Salah satu kekhawatiran besar negara-negara Eropa mengenai generasi kedua imigran Muslim adalah bahwa mereka yang terpengaruh oleh apa yang disebut Barat sebagai fundamentalisme Islam, akan terjerumus ke arah isolasi budaya. Para imigran dengan isolasi budaya berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan terorisme.
Dengan asumsi ini, para pejabat Eropa menganggap budaya Islam memiliki pendekatan agresif terhadap peradaban Barat. Namun, jika mereka benar-benar berkomitmen dengan slogan kebebasan keyakinan dan agama, tidak akan pernah muncul asumsi tentang pertentangan Islam dengan norma-norma budaya dan nilai-nilai kemanusiaan peradaban lain. Dugaan ini sebenarnya muncul karena media-media Barat memperkenalkan Islam secara bias.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sepucuk surat kepada pemuda Eropa dan Amerika pada 21 Januari 2015, mengatakan, "Kenalilah Islam dari sumber-sumber orisinil dan aslinya. Kenalilah Islam melalui al-Quran dan kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Di sini, saya ingin bertanya apakah kalian sudah pernah membaca langsung al-Quran kaum Muslim? Apakah kalian sudah mempelajari ajaran Nabi Islam (Muhammad Saw), dan ajaran kemanusiaan dan akhlaknya? Selain media, apakah kalian pernah menerima pesan Islam dari sumber lain? Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri, bagaimana dan atas dasar nilai-nilai apa sehingga Islam ini telah mengembangkan peradaban ilmiah dan intelektual terbesar dunia selama berabad-abad serta mendidik para ilmuwan dan pemikir paling terkemuka?"
Terlepas dari urgensitas mengenal Islam dan kaum Muslim dari sumber-sumber otentik Islam, para pejabat politik, media, dan intelektual Barat memiliki pendekatan sinis terhadap Islam dan Muslim. Pendekatan sinis ini mendorong para pejabat Eropa – sadar atau tidak – mencitrakan Islam dan imigran Muslim identik dengan terorisme.
Sebagai contoh, otoritas kontra-terorisme Inggris memperingatkan ada sekitar 3.000 Muslim ekstrim tinggal di Inggris, yang berpotensi melakukan tindakan teroris. Namun, pihak berwenang di bidang kontra-terorisme Eropa tidak bisa menjelaskan bagaimana cara mengidentifikasi potensi tersebut.
Media-media Barat tidak mampu membedakan antara kelompok radikal dan imigran Muslim yang cinta damai di Eropa, dan karena alasan ini, mereka menyebarkan pandangan biasnya tentang Muslim di antara masyarakat Eropa.
Para pejabat kontra-terorisme Eropa memperkirakan bahwa 1-2 persen dari Muslim di benua itu – antara 250.000 sampai 500.000 orang – terlibat dalam beberapa jenis kegiatan ekstremis. Namun, berapa banyak dari Muslim ini yang benar-benar mendukung terorisme atau melakukan tindakan teroris, tidak jelas.
Ada beragam pandangan tentang penyebab munculnya perilaku kekerasan ini. Beberapa pejabat politik dan intelektual Eropa percaya pada konflik inheren antara Islam dan dunia Barat. Untuk itu, sebagian besar media Barat mengkampanyekan Islamphobia dan kebencian terhadap Islam.
Sebagian lain berpendapat bahwa praktek diskriminatif di ranah politik, sosial, dan ekonomi Eropa terhadap komunitas Muslim di benua itu telah membantu menumbuhkan terorisme di Eropa. Menurut mereka, pelaku aksi teror di negara-negara Eropa adalah warga keturunan Arab yang tidak puas dengan situasi politik dan sosialnya di negara-negara Eropa.
Dari 66 tahanan pertama di penjara Guantanamo, sekitar 20 dari mereka berasal dari negara-negara Eropa Barat. Banyak dari terduga teroris di Eropa adalah generasi muda kelas menengah, yang terdorong ke arah ekstremisme karena pernah mengalami perlakuan diskriminatif.
Jadi, praktik-praktik anti-agama di bawah bendera sekularisme yang mendominasi masyarakat Eropa dan frustrasi sosial, turut mempengaruhi kencendrungan sebagian pemuda Muslim di Eropa ke arah ekstremisme.
Akan tetapi, sebagian besar pemuda Muslim di Eropa adalah imigran atau pecinta damai. Sayangnya, masyarakat Eropa tidak mampu memisahkan antara mereka dan sebagian anasir ekstrem, dan dalam banyak kasus – sebagai respon atas ekstremisme – masyarakat Eropa menjadikan seluruh warga Muslim sebagai sasaran kritiknya.
Dalam beberapa tahun terakhir, media-media Barat memanfaatkan peristiwa serangan teroris Al Qaeda dan Daesh di Eropa untuk menyudutkan komunitas Muslim. Padahal dalam pandangan Islam dan Muslim, teroris secara prinsip tidak punya agama. Namun, media-media Barat selalu memperkenalkan mereka sebagai Muslim dan Barat menutup mata tentang kerjasama para teroris Al Qaeda dan Daesh dengan pemerintah dan dinas-dinas intelijen Eropa dan AS.
Pada dasarnya, Eropa menghadapi dua fenomena terorisme sekaligus yaitu anasir yang lahir akibat diskriminasi budaya di Eropa dan organisasi teroris lain yang disebut teroris domestik atau homegrown teroris (musuh dalam selimut).
Para teroris homegrown Eropa secara prinsip tidak bisa dianggap sebagai imigran. Karena, mereka – meski memiliki akar imigran – dilahirkan atau dibesarkan di negara-negara Eropa sendiri atau memang warga asli Eropa. Tetapi, para pejabat dan media-media Barat memperkenalkan mereka sebagai generasi kedua atau ketiga imigran.
Ancaman yang terkait dengan teroris domestik mulai tumbuh signifikan di Eropa sejak 2010. Tujuan mereka umumnya adalah melakukan serangan terhadap rel kereta api, bandara, pesawat sipil, bus umum, dan fasilitas publik.
Perasaan miskin relatif, ketergantungan budaya, dan termarjinalkan secara kelompok, adalah motivasi utama para teroris homegrown Eropa dalam melakukan kekerasan, dan hal ini menjadi persoalan internal negara-negara Eropa. Para ekstremis Eropa biasanya memiliki organisasi yang tidak terpusat dan fakta ini menjadi tantangan sendiri bagi negara-negara Eropa.
Sebenarnya, keamanan publik di Eropa sangat terancam oleh pertumbuhan dan penyebaran teroris domestik.
Salah seorang anggota dinas intelijen Denmark mengatakan, "Ancaman utama bagi negara-negara seperti, Denmark dan semua negara lain Eropa datang dari kelompok pemula, tidak profesional, dan kecil. Mereka adalah para pemuda yang termakan tipuan Muslim atau non-Muslim yang terilhami oleh ideologi Al Qaeda yang disebut jihadis. Orang-orang ini secara terang-terangan atau terselubung melakukan tindakan terorisme, sama sekali tidak terkontrol, tidak terencana atau dukungan dari luar. Mereka menentukan sendiri tujuan, perencanaan, dan pada akhirnya melaksanakannya."
Mengenai kelompok kecil dan teroris lone wolf, Direktur Dinas Keamanan Inggris, Eliza Manningham-Buller dalam pidatonya di Queen Mary's College, London pada 2006 mengatakan, "Semakin banyak orang bergerak dari simpati pasif menuju terorisme aktif melalui radikalisasi atau indoktrinasi oleh teman, keluarga, dalam acara pelatihan terorganisir di sini (Inggris) dan di luar negeri, dengan gambar di televisi, melalui ruang chat dan situs web di internet."
Para peneliti Barat memperkirakan bahwa ancaman terorisme domestik bagi keamanan nasional AS dan negara-negara Eropa akan lebih serius di masa depan dibandingkan ancaman dari Al Qaeda dan afiliasinya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa Eropa menghadapi ancaman serangan teroris yang lebih serius daripada AS. Serangan ini datang dari teroris domestik yang terpengaruh oleh ideologi kelompok-kelompok sesat seperti, Daesh dan Al Qaeda.
Meski para pejabat, media, dan bahkan think tank di Barat, tidak tertarik untuk memisahkan antara fenomena terorisme dengan imigran, namun faktanya adalah mencampuradukkan isu imigran dan terorisme di Eropa justru akan memperumit masalah.
Pendekatan seperti ini akan menghalangi para pemimpin Eropa menemukan solusi yang rasional untuk mengakhiri krisis imigran dan juga masalah terorisme; sebagai dua persoalan yang terpisah, namun saling mempengaruhi di Eropa.