Sekelompok sahabat pendukung syura Saqifah Bani Sa'idah mendatangi rumah Sayidah Fatimah az-Zahra as untuk mengambil bai'at secara paksa dari Ali bin Abi Thalib as. Namun mereka mendapat perlawanan dari putri Rasulullah Saw itu.
Lalu, mengapa putri Rasulullah Saw melakukan perlawanan dan tidak tunduk pada tuntutan para perampas kekuasaan?
Jelas bahwa jika Fatimah dan Ali as memilih tunduk, ini bermakna mereka merestui penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Jika itu disetujui, sikap mereka juga akan sama seperti para tokoh Saqifah yang melanggar perintah Allah Swt di Ghadir Khum dan mengabaikan keputusan Rasulullah Saw dalam masalah pengangkatan khalifah setelah wafatnya.
Fatimah dan Ali as menolak terlibat dalam sebuah tragedi yang sengaja diciptakan di tengah umat dan tidak bekerjasama dengan para perampas posisi khalifah dan imamah.
Imam Ali as tidak mengambil tindakan apapun demi menjaga Islam yang mendapat rongrongan dari dalam dan luar, serta demi menjaga persatuan dan kekuatan kaum Muslim.
Para tokoh Saqifah sayangnya mengambil tindakan baru tanpa memperhatikan keprihatinan Ali dan Fatimah tentang masa depan Islam dan umat. Penguasa merebut Tanah Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sehingga Ahlul Bait tidak lagi memiliki pemasukan untuk membantu kaum lemah dan fakir-miskin.
Fadak adalah sebuah desa di wilayah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar. Menurut literatur sejarah, setelah penaklukan benteng Khaibar oleh kaum Muslim, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Rasulullah Saw. Karena Fadak diperoleh tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi. Beliau kemudian memberikan Tanah Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah.
Demi memuluskan skenario perampasan Tanah Fadak, para tokoh Saqifah mengarang sebuah hadis palsu dan berkata, "Rasulullah Saw bersabda bahwa kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah."
Tanah Fadak di dekat Madinah.
Sayidah Fatimah – sebagai pemilik sah Tanah Fadak – mendatangi penguasa untuk membela haknya. Jika ia memilih diam, maka sikap ini bertentangan dengan nash (teks dalil) al-Quran dan wasiat Nabi Saw. Al-Quran menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslim tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.
"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hasyr: 6)
Oleh karena itu, pembelaan Sayidah Fatimah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu itu (Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah), ia pergi ke masjid dan menyampaikan pidato untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Dengan demikian, generasi saat ini juga menjadi tahu bahwa sebuah penyimpangan besar telah terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya telah membuat Ahlul Bait Nabi terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as di Karbala.
Dalam pidatonya (Khutbah Fadakiyyah), Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)
Ia kemudian mengutip ayat-ayat lain dari al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6) Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)
"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah.
Semua hadirin terdiam dan Sayidah Fatimah mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah, dan tindakan tercela ini akan kekal dan akhir dari tindakan tersebut adalah neraka.
Setelah peristiwa perampasan Fadak, Sayidah Fatimah benar-benar marah kepada orang-orang yang telah merampas hak kekhalifahan dan Fadak dan ia tetap marah sampai akhir hayatnya. Ia menyimpan kesedihan yang mendalam setelah wafat Nabi, peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, dan penyitaan Tanah Fadak.
Selama periode singkat kehidupannya (75 atau 95 hari) setelah wafat Nabi Saw, Sayidah Fatimah memanfaatkan masa itu untuk melakukan protes dan menyatakan sikapnya atas kondisi saat itu, yang diciptakan oleh para perampas kekuasaan. Kegiatan ini dilakukan dengan menyampaikan khutbah atau melakukan pertemuan dengan perempuan Muhajirin dan Anshar.
Sebagai bukti atas kemarahan dan kesedihannya yang mendalam, Sayidah Fatimah berwasiat kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib agar acara pemakaman dan penguburannya dilakukan pada malam hari dan merahasiakan makamnya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang pernah menzalimi dan membuatnya murka, tidak datang melayat.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (al-Quran) dan 'itrahku (Ahlul Bait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat."
Namun, para tokoh Saqifah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw yaitu memisahkan antara al-Quran dan Ahlul Bait. Selanjutnya mereka melarang penafsiran ayat-ayat al-Quran. Kedua tindakan ini bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw dan juga perintah Allah Swt. Mereka berkata, "Pisahkanlah al-Quran dari sesuatu yang lain dan jangan menafsirkannya dan kurangi menukil hadis dari Rasulullah." (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abi al-Hadid)
Para ulama meyakini bahwa salah satu tujuan sebagian tokoh Saqifah melarang penafsiran al-Quran karena pengetahuan masyarakat tidak cukup untuk memahami esensi kaum mukmin dan munafik atau hakikat para pencari kebenaran dan kaum oportunis.
Jelas bahwa penyingkapan fakta dan hakikat itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan para penguasa.