Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan mengklaim adanya demokrasi di tengah masyarakat negaranya. Perdana menteri Turki ini termasuk salah satu politikus kawasan negara ini yang terkenal aktif mendukung upaya penegakan sendi-sendi demokrasi di Ankara.
Lebih dari ini, Erdogan pun mengklaim bahwa Turki merupakan satu-satunya negara demokratis di Timur Tengah. Erdogan bahkan berani melangkah lebih dan di awal Juni lalu di depan demonstran mengatakan dirinya siap mengorbankan nyawanya demi demokrasi.
Di sisi lain, banyak kalangan yang menilai pidato Erdogan di depan demonstran anti pemerintah yang mengatakan "Kesabaran saya telah habis" sebagai indikasi kecenderungan fasisme sang perdana menteri Turki ini. Kubu anti Erdogan meyakini gerakan demokrasi yang digembargemborkan sang perdana menteri tidak memiliki dampak sama sekali, pada dasarnya demokrasi yang diklaim Erdogan berbau despotisme.
Mungkin masalah ini menjadi dalih utama aksi protes luas anti pemerintahan Erdogan. Aksi protes luas ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat dan aliran politik serta mengakibatkan tewasnya enam orang.
Meski demonstrasi ini pada mulanya sebagai reaksi atas perusakan taman Ghazi, namun sedikit yang tidak menilai bahwa aksi tersebut disebabkan oleh protes demonstran atas aksi penumpasan terhadap kubu oposisi serta upaya Erdogan untuk memaksakan ideologi partainya serta sikapnya yang mengabaikan tuntutan kubu oposisi. Etnis Kurdi anti pemerintah Turki sangat tidak puas atas diabaikannya tuntutan mereka oleh Ankara.
Kubu Nasional juga merasa tidak puas atas kebijakan Turki yang mengamini kekuatan transregional dan ketidakpuasan ini mereka realisasikan dalam berbagai aksi demo dan protes terhadap kebijakan intervensif Ankara di urusan internal negara tetangga serta kebijakan haus perang pemerintah.
Sejumlah elit politik sekulat Turki juga mendakwa Erdogan mengabaikan ideologi Ataturk serta tradisi sekularisme di Turki dan berusaha menggantikannya dengan prinsip-prinsip dasar partainya. Media massa Turki juga menderita dan tidak merasakan adanya prinsip keempat demokrasi. Bahkan petinggi HAM Barat menyebut Turki sebagai penjara terbesar bagi wartawan.
Mayoritas tahanan politik juga memprotes atas lambannya proses pengadilan bagi mereka dan pada dasarnya penangkapan mereka dinilai tidak benar. Sejumlah kalangan lainnya mengaku tidak mempercayaik laim Erdgogan terkait reformasi undang-undang dasar. Mereka pun menilai reformasi seperti perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial merupakan upaya Erdogan untuk menjadikan dirinya seorang diktator.
Mengingat berbagai kondisi ini, Erdogan masih tetap mengklaim adanya demokrasi di tengah masyarakat Turki. Tak diragukan lagi bahwa warisan demokrasi di Turki sejak beberapa dekade lalu masih tetap terlihat. Sejatinya dengan munculnya berbagai partai di dekade 40-an di percaturan politik Turki, terealisasinya demokrasi di negara ini menjadi prioritas utama dan di dekade 80-an, meski terjadi tiga kudeta oleh Turgut Özal, mantan presiden Turki, namun demokrasi masih tetap berjalan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan adalah warisan pemerintah sebelumnya untuk merealisasikan demokrasi di negara ini. Dan rakyat Turki sendiri berharap pemerintah saat ini menjaga dengan baik warisan tersebut.
Baik kubu pro dan anti Erdogan meyakini bahwa pandangan sang perdana menteri terkait demokrasi sekedar alat dan demokrasi bagi Erdogan menjadi penting ketika dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya kudeta.
Erdogan berulang kali menyebut kudeta sebagai musuh demokrasi dan dirinya menandaskan bahwa demokrasi adalah alat yang akan terus digunakan selama bermanfaat.