Tantangan Imigran Muslim di Eropa (1)

Rate this item
(0 votes)
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (1)

Jumlah populasi Muslim dan imigran Muslim di Eropa sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Negara-negara Eropa mengeluarkan angka yang berbeda dengan alasan pertimbangan keamanan.

Berdasarkan data Pew Research Center, populasi Muslim di Eropa pada tahun 1990 mencapai 29,6 juta jiwa. Pada 2010, jumlah mereka naik menjadi 44,1 juta. Populasi Muslim Eropa diproyeksikan melebihi 58 juta orang pada 2030. Muslim saat ini mencapai sekitar 6 persen dari total populasi Eropa, naik dari 4,1 persen pada 1990. Pada tahun 2030, jumlah Muslim diperkirakan mencapai 8 persen dari populasi Eropa.

Jika tren ini terus berlanjut, jumlah Muslim di Eropa diproyeksikan menjadi sekitar 20 persen pada 2050 dari total penduduk negara-negara Eropa.

Jerman dan Perancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa. Menurut Pew Research Center, jumlah Muslim Jerman sekitar 4,11 juta pada 2010 atau sekitar 6 persen dari total populasi. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi 5,5 juta jiwa pada 2020.

Populasi Muslim Perancis sekitar 4,7 juta jiwa pada tahun 2010 atau 7,5 persen dari total populasi. Diperkirakan jumlah itu akan naik menjadi 5,5 juta orang pada 2020 atau sekitar 8 persen dari total populasi Perancis.


 

Statistik ini berhubungan dengan populasi Muslim di Eropa, dan belum termasuk pengungsi Muslim yang tiba di negara-negara Eropa sepanjang tahun 2011-2017 atau setelah pecahnya krisis Suriah. Tentu saja jumlah populasi Muslim di Eropa terutama Jerman, akan bertambah jika dihitung para imigran Muslim yang lari dari krisis di negara mereka.

Saat ini negara-negara Eropa menghadapi berbagai tantangan karena gelombang baru imigrasi. Namun, masih ada perbedaan yang tajam di antara anggota blok Eropa tentang pengambilan sebuah kebijakan terpadu terkait pengungsi.

Statistik PBB pada 2015 menunjukkan setidaknya 59 juta orang di dunia sedang melarikan diri atau bermigrasi, terutama karena faktor-faktor seperti perang, perubahan iklim, kekeringan, kemiskinan, dan pengangguran, atau tekanan politik.

Alasan mengungsi tentu saja tidak terbatas pada faktor tersebut, tetapi ia juga dipengaruhi oleh dampak negatif dari globalisasi, kebijakan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir di tingkat global, akses yang lebih besar ke media, serta kebijakan militer dan keamanan negara-negara besar.

Dalam beberapa tahun terakhir, arus pengungsi di dalam wilayah Eropa juga meningkat signifikan. Banyak dari warga negara Yunani dan negara-negara Balkan seperti, Albania, Kosovo dan Makedonia – yang terkena krisis ekonomi dan finansial – menganggap migrasi ke negara-negara kaya Eropa (Jerman, Perancis dan Inggris) sebagai cara terbaik untuk mencari kehidupan yang layak.

Perjanjian Schengen yang memungkinkan bepergian ke 26 negara Eropa tanpa visa, telah membuka jalan bagi para imigran Eropa. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ekstrimis sayap kanan di Perancis, termasuk Partai Front Nasional yang dipimpin Marine Le Pen, mendesak pembatalan Perjanjian Schengen guna mengendalikan imigran dari negara-negara Uni Eropa yang lemah.

Saat ini, Uni Eropa menghadapi gelombang besar-besaran pengungsi dan pencari suaka dari tiga jalur utama, yaitu dari Afrika melalui rute Libya, dari Asia melalui Turki dan dari dalam benua Eropa melalui Balkan.


 

Menurut laporan Biro Perbatasan Uni Eropa (Frontex), lebih dari 340.000 pencari suaka dan imigran telah memasuki negara-negara Eropa secara ilegal antara Januari-Juli 2015, di mana naik tiga kali lipat dari periode yang sama tahun lalu.

Data Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa pada 2014, lebih dari 170.000 imigran tiba di pantai Italia, dan lebih dari 3.200 orang kehilangan nyawa mereka, terutama karena karamnya kapal di laut.

Menurut statistik Komisi Eropa, pada tahun 2014 saja, Uni Eropa menerima hampir 626.000 permohonan suaka, angka ini tertinggi sejak 1990. Pada 2013, pemerintah-pemerintah Eropa menerima 431.000 aplikasi suaka. Padahal, laporan IOM pada 2014 menyatakan Eropa saat ini adalah tujuan paling berbahaya bagi imigran ilegal di dunia.

Laut Mediterania juga dianggap sebagai rute yang paling berbahaya di dunia. Rute Mediterania Tengah dan Italia merupakan pintu masuk utama ke Eropa, terutama dari Suriah, Irak, Somalia, Mesir dan Eritrea. Setelah diserbu para imigran, isu imigrasi sekarang telah menjadi salah satu masalah yang paling kontroversial dalam kebijakan keamanan Eropa.

Isu ini mulai dikaitkan dengan beberapa tantangan penting seperti terorisme, kejahatan, ketimpangan sosial, dan perekrutan sebagian imigran oleh kelompok-kelompok takfiri.

Beberapa negara Eropa termasuk Perancis, menolak menerima lebih banyak imigran, dan beberapa negara lain termasuk Hongaria, Yunani, Italia, mengadopsi kebijakan yang keras terhadap imigran dan pencari suaka, serta memperketat keamanan perbatasan. Meski demikian, bagi banyak imigran, Eropa adalah simbol kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan.

Ribuan warga dari negara-negara konflik seperti, Suriah, Afghanistan, Libya, Somalia, Irak, dan ... sedang berjuang mencapai Benua Biru melalui rute-rute yang berbahaya dengan harapan menemukan kehidupan baru.

Ribuan orang kehilangan nyawa mereka, khususnya dari 2013 hingga 2017. Sebenarnya, sebagian besar imigran dan pencari suaka gagal meraih mimpinya di Eropa.

Meski demikian, arus migrasi ke Eropa menjadi lebih intens setelah pecahnya krisis Suriah pada 2011, sehingga gelombang pengungsian ini dianggap sebagai krisis migrasi terbesar sejak Perang Dunia II.

Sejak krisis Suriah, lebih dari 4 juta warga Suriah telah tiba di daratan Eropa dari Laut Mediterania atau melalui perbatasan darat Turki dengan Yunani dan Bulgaria. Dalam hal ini, Turki berusaha memanfaatkan isu imigran sebagai tuas tekanan untuk mendapatkan keuntungan finansial dan politik dari Uni Eropa.

Juru bicara Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Melissa Fleming mengatakan,  "Sampai tahun 2015, ada sekitar 2 juta warga Suriah di Turki, 1,1 juta di Lebanon, 630.000 di Yordania, 250.000 di Irak, 132.000 di Mesir, dan 24.000 di negara-negara Afrika Utara. Pada paruh pertama 2015 saja, hampir 700.000 pengungsi tiba di Yunani melalui Republik Makedonia untuk mencapai bagian lain Eropa. Jumlah imigran yang tiba di pantai Yunani meningkat lebih dari 408 persen dalam enam bulan pertama 2015 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu."

Pada Juni 2013, Parlemen Eropa meloloskan sebuah kerangka kerja bersama untuk menghadapi para imigran. Kematian 800 imigran pada April 2015 mendorong Uni Eropa mensahkan resolusi 10 butir untuk mengatasi arus imigran dan pencari suaka. Pada 2018, beberapa negara Eropa juga mendesak pengetatan kebijakan imigrasi.

Perdana Menteri Republik Ceko, Andrej Babis dalam wawancara dengan surat kabar Pravo, cetakan Praha pada Agustus 2018, menyerukan kebijakan pembatasan terhadap imigran dan pengungsi di seluruh Uni Eropa.


 

"Kita pertama-tama dan terutama harus mengirim sinyal yang jelas bahwa Eropa ditutup dan tidak ada yang bisa datang ke sini lagi," tegasnya.

Menurut Babis, pesan Eropa kepada para pengungsi harus berbunyi, "Tetaplah di rumah kalian, dan kami akan membantu kalian di sana!"

"Pesan ini juga harus jelas. Jika saya mengatakan bahwa kami tidak akan menerima satu pun imigran ilegal, maka itulah yang akan terjadi," tandas Babis.

Republik Ceko, bersama dengan Polandia, Hongaria, dan Slovakia dengan keras menentang skema Uni Eropa untuk mendistribusikan para pencari suaka di seluruh blok Eropa.

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Uni Eropa sedang memperketat kebijakannya terhadap imigran Muslim. Padahal, penyebab utama arus imigrasi dari negara-negara Muslim di Asia Barat, terutama Suriah adalah karena perang dan krisis yang diciptakan oleh teroris Takfiri dukungan Amerika Serikat dan Barat. 

Read 1223 times