
کمالوندی
Keutamaan Batu Mulia Menurut Maksumin: Hadid Sin (Hematite)
Diriwayatkan, Imam Shadiq as berkata, "Aku suka setiap mukmin memakai lima cincin, [Akik, Turquoise (Pirus), Ruby (Sapphire), Hadidsin (Hematite) dan Dur Najaf] dan ketika berhadap-hadapan dan bersikap dengan musuh, aku tidak melihat kemakruhan untuk memakai cincin Hadid Sin, bahkan aku suka sehingga api kemunkaran mereka padam. Maka sesungguhnya cincin Hadid Sin menjauhkan jin dan manusia yang jahat dan bandel."* (IRIB Indonesia)
 
*Sumber: buku Sangha va Khavase Ejab Anggiz cetakan ke-18 halaman 104
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Tuhmat dan Tuduhan
Tuhmat dan Tuduhan
 
1. Imam Shadiq as berkata, "Ketika seseorang menuduh saudara seagamanya, maka iman akan terhapus dari hatinya seperti larutnya garam di dalam air."[1]
 
2. Imam Shadiq as berkata, "Setiap orang yang menuduh saudara seagamanya berarti tidak ada rasa hormat lagi di antara keduanya."[2]
 
3. Imam Ali as berkata, "Nilai perbuatan saudara seagamamu sebagai perbuatan yang paling baik, sehingga tiba sesuatu kepadamu yang meruntuhkan penilaianmu itu. Jangan berburuk sangka dengan ucapan yang keluar dari saudara seagamamu, sementara engkau menemukan kemungkinan baik dari ucapan itu."[3]
 
Penjelasan:
Setiap kali ucapan dan perilaku saudara seagamamu memiliki dua bentuk; baik dan buruk, maka selama manusia mampu, maka tafsirkan ke dalam makna yang baik, sekalipun ada kemungkinan itu berarti buruk. Dalam hal ini juga tidak dibolehkan seseorang untuk mengkaji dan menelusuri masalah ini, bahkan Allah Swt telah melarangnya, kecuali bila tidak menemukan jalan untuk menjustifikasi kebaikan darinya.
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hasud
Hasud
 
1. Imam Shadiq as berkata, "Sesungguhnya hasud memakan iman sebagaimana api memakan kayu bakar."[1]
 
2. Rasulullah Saw bersabda, "Hampir saja hasud mengalahkan Qadha dan Qadar."[2]
 
3. Imam Shadiq as berkata, "Penyakit agama adalah hasud."[3]
 
4. Imam Shadiq as berkata, "Seorang mukmin melakukan ghibthah dan tidak hasud, sementara orang munafik sebaliknya, justru melakukan hasud dan tidak ghibthah."[4]
 
Penjelasan:
Sifat hasud itu terjadi ketika Allah memberikan nikmat kepada saudara seagamamu dan engkau tidak ingin nikmat itu ada padanya, merasa tersiksa melihat nikmat itu dan berusaha untuk menghilangkannya darinya, baik nikmat yang seperti itu sampai kepadamu atau tidak. Sementara ghibthah engkau tidak punya urusan dengan nikmat yang diberikan kepada saudara seagamamu dan pada saat yang sama berharap mendapat nikmat yang seperti itu untuk dirimu.
 
Hasud menurut pandangan akal dan syariat sangat tercela. Karena hasud merupakan penyakit hati. Seseorang menginginkan keburukan saudaranya dan tersiksa dengan nikmat yang dimilikinya. Tapi yang paling buruk adalah dalam hasud ada bentuk protes akan keadilan ilahi dan sistem terbaik yang diciptakan di alam ini untuk manusia. Rasa tersiksa dalam diri orang yang hasud terkadang membuat panca inderanya bermasalah dan jiwanya sakit. Dengan demikian, perbuatan hasud itu musuh setiap orang. Sementara ghibthah atau persaingan sehat merupakan perbuatan yang dipuji dan baik. Dalam banyak ayat dan hadis terkadang diungkapkan dengan kata perlombaan seperti ayat "... dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba."[5] (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Berprasangka Baik
Berprasangka Baik
 
1. Rasulullah Saw bersabda, "Demi Zat yang tidak ada tuhan selain-Nya! Tidak pernah diberikan kepada seorang mukmin kebaikan dunia dan akhirat kecuali prasangka baik kepada Allah dan harapannya kepada Allah." Beliau kemudian melanjutkan, "Demi Zat yang tidak ada tuhan selain-Nya! Seorang hamba mukmin tidak akan berprasangka baik kepada Allah kecuali Allah bersama prasangka baiknya. Karena sesungguhnya Allah itu Karim dan segala kebaikan berada di tangan-Nya. Allah Swt akan malu bila hamba mukmin-Nya telah berprasangka baik kepada-Nya, sementara Dia berbuat yang bertentangan dengan prasangka baik dan harapan hamba-Nya. Oleh karenanya, senantiasa berprasangka baik kepada Allah dan semakin dekat kepada-Nya."[1]
 
2. Imam Shadiq as berkata, "Berprasangka baik kepada Allah bermakna jangan pernah berharap kepada selain-Nya dan yang paling ditakuti hanya dosamu sendiri."[2]
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Peran Imam Shadiq as dalam Memerangi Penyimpangan
Hari ini adalah tanggal 17 Rabiul Awal, dan menurut sebagian besar sejarawan Islam, 17 Rabiul Awal merupakan hari lahirnya Nabi Muhammad Saw, manusia yang paling sempurna dan paling dekat dengan Allah SWT. Hari ini juga hari lahirnya cucu Rasulullah Saw generasi kelima, Imam Jakfar Shadiq as yang akan menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran murni kakeknya.
 
Tanggal 17 Rabiul Awal tahun 83 Hijriah, Imam Shadiq as terlahir ke dunia di kota Madinah. Sampai usia 12 tahun, beliau diasuh oleh kakek beliau, Imam Sajjad as, dan 19 tahun kemudian, beliau di bawah bimbingan ayah beliau, Imam Muhammad Baqir as. Imam Shadiq as hidup di masa ketika Dinasti Bani Umayah sedang mengalami kemunduran dan Dinasti Bani Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh beliau untuk menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang murni dan hakiki.
Selain menguasai ilmu dan makrifat Islam, Imam Shadiq as juga menguasai ilmu kedokteran, kimia, matematika, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Pada masa hidupnya, beliau adalah sumber rujukan ilmu dan dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia untuk meminta jawaban atas berbagai persoalan ilmiah. Tercatat ada 4.000 murid yang belajar kepada Imam Shadiq as, di antaranya adalah Jabir bin Hayyan, seorang kimiawan muslim terkenal.
 
Periode Imam Shadiq as adalah kesempatan emas untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran suci Islam. Setelah wafatnya Rasulullah Saw, banyak terjadi penyimpangan terhadap ajaran-ajaran murni Islam, bahkan masyarakat lupa tentang bagaimana menunaikan shalat dan haji dengan benar. Hal itu disebabkan kesibukan mereka dengan berbagai urusan dunia seperti penaklukan wilayah atau negara, masalah keuangan dan berbagai persoalan lainnya.
 
Penyimpangan-penyimpangan itu terjadi sebagai dampak dari pelarangan penulisan hadis dan munculnya hadis-hadis palsu di tengah masyarakat Islam sejak masa kekuasaan Muawiyah. Agama Islam di masa itu dalam bahaya dan di ambang kehancuran. Sementara ilmu pengetahuan ditinggalkan dan terisolasi dan para ulama tidak memiliki sumber shahih untuk mengenalkan agama Islam. Selain itu, terjadi berbagai bentrokan dan konflik di antara kelompok-kelompok politik dan sosial. Perselisihan yang menyebabkan lemahnya pemerintahan Bani Umayah dan berdirinya pemerintahan Abbasiyah.
 
Situasi politik yang terbuka akibat lemahnya badan-badan pemerintahan di masa itu, dimanfaatkan oleh Imam Shadiq as untuk menyebarkan ajaran-ajaran murni Islam. Beliau melanjutkan gerakan ilmiah dan budaya yang sebelumnya dilakukan oleh ayahnya dengan membuka Hauzah Ilmiah di berbagai bidang ilmu dan mendidik ribuan murid. Murid-murid beliau yang menguasai ribuan hadis di berbagai cabang ilmu seperti tafsir, fikih, sejarah, akhlak, kalam, kedokteran, kimia dan lain sebagainya, sangat berpengaruh dalam menyebarkan hadis-hadis shahih Nabi Muhammad Saw dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Hal itu juga menjadi penghalang munculnya berbagai penyimpangan di tengah-tengah masyarakat Islam.
 
Murid-murid Imam Shadiq as yang mencapai 4.000 orang paling tidak telah mampu menghapus banyak penyimpangan dan syubhat, dan mengakhiri kemandekan budaya islami akibat pelarangan menukil hadis. Beliau mendorong dan mendidik setiap muridnya sesuai dengan bidang, bakat dan kapasitas murid tersebut. Hasilnya, setiap murid beliau mampu menguasai satu atau dua bidang ilmu seperti hadis, tafsir, ilmu kalam, dan cabang-cabang ilmu lainnya.
 
Menariknya, Imam Shadiq as meminta setiap muridnya untuk berbicara tentang cabang ilmu tertentu dan kemudian mendiskusikan hal itu dengan mereka. Metode ini bertujuan agar semua mengetahui keahlian apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mubaligh. Hisham ibn Salim, salah satu murid beliau mengatakan, "Ketika kami bersama Imam Shadiq as, seorang laki-laki dari Syam datang. Imam Shadiq as bertanya: apa yang Anda inginkan? Laki-laki itu menjawab: mereka mengatakan kepadaku bahwa Anda adalah orang yang paling pandai di antara masyarakat. Aku akan bertanya beberapa persoalan kepada Anda. Imam Shadiq as bertanya: mengenai apa? Orang itu menjawab: tentang al-Quran, huruf muqaththa`ah, sukun, rafa`, nasab dan jar.
 
Imam Shadiq as kemudian berkata, "Wahai Hamran ibn A`yun! kamu yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang itu." Lelaki dari Syam tersebut berkata: "Aku ingin Anda yang menjawabnya." Beliau berkata, "Jika Anda menang atas dia maka Anda telah mengalahkanku." Lelaki itu kemudian melontarkan berbagai pertanyaan kepada Hamran, tetapi ia mampu menjawab semua pertanyaannya hingga lelaki itu lelah dan kepada Imam Shadiq as ia berkata: "Ia lelaki yang pandai. Ia menjawab setiap pertanyaanku."
 
Atas nasihat Imam Shadiq as, Hamran bertanya balik kepada lelaki dari Syam tersebut, namun lelaki itu tidak mampu menjawabnya. Warga Syam itu kemudian kepada Imam as berkata: "Aku ingin berbicara dengan Anda tentang ilmu Nahwu dan sastra." Kemudian Imam Shadiq as memanggil Aban ibn Taglib untuk berdiskusi dengan lelaki tersebut mengenai Nahwu dan sastra. Kali ini, lelaki dari Syam tersebut juga kalah dalam berdebat dengan Aban. Namun ia tidak menyerah. Ia meminta kepada Imam Shadiq as untuk berdiskusi tentang fikih. Beliau kemudian meminta Zararah ibn A`yun untuk meladeni lelaki itu. Ketika lelaki itu meminta berdiskusi masalah ilmu Kalam, Imam Shadiq as menunjuk Mukmin al-Thaq. Di bidang ilmu tauhid, beliau menunjuk Hisham ibn Salim, dan di bidang Imamah, beliau menunjuk Hisham ibn al-Hakam untuk berdiskusi dengan lelaki dari Syam itu. Pada akhirnya, lelaki itu kalah dan semua pertanyaan dan persoalannya dijawab oleh murid-murid Imam Shadiq as.
 
Melalui perluasan budaya islami, Imam Shadiq as berusaha menghapus kebodohan umat Islam. Dari satu sisi, beliau berusaha memerangi kerusakan politik di Bani Umayah dan Abasiyah dan dari sisi lainnya, cucu Rasulullah Saw itu berusaha memerangi berbagai penyimpangan akidah, persepsi dan interpretasi keliru tentang agama.
 
Salah satu penafsiran keliru yang terjadi di masa itu adalah melakukan qiyas dalam hukum. Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Shadiq as melihat seorang laki-laki yang dikenal di masyarakat dengan ketakwaannya. Lelaki mencuri dua potong roti dan dengan cepat menyembunyikan roti-roti itu di balik bajunya. Ia kemudian mencuri dua buah delima dari seorang penjual buah dan melangkah menuju ke seseorang fakir yang sedang sakit. Ia memberikan dua potong roti dan dua buah delima itu kepada orang fakir tersebut.
 
Melihat perbuatan lelaki itu, Imam Shadiq as heran dan kepadanya ia bertanya; "Apa yang Anda lakukan." Ia menjawab, "Aku mengambil dua potong roti dan dua buah delima, dengan demikian aku telah melakukan empat kesalahan. Tetapi dalam al-Quran disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan buruk maka ia tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan perbuatannya itu. Oleh karena itu, dalam hal ini aku telah melakukan empat dosa. Sementara di sisi lain, Allah Swt berfirman, "Barang siapa melakukan satu perbuatan baik, maka akan dilipatgandakan 10 kali lipat." Karena aku telah memberikan dua potong roti dan dua buah delima kepada orang fakir itu, maka aku mendapatkan 40 kebaikan, dan jika dikurangi empat dosaku maka masih tersisa 36 kebaikan bagiku."
 
Untuk meluruskan penafsiran keliru yang diakibatkan oleh ketidakpahaman terhadap dasar-dasar pemahaman ayat itu, Imam Shadiq as membacakan Surat al-Maidah Ayat 27 yang artinya: " Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban (perbuatan baik) dari orang-orang yang bertakwa." Jadi, jika perbuatan tersebut tidak sah maka tidak akan mendatangkan pahala apapun. Pada dasarnya, menjauhi sumber wahyu akan menyebabkan munculnya orang-orang yang mengklaim memiliki ilmu tetapi sebenarnya tidak memahami dasar-dasar al-Quran dan agama.
 
Imam Shadiq as adalah sosok yang memiliki kesabaran dan toleransi yang tinggi. Beliau tidak hanya sopan dan ramah kepada umat Islam saja tetapi juga kepada pemeluk agama lain bahkan kepada orang-orang musrik dan kafir. Meski demikian, beliau sangat keras dan tegas terhadap kelompok ghulat yang membesar-besarkan Ahlul Bait as dan mensifati mereka dengan sifat-sifat yang Ahlul Bait as sendiri tidak menerimanya.
 
Keyakinan kelompok-kelompok ghulat adalah ancaman besar bagi dunia Islam. Imam Shadiq as yang memahami ancaman itu segera mengambil langkah-langkah untuk memerangi pemikiran keliru dan ekstim tersebut. Sebab, kecintaan yang bercampur dengan kebodohan akan melemahkan setiap akar keyakinan dan agama. Situasi itu juga akan membuka peluang bagi musuh untuk menghantam Islam. Salah satu langkah Imam Shadiq as dalam memerangi kelompok ghulat adalah memberikan petunjuk kepada masyarakat ke jalan yang benar, menjelaskan akidah murni Islam dan mengungkap keyakinan keliru kelompok-kelompok tersebut.
 
Dengan demikian, Imam Shadiq as telah memisahkan antara yang haq dan yang batil. Beliau melarang keras masyarakat untuk duduk bersama dengan orang-orang ghulat dan memperingatkan kaum muda tentang bahaya akidah kelompok sesat itu. Imam Shadiq as berkata, "Hendaklah pemuda-pemuda kalian waspada terhadap orang-orang ghulat supaya mereka tidak dirusak oleh kelompok tersebut. Sebab, orang-orang ghulat adalah seburuk-buruknya ciptaan Tuhan. Mereka meremehkan kebesaran Tuhan dan mengklaim hamba Tuhan sebagai Tuhan. Aku bersumpah bahwa orang-orang ghulat lebih buruk dari pada Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang musrik."
 
Imam Shadiq as di setiap kesempatan selalu menentang pemerintahan-pemerintahan taghut. Beliau tidak pernah menyerah terhadap tekanan dinasti-dinasti zalim di masa itu. Beliau bahkan selalu memerangi kejahatan pemerintah taghut dan akhirnya meneguk cawan kesyahidan pada tahun 148 Hijriah.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hak Mukmin atas Saudaranya
Hak Mukmin atas Saudaranya
 
1. Imam Shadiq as berkata, "Tidak ada ibadah yang lebih baik dari menunaikan hak seorang mukmin."[1]
 
2. Imam Baqir as berkata, "Termasuk hak seorang mukmin atas saudara seiman adalah mengenyangkannya, menutupi auratnya, membantu kesulitannya, membayar utangnya dan bila ia meninggal maka hendaknya mencarikan penggantinya di antara keluarga dan anak-anaknya."[2]
 
3. Imam Shadiq as berkata, "Termasuk hak seorang mukmin atas saudara seiman adalah mencintainya, membantu harta, dan bila ia meninggal, maka hendaknya mengasuh anak-anaknya dan membantunya bila ada yang menzaliminya."[3]
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hak Tetangga
Hak Tetangga
 
1. Rasulullah Saw bersabda, "Tetangga seperti diri sendiri, tidak merugikan dan juga tidak berdosa. Menghormati tetangga sama dengan menghormati ibu."[1]
 
2. Imam Shadiq as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga akan menambah rezeki."[2]
 
3.Imam Shadiq as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga akan membuat rumah lebih makmur dan menambah umur."[3]
 
4. Imam Kazhim as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga bukan hanya tidak mengganggunya, tapi bersabar atas gangguannya."[4]
 
5. Imam Shadiq as berkata, "Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak berbuat baik dengan tetangganya bukan dari kita."[5]
 
6. Imam Shadiq as berkata, "Seorang mukmin adalah orang yang melindungi tetangganya dari gangguan dan kezalimannya."[6]
 
7. Rasulullah Saw bersabda, "Tetangga terhitung sampai 40 rumah, baik itu dari depan, belakang, kanan dan kiri."[7]
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Revolusi Islam Iran dan Ajaran Ahlul Bait as
Hari ini merupakan hari kelahiran Imam Hasan Askari as, salah satu manusia suci dan keturunan Rasulullah Saw dan bertepatan dengan hari kemenangan Revolusi Islam Iran. Hari yang penuh dengan catatan bersejarah bagi bangsa Muslim Iran. Seraya mengucapkan selamat atas kelahiran manusia suci Imam Hasan Askari as dan kemenangan Revolusi Islam, dalam kesempatan ini kami mencoba untuk mengkaji sejarah kehidupan manusia suci ini dan pengaruhnya terhadap terbentuknya Revolusi Islam serta keberlanjutannya.
 
Ahlul Bait Nabi Saw merupakan teladan kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Oleh karena itu, Rasulullah menyebut mereka sebagai salah satu peninggalan dan warisannya yang sangat berharga yang beliau tinggalkan untuk umat manusia khususnya umat Islam. Menurut Nabi setelah al-Quran, Ahlul Baitnya menempati posisi kedua sebagai penyelamat umat manusia.
 
Imam Hasan Askari dilahirkan di Madinah pada tahun 232 Hijriah. Setelah kesyahidan ayahnya (Imam Hadi as), Imam Hasan Askari di usia 22 tahun memegang tampuk imamah dan kepemimpinan umat Islam, untuk memberi hidayah umat manusia ke jalan kebenaran dan keadilan atas perintah Allah Swt. Masa keimamahan Imam Hasan selama enam tahun dan selama itu beliau banyak mendapat tekanan serta kesulitan yang besar. Sementara itu, penguasa Bani Abbasiyah menerapkan pembatasan ketat kepada Imam Hasan.
 
Fase kehidupan dan era keimamahan Imam Hasan Askari sangat sulit dan sensitif, khususnya mengingat kelahiran anak beliau yang menjadi imam keduabelas, Imam Mahdi as. Hal ini dikarenakan kehidupan Imam Hasan diawasi secara ketat oleh agen-agen Bani Abbasiyah dan ketika anak dari Imam Maksum ini lahir maka akan segera dibunuh. Namun dengan perlindungan Allah Swt, Imam Mahdi as lahir kedunia dengan selamat dan setelah syahidnya Imam Hasan Askari, beliau mengalami masa ghaib untuk kemudian muncul kembali di tengah masyarakat atas ijin Allah serta memerangi segala kezaliman, kekafiran dan menebarkan keadilan di atas muka bumi.
 
Program utama para Ahlul Bait Nabi as adalah upaya untuk mendidik moral umat Islam, memerangi kezaliman serta kefasadan di muka bumi. Ucapan dan sejarah hidup mereka dalam masalah ini menjadi penerang umat Islam setelah al-Quran. Revolusi Islam Iran juga terbentuk dengan mengilhami ajaran suci ini dan menemukan jalannya di dunia materialis modern. Revolusi Islam Iran sebagai salah satu fenomena penting dalam sejarah kontemporer memiliki tiga pilar utama yakni agama, rahbar (pemimpin) dan rakyat yang berdiri saling sejajar. Dalam hal ini yang mengkoordinasi ketiga pilar ini adalah inspirasi besar kebangkitan ini dari sejarah Nabi dan Ahlul Bait as. Pengaruh ini sangat kuat dan di segala bidang sehingga membuat Revolusi Islam tercatat sebagai kebangkitan yang muncul atas inspirasi tuntutan atas kebenaran dan menolak kezaliman yang diajarkan oleh Ahlul Bait as.
 
Revolusi Islam banyak mengambil pelajaran berharga dari Ahlul Bait as seperti merujuk pada ajaran murni Islam, resistensi terhadap kezaliman dan arogansi kekuatan dunia serta reformasi masyarakat Islam. Dalam peristiwa Revolusi Islam, dunia menyaksikan bahwa bangsa Muslim Iran meski melontarkan tuntutan ekonomi, namun mereka lebih menekankan isu spiritual seperti memerangi dekadensi moral, menghidupkan nilai-nilai agama serta merealisasikan keadilan.
 
Spirit seperti ini telah memberi kekuatan besar terhadap resistensi rakyat. Dalam logika Revolusi Islam, spiritualitas dan moral memiliki posisi sangat penting. Para revolusioner yang agamis selain memerangi diktator juga berusaha mendidik dan memperbaiki jiwanya. Imam Khomeini dalam berbagai nasehatnya sangat menekankan upaya mendidik dan memperbaiki diri. Dalam hal ini Imam Khomeini berkata, "Selama manusia belum terdidik, maka mereka membahayakan masyarakat. Tidak ada makhluk yang sangat berbahaya kecuali manusia dan manusia yang terdidik paling bermanfaat bagi masyarakat. Dan sekali lagi tidak ada makhluk yang sangat bermanfaat kecuali manusia terdidik. Poros dari alam semesta ini ada pada pendidikan manusia."
 
Oleh karena itu, ketika Imam Hasan Askari menulis surat kepada salah satu muridnya yang bernama Abu al-Hasan Ali bin Husein Qomi yang tercatat sebagai salah satu ahli fiqih terkenal di zamannya, beliau menjelaskan dimensi manusia yang terdidik dengan ajaran Islam dan beliau pun menginginkan pengikutnya merupakan orang-orang yang terdidik dengan nilai-nilai agama.
 
Imam Hasan dalam suratnya menulis, "Wahai ahli fiqih dan orang kepercayaanku! Semoga Allah memberimu taufik untuk melakukan perbuatan terpuji. Aku nasehatkan kepadamu untuk bertakwa, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Aku wasiatkan kepadamu untuk memaafkan kesalahan orang lain, menahan kemarahan dan menyambung tali silaturahmi. Berusahalah untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu. Jangan pernah berpisah dengan al-Quran dan laksanakanlah amr bil maruf nahi anil munkar."
 
Nasehat Imam Hasan Askari ini merupakan piagam bagi kehidupan masyarakat agamis, di mana ketika setiap anggota masyarakat menerapkan nasehat tersebut maka mereka akan mampu memberikan bantuan bagi terciptanya sebuah masyarakat ideal. Ini adalah sebuah masyarakat ideal yang berhasil direalisasikan oleh Revolusi Islam Iran. Revolusi Islam ibarat cahaya terang di tengah kegelapan memberikan ide bahwa moral dan spiritual harus mengisi seluruh dimensi kehidupan manusia termasuk politik. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap pemimpin dan politikus untuk menjadikan takwa, keadilan dan kebenaran sebagai programnya sehingga perdamaian dan keadilan dapat diterapkan di dunia.
 
Seiring dengan munculnya Revolusi Islam, maka sirah Nabi dan hukum agama kembali dapat terealisasi. Revolusi Islam yang muncul di penghujung abad ke 20 merupakan awal dari gerakan dan perubahan baru di dunia. Munculnya fenomena ini yang diwarnai oleh esensi agama menunjukkan bahwa Islam sebagai oleh-oleh dari kerja keras Nabi Muhammad dan para Ahlul Baitnya tidak terbatas pada zaman dan tempat tertentu. Nilai-nilaidan kabar gembira universal Islam ditujukan kepada seluruh umat manusia. Sementara itu, harapan terkait petunjuk bagi umat manusia tetap hidup sepanjang masa. Imam Khomeini untuk menghidupkan Islam telah menempuh jalur kebangkitan yang pernah ditempuh oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait beliau, yakni sebuah gerakan yang dilandasi oleh ketauhidan dan penuh dengan iman serta keikhlasan.
 
Memerangi kezaliman, salah satu dari ajaran lain Ahlul Bait Nabi as. Kabar gembira kemenangan kaum mustadhafin terhadap kaum arogan serta terealisasinya pemerintahan kaum saleh di atas muka bumi yang juga merupakan kabar gembira al-Quran, juga banyak ditemukan dalam perkataan para Imam Maksum as. Dalam hal ini, Imam Hasan Askari as dalam sabdanya kerap menyinggung masalah ini khususnya ketika berbicara mengenai kelahiran anaknya, Imam Mahdi as.
 
Dalam suratnya kepada Abu al-Hasan bin Husein Qomi, Imam Hasan Askari mengungkapkan posisi anaknya, Imam Mahdi as dan mempersiapkan opini publik untuk menghadapi masa ghaib anaknya serta beliau memberi kabar gembira bahwa ketika al-Mahdi muncul maka hari itu adalah hari kesealmatan dan terbebasnya orang-orang bertakwa. Dalam suratnya Imam Hasan Askari menulis, "Aku nasehatkan kepadamu untuk bersabar dan menanti kemunculan sang penyelamat yang dijanjikan. Ia adalah anakku dan ia akan bangkit pada suatu hari serta akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah diselimuti oleh kegelapan dan kezaliman. Bersabarlah dan perintahkan kepada pengikutku untuk bersabar, karena kemenangan milik orang-orang bertakwa."
 
Imam Hasan Askari mengerahkan segenap upayanya untuk menyadarkan manusia akan posisi Imam Mahdi as dan keimanan serta keyakinan mereka atas ghaibnya sang penyelamat tidak rusak. Imam Hasan Askari tengah mendidik generasi yang sadar sehingga terbuka keberlangsungan pendidikan kepada generasi berikutnya di era ghaibnya Imam Mahdi as. Di bagian lain, Imam Hasan Askari bersabda, "Wahai pengikutku! Kelompok yang beruntung dan suci adalah mereka yang menjaga ajaran kami dan mereka menjadi benteng terhadap orang-orang zalim serta membantu pekerjaan kami."
 
Kebangkitan rakyat Iran menentang kezaliman dan kefasadan adalah gerakan mereka yang diberi kabar gembira oleh Imam Hasan Askari. Rakyat yang dengan mengambil pelajaran dari tuntutan Ahlul Bait berusaha untuk mempersiapkan kemunculan sang penyelamat dunia (al-Mahdi). Untuk mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi diperlukan kesiapan, perubahan ideologi dan budaya umat manusia. Oleh karena itu, setiap mukmin harus melakukan kewajibannya dan siap menanti kemunculan al-Mahdi. Mereka pun harus mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi dengan gerakan revolusioner dan memperbaiki kefasadan serta menyadarkan umat manusia. Revolusi Islam Iran juga muncul demi merealisasikan tujuan mulia ini.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Rasa Malu
Rasa Malu
 
1. Imam Shadiq as berkata, "Rasa malu berasal dari iman dan tempat iman di surga."[1]
 
2. Imam Baqir atau Imam Shadiq as berkata, "Rasa malu dan iman senantaisa bersama dan saling mendukung, bila satu dari kedua pergi, maka yang lain akan mengikutinya."[2]
 
3. Imam Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang tidak punya rasa malu, berarti ia tidak punya iman."[3]
 
4. Rasulullah Saw bersabda, "Rasa malu itu ada dua; akal dan kebodohan. Rasa malu akal itulah ilmu dan rasa malu kebodohan itulah ketidaktahuan."[4]
 
5. Imam Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang tidak percaya diri akan kurang ilmunya."[5]
 
Penjelasan:
Karena biasanya orang yang malu untuk bertanya, maka masalah keilmuan yang dihadapinya tidak akan terselesaikan.
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Menahan Diri
Menahan Diri
 
1. Imam Sajjad as berkata, "Sesungguhnya orang yang dapat menahan diri saat marah sangat menakjubkan saya."[1]
 
2. Imam Shadiq as berkata, "Menahan diri cukup untuk menolong seseorang. Bila anda bukan orang yang mampu menahan diri, maka usahakan dirimu mampu menahan diri."[2]
 
3. Imam Baqir as berkata, "Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang pemalu yang dapat menahan dirinya dan orang yang menjaga kehormatannya yang mencintai hal-hal yang suci."[3]
 
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.