Ketamakan Amerika Serikat di Libya mendorong Washington untuk merekrut tentara bayaran dan membentuk sebuah komando khusus di negara ini. Fathi al-Obeidi, komandan milisi di kota Benghazi baru-baru ini mengungkap agenda pejabat AS untuk membentuk pasukan khusus yang terdiri dari militer dan milisi Libya.
Al-Obeidi mengatakan, 11 hari lalu sebuah tim yang terdiri dari 10 orang Amerika mengunjungi markas milisi di kota Benghazi dan berdialog mengenai pembentukan sebuah komando dengan pasukan milisi.
Meski para pejabat Washington mengatakan bahwa tujuan pembentukan pasukan khusus ini untuk melawan ancaman kelompok-kelompok ekstrimis di Libya namun bukti menunjukkan bahwa pembentukan komando itu dalam rangka agenda Gedung Putih untuk mendukung kehadiran militernya di Libya.
Sejumlah media massa Amerika melaporkan, pada bulan lalu pemerintahan Barack Obama, Presiden AS mengajukan sebuah draf yang meminta Kongres untuk mengalokasikan dana sebesar delapan juta dolar yang diambil dari anggaran departemen pertahanan untuk membentuk sebuah komando anti-terorisme di Libya. Draf tersebut secara diam-diam telah disahkan.
Berdasarkan laporan terbaru New York Times, delapan juta dolar ini menurut rencana akan digunakan untuk membentuk sebuah unit komando yang terdiri dari 500 personil militer dan milisi Libya. Sementara pasukan operasi khusus AS bertanggung jawab untuk melatih mereka. Menurut pengakuan sejumlah pejabat Washington, agenda tersebut hanya bagian kecil dari agenda luas AS di Libya.
Tampaknya tewasnya Duta Besar AS untuk Libya Christopher Stevensdalam serangan bulan September ke konsulat AS di Benghazi menjadi dalih Washington untuk mengirim militer ke Libya. Hanya saja, langkah awalnya adalah membentuk sebuah komando yang terdiri dari militer dan milisi dengan alasan memerangi terorisme dan ektrimisme, tetapi sebenarnya untuk menyiapkan kehadiran militer AS.
Pendekatan AS di Libya pada bulan-bulan terakhir menunjukkan bahwa Washington tengah berupaya memantau gerakan-gerakan di berbagai negara Afrika Utara dengan berbagai cara termasuk mengirim militer ke Libya meski dalam jumlah yang terbatas. Hal itu disebabkan ketakutan Gedung Putih terhadap gelombang Kebangkitan Islam yang melanda negara-negara Afrika Utara akhir-akhir ini.
Aktivitas kelompok-kelompok ekstrim seperti al-Qaeda yang awalnya merupakan anak didik AS, menjadi dalih bagi pejabat Washington untuk mengirim pasukan dan para penasihat militer Amerika ke negara-negara Afrika Utara dan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah.
AS menganggap Yaman, Pakistan dan Libya sebagai poros aktivitas al-Qaeda sehingga dengan dalih ancaman kelompok teroris ini, Washington dapat menjustifikasi intervensinya ke sejumlah negara di kawasan.
Namun faktanya adalah sumber kekayaan Libya dan minyak negara ini selalu menjadi perhatian Amerika, bahkan kehadiran pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam proses revolusi Libya dengan dalih melindungi warga sipil untuk menggulingkan rezim Muammar Gaddafi tidak tanpa alasan. NATO dan AS sebenarnya mengincar sumber energi negara ini.
Meski kediktatoran Gaddafi telah berakhir namun situasi politik dan keamanan Libya belum stabil sehingga kesempatan ini digunakan oleh AS untuk menggapai ambisi-ambisinya.