Perdana Menteri pemerintahan sementara Libya, Ali Zeidan saat berbicara di konferensi perdamaian antar kabilah yang digelar di kota Tripoli menekankan perealisasian rekonsiliasi nasional di negara ini. Ia menyebut berdamai dan solidaritas sebagai kebutuhan mendesak Libya saat ini untuk tetap eksis. Ali Zeidan juga mengharapkan berbagai kabilah khususnya suku-suku yang berada di wilayah selatan untuk tidak saling berperang.
Harapan Zeidan digulirkan di saat Libya meski telah satu setengah tahun dari tergulingnya diktator Muammar Gaddafi, sampai saat ini belum mengecap ketenangan dan stabilitas. Hingga kini berbagai kabilah di negara ini cendung menggunakan kekerasan dan senjata untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Senjata kini menjadi sarana bagi mereka untuk memaksakan tuntutannya.
Di era pemerintahan Gaddafi, tidak ada kabilah yang berani unjuk kekuatan. Hal ini disebabkan peraturan keras yang diterapkan oleh sang diktator dan sistem keamanan yang ketat. Namun pasca tergulingnya Gaddafi kondisi di negara ini berubah seratus persen. Kubu revolusioner dan para pemimpin kabilah saling berlomba merebut jatah mereka di pemerintahan.
Dalam beberapa bulan lalu, berbagai wilayah di Libya menjadi ajang bentrokan bersenjata antara milisi bersenjata dari kabilah yang ada dengan pasukan pemerintah semenara. Kabilah di Timur, Barat dan Selatan saling berbangga dengan jumlah mereka di masyarakat Libya serta menentang pemerintah. Untuk menunjukkan kekuatannya, kabilah-kabilah ini saling berperang di antara mereka. Sampai saat ini tercatat beberapa kali bentrokan berdarah terjadi di Libya.
Bahkan di wilayah Timur muncul ide pemisahan diri dari pemerintah pusat dan saat ini sejumlah wilayah negara ini lepas dari kontrol pemerintah pusat. Pasukan dari kabilah di Timur yang sebagiannya bekerja di sektor industri perminyakan berulang kali menggelar aksi mogok kerja menuntut penambahan jatah kekuasaan terhadap industri penting dan pemanfaatan hasil dari minyak bagi kepentingan daerahnya tersebut. Aksi mogok kerja menjadi bagian terpenting dari isu yang ada. Namun ketika anggota kabilah ini mengangkat senjata dan menentang pasukan pemerintah, maka bentrokan berdarah pun tak terelakkan.
Dalam satu tahun lalu, Libya mengalami masa-masa kemunduran pesat akibat tidak adanya stabilitas dan keamanan. Kondisi ini ditambah dengan tidak tercapainya kesepakatan nasional di struktur politik dan sosial negara ini. Meski Libya di antara negara-negara Afrika memiliki cadangan minyak dan gas terbesar, namun Tripoli masih belum mampu memanfaatkan hasil dari nikmat besar Tuhan ini untuk memajukan perekonomian dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Hal ini didorong oleh minimnya tingkat keamanan negara ini dan dari sisi lain, permusuhan antar kabilah menjadi faktor utama yang mencegah jalannya stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di Libya. Sampai kini pun belum ada kepercayaan kepada pemerintah. Pasukan revolusioner pun hingga kini belum menyerahkan senjata mereka kepada pemerintah. Komite rakyat yang dibentuk di era revolusi pun belum sepenuhnya bubar dan masih terpecah-pecah. Komite ini belum terkumpul dalam satu wadah.
Secara praktisnya setiap wilayah di Libya berada dalam kekuasaan satu kabilah tertentu. Kondisi ini sama halnya dengan memunculkan gejolak dan kekacauan politik di Libya. Jika gejolak ini terus berlanjut, proses pembentukan pemerintahan di negara ini akan terhambat. Dengan demikian maka tak diragukan lagi kondisi tersebut menjadi era terburuk bagi Libya baru.