Pasca 13 tahun perang 33 hari di tahun 2006, babak baru konfrontasi antara Hizbullah dan rezim Zionis Israel kembali meletus dari 25 Agustus hingga 1 September. Artikel ini akan menyoroti penyebab dari babak baru konflik dan pesan-pesannya.
Putaran baru konflik dipicu oleh sepak terjang rezim Zionis. Pasalnya, pada hari Minggu, 25 Agustus, dua drone Israel jatuh di distrik Dahieh, wilayah selatan Lebanon. UAV pertama tidak menimbulkan kerusakan, tetapi UAV kedua, yang dilengkapi dengan bom, menyebabkan kerusakan pada bagian dari bangunan media Hezbullah.
Sebelumnya, rezim Zionis telah membunuh dua pejuang Hizbullah dengan menembakkan roket ke markas Hizbullah di wilayah pinggiran selatan Damaskus. Aksi destruktif rezim Zionis ini disikapi secara tegas oleh Sekjen Hizbullah Hassan Nasrullah dan langkah balasan Hizbullah terhadap Israel dilancarkan pada 1 September. Peristiwa ini menjadi salah satu bentrokan paling serius antara Hizbullah dan Israel sejak 2006.
Tampaknya, masalah paling penting dari sepak terjang terbaru Israel terhadap Hizbullah di Lebanon berkaitan dengan agenda pemilu Benjamin Netanyahu. Perdana Menteri Rezim Zionis Israel Benjamin Netanyahu, yang merangkap jabatan sebagai menteri urusan perang menghadapi situasi politik yang tidak menguntungkan di wilayah-wilayah pendudukan.
Netanyahu melancarkan manuver militer terhadap Hizbullah dengan menggunakan dua taktik untuk memenangkan pemilu parlemen pada17 September, dan memuluskan pembentukan kabinet baru.
Taktik pertama dengan memanfaatkan skenario kesepakatan abad yang dicanangkan AS. Oleh karena itu, pada KTT Manama yang digelar Juni 2019, menantu Trump, Jared Kushner yang memiliki hubungan dekat dengan Netanyahu, melakukan upaya besar untuk meraih dukungan negara-negara Arab terhadap Netanyahu dan kesepakatan abad. Tetapi taktik itu membentur dinding, karena pertemuan Manama sia-sia belaka dan kesepakatan abad tidak berhasil diluncurkan sebagaimana yang diharapkan Washington dan Tel Aviv.
Taktik kedua penggunaan faktor perang. Berkaca pada perang Mei yang dilancarkan rezim Zionis terhadap kelompok-kelompok perlawanan Palestina, Netanyahu terpaksa menerima gencatan senjata setelah dua hari berperang dan mengubah taktik perangnya dengan melancarkan perang melawan Al Hashd Al Shaabi, serangan rudal terhadap pangkalan militer Suriah di pinggiran Damaskus, dan akhirnya melancarkan serangan terbatas ke arah posisi Hizbullah di Lebanon.
Surat kabar Lebanon al-Akhbar dalam sebuah analisisnya menulis, "Pada prinsipnya, Netanyahu menganggap peningkatan langkah-langkah militer dan keamanan baik kecil maupun besar dan aksi terhadap Lebanon untuk meningkatkan posisinya di kotak suara dalam pemilu. Netanyahu lebih memilih motif pribadi dan pemilu untuk kepentingan internal rezim Zionis. Oleh karena itu, pemilu dapat dilihat sebagai faktor kunci dalam melihat motif Israel menyerang Lebanon. "
Serangan rudal Hizbullah ke berbagai wilayah pendudukan tidak ditujukan untuk mempengaruhi situasi kelompok-kelompok Israel dalam pemilu. Tetapi tujuan utama serangan Hizbullah pada 1 September untuk menanggapi serangan-serangan Israel.
Sebenarnya, langkah pertama adalah tindakan pembalasan terhadap agresi Israel, sekaligus mengakhiri tindakan serangan sepihak rezim Zionis.
Sekjen Hizbullah Lebanon dalam pidato yang disampaikan hari Senin (2/9) mengatakan, "Masalahnya terletak pada upaya untuk meningkatkan perimbangan kekuatan dan aturan konflik demi mendukung negara dan memaksa rezim Zionis membayar tebusannya."
Langkah Hizbullah ini memiliki sifat defensif yang menunjukkan bahwa poros perlawanan bukanlah pihak yang awal menyulut perang, tetapi tidak berdiam diri menghadapi agresi dan memberikan respons tegas.
Poin lain dari serangan Hizbullah Lebanon terhadap Israel bukan hanya berkitan dengan pertahanan Hizbullah. Tetapi seperti yang ditekankan oleh Sayyid Hassan Nasrullah, langkah tersebut dilakukan demi mendukung keamanan nasional Lebanon. Oleh karena itu, Hizbullah bukanlah entitas di luar Lebanon.
Poin ketiga mengenai serangan Hizbullah Lebanon terhadap Israel sebagai tindakan pencegahan. Jika Hizbullah tidak menanggapi agresi Israel, rezim Zionis akan melanjutkan kejahatannya lagi masif lagi. Tanggapan keras Hizbullah mendorong rezim Zionis tidak mengulangi agresinya terhadap kedaulatan Lebanon.
Poin keempat, langkah balasan Hizbullah mengindikasikan bahwa keamanan nasional negaranya dan kawasan Asia Barat sebagai prioritas utamanya gerakan perlawanan Islam Lebanon ini.
Rezim Zionis sendiri sadar betul bahwa operasi itu merupakan respons pembalasan atas serangan pesawat nirawak Israel di Dahieh dan bukan alasan untuk melancarkan perang besar-besaran.
Hizbullah secara resmi menyatakan keberadaannya pada tahun 1985. Setelah 34 tahun berdiri, Hezbullah saat ini menjadi pemain paling terorganisir dan populer di Lebanon. Gerakan perlawanan rakyat Lebanon ini meraih kemenangan dalam pemilu parlemen 2018, dengan meraih 68 dari 128 kursi.
Hizbullah juga merupakan salah satu aktor paling penting dan berpengaruh di kawasan Asia Barat. Tanda dari pengaruh ini adalah meluasnya upaya AS dan Saudi untuk melemahkan Hizbullah, termasuk penyematan label teroris dan menjatuhkan sanksi terhadap Hizbullah.
AS dan Saudi mengira langkah tersebut bisa menekan Hizbullah dan meredam pengaruh gerakan perlawanan di kawasan, Tetapi faktanya jauh panggang dari api. Sebab Sumbu perlawanan justru semakin menjalar dan lebih dinamis dari sebelumnya di kawasan.
Sejatinya, tingginya tingkat penerimaan kelompok-kelompok perlawanan regional terhadap serangan Hizbullah kepada Israel telah menunjukkan bahwa aktor-aktor berbasis perlawanan telah berkembang biak di kawasan, termasuk Hizbullah, kelompok-kelompok perlawanan Palestina, Al Hashd Al- Shaabi Irak dan Ansarullah Yaman. Di sisi lain, ada konsistensi dan solidaritas yang cukup besar di antara para aktor tersebut. Konsistensi dan kohesi ini menjadi hambatan serius bagi aksi militer jangka panjang apa pun terhadap aktor-aktor berbasis perlawanan.
Arab Saudi mencoba untuk melumpuhkan peran aktif gerakan perlawanan seperti Ansarullah di kawasan dengan menyerang Yaman pada 2015. Tetapi perang yang didukung oleh AS, beberapa negara Arab dan rezim Zionis ini tidak hanya gagal melemahkan Ansarullah, bahkan sebaliknya justru memperkuat kekuatan gerakan perlawanan rakyat Yaman tersebut.