کمالوندی

کمالوندی

Senin, 03 Oktober 2022 22:34

Imam Askari Sang Pelita Penerang Umat

 

Tanggal 8 Rabiul Awal tahun 260 Hijriyah adalah hari kesedihan dan duka bagi kota Samarra, karena berita kesyahidan Imam Hasan al-Askari as di usia muda telah menyelimuti setiap sudut kota. Pasar-pasar diliburkan dan hari ini masyarakat – yang selama ini menyembunyikan kecintaan mereka kepada Imam, karena penindasan penguasa – meluapkan perasaan mereka dan bergegas menuju ke rumah duka.

Imam Askari adalah imam kesebelas bagi para pengikut Syiah dan ia dilahirkan di kota Madinah pada tahun 232 H. Ayahnya adalah imam ke-10, Imam Ali al-Hadi as dan ibunya bernama Haditsah. Sejak Imam Askari dipaksa oleh Khalifah Abbasiyah untuk tinggal di distrik militer di Samarra, sejak itu ia dikenal dengan julukan "Askari." Di antara gelar-gelarnya yang paling terkenal adalah Naqi dan Zaki dan ia dijuluki dengan Abu Muhammad. Ia berusia 22 tahun ketika ayahnya gugur syahid.

Masa kepemimpinan Imam Askari hanya berlangsung enam tahun dan ia hidup selama 28 tahun. Ia dimakamkan di rumahnya sendiri di kota Samarra, di samping makam ayahnya. Priode Imamah dan kepemimpinan Imam Hasan al-Askari bertepatan dan bersamaan dengan tiga Khalifah Abbasiyah; Mu’taz Abbasi, Muhtadi, dan Mu’tamid.

Kehidupan orang-orang besar sarat dengan pelajaran berharga dan petuah luhur. Manusia yang sedang mencari hidayah dan kebahagiaan harus mengikuti jalan mereka, yang alim dan bertakwa. Imam Askari adalah salah satu bintang penunjuk jalan, di mana sifat dan perilakunya mencerminkan ketinggian ilmu dan makrifatnya.

Imam Askari as adalah pribadi yang selalu larut dalam ibadah kepada Allah Swt, hari-harinya dihabiskan dengan berpuasa dan malam-malamnya dengan bermunajat. Ia adalah orang yang paling saleh di masanya. Muhammad Syakiri, salah seorang sahabat imam berkata, "Imam Askari as berkhalwat di mihrab untuk beribadah dan bersujud. Aku tidur dan terbangun, dan menyaksikan dia masih larut dalam ibadahnya."

Syahadah Imam Hasan Askari as
Setelah kesyahidan Imam Hadi as, Imam Hasan al-Askari bertanggung jawab atas kepemimpinan kaum Muslim ketika ia berusia 22 tahun. Selama enam tahun periode Imamah, ia selalu berada di bawah pengawasan mata-mata dan intelijen penguasa Abbasiyah. Ketika kebodohan dan bid'ah menguasai atmosfer kehidupan pada masa itu, Imam Askari bangkit untuk menjelaskan hakikat agama kepada para pencari kebenaran. Imam berusaha keras untuk mempertahankan ajaran Islam murni.

Imam Askari as memberi pencerahan kepada masyarakat tentang penyimpangan berbagai mazhab dalam Islam dan menunjukkan jalan kepada umat untuk meraih keselamatan. Para musuh bahkan mengakui keutamaan, keberanian, dan perjuangan Imam Askari.

Bahkan salah satu menteri Dinasti Abbasiyah, Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan akhlak dan keluhuran ilmu Imam Askari. Dia berkata, "Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, yang dipuji oleh sahabat dan disegani musuhnya."

Mengenai keutamaan Imam Askari as, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Para pengikutnya, masyarakat Syiah, pihak lawan, dan orang-orang yang tidak beriman, semua mengakui tentang keutamaan Imam Askari, derajat ilmunya, ketakwaannya, kesuciannya, dan keberaniaanya di hadapan musuh. Mereka juga mengakui kesabaran dan ketahanan dia dalam menghadapi kesulitan. Manusia hebat ini dan sosok yang luar biasa ini, baru berusia 28 tahun ketika syahadah menjemputnya."

"Dalam sejarah Syiah, kita punya banyak contoh-contoh ini. Ayah dari Imam zaman kita, dengan semua kebajikannya, dengan semua kedudukannya, dengan semua kemuliannya, ketika meninggal dengan racun dan kejahatan musuh, ia baru berusia 28 tahun; ini menjadi sebuah teladan, para pemuda merasa memiliki seorang teladan yang hebat," jelas Ayatullah Khamenei.

Rahbar menerangkan bahwa ini adalah Imam Askari as, yang gugur syahid pada usia 28 tahun. Semua keutamaan ini, semua kemuliaan ini, dan semua keagungan ini, tidak hanya sebatas pengakuan kita, tetapi juga diakui oleh musuh-musuhnya, lawan-lawannya, dan orang-orang yang tidak meyakini Imamah, semua orang mengakui ini.

Gerak-gerik Imam Askari benar-benar diawasi dan dibatasi oleh penguasa Abbasiyah dan rezim menerapkan kebijakan represif terhadapnya. Imam hidup selama 28 tahun, tapi dalam waktu singkat itu, ia memiliki pengaruh yang sangat efektif di tengah masyarakat pada masa itu. Kesyahidan Imam di usia muda, menunjukkan bahwa khalifah tiran Abbasiyah sangat khawatir dengan keberadaan sosok yang berpengaruh di tengah masyarakat. Imam Askari selalu mengajak masyarakat untuk waspada dan mengkritik kebijakan para penguasa tiran.

Syahadah Imam Hasan Askari as
Bagaimana mungkin seseorang seperti Imam Hasan al-Askari memilih diam ketika masyarakat menderita kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Dengan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi, Imam berjuang untuk memberikan wawasan politik dan kebangkitan pemikiran di tengah para pengikutnya.

Para penguasa Abbasiyah menghidupkan permusuhan lama mereka terhadap Ahlul Bait as dengan mengurung Imam Askari dan menciptakan hambatan bagi kontak langsung masyarakat dengan beliau. Imam Askari berhasil menyebarkan ilmunya di masyarakat, di tengah kondisi tidak kondusif dan pembatasan ekstrim yang dipaksakan oleh Dinasti Abbasiyah.

Di tengah tekanan dan kondisi mencekam, Imam Askari berhasil mendidik murid-muridnya, yang kemudian memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberantas syubhat. Syeikh Thusi mencatat bahwa murid-murid Imam Askari melebihi dari 100 orang, dimana antaranya adalah tokoh-tokoh besar seperti, Ahmad Asy'ari Qummi, Usman ibn Sa'id Amri, Ali ibn Ja'far, dan Muhammad ibn Hasan Saffar.

Imam Hasan al-Askari memiliki tempat khusus di kalangan para imam maksum, karena beliau harus mempersiapkan pengikut Ahlul Bait as untuk memasuki periode keghaiban Imam Mahdi as. Kegiatan politik paling menarik dari Imam Askari adalah penguatan basis politik para tokoh Syiah untuk menghadapi sulitnya perjuangan dalam membela cita-cita agama.

Karena para tokoh Syiah berada di bawah tekanan hebat, Imam Askari berusaha untuk meningkatkan kesabaran dan kesadaran mereka akan tekanan dan pembatasan, sehingga mereka mampu memikul tanggung jawab sosial, politik dan, agamanya dengan baik.

Imam Askari bahkan menulis surat kepada Ali ibn Husein ibn Babuyeh Qummi, salah seorang fuqaha besar Syiah, untuk memberikan petunjuk dan arahan yang diperlukan. Imam menulis, "Bersabarlah dan tunggulah kemunculan Imam Mahdi, karena Rasulullah Saw bersabda, 'Perbuatan terbaik umatku adalah menanti datangnya Imam Mahdi.' Pengikut Syiah kita akan terus-menerus dalam kesedihan sampai putraku, Imam Keduabelas, muncul; sosok yang dikabarkan oleh Rasul akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebajikan, setelah ia dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan."

Pada kesempatan ini, kami telah memilih sebuah kata mutiara dari kata-kata hikmah Imam Hasan al-Askari. Ia berkata, "Aku mewasiatkan kalian dengan takwa kepada Allah Swt, taat dalam agama, berjuang di jalan Allah, bersikap jujur, menunaikan amanah atas apa yang dititipkan kepada kalian – apakah itu baik atau buruk – memperpanjang sujud, dan bersikap baik dengan tetangga, di mana Rasulullah diutus untuk itu."

"Saat seseorang menyaksikan kalian taat dalam beragama, jujur dalam bertutur kata, amanah, dan berakhlak mulia dengan masyarakat, dia akan berkata bahwa engkau adalah orang Syiah, dan ini akan menyenangkan hati saya. Takutlah kepada Allah, jadilah hiasan kami, bukan mempermalukan kami. Bawalah kebaikan ke sisi kami dan jauhkan keburukan dari hadapan kami. Setiap hal baik yang dikatakan, ada dalam diri kita, dan setiap kejahatan yang dikaitkan dengan kami, kita jauh dari itu."

"Ingatlah selalu nama Allah dan jangan lupakan kematian. Teruslah membaca al-Quran dan kirimkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, karena ada 10 kebaikan dalam shalawat kepada nabi. Jagalah wasiatku, aku menitipkan kalian kepada Allah Swt dan aku menyampaikan salam kepada semua."

 

Berbagai sumber media mengkonfirmasi bentrokan antara pasukan Suriah dan militer Amerika Serikat di selatan kota Qamishli.

Krisis Suriah meletus sejak tahun 2011 seiring dengan serangan besar-besaran kelompok teroris dukungan Arab Saudi, Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengubah konstelasi kawasan demi keuntungan rezim Zionis Israel.

Menurut laporan al-Mayadeen Kamis (6/10/2022), berbagai sumber media Suriah mengkonfirmasi operasi heliborne di Provinsi Hasakah dan bentrokan mereka dengan militer Suriah di selatan kota Qamishli dan menyatakan, selama bentrokan tersebut satu orang tewas dan dua lainnya terluka.

Berdasarkan laporan ini, bentrokan antara militer Suriah dan militer Amerika di selatan Qamishli setelah operasi heliborne pasukan koalisi Amerika di sebuah desa di sekitar Provinsi Hasakah di timur laut.

Kehadiran ilegal militer Amerika Serikat di wilayah timur dan timur laut Suriah selain merampok sumber minyak dan kekayaan Suriah, juga mengakibatkan instabilitas dan upaya kelompok teroris Daesh (ISIS) untuk melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah dan rakyat Suriah.

 

Wakil Hizbullah di Parlemen Lebanon mengatakan, jika Rezim Zionis Israel berusaha melakukan pengeboran minyak dan gas sebelum mencapai kesepakatan dengan Lebanon, maka Hizbullah akan menggunakan opsi militer.

Dikutip situs Al Araby Al Jadeed, Kamis (6/10/2022), Hussein Jashi mengumumkan, "Jika Lebanon dan Rezim Zionis tidak mencapai kata sepakat terkait penetapan garis batas laut, maka Israel tidak akan pernah punya kesempatan untuk melakukan pengeboran minyak dan gas di ladang Karish."

Menurutnya, Lebanon bukanlah negara lemah, sehingga Israel bisa seenaknya melakukan pengeboran minyak dan gas di wilayah-wilayah sengketa.

"Lebanon, angkatan bersenjata, rakyat dan kelompok perlawanannya sangat serius, dan tidak menginginkan perang, akan tetapi tidak akan pernah mundur dari haknya," tegas Jashi.

Ia menegaskan, "Situasi yang berkembang dalam negosiasi tidak langsung antara Lebaon dan Rezim Zionis, positif, dan penentangan Israel hanyalah manuver, karena ia tidak punya opsi lain selain mencapai kesepakatan."

Rencananya hari Kamis, Kabinet Keamanan Israel akan menggelar pertemuan untuk membahas usulan Amerika Serikat terkait penetapan garis batas laut Lebanon dan Rezim Zionis. 

 

Direktur Dinas Intelijen Rezim Zionis Israel, Mossad menanggapi kemungkinan gagalnya perundingan penetapan batas laut dengan Lebanon. Menurutnya, Hizbullah kemungkinan akan menyerang posisi-posisi Israel.

David Barnea, Jumat (7/10/2022) seperti dikutip Kanal 12 televisi Israel, mengatakan, "Sekjen Hizbullah terang-terangan menyatakan tidak akan memberikan kesempatakan kepada Israel untuk melakukan pengeboran minyak dan gas di Karish, jika kesepakatan tidak dicapai."
 
Ia menambahkan, ada kekhawatiran Hassan Nasrullah kemungkinan akan menepati janjinya, dan meski "simbolik" ia akan melancarkan serangan.
 
Sebelumnya Menteri Perang Israel, Benny Gantz memerintahkan pasukannya siaga perang untuk beberapa hari, pasalnya menurut klaim para pejabat Zionis, kemungkinan konfrontasi baru dengan Hizbullah, semakin menguat.
 
Menurut situs Axios, mengutip tiga pejabat Israel, perubahan draf kesepakatan terpenting yang dituntut Lebanon, terkait dengan pengakuan resmi jalur pelayaran laut sebagai perairan internasional.
 
Sementara Israel, mengklaim jalur ini merupakan manfaat keamanan utama baginya, dan stabilitas jalur ini dengan alasan-alasan keamanan, sangat penting bagi Zionis. 

 

Wakil pertama Presiden Iran mengatakan, Iran dan Rusia bisa menggunakan mata uang nasional masing-masing dalam transaksi perdagangan, tanpa mata uang asing.

Mohammad Mokhber, Kamis (6/10/2022) petang di sela Forum Ekonomi Laut Kaspia ke-2, menggelar pertemuan dengan para gubernur dan kepala daerah Rusia. Dalam pertemuan ini, Mokhber menilai kapasitas daerah-daerah Rusia, penting dan konstruktif untuk meningkatkan level kerja sama.

Ia menuturkan, laporan dari para kepala daerah Rusia, menunjukan bahwa pengembangan hubungan dagang dua negara, merupakan masalah yang mungkin dicapai.

Menurut Mokhber, Iran dan Rusia adalah dua negara sahabat dan tetangga. Keduanya dapat menggunakan mata uang nasional masing-masing dalam transaksi perdagangan, tanpa perlu pada mata uang asing. Dengan demikian permintaan akan mata uang nasional akan meningkat, sehingga nilainya semakin kuat.

Forum Ekonomi Laut Kaspia ke-2 diselenggarakan di Moskow, Rusia, dan diikuti oleh lima negara pesisir Laut Kaspia yaitu Iran, Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Republik Azerbaijan. 

Kamis, 22 September 2022 05:28

Fatwa Media Sosial (2)

 

Dalam pesan yang disampaikannya kepada Malik al-Asytar, Imam Ali mengatakan:

ولا تعجلن الی تصدیق ساع فان الساعی غاش و ان تشبه بالناصحین

Janganlah engkau terburu-buru untuk membenarkan berita pemfitnah/pengadu domba sebab pengadu domba adalah pengkhianat dan penipu, meskipun ia berpenampilan sebagai pemberi nasihat (Nahj al-Balaghah, Faidh al-Islam, hal. 998, nomer 53).

Begitu juga di bidang penyebaran berita dan penggunaan jejaring sosial, kita harus hindari penyebaran rumor dan isu. Sebab, Al-Qur’an memerangi dan menentang keras hal-hal seperti itu, khususnya bila isu yang disebar rentan menimbulkan perpecahan, mengancam keamanan dan kenyamanan sosial dan psikologis masyarakat (Qs. al Ahzab: 60, 62, an Nisa 83)

Allah berfirman:

(Ingatlah) ketika kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.

Dan mengapa kamu tidak berkata, ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau,  ini adalah kebohongan yang besar.”  Allah menasehati kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.

Dalam surat an-Nur ayat 15-17 tersebut, Allah melarang dan mengingatkan secara keras supaya kita menghindari penyebaran kebohongan dan berita hoax dan menilainya sebagai dosa besar. namun Al-Quran membolehkan bahkan menegaskan perihalkebolehan dan bahkan keharusan menentang orang zalim dan membongkar aib/kedoknya. Sebab dalam surat an-Nisa’ ayat 84, Allah menegaskan bahwa perkataan buruk dan cemoohan kepada orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji namun diperbolehkan cibiran kepada orang yang zalim.Jadi, bila diizinkan untuk mencela kezaliman orang yang zalim maka tentu saja menjelaskan dan menyebarkan kelaliman orang yang lalim bukan hanya dibolehkan namun justru diwajibkan. Mengapa? karena Allah tidak akan pernah membiarkan kezaliman dan menganggapnya sebagai dosa besar, Oleh karena itu, menyebarkan dan mengekspos kejahatan orang zalim diperbolehkan bahkan diharuskan.

Allah Swt dalam beberapa ayat, di antaranya surat an-Nisa’ ayat 75 memprotes orang-orang mukmin dan mempertanyakan mengapa mereka tidak memerangi orang-orang zalim dan para tiran supaya mustadhafin (orang-orang lemah) terbebaskan dari cengkraman kejahatan dan kebiadaban mereka. dan pada hakikatnya, Allah menghendaki jihad dan perang dilakukan dalam rangka membebaskan orang yang teraniaya dan orang yang lemah, dan Dia ingin supaya masyarakat mengorbankan jiwanya sekalipun dijalan kemuliaan ini.Oleh karena itu, bi thariqin aula (secara lebih utama dan lebih prioritas serta lebih diizinkan) dapat dikatakan bahwa berteriak dan menentang orang orang yang zalim untuk membela orang yang terzalimi adalah hal yang wajib.

Jadi, memerangi kezaliman adalah jalan para nabi. Oleh karena itu, Nabi Musa saat menjelaskan syukur nikmat yang diperolehnya, beliau berbicara tentang pembelaan terhadap orang yang teraniaya dan mengatakan:

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, oleh karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa –

(QS.al-Qashash, 17).

Maka, kecenderungan dan pemihakan serta penjilatan kepada orang yang zalim (baik penguasa maupun pengusaha atau pun tokoh yang buruk akhlak) di media sosial adalah hal yang tercela. Sebab, ketertarikan terhadap orang zalim termasuk dalam kategori perlindungan dan pembelaan kepada kezaliman yang Allah dalam surat Hud ayat 13 mengancamnya dengan siksaan neraka. Ancaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan seperti ini dianggap sebagai dosa besar.

AyatullahSayed Ali Khamene’i mengemukakan masalah ghibah (menggunjing) saat membahas buktieksternalfikih media sosial. Dan beliau menyampaikan (berfatwa):

“Salah satu masalah yang harus kita perhatikan dan kita harus menyampaikan halini dan mereka harus kita ajarkan halini adalah hendaklah mereka memperhatikan bahwa hanya dengan asumsi bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, yaitu mereka seenaknya dan sebebasnya menyampaikan berita dengan tangan mereka,pena mereka atau bloq/situs mereka.Tentu tidak demikian. Sebab,seluruh sarana modern sekarang terkena hukum ini. Yaitu membaca (tulisan)di blog/situs seperti membaca  kertas, kitab dan surat dan seperti mendengarkan suatu kata. Praktik mendengarkan ghibah juga mencakup semua masalahini. Dengan kata lain,parameter ghibah juga bisa diterapkan di sini. Sebab, ghibah tidak mesti harus menggunakan telinga/pendengaran. Bisa saja ghibah terjadi dengan membaca suatu surat. Kami telah tegaskan masalah ini dalam pembahasan masalah istima’ (proses mendengarkan).

Penggunaan kamera juga demikian. Misalnya, andaikan ada seseorang melakukan suatu kesalahan lalu ada orang lain yang melihatnya dan kemudian ia merekamnya dan kemudian menyebarkannya di tempat lain maka ini tidak ada bedanya (sama dengan ghibah).” (Disampaikan pada Jalsah Dars Kharij Fikih, 7/10/89)

Kamis, 22 September 2022 05:28

Fatwa Media Sosial (1)

 

Salah satu masalah akhir-akhir ini yang menyeruak ke permukaan adalah kajian fikih sosial. Perkembangan tehnologi yang begitu cepat tidak dapat dipungkiri telah memengaruhi secara signifikan gaya hidup dan model hubungan yang dibangun antara manusia. Hal ini di satu sisi membawa dampak positif karena jalinan komunikasi dan persahabatan antara pelbagai individu dan masyarakat manusia menjadi sangat mudah dan cair. Namun di sisi lain kemajuan sains ini bila tidak diimbangi dengan akhlak dan kesadaran religius yang memadai tentu akan membawa pengaruh negatif yang alih-alih mempersatukan manusia, ia justru menjadi biang keladi permusuhan dan percekcokan serta fitnah dan propaganda yang berakibat sampai pada perceraian, pembunuhan, penipuan, pemerasan dan lain-lain. Penyebaran berita palsu dan fitnah alias hoax, misalnya, menjadi tranding topic yang sangat merugikan individu maupun kelompok yang difitnah dan di-bullying. Di sinilah menjadi penting pembahasan tentang fikih sosial, utamanya menyangkut etika menggunakan medsos (FB, Twiter, BBM,Whatsap dan lain-lain). Lalu mengapa aktifitas di media sosial ini ini masuk dalam cakupan fikih?Karena tugas fikih adalah mengatur dan menentukan amalan mukallaf (seorang yang balig dan memenuhi syarat untuk menjalankan ketentuan syariat) terkait dengan hal-hal yang wajib, sunah,mubah, makruh, haram serta pembahasan-pembahasan yang bertalian dengannya.

Oleh karena itu, pembahasan tentang fikih sosial sangat perlu karena dengannya akan dijelaskan tanggung jawab sosial individu dan masyarakat terkait dengan batasan yang dibolehkan dan yang tidak boleh atau dilarang. Dengan demikian, para pelaku dan penggiat media sosial, apapun profesi mereka, hendaklah sensitif terhadap kegiatan medsos dan memperhatikan koridor hukum fikih dan syariat saat menerima, menyebarkan, dan menganalisa serta memahami suatu berita dan peristiwa sehingga mereka mampu–melalui fikih media sosial dan etika jejaring sosial–menggenali nilai dan anti nilai.

Di sini perlu ditegaskan bahwa dalamkajian bidang media sosial harus melibatkan ulama-ulama akhlak dan fukaha. Sebab, kajian di bidang ini terkait dengan fikih media sosial dan etika/akhlak media sosial. Meskipun di antara keduanya ada perbedaan pada dataran pemahaman namun secara prinsip antara fikih media sosial dan etika media sosial memiliki hubungan yang sangat erat.

Contoh Fikih Media Sosial

Meskipun alat-alat dan media-media yang digunakan hari ini telah banyak mengalami perubahan dibandingkan zaman-zaman sebelumnya, namun model komunikasi dan penyampaian informasi telah terjadi sejak zaman dahulu. Karena itu, dalam kajian fikih Islam ditemukan banyak pembahasan yang berhubungan dengan fikih media sosial da tema-tema yang terkait dengannya.

Tetapi yang penting, hendaklah masalah ini dihimpun dalam satu kitab fikih dengan tema/judul fikih media sosial dan selanjutnya, hendaklah dijelaskan juga–sesuai perkembangan alat dan sarana serta penemuan baru yang digunakan–ketentuan dan batasan pemakaian dan pemanfaatan sarana dan media yang diperbolehkan.

Pada masa lalu, telah dikemukakan masalah yang terkait dengan bagaimana menyikapi berita dan juga masalah dongeng palsu serta syair-syair picisan dan murahan yang penuh dengan kedustaan. Bahkkan dalam Al-Qur’an, kita bisa menemuukan hukum fikih yang bertalian dengan hal ini.

Sebagai contoh, Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana menyikapi dan mengelola berita yang disampaikan seseorang dan menegaskan perlunya tabayun dan penelitian terkait dengan kebenaran suatu berita. Dalam hal ini, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)

Oleh karena itu berdasarkan ayat tersebut, selama kita belum tahu kepastian kebenaran suatu berita atau peristiwa maka kita tidak boleh menyebarkannya atau mengeksposnya, apalagi kita mengambil keputusan berdasarkannya dan kehidupan kita pertaruhkan atasnya.

Kamis, 22 September 2022 05:27

Ma’rifatullah Asas Kemanusiaan

 

Imam Ali as berkata: Pangkal agama ialah mengenal Allah.
Segala sesuatu memiliki titik awal dan dasar. Dari titik awal dan dasar inilah di atasnya sesuatu jika merupakan bangunan berdiri dengan tegak, kokoh dan berguna. Agama ibarat bangunan, pondasinya adalah marifatullah (mengenal Tuhan).


Seumpama buku, bukan seperti buku kasykul dalam membacanya tidaklah penting mulai dari tema yang mana. Tetapi seperti buku ilmiah, dalam menelaahnya harus dimulai dari bagian awal sebagai dasarnya. Agama memuat sejumlah pemikiran, keyakinan, etika dan undang-undang, pondasi utamanya adalah mengenal Tuhan.


Di atas pondasi inilah berdiri keyakinan pada dua dasar agama; kenabian dan kebangkitan (maad). Yakni, bila tauhid (marifatullah) sebagai dasar yang kukuh, dan alam keberadaan milik Allah yang menciptakan dan mengaturnya, di sana umat manusia dalam kehidupan individual dan sosialnya memerlukan petunjuk khusus (hidayah wahyu) melalui para utusan-Nya, dan mereka diantarkan pada alam lain yaitu, akhirat.
Di sana terdapat orang-orang yang melampaui batas terkait para nabi, seperti mengangkat nabi Isa di posisi ketuhanan. Pemikiran dan keyakinan yang menyimpang ini disebabkan dasar utama (tauhid dan marifatullah)nya tidak benar dan tidak capai. Mana mungkin orang yang mengenal keagungan Allah Yang Mahaesa dan bahwa ia bukan pemilik dirinya, mengakui sekutu Tuhan atau adanya tuhan kecil.


Keberagamaan yang benar, rasional dan logis bagi seseorang ialah dimulai dari bagian yang paling mendasar, yaitu tauhid dan marifatullah. Jika pondasi utama ini tak dibangun dalam dirinya, takkan tercapai bagian-bagian lainnya yang mendasar. Nabi Muhammad saw setelah diutus oleh Allah swt, pertama yang beliau sampaikan kepada umatnya ialah bahwa: tiada tuhan selain Allah.

Hamba Tuhan ataukah Budak Kepentingan?
Selain sebagai pangkal agama, marifatullah juga merupakan pondasi kemanusiaan. Apa yang kita sebut dengan “hak asasi manusia”, kemanusiaan mengharuskan kita berkasih sayang, menjaga perdamaian dan menjauhi pertikaian, membantu orang lemah, tidak menyakiti dan tidak merampas hak orang lain, bahkan berkorban dalam pengabdian kepada sesama. Semua ini memang begitu semestinya kita. Namun apa falsafah seseorang sampai ia mengorbankan kepentingan pribadi dan menanggung derita demi kepentingan orang lain?


Semua itu merupakan perkara-perkara spiritual yang bertentangan dengan perkara-perkara material dan kepentingan personal. Nah, pangkal spiritualitas itu adalah mengenal Tuhan. Kemanusiaan tak bisa lepas dari ma’rifat ini, atau ia jatuh dalam pemujaan kepentingan. Yakni, manusia kalau tidak menghamba kepada Tuhan, ia menjadi budak kepentingan duniawi. Tak ada pilihan yang ketiga baginya.


Dalam Alquran surat Ibrahim 24-26, Allah swt berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُها ثابِتٌ وَ فَرْعُها فِي السَّماءِ تُؤْتي‏ أُكُلَها كُلَّ حينٍ بِإِذْنِ رَبِّها وَ يَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
وَ مَثَلُ كَلِمَةٍ خَبيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ ما لَها مِنْ قَرارٍ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya…
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.


Perumpamaan yang pertama dalam ayat-ayat tersebut, ialah mengenai orang-orang yang ber-“pohon marifatullah”, tumbuh di bumi jiwa mereka. Bercabang darinya keyakinan pada kenabian, kepemimpinan ilahiah dan para penunjuk jalan Tuhan; serta keadilan yang mendasari tegaknya alam ini. Juga keyakinan bahwa pahala orang-orang saleh takkan sirna dan orang-orang jahat akan dihukum. Buah-buahnya adalah kemuliaan, ketakwaan, kebajikan, pengabdian dan pengorbanan, kerelaan, ketenangan dan kebahagiaan.
Perumpamaan yang kedua, kita dapati di sana orang-orang yang berlaku atas nama bela bangsa atau kepercayaan sosial, dalam pengaruh doktrin-doktrin tertentu. Bukan tidak mungkin di jalan itu mereka sampai mengorbankan nyawa. Akan tetapi bila berkesempatan untuk berfikir dan evaluasi diri, mereka tak dapat menemukan alasan logis atas apa yang mereka perbuat.
Marifatullah adalah logika yang benar dan kokoh bagi kemanusiaan. Selain sebagai dasar kemanusiaan, marifatullah adalah sumber pembeda manusia dari binatang. Hanya marifatullah yang dapat menggantikan budak diri dan kepentingannya.
Allah berfirman:
اَللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُم مِّنَ النُّوْرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS: al-Baqarah 257)

Referensi:

Hikmatha wa Andaruzha/Syahid Mutahari

Kamis, 22 September 2022 05:26

Mereka yang Tidak Peduli Nasib Sesama

 

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ لاَ يَهْتَمُّ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ
“Siapa saja yang ketika bangun pagi dia tidak memperhatikan nasib kaum Muslimin, dia bukan Muslim.”

(Al-Kafi, Jilid 2 halaman 164; Bihar Al-Anwar, Jilid 71 halaman 120)

Kemiskinan dan kezaliman adalah fenomena yang merajalela di muka bumi. Sungguh sangat memprihatinkan manakala kita menemukan fakta bahwa masih sangat banyak di antara saudara sesama manusia, para anak cucu Adam ini, yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Lihatlah di sekitar kita. Orang-orang miskin, tertindas, dan terpinggirkan masih sangat banyak. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa sebagian besar mereka adalah saudara-saudara seiman kita.

Jika perhatian itu kita arahkan kepada kawasan yang lebih luas lagi, keprihatinan kita akan semakin besar. Fenomena kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan itu juga akan kita jumpai, bahkan itu terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan. Dan sebagian dari orang-orang miskin dan tertindas di berbagai belahan dunia itu juga beragama Islam. (Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk)

Tengoklah Palestina, misalnya. Mayoritas bangsa Palestina adalah saudara seiman kita. Penderitaan mereka berlipat-lipat jauh lebih besar dibandingkan dengan penderitaan yang mendera saudara-saudara sebangsa kita.

Puluhan tahun lamanya jutaan warga Palestina terlunta-lunta menjadi pengungsi dan hidup dalam kemiskinan. Mereka yang tinggal di kawasan pendudukan tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya. Hari ini bisa makan, entah dengan esok lusa. Jika sanak keluarga bepergian ke luar rumah (ayah yang pergi bekerja atau anak-anak yang pergi ke sekolah), tak pernah ada jaminan bahwa mereka akan kembali pulang ke rumah dengan selamat. Bahkan, tinggal di rumah pun bukan merupakan jaminan. Setiap saat, rumah mereka bisa saja menjadi sasaran serangan roket serdadu Zionis Israel. Ketika Trump secara sepihak menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Amerika pun sudah resmi pindah ke sana,  warga Gaza pun melancarkan aksi protes keras. Akan tetapi, aksi itu dihadapi moncong senjata. Ratusan nyawa saudara-sudara kita pun melayang sebagai syuhada.

Di banyak tempat lain di dunia, yaitu di Irak dan Suriah, situasinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan kawasan Palestina. Sudah bertahun-tahun lamanya warga Irak dan Suriah dicekam oleh keganasan teroris ISIS dan berbagai kelompok jihad palsu lainnya (yang notabene adalah buatan Amerika). Keganasan kelompok-kelompok radikal ini juga membuat bulu kuduk semua orang merinding. Yaman juga sama. Pasukan Saudi yang berkoalisi dengan negara-negara monarki Arab-Teluk, Amerika, Barat, dan Zionis, dalam beberapa tahun terakhir ini telah meluluhlantakkan negeri yang semula damai itu. (Baca: Dua Kisah Bapak Tua, Putera dan Kudanya)

Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman adalah masalah kemanusiaan, bukan masalah agama. Pendapat ini memang benar jika maksud dari pernyataan ini adalah bahwa akar masalah di empat tempat tersebut bukanlah konflik agama. Dalam hal Palestina, misalnya, pembelaan kita bukanlah karena semata-mata mereka adalah orang Islam, dan musuh mereka adalah orang yang beragama Yahudi. Pembelaan kita terhadap mereka memang berangkat dari isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan perlawanan terhadap imperialisme. Akan tetapi, keyakinan inipun ujung-ujungnya menyentuh masalah-masalah agama. Sebabnya adalah, semua aliran dalam Islam sepakat bahwa perlawanan terhadap kezaliman dan penegakan keadilan termasuk salah satu ajaran penting agama Islam yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan adalah:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi/teladan karena Allah (dalam urusan keadilan ini), meskipun (keadilan itu harus kalian tegakkan) atas diri kalian sendiri, atau terhadap orang tua, serta kaum kerabat kalian.” (QS. An-Nisa: 135)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Islam adalah agama yang komprehensif. Setiap dimensi kehidupan ini mendapatkan perhatian dalam Islam. Semuanya menjadi parameter dan ujian, sampai sejauh mana keimanan dan keislaman kita. Permasalahan keadilan sosial dan kemanusiaan juga menjadi parameter keimanan kita. Siapapun yang tidak mempedulikannya, diancam akan dikeluarkan dari barisan Islam.

Mazhab Ahlulbait memberikan penekanan terhadap keadilan dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas, lebih dari yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kita Ahlu Sunnah. Imam Ali as dikenal karena keadilannya. Imam Husein as juga gugur syahid saat beliau dan keluarganya sedang berjuang menegakkan keadilan. Dan jangan lupa, dalam mazhab Ahlulbait, keadilan (‘adalah) adalah salah satu pilar keimanan. Sebagai aktivis mazhab Ahlulbait, tugas kitalah untuk mempertebal pemahaman terkait masalah ini, serta menyebarkannya di kalangan masyarakat kita.[OS]

(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ لاَ يَهْتَمُّ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ
“Siapa saja yang ketika bangun pagi dia tidak memperhatikan nasib kaum Muslimin, dia bukan Muslim.”

(Al-Kafi, Jilid 2 halaman 164; Bihar Al-Anwar, Jilid 71 halaman 120)

Kemiskinan dan kezaliman adalah fenomena yang merajalela di muka bumi. Sungguh sangat memprihatinkan manakala kita menemukan fakta bahwa masih sangat banyak di antara saudara sesama manusia, para anak cucu Adam ini, yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Lihatlah di sekitar kita. Orang-orang miskin, tertindas, dan terpinggirkan masih sangat banyak. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa sebagian besar mereka adalah saudara-saudara seiman kita.

Jika perhatian itu kita arahkan kepada kawasan yang lebih luas lagi, keprihatinan kita akan semakin besar. Fenomena kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan itu juga akan kita jumpai, bahkan itu terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan. Dan sebagian dari orang-orang miskin dan tertindas di berbagai belahan dunia itu juga beragama Islam. (Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk)

Tengoklah Palestina, misalnya. Mayoritas bangsa Palestina adalah saudara seiman kita. Penderitaan mereka berlipat-lipat jauh lebih besar dibandingkan dengan penderitaan yang mendera saudara-saudara sebangsa kita.

Puluhan tahun lamanya jutaan warga Palestina terlunta-lunta menjadi pengungsi dan hidup dalam kemiskinan. Mereka yang tinggal di kawasan pendudukan tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya. Hari ini bisa makan, entah dengan esok lusa. Jika sanak keluarga bepergian ke luar rumah (ayah yang pergi bekerja atau anak-anak yang pergi ke sekolah), tak pernah ada jaminan bahwa mereka akan kembali pulang ke rumah dengan selamat. Bahkan, tinggal di rumah pun bukan merupakan jaminan. Setiap saat, rumah mereka bisa saja menjadi sasaran serangan roket serdadu Zionis Israel. Ketika Trump secara sepihak menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Amerika pun sudah resmi pindah ke sana,  warga Gaza pun melancarkan aksi protes keras. Akan tetapi, aksi itu dihadapi moncong senjata. Ratusan nyawa saudara-sudara kita pun melayang sebagai syuhada.

Di banyak tempat lain di dunia, yaitu di Irak dan Suriah, situasinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan kawasan Palestina. Sudah bertahun-tahun lamanya warga Irak dan Suriah dicekam oleh keganasan teroris ISIS dan berbagai kelompok jihad palsu lainnya (yang notabene adalah buatan Amerika). Keganasan kelompok-kelompok radikal ini juga membuat bulu kuduk semua orang merinding. Yaman juga sama. Pasukan Saudi yang berkoalisi dengan negara-negara monarki Arab-Teluk, Amerika, Barat, dan Zionis, dalam beberapa tahun terakhir ini telah meluluhlantakkan negeri yang semula damai itu. (Baca: Dua Kisah Bapak Tua, Putera dan Kudanya)

Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman adalah masalah kemanusiaan, bukan masalah agama. Pendapat ini memang benar jika maksud dari pernyataan ini adalah bahwa akar masalah di empat tempat tersebut bukanlah konflik agama. Dalam hal Palestina, misalnya, pembelaan kita bukanlah karena semata-mata mereka adalah orang Islam, dan musuh mereka adalah orang yang beragama Yahudi. Pembelaan kita terhadap mereka memang berangkat dari isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan perlawanan terhadap imperialisme. Akan tetapi, keyakinan inipun ujung-ujungnya menyentuh masalah-masalah agama. Sebabnya adalah, semua aliran dalam Islam sepakat bahwa perlawanan terhadap kezaliman dan penegakan keadilan termasuk salah satu ajaran penting agama Islam yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan adalah:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi/teladan karena Allah (dalam urusan keadilan ini), meskipun (keadilan itu harus kalian tegakkan) atas diri kalian sendiri, atau terhadap orang tua, serta kaum kerabat kalian.” (QS. An-Nisa: 135)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Islam adalah agama yang komprehensif. Setiap dimensi kehidupan ini mendapatkan perhatian dalam Islam. Semuanya menjadi parameter dan ujian, sampai sejauh mana keimanan dan keislaman kita. Permasalahan keadilan sosial dan kemanusiaan juga menjadi parameter keimanan kita. Siapapun yang tidak mempedulikannya, diancam akan dikeluarkan dari barisan Islam.

Mazhab Ahlulbait memberikan penekanan terhadap keadilan dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas, lebih dari yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kita Ahlu Sunnah. Imam Ali as dikenal karena keadilannya. Imam Husein as juga gugur syahid saat beliau dan keluarganya sedang berjuang menegakkan keadilan. Dan jangan lupa, dalam mazhab Ahlulbait, keadilan (‘adalah) adalah salah satu pilar keimanan. Sebagai aktivis mazhab Ahlulbait, tugas kitalah untuk mempertebal pemahaman terkait masalah ini, serta menyebarkannya di kalangan masyarakat kita.[OS]

(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)

(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)

 

Di dalam ajaran Islam, setiap tindakan manusia tidak lepas dari sebuah hukum yang mengikatnya. Hukum tersebut dikenal sebagai fikih atau syariat. Tindakan manusia bisa dihukumi halal atau haram, dikategiorikan wajib atau sunnah, semua hukum itu bersumber atas petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi SAW dan Ahlulbait Nabi AS.

Pada praktiknya, tidak setiap orang memiliki kapasitas dan keilmuan dalam memahami petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait, sehingga mereka mampu menentukan hukum suatu tindakan. Oleh karenanya, dalam fikih ada tiga kategori orang yang melakukan tindakan;

Pertama Mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang secara individu memiliki kapasitas dan keilmuan yang mumpuni dalam memahami Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait. Oleh karena itu, mereka dapat berijtihad atau mengidentifikasi (sendiri) hukum suatu tindakan berdasarkan sumber utama tersebut. Mereka juga dapat mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan rujukan oleh para pengikutnya.

Kedua Muhtath. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat berijtihad, namun juga tidak mengikuti fatwa dari seorang Mujtahid tertentu. Mereka adalah orang-orang yang mengedepankan prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam menentukan atau memilih hukum suatu tindakan yang difatwakan oleh para Mujtahid.

Misalnya, ketika ia dihadapkan atas dua fatwa yang saling bertentangan, seperti hukum merokok, ada yang menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkan, maka seorang Muhtad akan memilih untuk tidak melakukan tindakan tersebut, karena fatwa itu lebih aman dan bisa menyelamatkannya.

Di sisi lain, seorang Muhtath juga akan memilih amalan yang lebih rumit apabila dihadapkan atas dua fatwa yang berbeda terhadap suatu tindakan. Misalnya dalam hal membasuh saat berwudhu, ada yang berfatwa membasuh minimal dua kali, ada pula yang menyebutnya minimal tiga kali, maka seorang Muhtath harus mengkitu fatwa yang tiga kali, sebab dengan begitu, ia dianggap telah melaksanakan pula fatwa yang mudah, yaitu minimal dua kali.

Di samping itu juga, misalnya, ketika seorang Muhtath dihadapkan atas dua fatwa berbeda terkait salat, yang satu mengharuskannya salat Dzuhur dua rakaat (qashar) karena sudah memenuhi ketentuan sebagai musafir, sementara fatwa yang lain mewajibkannya untuk tetap melaksanakan salat empat rakaat (tamam) karena belum memenuhi kategori sebagai musafir, maka seorang Muhtath wajib melaksanakan kedua fatwa tersebut, dengan melakukan dua kali salat Dzuhur, qashar (ringkas) dan tamam (sempurna). Contoh ini juga berlaku dalam hal puasa.

Ketiga Muqallid. Mereka adalah orang-orang yang menyandarkan ketentuan hukum suatu tindakan berdasarkan fatwa seorang Mujtahid tertentu, oleh karena itu amalan mereka disebut pula sebagai amalan taqlid.

Dalam madzhab Ahlulbait, taqlid adalah suatu keniscayaan apabila seseorang tidak memiliki kapasitas menjadi seorang Mujtahid dan tidak pula memiliki kemampuan menjadi seorang Muhtath. Karena setiap amalan akan dipertanggung jawabkan, maka tindakan amalan tersebut harus memiliki dasar, apakah dasarnya itu adalah ijtihad, ihtiyath, ataupun taqlid.

Seorang Muqallid tidak wajib memahami dasar atau argumentasi atas setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Marja’ Taqlid yang diikutinya, namun seorang Muqallid wajib memiliki argumentasi, mengapa mereka harus bertaqlid.