Tantangan Imigran Muslim di Eropa (2)

Rate this item
(0 votes)
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (2)

Kelompok etnis terbesar imigran Muslim di Eropa adalah orang-orang Arab, yang membentuk 45 persen Muslim di benua itu. Posisi berikutnya ditempati orang-orang Turki dan pendatang Muslim dari Asia Selatan.

Mayoritas Muslim di Perancis dan Inggris juga berasal dari Afrika dan Asia Selatan. Warga Muslim mulai berimigrasi ke Eropa dari negara-negara bekas koloni Perancis dan Inggris di Afrika dan Asia Selatan sejak pertengahan abad ke-20. Imigrasi ini melahirkan mayoritas kelompok etnis Afrika Utara di Perancis dan mayoritas kelompok etnis Asia Selatan di Inggris.

Migrasi Muslim ke Jerman terjadi bersamaan dengan gerakan apa yang disebut pekerja tamu (Guest Workers), di mana sebagian besar mereka berasal dari Turki dan selama krisis ekonomi pada era Perang Dingin. Warga Muslim mulai mendatangi Eropa untuk mencari pekerjaan selama dekade 1950-an dan 1960-an, setelah kehancuran besar-besaran akibat Perang Dunia II.

Para imigran ini telah memenuhi kebutuhan negara-negara Eropa pada tenaga kerja murah. Jadi, kehadiran populasi imigran Muslim di Eropa terjadi karena kekurangan tenaga kerja di Eropa Barat dan kebijakan imigrasi dekade 1950-an dan 1960-an.

Proses ini berlanjut hingga tiga dekade pasca Perang Dunia II, karena pemerintah-pemerintah Eropa Barat ingin menarik imigran laki-laki muda untuk membangun kembali ekonomi mereka.

Selama beberapa dekade, negara-negara seperti Jerman, Austria dan Swiss, memandang imigran Muslim sebagai kekuatan untuk pemulihan ekonomi Eropa, tetapi pada saat yang sama tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi imigran Muslim.


Resesi ekonomi tahun 1970-an di Eropa telah menyebabkan pembatasan yang lebih ketat bagi imigran Muslim. Terlepas dari peran mereka dalam rekonstruksi ekonomi Eropa, peningkatan populasi imigran Muslim memicu kekhawatiran dari beberapa kalangan politik dan media, terutama kubu sayap kanan di Eropa. Mereka berusaha memperkenalkan imigran Muslim sebagai pemicu instabilitas dan ketidakteraturan di Eropa.

Meski diambil keputusan tertentu untuk mengendalikan migrasi tenaga kerja ke Eropa pada awal abad ke-21, namun populasi imigran di Eropa tumbuh semakin banyak. Pertumbuhan ini didorong oleh banyak faktor dan salah satunya penerbitan izin tinggal untuk kunjungan keluarga.

Di masa itu, masalah migrasi belum dianggap sebagai isu keamanan dan politik oleh masyarakat Eropa. Kebebasan bergerak pekerja dari negara-negara berkembang dipandang sebagai hal yang bertujuan membangun kembali pasar domestik negara-negara Eropa.

Setelah itu, Uni Eropa untuk pertama kalinya meloloskan undang-undang yang membedakan antara hak atas kebebasan bergerak individu dari negara-negara anggota dan negara berkembang.

Pada awal abad ke-21, negara-negara Eropa umumnya memandang imigrasi dari sudut ekonomi dan sosial. Salah satu tujuan utama mereka menciptakan pasar tenaga kerja yang terintegrasi, di mana para pekerja dapat bergerak bebas di antara negara-negara Eropa.

Krisis minyak 1974-1973 menyebabkan berakhirnya proses rekonstruksi dan era keemasan ekonomi Eropa, tetapi migrasi Muslim ke Benua Biru terus berlanjut, dan memasuki fase baru yang ditandai dengan kedatangan keluarga-keluarga pekerja.

Sejak akhir dekade 1970-an, negara-negara Eropa berusaha menutup pintunya terhadap arus besar pekerja semi-terampil, tetapi pada masa itu pula, jumlah pasangan dan anak-anak dari pekerja migran yang tinggal di Eropa telah meningkat. Hal ini mendorong keluarga Muslim untuk memikirkan masalah pendidikan, agama, dan sosial serta ditambah lagi ekonomi.

Dengan demikian, pandangan Eropa tentang fenomena imigrasi mulai berubah sejak pertengahan tahun 1980-an. Meningkatnya jumlah imigran Muslim generasi kedua di Eropa dan permohonan suaka dari kerabat mereka di kampung halaman, telah menjadikan masalah migrasi sebagai sebuah isu politik.


Seiring meningkatnya imigran ilegal, negara-negara Eropa merasa perlu menyusun undang-undang bersama dan mengambil kebijakan terpadu terkait pendatang.

Perjanjian Uni Eropa yang dikenal sebagai Perjanjian Maastricht 1992, memperkenalkan masalah migrasi sebagai subjek regulasi antara pemerintah di Uni Eropa.

Sejak akhir dekade 1990-an, terutama pasca 11 September, masalah migrasi secara bertahap bergeser ke isu keamanan dan beberapa pemerintah Eropa mengaitkan imigran Muslim dengan terorisme, ekstremisme, dan kejahatan internasional.

Sejak akhir dekade 1990-an, negara-negara Eropa menerapkan program integrasi yang sejalan dengan pemikiran dan gaya hidup Barat melalui transformasi budaya dan nilai-nilai Muslim serta perubahan dalam sistem normatif mereka yang sesuai dengan nilai-nilai Eropa. Namun, generasi ketiga imigran Muslim belum mampu menyatu dengan identitas Eropa.

Karena program integrasi tidak berjalan efektif pada generasi ketiga imigran Muslim, maka perpecahan dan kesenjangan sosial secara bertahap muncul di antara mereka dan penduduk lokal, dan menciptakan ruang bagi diskriminasi sosial terhadap imigran Muslim, hanya karena status mereka Muslim.

Di sisi lain, sentimen anti-asing dan Islamphobia semakin merebak di tengah masyarakat tuan rumah. Meningkatnya kekuatan partai-partai sayap kanan anti-imigran di beberapa negara Eropa, termasuk Swedia, Belanda dan Denmark, serta terbentuknya kelompok-kelompok anti-Islam dan anti-imigran seperti, PEGIDA di Jerman, adalah salah satu contoh nyata dari bangkitnya sentimen anti-Islam dan anti-Muslim di Barat.

Fenomena Islamphobia di Eropa dengan sendirinya telah membantu menggiring masalah imigrasi ke isu keamanan Eropa.

Bertambahnya jumlah warga Muslim yang eksodus ke Eropa telah mempengaruhi pendekatan studi sosial dalam meneliti fenomena migrasi di Barat dengan orientasi agama. Di Eropa, studi sosiologis imigran termasuk bagian dari studi agama dengan klaim bahwa kehadiran Muslim telah membawa dampak negatif di Eropa.

Di Amerika Serikat, pendatang utama adalah orang-orang Kristen. Namun di Eropa Barat, imigran yang paling banyak adalah Muslim.

Bagi beberapa negara Eropa, terlepas dari klaim mereka tentang demokrasi dan kebebasan, sangat sulit untuk memenuhi tuntutan atas dasar agama. Menurut beberapa pakar Barat, agama para imigran di Eropa Barat bukanlah sebuah peluang, melainkan penghalang dan tantangan bagi integrasi Eropa serta menjadi sumber konflik dengan institusi-institusi Eropa dan sebuah faktor yang bisa merusak komposisi demografi Eropa di masa depan.


Bernard Lewis, dosen dan analis studi Asia Barat di Princeton University dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, Die Welt pada 2004, memperkirakan Eropa Barat akan menjadi wilayah Islam di masa depan jika jumlah imigran Muslim terus bertambah.

"Orang-orang Eropa menikah terlambat dan memiliki sedikit atau tanpa anak. Tetapi proses migrasi orang-orang Muslim ke Eropa berjalan cepat. Orang-orang Turki di Jerman, Arab di Perancis, dan Pakistan di Inggris akan bertambah. Mengingat tren saat ini, mayoritas Muslim akan tinggal di Eropa paling tidak pada akhir abad ke-21. Jika Eropa tidak bisa menangani kehadiran Islam dan Arab serta menetapkan pedoman untuk asimilasi Muslim dengan nilai-nilai Eropa, maka saat itu kendali persoalan ini akan jatuh ke tangan kaum rasis dan fasis," jelasnya.

Saat ini, pejabat dan negara-negara di Eropa Barat sedang mengkaji masalah penerapan keamanan ekstrim terhadap imigran Muslim dan melemparkan isu tentang ketidakmampuan atau keengganan imigran Muslim untuk menyatu dengan identitas Eropa.

Di sini, banyak politisi dan pemerintah Eropa – untuk lari dari persoalan internalnya – menggambarkan imigran Muslim sebagai sumber utama masalah.

Dampak dari pendekatan semacam ini adalah munculnya kelompok-kelompok rasis, anti-Islam dan anti-imigran di beberapa negara Eropa. Padahal, imigran Muslim memainkan peran utama dalam pembangunan Eropa sejak dekade 1960-an, dan berbeda dengan klaim kubu anti-Islam, mereka bukan bahaya bagi stabilitas Eropa.

Faktor yang memperkuat ekstremisme di Eropa adalah kebijakan keliru yang memandang imigran Muslim dari perspektif keamanan, dan juga dukungan sebagian negara Eropa kepada Arab Saudi yang menjadi sumber ekspor terorisme Wahabi. 

Read 1205 times