Nourdeen Wilderman adalah seorang warga Belanda berusia 26 tahun yang memeluk agama Islam secara resmi pada 9 Desember 2007. Kita ikuti kisah menarik dari Nourdeen.
Ketika orang mengetahui anda memeluk agama Islam, maka anda akan sering menerima pertanyaan yang sama berkali-kali. Seperti bagaimana orang tua anda mereaksi terhadap perubahan anda? Ketika anda berpacaran dengan perempuan muslim? Adakah masyarakat Islam menerima anda? Dan paling lumrah ialah mengapa anda memeluk agama Islam?
Saya merasa terkejut saat ditanya demikian, malah muslim sendiri bertanya mengapa saya memeluk agama Islam. Seringnya saya menjawab, "Islam merupakan agama yang benar". Saya sendiri tidak tahu kapan saya menjadi seorang muslim.
Menemukan Islam
Sebagian orang agak terkejut, tetapi memang saya tidak mencari Tuhan. Saya juga tidak mencari satu alasan dalam kehidupan. Saya tidak mencari tujuan kehidupan.
Sebenarnya, saya mencari sebuah buku. Saya masuk ke dalam sebuah toko buku tanpa mengetahui apa yang ingin saya beli. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2003 atau 2004. Saya memang suka membaca, dengan minat khusus dalam buku-buku berkaitan sejarah kontemporer, falsafah dan sosiologi.
Saya bertemu dengan sebuah buku berwarna hijau. Buku berjudul "Islam: Nilai, Prinsip dan Realita". Saya mengambil buku tersebut, melihatnya, dan menyadari bahwa saya mengenali beberapa orang Muslim tetapi tidak pernah mengetahui apa yang mereka percayai.
Sementara, nampaknya Islam sering keluar dari berita dan mempunyai pengaruh baik dalam urusan dalam negeri atau luar. Saya mengambil keputusan untuk membeli buku tersebut dan mempelajari apa itu Islam. Saya berjalan ke stan dan membeli buku itu, tanpa menyadari ia menjadi sebuah perjalanan selama 4 setengah tahun, yang berakhir dengan saya memeluk agama Islam. Sebelum saya membaca tentang Islam, sebenarnya saya telah mempunyai pandangan negatif terhadap agama ini. Contohnya, saya berpikir bagaimana seorang Muslim bisa menganggap dirinya baik tetapi pada masa yang mendera isterinya sendiri.
Atau, contohnya, saya heran mengapa Muslim menyembah batu empat persegi di Mekah sedangkan berhala atau bangunan tidak punya kekuasaan dan tidak dapat membantu siapapun.
Saya tidak dapat memahami mengapa Muslim begitu tidak toleransi dengan agama lain. Dengan pikiran seperti ini, saya mulai membaca.
Selepas buku pertama selesai, saya membaca buku kedua. Kemudian diikuti buku ketiga dan seterusnya. Selepas beberapa tahun, saya telah membaca sejumlah buku tentang Islam dan amat terkejut. Saya dapati apa yang saya pikirkan merupakan bagian dari Islam, dan hal-hal yang saya tentang, ternyata juga ditentang oleh agama Islam.
Nabi Muhammad Saw, pernah bersabda,untuk melihat seorang penganut Islam yang baik ialah dengan melihat cara dia melayani isterinya. Saya dapati bahwa Muslim tidak menyembah Ka'bah, dan mereka menentang segala penyembahan terhadap berhala atau yang serupa.
Saya dapati Islam adalah agama yang sangat rasional. Ia juga pro-sains. Agama ini mengajak manusia untuk memahami semua yang ada disekitarnya, untuk merenung, dan sebenarnya ia adalah sebuah agama self-critical.
Sebelum saya mendalami lebih jauh agama Islam, saya selalu berpikir bahwa kehidupan sebagai seorang ateis adalah sangat mudah, seperti mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkan, tetapi secara pribadi saya pernah juga mengkritik cara hidup sedemikian.
Saya dapati peradaban Islam terdapat dalam semua sejarahnya – kecuali mungkin pada zaman kontemporer – merupakan contoh terbaik toleransi agamis di muka bumi ini.
Saya tidak perlu lagi diyakinkan tentang apa yang Islam ajarkan kepada kita atau bagaimana harus kita berperilaku, karena saya mendapati segala ajarannya telahpun saya setujui sebelum mempelajari Islam. Saya membaca opini saya sendiri berkaitan banyak hal, tetapi buku-buku tersebut terus mengatakan bahwa inilah Islam.
Keluarga
Ayah saya seorang ateis dan ibu saya adalah seorang Kristen. Saya besar dalam lingkungan multi-agama. Saya tidak segera memberitahu mereka bahwa saya telah memeluk agama Islam.
Malah, saya bertanya terlebih dahulu tentang reaksi mereka andainya saya memilih sebuah agama lain misalnya Islam. Mereka mengatakan bahwa itu merupakan kehidupan saya, selagi saya tidak mengganggu orang lain, maka saya bebas untuk melakukannya.
Ibu saya memberi saranan, adalah mudah bagi saya menjadi Kristen. Jawaban saya, saya bukanlah mencari agama termudah, tetapi agama yang paling benar.
Sementara ayah saya, dia malah menemani saya ketika saya memeluk agama Islam dan merekamnya. Konsep dia memberi dukungan kepada saya ialah saya merupakan bagian darinya, dan Islam akan menjadi bagian diri saya, maka dia akan menerima saya yang telah menjadi Muslim.
Sebenarnya, banyak pemeluk agama Islam berhadapan dengan masalah besar dengan keluarga mereka setelah mereka memeluk Islam dan sebagian besarnya adalah wanita.
Saya merasa hormat dengan wanita di dalam negeri saya yang memeluk agama Islam karena mereka menghadapi tantangan dan kesulitan yang lebih besar karena mereka harus memakai jilbab. Saya kenal beberapa orang dari mereka yang diusir keluar rumah dan keluarga tidak lagi menerima mereka. Alhamdulillah, saya sungguh beruntung mempunyai keluarga yang memahami.
Bertemu Muslim
Ketika itu masih belum banyak orang berdakwah tentang Islam. Tidak banyak yang dapat diharapkan bagaimana dakwah beroperasi di Netherlands, dan saya tidak punya banyak orang yang bisa membantu saya dalam hal ini.
Ketika bulan Ramadhan tiba, saya membuat keputusan untuk mencoba – tidak ada buku yang dapat memberitahu anda apa sebenarnya perasaan anda – saya bertemu dengan rekan sekerja beragama Islam dan memberitahu mereka saya akan berpuasa bersama mereka. Saya membawa al-Quran dan menemui jadwal buka puasa selama 30 hari di internet.
Ketika saya memberitahu mereka tentang membaca al-Quran dan berpuasa sunnah di bulan Syawal, sebagian dari mereka tidak pernah mendengarkannya atau melakukannya. Saya membawa susu dan kurma ke tempat kerja dan memberitahu mereka sebaiknya mengamalkan sunnah tersebut.
Ibu atau isteri mereka memasak makanan untuk berbuka puasa di tempat kerja, maka saya dapat merasakan makanan-makanan baru.
Saya banyak belajar tentang Ramadhan, demikian juga teman-teman lain. Sayangnya, hari raya saya berubah menjadi pengkebumian, tetapi yang lain ia merupakan sebuah bulan yang agung.
Selepas bulan Ramadhan, saya ke masjid untuk membayar zakat. Saya merasakan bahwa memberikan uang untuk jalan yang baik adalah sesuatu yang benar, tidak semestinya sebagai bukan Muslim saya tidak boleh membayarnya.
Itulah pertama kali saya bertemu dengan bendahara masjid di tempat saya tinggal. Dia bertanya jika saya seorang Muslim. "Tidak, saya bukan seorang Muslim," jawab saya, "Tetapi saya berpuasa di bulan Ramadhan."
Dia memberitahu saya supaya tidak memaksakan diri saya, saya harus mengambil mudah.
Berbulan-bulan berlalu, saya terus saja membaca buku tentang Islam. Kebanyakan buku yang saya baca adalah dari non-Muslim seperti Karen Amstrong. Saya juga turut membaca buku yang memandang negatif terhadap Islam. Saya membaca mengenai terorisme yang dimotivasikan oleh agama, mengenai pertentangan antara peradaban, dan sebagainya.
Bagaimanapun juga saya dapati setiap persoalan saya, Islam mempunyai jawabannya. Bukanlah bermakna Muslim yang saya temui dapat memberikan jawaban yang baik, tetapi kebanyakan informasi yang saya kumpulkan tentang Islam adalah dari buku-buku tersebut.
Menjadi Muslim
Akhir bulan Ramadhan tahun berikutnya, saya kembali ke masjid untuk membayar zakat. Saya bertemu semula dengan bendahara tersebut dan dia mengenali saya. Dia bertanya, sekali lagi, jika saya telah memeluk agama Islam.
"Tidak, saya belum menjadi seorang muslim," saya menjawab, "Bukankah anda meminta saya untuk mengambil mudah."
Dia perlahan-lahan mengelengkan kepalanya dan berkata, "Ya, saya suruh anda mengambil mudah, tetapi bukanlah terlalu mudah!"
Saya mula menjalani kehidupan di tahun terakhir sebagai seorang non-muslim. Saya telah berhenti minum alkohol, saya berhenti merokok. Saya berusaha untuk memperbaiki diri dan orang lain untuk melakukan perbuatan baik, berusaha untuk mencegah diri saya dan orang lain dari berbuat kesalahan.
Saya berlibur ke Turki dan berkunjung ke beberapa buah masjid besar di sana. Setiap langkah yang saya ambil, dengan berlalunya setiap hari, saya dapat merasakan keberadaan Tuhan dalam kehidupan saya.
Saya mengunjungi alam yang indah ini dan untuk pertama kali saya dapat melihat tanda-tanda Sang Pencipta di alam raya ini. Ada kalanya saya coba untuk melakukan shalat – sesuatu yang tidak pernah saya lakukan seumur hidup – yang sudah tentu bukan seperti yang saya lakukan hari ini. Saya terus membaca dan membaca, dan kini saya juga mulai mencari informasi tentang Islam di internet.
On Hyves, sebuah situs sosial terkenal Belanda, saya berkenalan dengan seorang Muslim Belanda yang baru memeluk Islam. Dia bertanya apakah saya seorang Muslim dan saya mengatakan bahwa saya belum memeluk Islam. Dia mengundang saya ke rumahnya dan bertemu dengan suaminya. Dia adalah seorang Muslim warga Mesir.
Kami makan malam bersama dan berbincang tentang Islam. Kali kedua saya berada di sana, dia menunjukkan cara yang benar menunaikan shalat. Saya berusaha melakukannya dengan sebaik mungkin dan dia memerhatikan saya.
Ketika kami beristirahat sebentar, dia bertanya; "Adakah anda telah bersedia untuk melakukannya?"
"Ya, saya pikir saya telah bersedia."
Saya belum melafadkan syahadah, maka Islam belum resmibagi saya, tetapi saya menyadari bahwa saya telah memeluk Islam tahun sebelumnya. Saya telah yakin bahwa tiada Tuhan melainkan Allah.
Saya juga percaya bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, utusan terakhir yang menyempurnakan agama. Saya ingin berpuasa, saya ingin membayar zakat, saya ingin menunaikan shalat, dan saya juga masih bermimpin untuk menunaikan haji setiap hari.
Jalan yang saya lalui adalah menerusi buku, saya datang menerusi teori. Ia merupakan pilihan yang rasional, bukan sesuatu yang emosional. Saya mencari informasi, membandingkan dan memikirkannya. Islam memberikan semua jawaban. Dia kemudian membawa saya ke masjid. Dia telah memberitahu perkara ini kepada Imam Masjid maka mereka memang sudah tahu bahwa saya akan datang. Ayah saya turut menyertai kami dan membawa kamera.
Imam menyebut sedikit demi sedikit lafad syahadah. Saya menurutinya, satu persatu.
Ketika Imam membaca doa, saudara Mesir tersebut menerjemahkannya ke bahasa Belanda untuk saya. Saya merasakan seolah-olah saya telah berlari selama bermil-mil dan kini saya telah sampai ke garis akhir. Saya merasa seolah-olah kehabisan nafas seperti orang sedang berlari. Perlahan-lahan saya menarik nafas kembali, merasa tenang dan gembira.
Akhirnya, saya menjadi Nourdeen.
Saya ke masjid tempat tinggal saya. Sebaik saja saya memasuki bangunan, saya bertemu dengan bendahara. Dia bertanya saya, sekali lagi, jika saya sudah memeluk agama Islam.
"Ya, saya sudah memeluk Islam, nama saya Nourdeen!" Saya berkata sambil tersenyum.
"Alhamdulillah," dia menjawab dan segera menambah: "akhirnya!"