Perancis dilaporkan sudah menempatkan 1.400 prajurit di Mali, lebih dari separuh dari total 2.500 yang akan dikirim ke negara bekas jajahannya itu. Pasukan Perancis dikirim ke negara Afrika Barat tersebut sebagai bagian dari operasi yang diklaim untuk menumpas kelompok-kelompok garis keras.
Jumlah prajurit itu meningkat cepat sejak pasukan pertama Perancis tiba pada 11 Januari lalu untuk menanggapi laju kelompok militan yang menguasai kota Konna, Mali tengah.
Pesawat tempur dikerahkan dari Perancis dan juga dilaporkan dari Chad. Pemerintah Perancis mengklaim bahwa mereka telah memperoleh izin untuk menggunakan wilayah udara Aljazair. Kedua negara Afrika itu juga bekas jajahan Perancis.
Selain itu, Perancis juga menerima dukungan cepat dari negara-negara Eropa lainnya dan Amerika Serikat. Inggris telah mengirim pesawat kargo RAF CI7 dari pangkalan di East England ke Paris dalam rangka membantu logistik tempur militer Perancis.
AS juga membantu pasukan Perancis dengan pesawat-pesawat pengangkut. Washington juga menyetujui peningkatan kerjasama intelijen untuk membantu Paris, termasuk informasi dan pesawat pengintai tanpa awak serta satelit mata-mata. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengatakan, "Kami mendukung operasi Perancis di Mali dengan informasi intelijen dan pesawat transpor."
Secara resmi, Paris, London dan Washington melakukan intervensi militer di Mali untuk membantu pemerintah Bamako menumpas pemberontakan separatis di bagian utara negara itu.
Mali mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure. Pemberontak telah berhasil mengkonsolidasikan kontrol mereka atas wilayah yang luas dan sebagian besar gurun di sekitar kota utama Timbuktu.
Ada aroma neokolonial dalam penyebaran pasukan secara besar-besaran ke wilayah Afrika. Perancis dan sekutu Baratnya aktif mengangkat isu ancaman keamanan internasional yang diduga ditimbulkan oleh pemberontak di Mali. Presiden Francois Hollande berulang kali memperingatkan bahwa keamanan Perancis dan Eropa terancam jika pemberontak di Mali memperkuat kontrol mereka.
Seorang juru bicara Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan kedua pemimpin [Cameron dan Hollande] setuju bahwa situasi di Mali menimbulkan ancaman nyata terhadap keamanan internasional mengingat kegiatan teroris di sana.
Para politisi Amerika, pemimpin militer dan media-media Barat telah lama mengesankan Mali sebagai poros baru teror di dunia dan menegaskan bahwa pemerintah Barat harus bertindak tegas untuk mengatasi ancaman.
Namun, esensi "ancaman Islam" dari Mali tidak pernah dibuktikan. Masyarakat dunia dipaksa menerima begitu saja sabda dari Paris, London dan Washington, kumpulan negara "nakal" yang telah dan sedang melakukan perang ilegal di Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah.
Pemberontakan warga melawan pemerintahan kolonialis Barat di Mali mungkin merupakan tujuan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Perancis dan sekutu Baratnya mengobarkan konflik internal di Mali dan kemudian memutar episode baru cerita "perang melawan teror." Dengan cara ini, mereka akan mendapat mandat dunia untuk kembali memimpin perang melawan terorisme.
Kali ini, Perancis ingin memimpin petualangan neo-imperialis di wilayah-wilayah strategis dunia. Mali memiliki kekayaan alam yang melimpah berupa logam dan mineral. Negara itu juga menyimpan sumber utama emas, uranium, serta bijih besi, tembaga, timah dan mangan, dan juga bahan-bahan tambang lain seperti fosfat, garam dan kapur.
Selain itu, wilayah Afrika Barat juga memiliki potensi mengagumkan untuk pertanian dan minyak.
Intervensi militer Perancis dan negara-negara Barat lainnya di Mali - di bawah kedok "mengalahkan terorisme" – adalah upaya mambuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Barat guna mengeruk kekayaan di Mali dan bahkan di seluruh benua Afrika.
Pada tahun 2011, pemboman Perancis dan NATO di Libya menandai awal baru dari neo-imperialisme Barat di Afrika. (IRIB Indonesia/RM)