Imam Husein as, terlepas dari warna kulit, agama, bahasa dan budaya, semua bersedih akan pengorbanan Imam Husein as. Dengan memperhatikan luas dan pentingnya ritual duka bulan Muharam di antara bangsa-bangsa di dunia, kami merasa penting untuk memperkenalkan ritual duka bulan Muharam di seluruh dunia. Di berbagai negara acara duka Imam Husein as dilaksanakan berbeda sesuai dengan kekhususan budaya mereka.


Pertama kami akan menyinggung ritual bulan Muharam umat Islam di negara-negara Eropa.

Komunitas terbesar Syiah di Jerman terletak di kota Hamburg. Karenanya, setiap tahun acara Asyura diselenggarakan di Islamic Center Hamburg yang diikuti banyak pecinta Ahlulbait as. Di hari-hari Tasu'a dan Asyura, di Islamic Center Hamburg, kebanyakan acara dimulai dengan pidato dan di akhir ceramah biasanya mereka yang hadir melakukan ritual duka dengan menepuk dada. Begitu juga di hari Asyura setelah pembacaan Ziarah Asyura dan pelaksanaan acara duka, sekitar 2.000 orang yang hadir dijamu makanan di sini.

Warga Syiah yang tinggal di Denmark juga memiliki Huseiniah dan di situ mereka melaksanakan acara duka Muharam. Dar al-Husein dikelola oleh Syahid Hakim dan termasuk Huseiniah yang dibangun olehnya pada 1990 dengan bantuan warga keturunan Irak yang tinggal di Kopenhagen. Yayasan Dar al-Husein juga menyelenggarakan kelas-kelas bagi mereka yang ingin mengenal Islam lebih jauh. Di Denmar juga ada Huseiniah warga keturunan Iran yang menjadi salah satu Islamic Center di Denmark yang menyelenggarakan berbagai program seperti pembacaan doa Kumail, acara duka menepuk dada dan pembacaan kidung duka.

Acara Hari Asyura di Denmark
Keberadaan pecinta Ahlulbait as di benua Amerika turut menyelenggarakan acara duka bulan Muharam dengan khidmat. Sebagai contoh, masjid Imam Ali as di New York di sepuluh hari pertama bulan Muharam melaksanakan acara duka Imam Husein as secara besar-besaran dengan dihadiri para pecinta Ahlulbait as. Para mahasiswa pelbagai universitas New York mengundang para ulama di hari-hari ini dan menyelenggarakan acara dan pertemuan untuk menjelaskan kebangkitan Asyura Imam Husein as.

Ada lebih dari satu juta umat Islam dengan latar belakang etnis yang berbeda yang tinggal di Kanada dan sekitar sepertiga dari mereka adalah warga Syiah. Bertepatan dengan peringatan tragedi Karbala, warga Syiah Kanada di sepuluh hari pertama bulan Muharam melaksanakan acara duka Imam Husein as. Acara paling penting adalah acara ceramah yang secara khusus membahas pelbagai dimensi peristiwa Asyura dan pelajaran sejarah darinya.

Pada hari Asyura di Kanada, acara duka yang biasa dilakukan adalah menepuk dada dan pembacaan kidung duka. Acara duka lebih banyak diselenggarakan di tempat-tempat tertutup. Baru-baru ini sebagian melaksanakan pawai duka di hari Asyura di kota dan bundaran yang sangat mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Hal lain yang sering dilakukan di Kanada adalah memasang baner dan poster yang memperkenalkan Imam Husein as kepada masyarakat dan wajah kota-kota besar di negara ini di bulan Muharam dipenuhi dengan baner dan poster ini.

Pawai duka Imam Husein as di Toronto, Kanada
Sementara di Afrika, warga Syiah dan pecinta Ahlulbait dan Imam Husein as tampil sangat signifikan dan menyelenggarakan puluhan acara dan ritual di hari-hari Muharam di negara-negara Afrika. Para pecinta Ahlulbait di benua Afrika yang hari ini mencakup warga pribumi negara-negara di benua ini kebanyakan menyimpan simbol-simbol Asyura di rumah-rumah mereka dan setiap pagi mereka menghormati dan bertabaruk dengannya.

Ritual Asyura di negara-negara ini dilakukan dengan semangat dan kehangatan dalam beberapa tahun ini. Sebagai contoh, acara Asyura Imam Husein as yang diselenggarakan setiap tahunnya di kota Harar, Ethiopia. Mereka di hari kesembilan (Tasu'a) dan kesepuluh (Asyura) bulan Muharam melakukan jalan beriringan yang tertib menuju rumah-rumah warga dan setelah membaca al-Quran secara berkelompok dalam sebuah acara melaknat para pembunuh Imam Husein as dan para sahabatnya.

Kaum perempuan Harar sejak awal telah menyiapkan simbol-simbol dalam bentuk kendi dan ketika kelompok pawai yang beriringan tiba, mereka melempar kendi tersebut ke arah pawai duka, sementara para pemuda yang hadir dalam pawai beriringan dengan kayu yang berada di tangan mereka melakukan gerakan simbolik memecahkan kendi tersebut sampai berkeping-keping sebagai tanda kebencian mereka kepada pembunuh Imam Husein as.

Setelah itu, para wanita pecinta Ahlulbait as menjamu para peserta pawai duka dengan makanan halwa, bubur daging dan makanan lokal lainnya. Puncak acara duka Imam Husein as di Harar, Ethiopia di hari Asyura yang dimulai sejak jam 9 pagi akan berakhir pukul 3 sore. Di hari ini, selain pembacaan kidung duka, warga melakukan shalat empat rakaat dan setelah itu bersama-sama membaca Ziarah Asyura dan Alqamah. Di hari ini, acara ceramah dan kisah heroik Asyura disampaikan dengan lebih rinci.

Di Nigeria juga sama dengan di daerah-daerah lain, para pecinta Ahlulbait as dan warga Syiah berpartisipasi dan menyelenggarakan acara Asyura Imam Husein as, sekalipun mendapat pengawasan ketat pemerintah. Kota-kota besar Nigeria seperti Abuja, ibukota Nigeria, Zaria, Kanu, Kaduna, Katsina, Bauchi, Yola, Youbi dan bahkan kota Dawara, kota kelahiran presiden Nigeria saat ini. Warga Syiah Nigerian menyelenggarakan acara duka Imam Husein as secara besar-besaran.


Malaysia merupakan negara di Asia Tenggara dengan mayoritas muslim. Populasi Malaysia sekitar 31 juta orang, dimana lebih dari 60 persen penduduknya beragama Islam. Mazhab umat Islam Malaysia kebanyakan Syafii dan sekitar dua persen dari populasi umat Islam negara ini bermazhab Syiah. Pada bulan Muharam, umat Islam pribumi dan imigran negara ini berkumpul di Kualalumpur dan menyelenggarakan acara duka dengan meriah. Sama seperti di negara-negara muslim lainnya, umat Islam Malaysia juga bernazar di hari-hari Muharam, khususnya di hari Tasu'a dan Asyura.

Salah satu nazar paling penting yang dilakukan di bulan Muharam di Malaysia adalah bubur beras. Warga Malaysia membuat bubur beras dari beras, santan dan gula lalu menghiasai bagian atasnya dengan parutan kacang tanah atau kacang-kacangan lainnya kemudian membagikannya kepada mereka yang hadir di acara duka Imam Husein as. Makanan ini biasanya dibagikan pada siang hari Asyura. Halwa yang dibuat dari tepung beras juga termasuk makanan nazar yang dibagikan.

Acara duka Imam Husein as di Asia Tenggara
Warga Syiah India juga menyelenggarakan beragam acara khusus di bulan Muharam dan Shafar, khususnya di sepuluh hari pertama bulan Muharam dengan kecintaan yang luar biasa. Di awal bulan Muharam, mereka mengibarkan bendera Abul Fadhl Abbas as dan sejak hari itu bulan duka telah dimulai. Sejak awal bulan Muharam, banyak umat Islam, terutama warga Syiah yang mengenakan baju berwarna hitam. Di bulan Muharam, mereka yang jauh dari rumahnya, kembalilagi ke rumahnya, sekalipun berada di negara lain. Warga Syiah India berkeyakinan bahwa mereka harus melaksanakan acara duka di tempat kelahirannya.

Di malam Asyura, warga Syiah India memperingatinya seperti malam-malam Lailatul Qadr dan mereka tidak tidur sampai pagi dengan melakukan acara ratapan duka dan pembacaan kidung duka. Acara duka hari Asyura yang dimulai dari dini hari berlanjut hingga sore hari. Tepuk dada dengan tangan atau rantai termasuk ritual yang dilakukan para peserta acara duka dalam memperingati hari ini.

Ritual bulan Muharam di India
Di India, di hari-hari Muharam, sejak hari pertama bulan Muharam, semua tempat penyelenggaraan acara duka dihias dengan bendera dan keranda. Setiap hari majelis duka diselenggarakan di tempat penyelenggaraan acara duka dan majelis duka yang lebih umum diselenggarakan di tempat berkumpul yang lebh besar.

Disebutkan bahwa di India, seperti negara-negara lain, warga terbiasa menyiapkan dan membagikan makanan nazar kepada mereka yang hadir dalam acara duka. Sejak hari pertama bulan Muharam, mereka yang mengikuti acara duka dijamu dengan sirup dan air dingin. Sementara di hari kesembilan yang mengingatkan Ali Asghar, mereka membagikan susu kepada warga. Pada hari Tasu'a dan Asyura, warga membagikan makanan nazarnya kepada orang yang hadir dalam acara duka seperti roti, sate dan makanan serupa Qeime di Iran.

Di India, banyak dilakukan pembacaan kidung duka dan tidak terbatas pada umat Islam saja, tapi warga beragama Hndu yang melakukannya, tapi ketika ditanyakan tentang Asyura kepada mereka, bukan saja mereka memuji Imam Husein as, tapi mereka juga membacakan kidung duka dan menangis untuk Imam Husein as.

Contoh pembacaan kidung duka Imam Husein as dengan bahasa India


Tata cara dan ritual duka Imam Husein as di pelbagai dunia lebih banyak dari yang ada ini. Di banyak negara lain seperti Irak, Kuwait, Turki, Bahrain, Arab Saudi, Azerbaijan, Inggris, Myanmar dan lain-lain, mereka juga menyelenggarakan acara duka Imam Husein as. Poin penting adalah di semua ritual ini ada kesamaan seperti mengingat tragedi Karbala, berduka untuk syuhada dalam peristiwa ini, pengorbanan dan ketabahan mereka dalam membela nilai-nilai agama.

Mereka yang berduka di hari ini mengetahui tidak akan menerima kehinaan dan kezaliman. Karena slogan pemimpin mereka adalah melawan segala bentuk ketidakadilan dan kezaliman. Dari sini, acara duka memperingati syahadah Imam Husein as adalah pengakuan untuk melawan musuh kemanusiaan dan kebebasan yang membawa semangat dan moral lebih tinggi bagi setiap individu dan masyarakat

Rasulullah Saw membentuk pasukan di bawah komando Usamah bin Zaid untuk menghadapi tentara Imperium Romawi. Namun, pasukan ini tidak bergerak karena adanya pembangkangan dari beberapa sahabat besar dengan berbagai alasan.

Benih-benih pembangkangan terhadap perintah Nabi Saw mulai tumbuh. Rasul sangat kesal dengan kejadian ini dan beberapa hari kemudian ia terbaring sakit di tempat tidur. Para istri, keluarga dekat, dan sahabat berkumpul di kamar Nabi ketika sakitnya semakin parah dan mendekati ajal.

Saat itu Rasul Saw meminta pena dan kertas untuk menuliskan sebuah wasiat yang akan mencegah umat Islam dari kesesatan sepeninggalnya. Namun, permintaan ini terbentur dengan penolakan dan penentangan salah seorang sahabat yang hadir di hadapannya dan wasiat Nabi akhirnya tidak tersampaikan. Sahabat besar itu berkata, "Nabi sedang mengigau dan kita cukup dengan kitab Allah."

Ucapan ini menimbulkan perselisihan dan perdebatan di antara para sahabat. Nabi Saw dengan menyaksikan pemandangan itu, meminta mereka untuk pergi dari hadapannya. Rasul berkata, "Keluarlah kalian semua, tidak pantas kalian ribut di hadapan Nabi." (Al-Ghadir, jilid 1, hal 40)

Pertama, permintaan Nabi Saw yaitu "Bawakan aku sebuah pena beserta tintanya dan kertas agar aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian supaya kalian tidak akan tersesat setelahku" menunjukkan kekhawatiran beliau tentang masa depan umat Islam yang bisa tersesat di tengah jalan.

Penolakan beberapa sahabat sama sekali tidak bisa dibenarkan, karena permintaan itu berkaitan dengan masa depan umat Islam dan Rasul Saw sangat merisaukan masalah ini.

Kedua, apa makna dari ucapan "Nabi sedang mengigau"? Apakah Nabi tidak mengetahui apa yang diucapkan? Padahal al-Quran berkata, "Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."

Ketiga, Nabi Saw – atas perintah Allah – berulang kali berkata bahwa al-Quran dan 'Itrah-nya tidak akan pernah berpisah sampai mendatanginya di telaga Kautsar. Dengan kata lain, keterikatan keduanya adalah sebuah kebersamaan yang abadi dan tak tergoyahkan.

Ilustrasi peristiwa pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Lalu dengan alasan apa sehingga beberapa sahabat berkata, "Kita cukup dengan kitab Allah." (Shahih al-Bukhari, jilid 1, hal 3-22)

Al-Quran jelas-jelas berkata, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36)

Dan keempat, Rasul Saw sangat kesal dengan keributan yang terjadi di antara para sahabatnya sehingga berkata, "Keluarlah kalian semua, tidak pantas kalian ribut di hadapan Nabi."

Jelas bahwa sebuah perselisihan dan perdebatan sangat mungkin terjadi dalam masalah sosial dan politik, dan kadang juga berkenaan dengan masa depan umat Islam. Jika ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Apakah perdebatan dan perselisihan itu harus diperuncing atau bertindak sesuai dengan perintah al-Quran yaitu, "…jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)

Jika Allah Swt dan Rasul Saw telah menjelaskan pandangannya dalam satu perkara, maka tidak perlu diperdebatkan lagi dan ia wajib dipatuhi secara mutlak. Sikap ini adalah tanda-tanda dari iman yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.

Perselisihan yang terjadi di tengah umat juga harus diselesaikan dengan bersandar pada firman Allah atau merujuk kepada Rasulullah, di mana ucapannya tiada lain hanyalah wahyu.

Orang yang memiliki iman yang kuat kepada Tuhan dan hari kiamat, tentu saja tidak akan menentang dan membangkang perintah Nabi Saw. Jadi, sikap beberapa sahabat yang menolak perintah Nabi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama dan tidak bisa dibenarkan.

Rasulullah Saw pada akhirnya wafat dan pada hari duka itu, sudah sepantasnya prosesi pemakaman beliau dilakukan dengan megah untuk menghormati kerja kerasnya dalam membimbing dan mengajarkan umat, memajukan pemikiran dan budaya mereka, menghidupkan nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan, memerangi penyimpangan dan kesesatan, membebaskan masyarakat dari kehinaan dan pertikaian, serta membangun sebuah umat yang besar.

Namun penghormatan seperti itu tidak pernah terjadi dan bahkan beberapa sahabat meninggalkan jenazah Rasulullah Saw begitu saja, mereka tidak mengikuti prosesi pengkafanan dan upacara pemakaman.

Yang lebih mengejutkan adalah sebuah riwayat dari Aisyah, istri Rasulullah Saw yang bercerita, "Karena Nabi wafat, Mughirah bersama salah seorang sahabat pergi ke kamar persemanyaman jenazah Nabi dan membuka kain penutup wajahnya. Sahabat itu kemudian berkata, Nabi sedang pingsan dan pingsannya cukup parah. Kedunya kemudian keluar dari kamar itu dan Mughirah berkata kepada sahabat tersebut, 'Demi Allah, Nabi telah wafat.' Namun, sahabat itu tetap bersikeras, 'Engkau dusta, Nabi tidak wafat, engkau ingin menyulut fitnah."

Pada hari itu, Abu Bakar bergegas kembali ke Madinah setelah mengetahui Rasul wafat. Abu Bakar yang menyaksikan pengingkaran sebagian masyarakat atas wafatnya Rasul, naik ke mimbar dan berpidato. Setelah membaca hamdalah, ia mengutip beberapa ayat al-Quran dalam pidatonya antara lain, "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)" (QS. Az-Zumar: 30) dan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)" (QS. Ali Imran: 144)

Saqifah Bani Sa'idah.
Kemudian orang-orang yang telah mengingkari kematian Rasulullah, berkata kepada Abu Bakar, "Apakah ayat-ayat tersebut ada dalam al-Quran?" Abu Bakar menjawab, "Iya."

Ada sebuah pertanyaan penting mengenai sikap para sahabat yang mengingkari kematian Rasulullah, karena sebelumnya mereka justru berkata, "Kita cukup dengan kitab Allah" sebagai upaya untuk menyingkirkan Ahlul Bait dari posisi khalifah.

Jika mereka berkata, "Kami tidak tahu jika seorang Rasul bisa wafat." Lalu, mengapa mereka menganggap kitab Allah cukup untuk mengatur urusan umat Islam sepeninggal Rasul dan menolak peran Ahlul Bait Nabi. Namun, jika mereka berkata, "Kami tahu tentang itu," lalu mengapa mereka mengingkari kematian Nabi?

Bisa dikatakan bahwa sikap tersebut bermotif politik yang kemudian diwujudkan di Saqifah Bani Sa'idah.

Sebagian sahabat berkumpul di Saqifah ketika Imam Ali as dan beberapa orang lain sedang memandikan jenazah Rasulullah Saw, mengkafani, dan menyiapkan pemakaman. Mereka berkumpul dengan alasan untuk mencegah perpecahan umat dan menjaga pencapaian yang ditorehkan oleh Rasul. Lalu, bukankah Rasul telah mengangkat Sayidina Ali as sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam pada hari Ghadir Khum?

Peristiwa Ghadir Khum dibenarkan oleh 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni. Para ulama Syiah dan Sunni telah menukil peristiwa tersebut dalam buku-bukunya.

Bukankah para sahabat yang berkumpul di Saqifah telah memberikan baiat dan ucapan selamat kepada Imam Ali di Ghadir Khum? Lalu, mengapa mereka melupakan semua peristiwa itu dalam rentang waktu 70 hari dan bertindak seakan-akan Rasul tidak pernah memikirkan masa depan umatnya.

Bagaimana mungkin Allah Swt – yang menurunkan al-Quran sebagai kitab terakhir dan Muhammad sebagai khatam al-Anbiya – tidak memberikan perintah apapun tentang pengangkatan khalifah? Jelas para tokoh Saqifah tidak berkumpul dengan motivasi agama, sebab mereka tidak mengantongi perintah dari Allah untuk melakukan itu, dan Rasul Saw juga tidak berbuat lalai dalam menentukan pemimpin setelahnya. 

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:20

Dampak Keputusan Saqifah bagi Umat Islam

Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.

Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.

Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.

Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…

Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.

Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.

Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.

Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.


Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.

Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.

Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.

Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.

Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.

Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."

Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).

Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?

Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)

Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.

Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)

Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.

Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.

Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."

Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim. 

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:19

Penyimpangan Saqifah dan Tragedi Karbala

Salah satu dampak dari keputusan syura Saqifah adalah melencengnya jalur gerakan umat Islam dari ketetapan Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum yaitu pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan pemimpin kaum Muslim.

Selama 25 tahun, Imam Ali memilih bersabar demi menjaga Islam dan persatuan masyarakat Muslim yang baru dibangun oleh Rasulullah, dan tidak mengambil tindakan apapun dalam menghadapi konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.

Tentu saja, Imam Ali pada berbagai kesempatan menyampaikan khutbah untuk menunjukkan bagaimana perintah Allah Swt dilanggar oleh sekelompok sahabat sehingga gerakan umat Islam melenceng dari jalurnya.

Bid’ah dan penyimpangan yang diwariskan oleh syura Saqifah mengantarkan keluarga Bani Umayyah ke tampuk kekuasaan dan posisi khalifah jatuh ke tangan orang-orang seperti, Mu’awiyah dan Yazid.

Peristiwa Saqifah sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Saw. Beberapa hari sebelum wafat, Nabi menyebut peristiwa itu sebagai “fitnah” dan memberikan solusi agar tidak terperosok ke jurangnya. Beliau berkata, “Fitnah akan dikobarkan tak lama setelah kepergianku. Dalam situasi seperti itu, bergabunglah dan melangkahlah bersama Ali bin Abi Thalib, karena ia orang pertama yang beriman kepadaku dan orang pertama yang mendatangiku pada hari kiamat. Ali adalah siddiq al-akbar dan al-faruq umat ini yaitu pemisah antara kebenaran dan kebatilan, ia adalah pemimpin agama yang sesungguhnya.” (Kitab Asad al-Ghabah, jilid 5, hal 287)

Salah satu pertanyaan penting yang muncul mengenai kedudukan Ahlul Bait khususnya Imam Ali as adalah keutamaan apa yang disandang oleh mereka sehingga dianggap layak menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah?

Jawaban terbaik atas pertanyaan ini bisa ditemukan dari penjelasan Rasul Saw sendiri. Suatu hari ketika sekelompok sahabat termasuk Abu Bakar berkumpul bersama Nabi, beliau menghadap ke arah mereka dan berkata, “Siapa di antara kalian seperti Nabi Adam dari segi intelektualitas, seperti Nuh dari segi pemahaman, dan semisal Ibrahim dari segi hikmah dan ilmu? Pada saat itu Imam Ali as datang dan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang engkau maksud?” Rasul bersabda, “Apakah engkau tidak mengenalinya?” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Rasul bersabda, “Maksudku adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib dimana semua sifat itu berkumpul bersamanya.” Abu Bakar kemudian berkata, “Sungguh hebat dan selamat atasmu wahai Abu al-Hasan dan tidak ada yang seperti dan sebanding denganmu.” (Al-Manaqib, bab 7, hal 44-45)

Rasulullah Saw bersabda, "Hasan dan Husein adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai."
Ucapan khalifah kedua dalam memuji Imam Ali juga layak untuk disimak. Saat menjelang ajal, Umar bin Khattab berkata kepada Ibnu Abbas, “Tidak ada keraguan bahwa orang yang paling layak untuk menyeru masyarakat mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah adalah temanmu Ali. Demi Allah, jika kepemimpinan ada di tangannya, ia akan membimbing umat ke jalan yang terang dan jalan lurus hidayah.” (Syarah Nahjul al-Balaghah Ibn Abi al- Hadid, jilid 6, hal 7-326)

Selain Abu Bakar dan Umar bin Khattab, khalifah ketika (Usman bin Affan) juga berkata, “Suatu hari aku sedang memandang wajah Ali. Kemudian ia bertanya kepadaku, mengapa engkau memandangku seperti itu? Aku berkata kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, “Memandang wajah Ali adalah ibadah.” (Tarikh Dimasyq, jilid 2, hal 392)

Di berbagai kitab induk Ahlu Sunnah, ditemukan banyak ucapan dari ketiga khalifah tersebut yang mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Disebutkan bahwa mereka secara rutin meminta pandangan Ali as dalam mengeluarkan sebuah hukum fikih dan peradilan atau dalam situasi-situasi genting sehingga tidak terjadi kesalahan. Sebuah riwayat masyhur menyebutkan Umar sebanyak 70 kali berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, Umar akan binasa.”

Bahkan dari Mu’awiyah – orang yang paling memusuhi Ali as – juga diriwayatkan bahwa seseorang datang menemui Mu’awiyah dan bertanya sesuatu kepadanya. Mu’awiyah tidak tahu jawabannya dan berkata, “Bertanyalah kepada Ali karena ia lebih pintar dariku.”

Orang tersebut berujar, “Jawaban darimu akan membuatku lebih senang.” Mu’awiyah menjawab, “Apa yang engkau ucapkan! Engkau membenci seseorang dimana Rasulullah – seperti burung memberi makan untuk anaknya – telah mengenyangkan dia dengan banyak ilmu dan pengetahuan. Rasulullah juga berkata kepadanya, “Engkau adalah dariku dan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.” (Fadhail al-Shahabah, jilid 2, hal 675)

Dengan adanya semua bukti tentang keutamaan Imam Ali as, lalu mengapa para tokoh Saqifah tetap menutup matanya atas semua hakikat ini? Padahal, mereka sendiri mengakui kelayakan dan kepatutan Imam Ali untuk memimpin umat Islam. Mengapa mereka menyusun skenario licik untuk menyingkirkan Imam Ali dari haknya ini?


Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada ayat 14 surat An-Naml. “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”

Saqifah adalah puncak penyimpangan dimana kurang dari setengah abad setelahnya, dampak-dampak dari keserakahan ini menyebabkan cucu Rasulullah Saw dan para sahabatnya gugur syahid di Karbala.

Meski dampak dari penyimpangan ini awalnya berjalan lamban, namun setelah kekhalifahan berubah menjadi kerajaan di era Mu’awiyah, dampak penyimpangan ini semakin terlihat dan terasa di tengah umat.

Penyimpangan yang terjadi di Saqifah menjadi sempurna setelah berubahnya kekhalifahan menjadi kerajaan. Kebijakan para penguasa terutama Mu’awiyah, telah menjauhkan masyarakat dari agama dan menenggelamkan mereka dalam urusan duniawi. Imam Ali dan Imam Hasan secara perlahan kehilangan basis massa. Mu’awiyah memaksakan berbagai perang dan melanggar kesepakatan damai, dan pada akhirnya kedua figur mulia itu meneguk cawan syahadah.

Perlu dicatat bahwa pada periode kekuasaan Mu’awiyah, ia belum berani terang-terangan berbicara tentang penghancuran Islam dan masih menampakkan dirinya sebagai sosok pembela agama. Namun kondisi ini berubah total setelah Yazid naik takhta menggantikan ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah pria pemabuk dan terang-terangan berbuat maksiat, ia secara terbuka berbicara tentang agenda penghapusan Islam dan pentingnya menghidupkan era Jahiliyah.

Penyimpangan besar ini memaksa Imam Husein as untuk bangkit melakukan perbaikan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia mempersembahkan nyawanya demi menghidupkan ajaran agama dan sunnah Rasulullah Saw. Darah dan pengorbanannya telah menghidupkan kembali Islam yang lurus di tengah umat.

Tragedi Asyura tidak dilakukan oleh musuh-musuh al-Quran dan Ahlul Bait, tetapi para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang haus kekuasaan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui kapan peristiwa itu dimulai dan siapa saja pelakunya.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para tokoh Saqifah melakukan gerakan-gerakan terencana untuk merebut kekuasaan dari Ahlul Bait pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kita juga sudah mengetahui berbagai hadis dan kesaksian para khalifah tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi, terutama Imam Ali as.

Lalu, mengapa para tokoh Saqifah tetap mengabaikan semua realitas meskipun ada banyak riwayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlul Bait. Mereka sendiri juga mengakui kelayakan, kepatutan, dan keunggulan Imam Ali as untuk posisi imamah dan pemimpin umat Islam. Para tokoh Saqifah dengan sebuah skenario licik menyingkirkan Imam Ali as dari hak sahnya selama 25 tahun.

Sekarang kita akan menukil ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait sehingga menjadi jelas bahwa para pembangkang tidak hanya melawan perintah Nabi Saw, tetapi juga menolak tunduk pada perintah Allah. Mereka memilih sebuah jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait dan menekankan kesucian mereka dari segala dosa adalah ayat 33 surat al-Ahzab atau yang dikenal dengan Ayat Tathir. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Ayat ini berbicara mengenai kehendak/iradah Allah untuk mensucikan Ahlul Bait dari dosa dan segala jenis kotoran dan noda, baik itu dalam bentuk pikiran maupun perbuatan seperti syirik, kufr, nifaq, kebodohan, dan segala bentuk dosa.

Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa maksud dari Ahlul Bait Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan, dan Imam Husein as.


Ayat lain yang menunjukkan perhatian khusus Allah kepada Ahlul Bait adalah Ayat Mubahalah. Menurut buku-buku referensi Syiah dan Sunni, Rasulullah Saw telah menjelaskan semua dalil untuk membuktikan kebatilan akidah kaum Nasrani Najran dan meminta mereka untuk meninggalkan akidah batil itu seperti keyakinan bahwa Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Namun, para pembesar Nasrani Najran menolak meninggalkan akidah yang berbau syirik itu dan mereka mengusulkan mubahalah yaitu berdoa kepada Tuhan dan memohon agar siapa saja yang sesat dijauhkan dari rahmat-Nya dan dibinasakan. Rasulullah pun – atas izin Allah – menerima tantangan itu.

Istilah mubahalah sendiri sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.

Di hari berikutnya, Rasul datang ke arena mubahalah dengan membawa orang-orang yang paling mulia dan paling dekat dengannya. Melihat pemandangan itu, para pembesar Nasrani Najran mulai ragu dan memutuskan untuk membatalkan mubahalah.

Al-Quran mengabadikan peristiwa ini dalam surat Ali-Imran ayat 61, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."

Para ulama tafsir memiliki pandangan yang sama ketika menafsirkan ayat ini. Maksud dari kata Abnaana adalah Imam Hasan dan Imam Husein as, Nisaana yaitu Sayidah Fatimah as, dan maksud dari Anfusana adalah Imam Ali as yang setara kedudukannya dengan jiwa Rasulullah Saw.

Ayat lain yang secara langsung berbicara tentang posisi imamah Ali bin Abi Thalib as adalah ayat 55 surat al-Maidah yang populer dengan Ayat Wilayah (kepemimpinan). “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”

Pada suatu hari seorang fakir datang ke Masjid Nabawi dan meminta bantuan, namun tidak ada seorang pun yang memberinya. Ia pun mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, "Tuhanku, saksikanlah bahwa aku berada di Masjid Nabi-Mu dan meminta pertolongan, tapi tidak ada seorang pun yang menolongku." Pada saat itulah, Ali as yang sedang rukuk memberikan isyarat dengan jari kelingking tangan kanannya. Orang fakir itu pun mendekat ke arahnya dan mengeluarkan cincin dari jari Imam Ali as, kemudian ayat tersebut turun.

Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa satu-satunya orang yang berbuat demikian adalah Ali bin Abi Thalib as. Allah menurunkan ayat itu untuk memperkenalkan kedudukan Ali as kepada para pencari kebenaran. (Tafsir al-Kabir, hal 431 dan Ihqaq al-Haq, jilid 2, hal 399)

Seluruh nabi tidak meminta upah apapun kepada masyarakat dalam berdakwah, karena mereka menjalankan misinya secara tulus dan semata-mata untuk Allah. Rasulullah juga tidak mengharapkan apapun dari masyarakat sejak ia diutus. Namun, para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata, “Jika engkau butuh materi; uang atau yang lain maka berapa pun yang engkau butuhkan akan kami berikan.” Saat itulah turun ayat 23 surat Ash-Syura yaitu “Katakanlah (Wahai Rasulullah) bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.”


Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk mencintai Ahlul Bait adalah bukan keinginan Rasul sendiri, tetapi kehendak dan perintah Allah. Namun, para tokoh Saqifah bukan hanya mengabaikan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, tetapi mereka juga telah memusuhinya.

Ayat-ayat tersebut membuktikan tentang kesucian, kedudukan tinggi, kemuliaan, dan keutamaan Ahlul Bait Nabi as. Orang-orang yang dipertaruhkan oleh Rasulullah untuk membuktikan kebenaran risalahnya di hari mubahalah hanya Ali, Sayidah Fatimah, dan kedua putra mereka. Satu-satunya keluarga yang wajib untuk dicintai atas perintah Allah Saw adalah Ahlul Bait Nabi as.

Namun, peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan keputusan lain yang diambil setelahnya, bertentangan dengan perintah Allah mengenai kedudukan Ahlul Bait yang sudah dijelaskan dalam al-Quran.

Pada kesempatan ini, kami akan mengutip beberapa kalimat singkat dari khutbah Sayidah Fatimah az-Zahra as yang disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupannya, yang dikenal dengan Khutbah Fadakiyah. Khutbah ini disampaikan di Masjid Nabawi di Madinah.

Sayidah Fatimah as berkata, “… Ketika Rasulullah ada di antara kalian, beliau paling menanggung dan merasakan penderitaan dan di jalan ini, Ali adalah pribadi yang selalu menjadi teman dan penolongnya. Terkadang kalian hidup dengan tenang, Ali melemparkan dirinya ke mulut naga untuk membela agama Allah. Akhirnya, berkat perjuangan Nabi Muhammad Saw dan Ali, mereka berhasil memastikan agama Islam dan kalian sampai pada kemuliaan dan kehormatan ini.

Ketika Nabi Saw masih hidup, semua masalah ini dibanggakan dan diterima oleh semua orang. Tapi begitu beliau pergi, apa yang terjadi di antara kalian? Setelah ayahku meninggal kecenderungan kalian akan kemunafikan mulai tampak, bukannya mengingat komitmen kalian kepada Rasulullah, amanah yang diserahkan kepada kalian mulai dilupakan bukannya dijaga. Seakan-akan hanya nama dari Islam kalian yang tinggal dan kalian melupakan hakikat Islam.

Sekarang, orang-orang ini telah mengambil kendali kekuasaan di tangannya dan syaitan telah mengangkat kepalanya dari tempat penyembunyiannya, mengajak kalian pada kejahatan.

Kemudian kalian mulai merebut hak-hak orang lain dan memasuki musim semi yang bukan milik kalian dan kalian melakukan semua ini tidak lama setelah meninggalnya Nabi, sementara kesedihan kepergiannya masih sangat dalam di hati kami.” 

Artikel ini melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai peristiwa Saqifah dan dilupakannya wasiat Nabi kepada umat Islam supaya memperhatikan Ahlul Baitnya.

Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Kecintaan terhadap Rasulullah Saw dan Ahlul Bait merupakan perintah Allah swt, dan Nabi Muhammad Saw hanya menjalankan  perintah ilahi mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu, semua orang yang telah menunjukkan kebencian terhadap Ahlul Bait, alih-alih kasih sayang, sejak awal Islam tidak diragukan lagi menunjukkan penentangan terhadap perintah Allah swt.

Anggota Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw yang pertama kali disebut oleh Rasulullah adalah puterinya, Siti Fatimah. Allah swt menurunkan surat Al-Kautsar kepada Nabi yang mengenai berita gembira akan kelahiran bayi puterinya. SelaIn itu, mengenai di surat al-Ahzab ayat 33, dijelaskan mengenai kedudukan ahlul bait yang disucikan oleh Allah swt.  

Berdasarkan banyak hadis dari sumber-sumber muktabar baik Syiah maupun Sunni, Nabi Muhammad Saw menunjukkan kedudukan penting Fatimah, sebagaimana salah satu sabdanya, "Allah akan murka apabila Fatimah marah, dan senang ketika ia bahagia." (Musnad 353, Amali Sheikh Mufid 256). Hadis ini jelas menunjukkan ketinggian posisi Siti Fatimah Az-Zahra di hadapan Allah swt. Di bagian lain, Rasulullah Saw bersabda, "Ya Tuhanku, ini putriku dan ciptaan-Mu yang terkasih bersamaku." (Musnad, 205)

Suatu hari Nabi Muhammad Saw mengambil tangan putrinya, Siti Fatimah dan berkata, "Semua orang tahu dan orang yang belum tahu saya kenalkan ini adalah putri Muhammad. Dia bagian dariku. Hati, dan jiwanya bagian dari tubuhku. Jadi siapa pun yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan siapa pun yang menimbulkan kemarahanku, maka telah menyebabkan kemurkaan Tuhan,". (Musnad hal.162 - Hadis 27)

Di luar dari posisi tinggi Siti Fatimah yang digambarkan dalam hadis dan ayat yang turun mengenai beliau, orang-orang yang dekat dengan Rasulullah Saw seperti istri Nabi, Siti Aisyah  berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang lebih dekat dengan Rasulullah seperti Fatimah. Ketika ia datang, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan dan mendatanginya, Beliau Mencium dan menyambutnya, kemudian memegang tangannya dan menempatkan di tempat duduknya."(Kashf Al-Ghummah, vol. 2, hlm. 79.)

Sekarang setelah kita berkenalan dengan posisi putri Nabi, Siti Fatimah Zahra dan suaminya Imam Ali  sampai batas tertentu, kita menelusuri sejarah untuk melihat bagaimana para penguasa memperlakukan Ahlul Bait Rasulullah ini. Apakah mereka menghormatinya, ataukah sebaliknya merusak martabat mereka demi meraih tujuannya.

Syekh Thusi mengutip dari Ibnu Abbas berkata, "Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah. Ketika itu beberapa orang bertanya kepadanya, mengapa Anda menangis begitu sedih. Rasulullah menjawab, saya mengkhawatirkan sikap umatku terhadap anak-anakku setelahku, seolah-olah aku melihat putriku Fatimah dalam keadaan tertindas setelah kepergianku, dan dia berteriak kepada ayahnya, dan tidak ada yang membantunya,".

Ketika dia mendengar cerita ini, Sayidah Zahra banyak menangis. Nabi berkata kepadanya, jangan menangis seperti itu putriku." Siti Fatimah menjawab, "Kami tidak menangisi apa yang akan mereka lakukan padaku setelah aku tertindas, tetapi karena kesedihan berpisahan denganmu. Nabi Muhammad Saw berkata, "Putriku, bersukacitalah karena kamu adalah Ahlul Bait pertama yang bergabung denganku" (Musnad hal. 100 Hadis 9)

Riwayat ini menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw telah meramalkan masa depan getir yang menimpa umat Islam, masa depan di mana kepalsuan akan menggantikan kebenaran, dan nilai-nilai agama akan jatuh menjauh dari masyarakat Islam.

Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw dilupakan oleh umatnya sendiri dengan ditinggalkannya wasiat penting beliau mengenai Ahlul Baitnya. Amat disayangkan, umat Islam yang telah bersama Nabi selama dua puluh tiga tahun, setelah kepergiannya melakukan kelaliman terhadap Ahlul Baitnya, termasuk menimpa puteri beliau.

Kondisi sosial politik umat pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan tekanan terhadap Ahlul Bait menjadi perhatian Sayidah Fatimah Zahra. Lambat laun kesehatannya menurun dan jatuh sakit. 


Siti Fatimah  berada di dalam tekanan yang meningkat ketika Imam Ali dipaksa harus menerima hasil dan keputusan dewan Saqifah Bani Saidah, bahkan mereka memaksa meminta baiat hingga mendatangi rumahnya. Fatimah Zahra menutup pintu rumahnya, tapi mereka memaksa masuk tanpa izin. Ketika itu, putri Rasulullah Saw berdiri di rumahnya dan berkata, "Aku tidak melihat bangsa yang lebih buruk dari kalian, Anda meninggalkan jenazah Nabi  di hadapan kami dan mengambil keputusan untuk berkuasa tanpa bermusyawarah dengan kami. Ketahuilah, apa yang Anda lakukan terhadap kami (bertentangan dengan perintah Allah swt). Anda tidak menghargai hak kami".(Amali, Sheikh Mufid).

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:15

Perampasan Fadak dan Duka Ahlul Bait

Sekelompok sahabat pendukung syura Saqifah Bani Sa'idah mendatangi rumah Sayidah Fatimah az-Zahra as untuk mengambil bai'at secara paksa dari Ali bin Abi Thalib as. Namun mereka mendapat perlawanan dari putri Rasulullah Saw itu.

Lalu, mengapa putri Rasulullah Saw melakukan perlawanan dan tidak tunduk pada tuntutan para perampas kekuasaan?

Jelas bahwa jika Fatimah dan Ali as memilih tunduk, ini bermakna mereka merestui penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Jika itu disetujui, sikap mereka juga akan sama seperti para tokoh Saqifah yang melanggar perintah Allah Swt di Ghadir Khum dan mengabaikan keputusan Rasulullah Saw dalam masalah pengangkatan khalifah setelah wafatnya.

Fatimah dan Ali as menolak terlibat dalam sebuah tragedi yang sengaja diciptakan di tengah umat dan tidak bekerjasama dengan para perampas posisi khalifah dan imamah.

Imam Ali as tidak mengambil tindakan apapun demi menjaga Islam yang mendapat rongrongan dari dalam dan luar, serta demi menjaga persatuan dan kekuatan kaum Muslim.

Para tokoh Saqifah sayangnya mengambil tindakan baru tanpa memperhatikan keprihatinan Ali dan Fatimah tentang masa depan Islam dan umat. Penguasa merebut Tanah Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sehingga Ahlul Bait tidak lagi memiliki pemasukan untuk membantu kaum lemah dan fakir-miskin.

Fadak adalah sebuah desa di wilayah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar. Menurut literatur sejarah, setelah penaklukan benteng Khaibar oleh kaum Muslim, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Rasulullah Saw. Karena Fadak diperoleh tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi. Beliau kemudian memberikan Tanah Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah.

Demi memuluskan skenario perampasan Tanah Fadak, para tokoh Saqifah mengarang sebuah hadis palsu dan berkata, "Rasulullah Saw bersabda bahwa kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah."

Tanah Fadak di dekat Madinah.
Sayidah Fatimah – sebagai pemilik sah Tanah Fadak – mendatangi penguasa untuk membela haknya. Jika ia memilih diam, maka sikap ini bertentangan dengan nash (teks dalil) al-Quran dan wasiat Nabi Saw. Al-Quran menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslim tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.

"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hasyr: 6)

Oleh karena itu, pembelaan Sayidah Fatimah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu itu (Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah), ia pergi ke masjid dan menyampaikan pidato untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Dengan demikian, generasi saat ini juga menjadi tahu bahwa sebuah penyimpangan besar telah terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya telah membuat Ahlul Bait Nabi terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as di Karbala.

Dalam pidatonya (Khutbah Fadakiyyah), Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)

Ia kemudian mengutip ayat-ayat lain dari al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6) Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah.

Semua hadirin terdiam dan Sayidah Fatimah mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah, dan tindakan tercela ini akan kekal dan akhir dari tindakan tersebut adalah neraka.


Setelah peristiwa perampasan Fadak, Sayidah Fatimah benar-benar marah kepada orang-orang yang telah merampas hak kekhalifahan dan Fadak dan ia tetap marah sampai akhir hayatnya. Ia menyimpan kesedihan yang mendalam setelah wafat Nabi, peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, dan penyitaan Tanah Fadak.

Selama periode singkat kehidupannya (75 atau 95 hari) setelah wafat Nabi Saw, Sayidah Fatimah memanfaatkan masa itu untuk melakukan protes dan menyatakan sikapnya atas kondisi saat itu, yang diciptakan oleh para perampas kekuasaan. Kegiatan ini dilakukan dengan menyampaikan khutbah atau melakukan pertemuan dengan perempuan Muhajirin dan Anshar.

Sebagai bukti atas kemarahan dan kesedihannya yang mendalam, Sayidah Fatimah berwasiat kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib agar acara pemakaman dan penguburannya dilakukan pada malam hari dan merahasiakan makamnya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang pernah menzalimi dan membuatnya murka, tidak datang melayat.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (al-Quran) dan 'itrahku (Ahlul Bait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat."

Namun, para tokoh Saqifah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw yaitu memisahkan antara al-Quran dan Ahlul Bait. Selanjutnya mereka melarang penafsiran ayat-ayat al-Quran. Kedua tindakan ini bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw dan juga perintah Allah Swt. Mereka berkata, "Pisahkanlah al-Quran dari sesuatu yang lain dan jangan menafsirkannya dan kurangi menukil hadis dari Rasulullah." (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abi al-Hadid)

Para ulama meyakini bahwa salah satu tujuan sebagian tokoh Saqifah melarang penafsiran al-Quran karena pengetahuan masyarakat tidak cukup untuk memahami esensi kaum mukmin dan munafik atau hakikat para pencari kebenaran dan kaum oportunis.

Jelas bahwa penyingkapan fakta dan hakikat itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan para penguasa. 

Bagaimana memaknai kesyahidan Imam Husein ? Pertanyaan ini diajukan Dr. Muhammad Nur Jabir dalam ceramahnya mengenai perjuangan cucu Rasulullah Saw ini dalam membela Islam.

Dosen filsafat di salah satu pengguruan tinggi di Jakarta ini mengatakan, "Kita tidak mungkin memaknai sejarah Karbala dan perjuangan Imam Husein tanpa pemahaman terhadap sejarah kehidupan beliau,".

"Dalam memahami sejarah, kita harus terlibat di dalamnya. Memahami sejarah Karbala ada dua hal penting. Pertama sosok Imam Husein dan lawannya yaitu Yazid," ujarnya dalam ceramah tentang perjuangan Imam Husein ini.

Menurutnya, kita harus terlibat dalam kehidupan Imam Husein dengan mengetahui di mana beliau hidup, bagaimana pemikiran beliau, termasuk doa Arafah dan lainnya.

Selain itu, mengetahui lawannya yaitu Yazid secara utuh, untuk mengetahui apa substansi yang ingin diambil dari tragedi Karbala.

Selengkapnya simak ceramah Dr. Muhammad Nur Jabir dalam file suara berikut ini:

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:12

Konsekuensi Pelarangan Penukilan Hadis

Putri Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah Azzahra as telah menyampaikan argumentasinya dengan ayat-ayat al-Quran untuk mempertahankan Tanah Fadak yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya atas perintah Allah Swt. Namun, beliau tidak mampu untuk mempertahankan tanah tersebut. Para perampas membuat hadis palsu yang dikaitkan kepada Rasulullah agar bisa menguasai Fadak.

Pembelaan Sayidah Fatimah atas Tanah Fadak bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu (bahwa para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah), Sayidah Fatimah pergi ke masjid dan menyampaikan pidato pencerahan kepada masyarakat.

Pidato tersebut mengungkap sebuah penyimpangan besar yang terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya, di mana peristiwa itu telah membuat Ahlul Bait Nabi Saw terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw di Karbala.

Dalam Khutbah Fadakiyyah, Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)

Beliau kemudian mengutip ayat-ayat lain al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6)

Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah

Sayid Fatimah tidak ridha atas perbuatan sekelompok sahabat pendukung Saqifah Bani Sa'idah. Beliau juga menunjukkan protesnya dengan berwasiat kepada suaminya, Sayidina Ali bin Abi Thalib as untuk merahasiakan makam beliau. Dengan begitu, tanda protes tersebut berlanjut hingga sekarang, dan umat Islam menjadi tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi pasca peristiwa Saqifah dan perlakuan buruk terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw.


Para pemimpin dan pendukung Saqifah memiliki tujuan untuk mengeluarkan keluarga suci Rasulullah Saw dari semua aktivitas agama dan politik. Mereka bahkan melaksanakan perencanaan baru untuk mencegah para sahabat menukil hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.

Untuk bisa merealisasikan rencana tersebut, pasca wafatnya Rasulullah Saw muncul kondisi di mana para sahabat berselisih ketika ada yang menukil hadis beliau. Perselisihan ini meningkat seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, mereka kemudian mencegah dan melarang penukilan hadis dari Rasulullah Saw. (Tazkiratul Huffaz, jilid 1 halaman 3).

Bagaimana mungkin mereka yang mengklaim diri sebagai pengganti dan penerus Rasulullah Saw tetapi pada saat yang sama mereka mencegah penukilan hadis-hadis beliau, padahal hadis-hadis Rasulullah Saw adalah sunnah dan penjelas bagi semua urusan individu dan sosial. Allah Swt memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai Uswah Hasanah bagi umat.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Surat al-Ahzab ayat 21)

Apakah mungkin bisa meneladani perilaku, ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw tanpa mengetahui sunnah beliau yang tercatat dalam hadis-hadis yang dinukil oleh para sahabat?

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut adalah bahwa "…suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat", sebab, pada hari kebangkitan nanti, semua perbuatan dan perilaku kita akan dievaluasi dengan sunnah Rasulullah Saw. Sayangnya, sebagian para pendukung Saqifah melakukan perbuatan berbahaya itu untuk menghapus hadis-hadis beliau.

Pada hari itu, Sayidah Fatimah as tentunya telah mengkhawatirkan peristiwa tersebut. Untuk itu, beliau berkonfrontasi dengan para pendukung Saqifah dengan menyampaikan argumentasi yang berdasarkan al-Quran untuk menafikan riwayat palsu yang  mereka kaitkan kepada Rasulullah Saw.

Putri tercinta Rasulullah Saw itu memahami bahwa jika penyimpangan itu tidak dicegah dan dilawan, maka akhir yang pahit akan menimpa umat Islam, yaitu, akhir di mana tidak ada jejak tafsir-tafsir al-Quran berdasarkan penjelasan Rasululllah Saw dan juga tidak ada lagi tanda dari sunnah beliau yang masih ada untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.

Tak ada keraguan bahwa langkah untuk mencegah pengumpulan hadis dan bahkan membakarnya sangat bertentangan dengan pandangan Nabi Muhammad Saw. Beliau dalam sebuah khutbah pada Haji Wada' bersabda, semoga Tuhan membahagiakan (memberkahi) orang yang mendengar perkataanku dan menjaganya serta menyampaikannya kepada mereka yang belum mendengarnya. (Sunan Ibnu Majah 1/84).

Berdasarkan riwayat lain, beliau bersabda, beritahukan kepada orang lain apa yang kalian dengar dariku, namun jangan kalian ucapkan kecuali perkataan yang benar. Barang siapa menyampaikan kebohongan atas namaku, maka neraka adalah tempat tinggalnya. (Qawaidul Hadis, halaman 50).  

Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad Saw –agar semua umat Islam merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan hadis-hadisnnya– beliau bersabda, ketahuilah bahwa mereka yang telah mendengar perkataanku memiliki kewajiban untuk memberitahukan dan menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. (al-Kafi 1/402 dan Bihar 2/152).

Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as –yang selalu berada di samping Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam–, dinukil bahwa Rasulullah Saw bersabda, semoga Tuhan merahmati para penggantiku. Beliau mengucapkan hal itu hingga tiga kali yang menandakan pentingnya masalah tersebut. Lalu para sahabat bertanya, siapa para penggantimu itu Ya Rasulullah?  Beliau menjawab, mereka datang setelahku dan meriwayatka hadis-hadis dan sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat. (Maani al-Akhbar)


Dengan memperhatikan penjelasan yang sangat terang yang dikutip dari sumber-sumber otentik Syiah dan Sunni itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk membenarkan langkah-langkah penyimpangan yang dilakukan setelah peristiwa Saqifah, yaitu mencegah penukilan dan pengumpulan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dan bahkan pembakaran untuk melenyapkannya.

Ada satu hal yang menarik dan mengejutkan dalam kasus tersebut, di mana para pendukung Saqifah menjustifikasi rencananya dengan mengklaim bahwa tujuan mereka mencegah penukilan hadis adalah untuk menjaga keaslian al-Quran. Padahal Allah Swt yang menurunkan al-Quran dan telah berjanji untuk menjaganya.

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." ( Surat al-Hijr ayat 9)

Selain itu, Rasulullah Saw telah menjelaskan al-Quran, di mana dengan menukil hadis-hadis beliau, maka kebenaran al-Quran akan terungkap dan pemahaman atas Kita Suci ini juga bisa diperoleh. Bukankah ayat-ayat al-Quran itu memiliki ayat nasikh dan mansukh, muhkamat dan mutasyabihat, dan khusus dan umum yang memerlukan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah Saw? Jika tafsir dan hadis dari beliau tidak digunakan, lalu bagaimana bisa menjelaskan maksud ayat-ayat itu?

Bagaimana mungkin bisa diterima bahwa para pendukung Saqifah mencegah penukilan hadis dan bahkan membakarnya dengan alasan menjaga keaslian al-Quranul Karim.