Animo Pemuda Eropa Bergabung ISIS

Rate this item
(0 votes)
Animo Pemuda Eropa Bergabung ISIS

Animo para pemuda Barat khususnya anak muda Perancis bergabung dengan kelompok teroris ISIS rupanya cukup besar. Jumlah pemuda Barat dalam barisan tempur ISIS terbilang cukup signifikan. Krisis indentitas, spiritualitas, dan pertumbuhan sekularisme termasuk di antara faktor yang membuat pemuda Barat tergiur dengan ISIS.

Dalam kajian studi agama dan sosiologi, sudah dipaparkan banyak faktor untuk menjustifikasi dan menjelaskan tentang gelombang baru ketertarikan kepada Islam di Barat. Dari satu sisi, faktor utama munculnya fenomena itu antara lain; karena krisis identitas, spiritualitas, krisis makna, dan upaya untuk mencari alternatif moral demi mengisi kekosongan kasih sayang di kalangan pemuda Eropa. Dari sisi lain, dipicu oleh tidak adanya rasa memiliki dan loyalitas dari imigran kepada masyarakat tuan rumah di Barat atau karena upaya untuk melawan diskriminasi dan rasialisme terhadap imigran Muslim oleh sejumlah masyarakat Barat.

Daya tarik terhadap mazhab-mazhab Islam, mendorong banyak pemuda untuk memiliki interpretasi moral, spiritual, dan rasional tentang Islam. Namun, sekelompok dari mereka – baik karena motivasi ideologis atau syahwat politik dan materi – kadang tergiur dengan kelompok-kelompok ekstrim, “para jihadis,” dan dalam bentuk yang paling sadis tergoda dengan teroris takfiri.

Globalisasi budaya dan krisis identitas di Barat merupakan unsur lain yang mendorong pemuda untuk bergabung dengan ISIS. Globalisasi yang ditandai dengan meningkatnya interaksi dan menghapus jarak, telah menjadi rival baru bagi jati diri bangsa yang dianut selama ini. Pada dasarnya, sistem pemerintah-bangsa sudah tidak lagi mampu memenuhi seluruh kebutuhan identitas warganya dan dalam sebuah rasa optimis, mereka menemukan sumber-sumber lain untuk membentuk jati diri.

Meningkatnya pengaruh Islam dan kaum Muslim di Dunia Barat, khususnya di zona Uni Eropa, merupakan dampak dari globalisasi budaya dan krisis jati diri yang ditimbulkan olehnya. Kebijakan integrasi dan persekutuan negara-negara Barat termasuk kekuatan-kekuatan Eropa, sebenarnya dibangun dengan pendekatan diskriminatif terhadap imigran Muslim. Kebijakan ini tidak membantu memperkaya pengetahuan agama mereka, tapi justru menyeret sebagian dari mereka kepada perilaku ekstrim.

Pertumbuhan populasi imigran Muslim – di mana akan mengubah struktur identitas negara-negara Eropa di masa mendatang – telah menambah kekhawatiran kubu sayap kanan ekstrim dan mereka bahkan merasa terancam, seperti yang terlihat di beberapa negara Barat semisal Perancis dan Jerman.

Lalu, mengapa pemuda Barat yang melihat dirinya di puncak rasionalitas, tiba-tiba saja terpesona dengan ISIS, kelompok yang menganut ideologi ekstrim yang bersumber dari ajarah Wahabi? Ketika individu mulai kehilangan identitas, keluarga, komunitasnya, dan semua unsur pembentuk jati diri serta hubungan sosial, maka ia akan mengisi kekosongan itu dengan ilusi dan mencari obat penenang.

Kelompok-kelompok seperti ISIS, akhirnya memanfaatkan kegalauan pemuda Eropa dengan cara menawarkan ideologi utopis dan distorsif. Mereka juga diiming-imingi tiket ke surga dengan cara membunuh perempuan dan anak-anak tak berdosa. Trik ini membuat pemuda Barat tergoda dan menerima pemikiran barbar ISIS.

Menebarkan teror dan propaganda juga termasuk dua pola lain yang menjadi amunisi operasi kelompok ISIS dan mereka menduduki sejumlah daerah lewat cara ini. Metode propaganda terbilang efektif untuk menarik warga Eropa agar bergabung dengan ISIS. Daya tarik ini tentu saja tidak berdiri sendiri, tapi merupakan kombinasi dari kondisi sosial-politik dan semangat individualisme di Barat. Gabungan unsur-unsur itu kemudian melahirkan reaksi radikal di Barat.

Ajaran ekstrim yang dikonsumsi oleh pemuda Eropa telah membentuk sebuah komunitas yang radikal dan kerap menyerang imigran Muslim yang menetap di negara-negara Barat. Unsur ini juga berperan dalam memotivasi pemuda Eropa untuk “mencari tiket ke surga” bersama ISIS.

Islamphobia di Barat memiliki hubungan langsung dengan ketertarikan pemuda Barat untuk menjadi anggota kelompok-kelompok teroris. Aktivitas dan tindakan kubu-kubu ekstrim – yang menyalahgunakan nama Islam – di sejumlah negara telah mencoreng wajah Islam dan citra masyarakat Muslim di Eropa. Selain itu, penafsiran distorsif tentang Islam yang disebarkan oleh para ekstrimis juga membuat sebagian orang mengenal Islam sebagai agama yang jauh dari nilai-nilai budaya dan peradaban serta agama perang dan teror.

Media-media mainstream dan politisi sayap kanan secara luas mempublikasi perilaku kelompok-kelompok ekstrim dan memantik gelombang Islamphobia di tengah masyarakat Eropa. Kondisi sosial-ekonomi Eropa yang mencakup diskriminasi sosial terhadap imigran dan gerakan anti-Islam, telah membantu mendidik kader-kader teroris, di mana tidak ada hubungannya dengan Islam hakiki.

Menurut pengamat Perancis dan Jerman, hanya sedikit dari teroris takfiri yang menganut ideologi ekstrim sebelum mereka pindah ke Eropa. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda dari kalangan menengah yang pernah merasakan gegar budaya (culture shock) dan mengadopsi pemikiran radikal. Para pemuda tersebut merasa frustasi karena tidak diterima di masyarakat Eropa dan dalam kondisi seperti itu, mereka bergerilya mencari identitas baru dan membangun kontak dengan kelompok-kelompok ekstrim di lingkungan tempat tinggal mereka.

Motivasi agama merupakan faktor eksternal yang membuat pemuda Barat bergabung dengan ISIS. Penyalahgunaan konsep jihad dan mati syahid telah menjadi salah satu faktor utama untuk menarik pemuda ke arah gerakan teroris dan takfiri. ISIS menebarkan pengaruhnya di berbagai negara dan menyasar masyarakat dengan pengetahuan tentang Islam yang minim. Kelompok takfiri itu mampu meracuni pemikiran mereka dan memperkenalkan ideologi takfiri sebagai Islam hakiki, di mana mereka bisa menikmati kebahagiaan abadi.

ISIS mampu merekrut anggotanya dari puluhan negara dan mereka berbondong-bondong meninggalkan negaranya untuk menuju Irak dan Suriah demi menyambut seruan ISIS. Bagaimana sebuah kelompok mampu merekrut banyak anggota dari puluhan negara? Mengapa orang-orang memilih meninggalkan kehidupan di Eropa dan Amerika Serikat untuk berperang di Irak dan Suriah dan kemudian menyembelih saudara-saudaranya? Sebagian besar dari jawaban ini kembali pada ajaran sesat ISIS tentang kekhalifahan dan jihad.

Mayoritas Muslim di negara-negara Islam dan Arab, menilai bahwa salah satu alasan utama kemunduran mereka di dunia modern disebabkan tidak adanya kekhalifahan Islam dan munculnya rezim-rezim diktator dan sekuler di negara-negara Islam. Oleh karena itu, mereka menganggap pembentukan sebuah pemerintahan Islam sebagai solusi keluar dari problema dewasa ini dan mukaddimah untuk memulai era keemasan peradaban Islam.

Setelah menyaksikan antusias komunitas Muslim membentuk pemerintahan Islam, ISIS kemudian menetapkan salah satu tujuan terpentingnya adalah membentuk kekhalifahan Islam. Untuk menunjukkan keseriusannya itu, ISIS segera mengumumkan pemerintahan Islam setelah menduduki setiap wilayah dan atas nama melaksanakan syariat Islam, mereka mengeksekusi dan mencambuk para penentangnya.

Setelah menguasai sejumlah daerah di Irak, kelompok ISIS juga menghapus tapal batas antara dua negara; Irak dan Suriah. Mereka menyebut aksinya itu sebagai langkah pertama untuk menghilangkan garis perbatasan antara negara-negara Islam. Dengan memanfaatkan para pakar operasi dan intelijen Partai Baath Irak serta dukungan Barat dan beberapa negara Arab di Timur Tengah, ISIS dengan cepat berubah menjadi sebuah kelompok teroris nomor wahid di kawasan.

Jejaring sosial semacam, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Telegram memainkan peran besar dalam penyebaran pemikiran dan propaganda ISIS, di mana 80 persen anggota ISIS direkrut lewat media sosial.

Read 1257 times