Radikalisme adalah sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Orang-orang yang menyerukan langkah-langkah keras dan inkonstitusional di ranah politik, ekonomi, dan sosial untuk mengubah masyarakat disebut radikal.
Pada seri sebelumnya, kita telah mengkaji tentang pola perekrutan sejumlah imigran Muslim di Eropa untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris. Pada bagian ini, kita akan fokus pada proses radikalisasi dan keanggotaan sejumlah imigran Muslim di organisasi-organisasi teroris.
Menurut studi sosial, dalam proses radikalisasi di Eropa, anak-anak muda yang memiliki pandangan sekuler umumnya akan memasuki fase pra-radikalisme.
Informasi yang tidak utuh, kesalahpahaman, dan interpretasi Islam sebagai agama kekerasan, telah meyakinkan para pemuda atau remaja untuk bergabung dengan organisasi teroris. Mereka akhirnya termotivasi untuk merencanakan serangan teror.
Ada beberapa faktor yang membuat sejumlah pemuda atau remaja imigran di Eropa tertarik pada radikalisme. Pertama, kebijakan agresif negara-negara Barat di negara-negara Muslim seperti, Irak, Afghanistan, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Kedua, aksi provokasi dan hasutan seperti penghinaan terhadap sakralitas Islam oleh para pejabat, intelektual, dan jurnalis Barat, serta publikasi artikel atau kartun provokatif. Ketiga, rasa memiliki hubungan antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lain dengan paham tertentu.
Menurut para peneliti Barat, para ekstremis potensial pada fase pra-radikalisme dan bujukan, akan menjauhkan diri dari kehidupan sebelumnya dan mulai menampilkan dirinya sebagai fundamentalis Islam. Pada fase ini, faktor-faktor seperti kesamaan ideologi, kedekatan emosional, kesamaan lembaga pendidikan, dan perjalanan ke negara-negara seperti Arab Saudi, akan mempercepat proses radikalisasi seseorang.
Data menunjukkan para pelaku serangan teror selama 2014 dan 2015 di Eropa, setidaknya pernah melakukan perjalanan ke Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, dan daerah-daerah yang dikendalikan teroris Takfiri di Suriah dan Irak. Secara khusus, Abdelhamid Abaaoud, seorang teroris Belgia-Maroko dan pemimpin serangan Paris pada November 2015, pernah menerima pelatihan di daerah yang dikuasai Daesh di Suriah.
Para pengungsi dan pencari suaka di salah satu negara Eropa.
Keempat, para propagandis Wahabi dan Takfiri, serta teman dekat memainkan peran penting dalam proses membujuk anak pemuda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Menurut para peneliti Barat, kehadiran anasir propagandis yang mahir di masjid-masjid, kampus, dan sekolah memainkan peran besar dalam membujuk anak muda dan remaja untuk memilih ideologi radikal.
Para mubaligh Wahabi Arab Saudi memainkan peran profesional dalam menghasut sentimen mazhab anak muda dan remaja yang labil di Eropa. Mereka sangat cepat terpengaruh oleh mubaligh Wahabi karena tidak mengenal sejarah negaranya, serta tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam dan al-Quran sebagai agama yang cinta damai dan anti-kekerasan.
Mubaligh Wahabi yang berafiliasi dengan Arab Saudi, Redouan al-Issar alias Abu Khaled memprovokasi Mohammed Bouyeri (teroris Belanda-Maroko) untuk membunuh sutradara film Belanda yang anti-Muslim, Theo van Gogh.
Teroris Inggris, Richard Reid yang dikenal sebagai pembom sepatu, terpengaruh oleh pemikiran Abu Qatada dan para khatib lain di Masjid Finsbury Park London. Richard Reid – yang mengidolakan Osama bin Laden – berusaha meledakkan pesawat America Airlines dengan bahan peledak yang disembunyikan di sepatunya pada November 2002, tetapi berhasil digagalkan.
Kelima, jejaring sosial juga ikut berkontribusi dalam proses radikalisasi seseorang. Psikiater forensik dan mantan agen CIA, Marc Sageman menuturkan, "Media sosial adalah kunci dinamika jaringan teror."
Para teroris domestik di Eropa mengandalkan media sosial untuk melakukan radikalisasi, rekrutmen, pelatihan, dan dukungan operasional. Kemajuan di bidang teknologi informasi menyediakan peluang yang luar biasa kepada mereka untuk mengakses beragam sumber informasi dan tidak perlu lagi melakukan perjalanan ke daerah konflik untuk bertemu dengan para petinggi Al Qaeda atau Daesh.
Kubu sayap kanan menolak kehadiran imigran Muslim di Eropa.
Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram dan YouTube telah menjadi cara paling efektif bagi kelompok teroris untuk menyebarkan paham radikal. Mereka menggunakannya untuk merusak citra Islam dan memicu gelombang Islamphobia di Barat.
Al Qaeda adalah pelopor penggunaan internet untuk menyebarkan ideologi terorisme, dan dalam beberapa tahun terakhir Daesh menggunakan sejumlah besar platform media sosial, terutama YouTube dan Telegram untuk tujuan yang sama.
Kelompok-kelompok teroris dukungan Barat di Suriah, Irak, dan Afghanistan, masing-masing memiliki tim media terpisah dan akun khusus di jejaring sosial, yang menerima pasokan konten dari komando pusat.
Padahal, penyebaran konten kekerasan dan ancaman terhadap orang lain dilarang oleh aturan media sosial seperti Twitter, YouTube, dan Facebook, tetapi beragam jenis kekerasan, seperti eksekusi massal, pemenggalan, dan adegan memakan anggota tubuh korban, tersebar bebas di akun-akun resmi milik kelompok teroris.
Media sosial yang didukung oleh lobi dan kapitalis Zionis, sedang mengejar misi penting lainnya yaitu; mencitrakan Islam sebagai agama kekerasan. Sebab, kelompok-kelompok teroris dengan menyalahgunakan bendera tauhid dan slogan takbir, telah menyajikan referensi negatif dan anti-Islam di antara para simpatisannya di media sosial.
Tim cyber kelompok teroris seperti Daesh, melakukan perekrutan terhadap pemuda dari seluruh dunia untuk bergabung dengan mereka. Tagar teroris di Twitter dan video klip Daesh di YouTube, mengirim pesan yang paling efektif kepada para imigran dan bahkan penduduk asli Eropa.
Teroris juga menggunakan game komputer yang dirancang di Barat untuk memotivasi dan merekrut anak muda. Para peneliti di Inggris menemukan bahwa permainan yang disebut Homegrown Games memainkan peran besar dalam mendorong pemuda Inggris bergabung dengan Daesh.
Dan keenam, kelompok teroris memanfaatkan anasir lokal untuk merekrut anggota baru dan memperluas jaringannya. Seorang pakar Amerika yang meneliti fenomena Al Qaeda dan Daesh, Colin P. Clarke menulis, "Setelah pendudukan AS di Afghanistan, afiliasi pertama Al Qaeda di Arab Saudi didirikan pada 2003, kemudian cabang-cabang organisasi itu muncul di Irak pada 2004, di Aljazair pada 2006, di Yaman pada 2007, di Somalia pada 2010, dan di Suriah pada 2012. Di semua negara tersebut, Al Qaeda merekrut anasir lokal untuk petempurnya. Kelompok teroris selalu mencari anasir lokal dan pribumi untuk memperluas wilayah mereka dan memperoleh legitimasi."
Dari perspektif para peneliti Barat, tahap lain dari proses radikalisasi adalah penentuan tujuan, perencanaan, perakitan bahan peledak, pengujian, dan pada akhirnya menjalankan operasi teror.
Pada tahap ini, setiap anggota kelompok teroris menerima tanggung jawab untuk melancarkan operasi. Tahap ini berlangsung cukup cepat dan bisa memakan waktu beberapa bulan atau beberapa minggu atau bahkan hari.
Di sini, loyalitas kelompok benar-benar diperkuat dan orang-orang bersikap sangat tertutup. Pertemuan biasanya dilakukan di dalam mobil, rumah-rumah khusus, dan tempat-tempat yang sulit dideteksi oleh polisi dan agen pemerintah di negara-negara Eropa.
Dapat dikatakan bahwa radikalisasi biasanya bukanlah sebuah proses yang cepat, tetapi sebuah gerakan bertahap yang berlangsung selama beberapa waktu. Perilaku diskriminatif negara-negara Barat terhadap imigran Muslim ikut mempercepat proses ini, terutama dalam beberapa tahun terakhir.