Kesedihan yang begitu mendalam telah menekan hati putri Rasulullah Saw, karena ia mengetahui bahwa ayahnya yang mulia tidak lama lagi akan segera meninggalkan dunia fana ini. la melangkahkan kakinya dengan gemetar menuju pembaringan Rasulullah Saw dan duduk di samping ayahnya, ia mendengar ayahnya berkata: “Oh Betapa sedihnya hati ini”
Hatinya diselimuti dengan kesedihan dan berkata: “Betapa sakitnya hatiku karena musibah yang menimpamu ini, wahai ayah!”
Rasulullah Saw pun menjadi sedih menyaksikan betapa menderitanya putrinya yang mulia. Dan demi menghiburnya, beliau bersabda: “Ayahmu tidak akan menderita lagi setelah hari ini.” [Hayat al-Imam al-Husain bin Ali As, jil.1, hal.112]
Kalimat ini seperti halilintar yang menyambar Fathimah Zahra a.s, karena memahami bahwa ia akan segera berpisah dengan ayahnya dan Rasulullah melihat ketidaktenangan putrinya tersebut. Wajah Fathimah Zahra a.s. menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Rasulullah Saw ingin menenangkan putrinya, karena itulah beliau memintanya supaya lebih mendekat kepadanya. Pertama-tama Rasulullah mengucapkan suatu kalimat yang membuat putrinya meneteskan air mata, kemudian beliau mengucapkan kalimat lain yang membahagiakan putrinya dan membuatnya tersenyum.
Fathimah Zahra as menjadi tenang karena beliaulah orang pertama dari Ahlulbait yang akan bertemu dan bergabung dengan Rasulullah Saw. Sekali lagi Rasulullah mengatakan kalimat berikut ini demi menghilangkan kesedihan dari hati putrinya yang mulia: Putriku, janganlah engkau menangis dan apabila aku telah wafat, katakanlah, Inna lillahi wa inna ilaihi raij’un; Kalimat ini adalah pengganti setiap mayit.” [Ansab al-Asyraf jil. 1, hal. 133]
Panas tubuh Rasulullah Saw pun semakin tinggi dan Fathimah Zahra as merasakan kesedihan dan tangisan yang mendalam. la kemudian berkata kepada ayahnya: “Demi Allah! Engkau sebagaimana yang dikatakan oleh penyair, ‘Wajah putih bersinar dengan kemuliaannya meminta hujan dari awan-awan, Dialah ayah para yatim dan tempat berlindung kaum janda.’”
Rasulullah menjawab: “Ini ungkapan dari pamanmu Abu Thalib”
Kemudian Rasulullah saw membacakan ayat mulia ini: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka dia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [QS Ali Imran: 144]
Anas bin Malik mengatakan bahwa pada masa sakitnya Rasulullah yang berujung pada kewafatannya, Fathimah Zahra as datang bersama Hasan dan Husain a.s. ke sisi beliau. Fathimah Zahra a.s. menjatuhkan dirinya ke pelukan Rasulullah Saw dan menangis. Beliau sangat mengkhawatirkan putrinya dan melarangnya menangis walaupun air mata Rasulullah Saw sendiri tidak terbendung pula. Beliau berkata: “Ya Allah! Inilah keluargaku dan Ahlulbaitku dan aku mewasiatkan setiap mukmin tentang mereka.” [Ansab al-Asyraf, jil. 1, hal. 133]
Rasulullah Saw mengulang kalimat itu tiga kali, kesedihan membebani hati beliau karena mengetahui musibah dan malapetaka apa yang akan menimpa Ahlulbaitnya setelah ini.
Kemudian Imam Hasan dan Husain a.s. meninggalkan kakeknya dalam keadaan telah mewarisi sifat-sifat kewibawaan, kepemimpinan, keberanian dan kedermawanan dari Rasulullah Saw. Tidak ada warisan yang lebih tinggi, bernilai dan berharga di atas bumi ini selain sifat-sifat mulia tersebut, suatu warisan yang tidak berhubungan dengan materi dan jasmani, melainkan berkaitan dengan kesempurnaan khusus kenabian dan kerasulan.
Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada Amirul Mukminin Ali as tiga hari sebelum kewafatannya supaya menjaga kedua cucunya tersebut. Rasulullah saw bersabda: “Wahai ayah dari cahaya mataku! Aku mewasiatkan tentang kedua cahaya mataku ini di dunia, yang tidak lama lagi kedua pijakanmu ini akan runtuh. Dan Allah Swt adalah pemimpinku atasmu.”
Ketika Rasulullah Saw telah wafat, Amirul Mukminin Ali a.s. berkata: “Inilah salah satu pijakanku yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. Dan ketika Fathimah Zahra a.s. wafat, Imam berkata lagi, “Dan ini pula pijakan kedua yang disabdakan oleh Rasulullah saw kepadaku.” [Amali al-Shaduq, hal.119]
Waktu wafatnya Rasulullah saw telah tiba, seorang nabi dan rasul yang tidak memiliki bandingannya di masa lampau maupun di masa yang akan datang. Telah tiba waktunya Rasulullah saw meninggalkan kehidupan dunia ini dan melanjutkan perjalanan ruhaninya ke alam tertinggi Ilahi mengikuti jejak-jejak saudaranya dari para nabi dan rasul terdahulu. Hati Fathimah Zahra a.s. terguncang dan napasnya mengalir tak teratur. Dan dengan suara yang sedih berkata: “Sungguh berat perpisahan dengan ayah dan kematian Nabi yang terakhir! Sungguh berat musibah ini, musibah kewafatan sebaik-baiknya orang yang bertakwa dan kehilangan pemimpin orang-orang yang terpilih! Sungguh berat kesedihan ini karena terhentinya wahyu dari langit dan terputusnya pembicaraan denganmu sejak hari ini.” (Durrah al-Nashihin, hal. 66)
Kemudian Rasulullah Saw menoleh kepada Imam Ali a.s. dan bersabda: “Letakkanlah kepalaku di pangkuanmu, karena perintah Allah sudah tiba dan ketika ruhku sudah lepas (berpisah dari badanku), maka terimalah ruhku dan usapkanlah ke wajahmu, kemudian letakkanlah aku ke arah kiblat, laksanakanlah urusan-urusanku dan salatkanlah aku sebelum orang-orang lain menyalatiku. Janganlah engkau terpisah dariku hingga engkau meletakkanku di dalam kuburan dan mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla.”
Imam Ali as meletakkan kepala suci Rasulullah saw di pangkuannya dengan lembut dan menempatkan tangan kanannya di bawah dagu beliau. Pada saat itulah Malaikat Maut memulai mengambil ruh Rasulullah saw yang suci. Ketika Rasulullah saw merasakan pedihnya kematian, beliau membaca ayat-ayat Alquran sampai ruh sucinya lepasdari raganya dan Imam Ali as pun mengusapkan ruh suci itu ke wajahnya. [Manaqib Ali Abi Thalib, jil.1, hal. 29. Hadis-hadis mutawatir menegaskan bahwa ketika Rasulullah wafat, kepala beliau di atas lutut Imam Ali as Hal ini diungkapkan dalam banyak kitab: Al-Thahaqat al-Kabra, jil.2, hal.51; Majma’ al-Zaid hal. 293; Kanz al-Ummal, jil. 4, hal 55; Dzakhair al-Uqba, hal. 94; al-Riyadh an-Nadhirah, jil. 2, hal. 219]
Bumi bergetar karena seorang lelaki agung telah berpulang ke pangkuan Ilahi yang kehidupannya adalah cahaya dan rahmat bagi hamba hamba Allah. Kemanusiaan berada di hadapan suatu tragedi yang menghancurkan, karena sang pemimpin dan gurunya telah tiada, cahaya pun meredup. Sang cahaya yang menerangi langit dunia dengan wejangan-wejangan, pengetahuan-pengetahuan dan akhlak-akhlak mulia dan tertinggi itu kini telah terbang menuju ke haribaan Sang Kekasihnya. Kaum Muslimin berduka dan melakukan ritualitas kesedihan. Istri-istri Rasulullah saw memakai pakaian-pakaian berkabung dan kaum perempuan Anshar memukuli wajah-wajah mereka, sehingga tenggorokan mereka tercekik karena kerasnya duka cita. [Ansab al-Asyraf, jil. 1, hal. 574]
Sayidah Fathimah a.s. memeluk jasad ayahnya dan berkata pilu: “Oh! Perpisahan dengan ayah, perpisahan dengan Rasulullah Saw, perpisahan dengan yang penuh rahmat. Setelah wahyu akan turun lagi, dan Jibril pun tidak akan datang. Allah! Gabungkanlah ruhku dengan ruhnya. Karuniailah kesempatan untuk bertemu dengannya janganlah Engkau haramkan menerima syafaatnya Hari Kiamat” [Tarikh al-Khamis, jil. 2, hal .192]
Fathimah Zahra berada samping suci Rasulullah yang sudah tidak bernyawa dan mengungkapkan kesedihannya dengan bahasa bahasa berikut ini,
“Oh! Perpisahan dengan ayah, saya ucapkan belasungkawa kepada Jibril. Oh! Perpisahan dengan ayah, tempatmu surga Firdaus. Oh! Perpisahan dengan ayah, beliau telah menjawab panggilan Tuhannya.”