Setelah beberapa hari dilakukan berbagai upaya untuk mencapai kesepakatan menggelar perang di Suriah, anggota-anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerikat Serikat akhirnya menyetujui rencana serangan militer ke negara Arab tersebut. Keputusan itu telah memuluskan langkah Presiden AS Barack Obama untuk memperoleh persetujuan dari Senat AS untuk menginvasi Suriah.
Jika Kongres menyetujui permintaan Obama, maka Pentagon akan segera memulai perang baru di Timur Tengah dengan menyerang sebuah negara Islam yang selama bertahun-tahun ini menjadi poros Muqawama untuk menghadapi rezim Zionis Israel.
Selama satu dekade lalu, negara-negara Islam seperti Irak, Afghanistan, Yaman, Pakistan dan Somalia menjadi sasaran agresi dan serangan-serangan militer AS. Sekarang giliran Suriah yang akan dijadikan korban berikutnya setelah sekian lama Gedung Putih mengincar Damaskus mengingat pemerintah Suriah sangat gencar membela Muqawama dan bangsa Palestina.
Para pejabat AS sejak awal mengancam akan menyerang Suriah sebagai balasan atas apa yang mereka klaim dengan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus. Mereka juga mengusung isu-isu lainnya untuk memulai invasi tersebut. Selain menjadikan isu senjata kimia sebagai dalih utama untuk menggelar aksi militer ke Suriah, Obama juga mengubah isu tersebut ke masalah-masalah lainnya. Ia mengatakan, jika Washington tidak mengambil tindakan atas penggunaan senjata kimia maka sikap tersebut akan merusak reputasi AS dan presidennya.
Pernyataan Obama itu sangat ironis sekali. Pasalnya, tiga dekade lalu Donald Rumsfeld, Deputi Menteri Pertahanan AS di masa itu tetap mencium pipi Saddam, Diktator Irak, yang telah menggunakan ribuan senjata kimia terhadap warga sipil dan militer Iran. Bahkan tragedi mengerikan di Kota Halabche Iran tidak menyebabkan AS merasa khawatir atas penggunaan senjata pemusnah massal itu oleh rezim Saddam. Gedung Putih juga tidak mengusulkan sebuah resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk menindak keras Irak.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dalam pertemuan di Komite Hubungan Luar Negeri Senat menjustifikasi serangan militer ke Suriah sebagai upaya untuk menjamin keamanan Israel. Pada dasarnya, Kerry telah menekankan poin sensitif parlemen AS yaitu menjaga eksistensi Israel.
Banyak politisi AS yang menganggap bahwa menjamin kepentingan-kepentingan Tel Aviv itu lebih penting dari pada menjaga kepentingan-kepentingan Washington. Sehingga, jika darah para tentara AS mengalir dan ratusan miliar dolar uang pajak warga Amerika habis untuk melindungi Israel, maka hal itu tidak dianggap penting. Patut dicatat bahwa meskipun para politisi AS berselisih tentang berbagai masalah dari masalah ekonomi hingga masalah pernikahan para gay, namun mereka tidak pernah berselisih paham untuk melindungi Israel.
Selain itu, pejabat-pejabat Gedung Putih menilai serangan ke Damaskus sebagai salah satu upaya untuk menjaga hubungan AS dengan sekutu regionalnya seperti Turki, Arab Saudi dan Qatar yang telah menghabiskan miliaran dolar untuk menggulingkan pemerintahan legal Presiden Suriah Bashar al-Assad. Menurut pandangan Washington, jika pihaknya tidak mengambil tindakan atas apa yang mereka klaim sebagai penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus, maka posisi AS di mata sekutu regionalnya akan hilang.
Dengan demikian, jika AS ingin sekutunya di kawasan tetap mempercayainya, maka Pentagon harus menyerang Suriah. Jika tidak, AS akan kehilangan pamornya sebagai negara superpower di mata sekutunya, sementara negara-negara independen dan penentang AS akan semakin kuat sehingga ketakutan hebat akan melanda sekutu AS di kawasan atas badai kebangkitan rakyat di Timur Tengah.