Islamphobia adalah sebuah ungkapan baru yang berkaitan diskriminasi atau fanatisme anti-Islam dan Muslim. Kata ini untuk pertama kalinya digunakan pada dekade 1980, namun pasca 11 September 2001, penggunaannya semakin meluas.
Sejak itu, Islamphobia berarti kekhawatiran dan kebencian terhadap Muslim, serta pemahaman terhadap Islam yang tidak memiliki nilai kolektif dengan budaya lain dan berada di posisi yang lebih rendah di Barat. Islam bukan sebuah agama langit melainkan sebuah ideologi politik radikal.
Islamphobia adalah dalam rangka menciptakan ketakutan terhadap agama dan syariat Islam, masyarakat Islam dan peradaban Islam. Itu merupakan kinerja media massa Barat dengan tujuan memperluas hegemoni dan juga dalam rangka mencoreng citra Islam dengan isu-isu seperti kekerasan, terorisme, anti-hak asasi manusia, despotisme,terbelakang, non-sipil, berbahaya untuk dunia, pembunuh dan tidak rasional. Dengan cara itu, mereka berusaha menciptakan atmosfer Islamphobia dalam masyarakat dunia.
Di antara seluruh agama yang berurusan dengan Kristen, hanya agama Islam yang lebih disalahpahami dan pada akhirnya menjadi target serangan dunia Kristen. Lebih dari 1.000 tahun, Islam dinilai sebagai salah satu ancaman utama bagi masyarakat Eropa.Sikap tersebut akhirnya melahirkan perspektif bahwa Islam dan penganutnya adalah musuh paling berat Kristen Barat. Adapun dampak utama pencitraan negatif dari Islam adalah pembenaran anggapan tidak benar tentang Muslim ditambah lagi dengan kinerja radikal serta gaya hidup para panguasa Timur di negara-negara Muslim. Perpaduan antara asumsi infaktual dan kinerja radikal serta gaya hidup para penguasa negara-negara Islam itu semakin mempercepat perluasan Islamphobia.
Penggunaan Islamphobia meningkat pada era pemerintahan mantan presiden AS George W. Bush dan khususnya pasca serangan 11 September 2001. Wacana tersebut merupakan dampak langsung dari perang melawan terorisme yang diupayakan Bush dengan alasan serangan 11 September. Setelah runtuhnya Uni Soviet Amerika Serikat tidak memiliki musuh di dunia dan serangan 11 September dijadikan sebagai alasan untuk membangun musuh baru dan menduduki negara Muslim yang sebelumnya dijajah pihak komunis.
Di saat musuh-musuh di era Perang Dingin, menjadi teman baru lembaga-lembaga penting Barat termasuk NATO, masalah keberadaan militan islamis, telah membantu visualisasi musuh baru kolektif Amerika Serikat. Secara keseluruan, pada beberada dekade di akhir abad-20, Islam tidak diperkenalkan dengan baik dalam sistem media massa Amerika Serikat. Selama itu, televisi-televisi seperti CNN dan media cetak serta sinema, memiliki peran penting dalam membentuk dan mengelola opini publik Amerika Serikat. Oleh karena itu mengingat visualisasi tidak benar terhadap Islam dan Muslim, dalam beberapa tahun pasca seranan 11 September, perspektif anti-Islam semakin meningkat di Amerika Serikat.
Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Gallup di Amerika Serikat, 22 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertetangga dengan Muslim, 39 persen ingin agar warga Muslim AS diberi tanda khusus yang membedakan mereka dari warga AS lainnya. Secara keseluruhan, politik pemerintah Amerika Serikat berdasarkan pada prinsip xenophobia sehingga mengokohkan Islamphobia, yang pada hakikatnya bertentangan dengan hukum hak-hak sipil dan supremasi hukum serta nilai-nilai kemanusiaan nasionalnya.
Pengurungan untuk jangka waktu lama dan tanpa perhitungan yang tercatat dalam berbagai data, pengambilan sidik jari dari warga Muslim, ekstradisi sejumlah warga Muslim, serta kelambanan dalam menangani berkas permintaan kewarganegaraan Amerika Serikat, merupakan di antara hasil dari Islamphobia dalam kebijakan negara itu. Masalah tersebut saat ini telah berubah menjadi sebuah norma umum.
Diskriminasi dan perilaku menyimpang terhadap warga Muslim di Barat, khususnya di Amerika Serikat, terjadi dalam berbagai bentuk. Bahkan hal-hal itu juga berdampak pada pemberian layanan yang timpang di berbagai restoran, pusat-pusat hiburan dan semacamnya. Kerap warga Muslim mendapat perilaku buruk dan tidak terhormat, olokan, penghinaan dan lain-lain. Di lain pihak, pihak berwenang menunjukkan sikap yang lebih ekstrim terhadap warga Muslim dengan penggeledahan tidak terhormat, pemukulan dan berbagai perilaku diskriminatif lain.
Di dunia Barat, Kristen khususnya kelompok Protestan, berperan penting dalam perluasan Islamphobia. Kelompok ini, akibat pengalaman sejarah yang mereka miliki soal peran dan intervensi agama di kancah sosial pada abad pertengahan, merasa terusik dengan masuknya agama dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, mengingat peran sosial agama Islam, kelompok Kristen itu merasa terganggu dengan penyebaran Islam di bumi Eropa.
Kelompok Protestan menjelaskan Islam dengan menggunakan label-label yang marak dinisbatkan kepada Islam pada abat pertengahan. Sementara, kelompok Kristen radikal Amerika Serikat yang juga disebut dengan Kristen Zionis, memanfaatkan secara maksimal serangan 11 September 2001 untuk memasyarakatkan Islamphobia. Mereka menggunakan berbagai rekaman pidato Ben Laden dan sepemikirannya yang anti Yahudi dan Kristen, serta pernyataan-pernyataan kerasnya, sebagai bukti kuat untuk mencoreng citra Islam dan Muslim. Pernyataan para pemimpin sayap kanan Kristen Amerika Serikat dalam hal ini menunjukkan bahwa pelontaran berbagai masalah negatif anti-Islam dan Muslim pasca 11 September, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari wacana politik mereka. Dalam hal ini mereka mengemukakan konsep-konsep di antaranya, “jejak teroris Muslim di Amerika Serikat, Islam versus Barat dan pedang Islam” untuk menebar citra negatif tentang Islam dan Muslim di berbagai media massa penting di Amerika Serikat.
Namun setelah satu dekade berlalu sejak serangan 11 September, kini tibalah giliran pemanfaatan berbagai aktivitas ekstrimis kelompok teroris Takfiri (ISIS). Untuk kali ini, media massa Amerika Serikat dan Barat dengan menyebutkan nama ISIS yang berarti “pemerintah Islam”, berusaha untuk menisbatkan perilaku ISIS dengan pemikiran Islam yang sesungguhnya. Media massa ini meliput secara meluas seluruh aksi-aksi kekerasan ISIS serta menyetarakannya dengan pemikiran dan ajaran Islam.
Ini terjadi di saat Barat sendirilah yang melatarbelakangi pembentukan dan pengokohan kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti ISIS. Sebagaimana yang diungkapkan Hillary Clinton, mantan menlu Amerika Serikat, dalam bukunya “Hard Choices”. Ditegaskannya bahwa ISIS dibentuk oleh Amerika Serikat dan dinas-dinas intelijen negara-negara sekutunya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa proyek 11 September dan kelompok teroris Takfiri ISIS, keduanya adalah bagian dari perencanaan politik jangka panjang Islamphobia. Hal itu juag dimanfaatkan oleh Hollywood untuk menyebarkan Islamphobia dengan menampilkan berbagai aksi sadis kelompok ISIS.
Barat sepenuhnya mengetahui masalah ini bahwa Islam merupakan tantangan berat bagi hegemoni mereka. Tantangan yang dihadapi mereka dari Islam jauh lebih dalam dan berat dari bahaya perluasan komunisme. Apalagi Islam bukan hanya dilihat dari sisi ideologinya saja, mengingat Islam juga berhubungan dengan sumber-sumber alam melimpah di dunia.
Barat bersaing dengan komunisme soal pengaruh mereka di dunia termasuk di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Akan tetapi dalam berhadapan dengan Islam, Barat harus menyusun rencana perang dan pertempuran di berbagai level. Karena umat Islam umat Islam mampu bangkit untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sebagaimana gerakan kebangkitan di Timur Tengah yang dimulai dari Revolusi Islam Iran. Bangkitnya kembali Islam politik akhirnya memaksa Amerika Serikat untuk agresif berhadapan dengan Republik Islam Iran. Apalagi, gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah pada tahun 2011, terinspirasi dari Revolusi Islam Iran.