Kebohongan AS soal Penumpasan Daesh

Rate this item
(0 votes)
Kebohongan AS soal Penumpasan Daesh

 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump memang terkenal dengan keputusan-keputusan kontroversial dan tak terduga. Pada 19 Desember 2018, ia secara mengejutkan mengumumkan penarikan pasukan AS dari Suriah.

Trump mengumumkan kemenangan atas kelompok teroris Daesh dan mengklaim bahwa AS sudah tidak punya alasan lagi untuk bertahan di Suriah.

"Kami sudah mengalahkan Daesh di Suriah dan ini adalah satu-satunya alasan kehadiran kami di sana selama masa pemerintahan saya," kata Trump via akun Twitter-nya. Dalam sebuah tweet lain, Presiden AS menulis, "Setelah kami memperoleh kemenangan bersejarah dalam perang melawan Daesh, sekarang tiba waktunya untuk memulangkan pasukan kami dari Suriah ke rumah."

Gedung Putih dalam sebuah statemen pada 22 Maret 2019, menyatakan basis terakhir Daesh di Suriah sudah dihancurkan.

Namun, klaim Trump tentang kekalahan Daesh dan rencananya menarik pasukan dari Suriah, tidak mendapat sambutan dari dalam negeri dan para sekutu Amerika. Senator Republik, Lindsey Graham menganggap penarikan pasukan AS dari Suriah sebagai kesalahan dan mengatakan, langkah ini akan menambah motivasi Daesh untuk bangkit.

Menurut Profesor Nader Entessar, dosen Universitas Alabama, keputusan AS ini atau lebih tepatnya keputusan pribadi Trump dalam situasi saat ini, benar-benar di luar prediksi dan menimbulkan syok dalam kebijakan luar negeri AS.

Departemen Pertahanan AS pada 7 Agustus 2019 menyatakan Daesh memperkuat kemampuan operasi teror di Irak dan kembali bangkit di Suriah. Laporan Pentagon ini bertentangan dengan statemen Trump mengenai kekalahan Daesh.  

Menurut situs resmi Pentagon, laporan Operation Inherent Resolve (OIR) mengatakan bahwa teroris Daesh sedang berpindah tempat di Suriah dan memperkuat posisinya di Irak.

OIR adalah sebuah operasi yang dilakukan militer AS dengan klaim mengalahkan Daesh dan digelar dari 21 Agustus 2016 sampai sekarang. Berdasarkan prediksi OIR, sekitar 14.000 – 18.000 teroris Daesh beroperasi di Irak dan Suriah, lebih dari 3.000 dari mereka adalah petempur asing yang bergabung dengan Daesh.

Trump menyebut Obama sebagai pendiri Daesh.
Utusan Khusus AS untuk Suriah, James Jeffrey pada Agustus 2019 mengatakan sekitar 15.000 ribu anggota aktif Daesh memiliki kehadiran di Suriah dan Irak.

Meski ada peringatan tentang kebangkitan kembali Daesh, Trump tetap menarik pasukan Amerika dari daerah yang diserang Turki di Suriah Utara pada Oktober lalu. Militer Turki menggelar operasi di Suriah Utara sejak 9 Oktober dengan klaim membersihkan anasir teroris dari perbatasannya dan memulangkan pengungsi Suriah ke negaranya.

Dalam operasi itu, militer Turki ikut menyerang penjara dan kamp-kamp tempat menampung teroris Daesh dan keluarga mereka. Serangan ini memberikan ruang bagi Daesh untuk melarikan diri. Hampir 11.000 teroris Daesh dipenjara di Suriah Utara.

Menurut beberapa laporan, sedikitnya 800 teroris Daesh melarikan diri dari penjara-penjara yang dikendalikan oleh pasukan Kurdi Suriah. Trump secara lahiriyah meminta pasukan Turki dan Kurdi untuk mencegah teroris Daesh melarikan dairi dari Suriah Utara.

"Kami memiliki tahanan Daesh yang paling jahat. Turki dan Kurdi tidak boleh membiarkan mereka melarikan diri. Eropa seharusnya memulangkannya kembali setelah banyak permintaan. Mereka harus melakukannya sekarang. Mereka tidak akan pernah datang atau diizinkan masuk ke Amerika Serikat!," tulis Trump di akun Twitter-nya.

Trump sebenarnya mengambil sikap standar ganda dalam masalah tersebut. Di satu sisi, dia mengklaim bahwa Daesh di Suriah telah musnah dan tidak ada alasan lain untuk mempertahankan kehadiran pasukan AS di negara Arab itu. Sebab, mereka telah bertugas sejak 2014 dengan dalih memerangi terorisme di bawah koalisi internasional anti-Daesh.

Di sisi lain, Trump memperingatkan Ankara dan Kurdi untuk mengawasi para teroris Daesh agar tidak melarikan diri dari penjara-penjara di Suriah Utara dan memulai kembali kegiatan mereka.

Mantan Menteri Pertahanan AS, James Mattis mengatakan jika Washington tidak melanjutkan tekanannya terhadap Daesh di Suriah, kelompok teroris ini akan memulai kembali aktivitasnya dan bangkit kembali.

Abu Bakr al-Baghdadi.
Pada 27 Oktober lalu, media-media Amerika mengutip keterangan para pejabat Washington, menyatakan militer AS telah membunuh pemimpin Daesh Abu Bakr al-Baghdadi dalam sebuah operasi di barat laut Suriah.

Majalah Newsweek melaporkan bahwa operasi itu dilakukan oleh pasukan khusus AS setelah memperoleh informasi akurat tentang tempat persembunyian al-Baghdadi di Provinsi Idlib.

Trump dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih pada tanggal yang sama, memberikan briefing tentang proses pembunuhan al-Baghdadi. Dia mengatakan tadi malam AS membunuh pemimpin organisasi teroris terbesar di dunia dan ia sendiri memantau pelaksanaan operasi tersebut.

Namun, Trump sama sekali tidak berbicara tentang peran pemerintah AS dalam membentuk kelompok-kelompok teroris seperti Daesh. "Tadi malam, Amerika Serikat membawa pemimpin teroris nomor satu dunia itu ke pengadilan. Abu Bakar al-Baghdadi sudah mati. Dia adalah pendiri dan pemimpin Daesh, organisasi teror paling kejam dan paling buas di dunia," kata Presiden AS.

Trump mulai melakukan propaganda media mengenai kematian al-Baghdadi dan sama seperti para pemimpin Amerika sebelumnya, ia juga berdiri di depan pers dan berusaha menampilkan dirinya sebagai pahlawan. Padahal, Trump pernah berkata Daesh dibentuk oleh pemerintahan Barack Obama.

Selama masa kampanye pilpres 2016, Trump menyebut pemerintahan Obama sebagai aktor pembentuk kelompok teroris Daesh. Jadi, sebenarnya AS adalah pembentuk dan pendukung utama Daesh. Dia mengkritik keras pemerintahan Obama mengenai kemunculan Daesh. Trump dalam kampanye pada Januari 2016 mengatakan, "Mereka (Barack Obama dan Hillary Clinton) adalah orang-orang yang tidak jujur. Hillary bersama Obama telah membentuk Daesh."

Apakah Trump benar-benar lupa mengenai pernyataannya di masa lalu atau sekarang berusaha mengalihkan opini publik Amerika dari persoalan yang dihadapinya seperti isu pemakzulan di Kongres.

AS membebaskan Abu Bakr al-Baghdadi dari penjara Abu Ghraib Irak pada 2009. Keputusan ini membuka peluang baginya untuk memimpin sebuah kelompok teroris-takfiri Daesh, dan kemudian melakukan kejahatan besar-besaran di Suriah, Irak, dan wilayah lain. Sekarang masa pakai al-Baghdadi telah habis dan pasukan AS membunuhnya sehingga rahasia-rahasia yang dimiliknya akan terkubur untuk selamanya.

AS tidak dapat menutupi perannya dalam kemunculan Daesh. Sepak terjang AS di Suriah menunjukkan bahwa Washington benar-benar memperlakukan Daesh sebagai alat. Meski AS selalu mengklaim memerangi terorisme, tetapi perang ini sangat terbatas dan tidak punya misi untuk memusnahkan kelompok teroris.

AS dari 2011 sampai 2014 memberikan dukungan kepada Daesh dan memainkan peran besar dalam penyediaan logistik dan dana. Pada masa Obama, AS hanya berusaha mengontrol kelompok teroris Daesh dan pada 2014, membentuk koalisi internasional anti-Daesh.

Pada masa itu, AS ingin mempertahankan Daesh dalam batas yang bisa dikendalikan sehingga dapat digunakan untuk memerangi militer dan pemerintah Suriah dan sekutunya.

Patroli pasukan AS di sekitar ladang minyak Suriah.
Pemerintah AS sampai sekarang masih mempertahankan pasukannya di Suriah dengan alasan melindungi ladang-ladang minyak negara Arab itu. Menteri Pertahanan AS Mark Esper pada 28 Oktober 2019, mengklaim bahwa kehadiran pasukan AS di Suriah bertujuan untuk melindungi ladang minyak negara itu, karena kami tidak ingin ladang minyak kembali jatuh ke tangan Daesh.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia, Igor Konashenkov mengatakan badan-badan pemerintah AS telah menyelundupkan minyak Suriah dan mereka memperoleh pemasukan lebih dari 30 juta dolar dari penyelundupan minyak Suriah.

Meskipun AS mengaku ingin melindungi sumur minyak Suriah agar tidak jatuh ke tangan Daesh, namun Benjamin Hart dalam artikelnya di New York Magazine menulis, “Prioritas pertama kebijakan pemerintahan Trump di Suriah adalah menyita dan menguasai sumber-sumber minyak negara Arab itu.”

Tindakan AS jelas melanggar hukum dan aturan internasional. Mereka tidak hanya melanggar Piagam PBB yaitu menduduki negara lain secara ilegal, tetapi memposisikan dirinya sebagai polisi dunia dan menganggap dirinya bertanggung jawab untuk melindungi instalasi minyak Suriah.

Lalu, lembaga internasional mana yang telah memberikan otorisasi ini kepada AS? Apakah ada permintaan dari pemerintah Damaskus kepada Washington?

AS telah menduduki sebuah negara berdaulat dengan alasan memerangi terorisme dan mencegah kebangkitan Daesh, padahal Trump berulang kali menegaskan bahwa Daesh telah musnah.

Sekarang benar-benar jelas bahwa Daesh dan perang anti-teror hanya alasan AS untuk menempatkan pasukannya dan merusak stabilitas Suriah. 

Read 894 times