Berlebihan itu Zalim

Rate this item
(0 votes)
Berlebihan itu Zalim

 

Karena berlebih-lebihan itu akibatnya orang tidak bisa berpikir adil, tidak bisa istiqomah, tidak bisa objektif. Jadi, kalau selama kita masih bersikap berlebih-lebihan dalam segala aspek kehidupan kita, sangat sulit kita untuk berpikir jernih, tidak bisa.


Menurut Kantor Berita ABNA, wartawan Media Indonesia, Furqon Ulya Himawan, mewawancarai kiai karismatik KH. Ahmad Mustofa Bisri yang lebih sering disapa Gus Mus, Jumat (14/10). Berikut ini petikan wawancaranya: 


Kasus intoleransi kerap berlangsung. Apa yang salah?

Menurut saya, itu akibat dari masa lalu yang tidak kunjung direformasi. Reformasi itu kan islah, ndandani kalau dalam bahasa Jawa. Ndandani atau memperbaiki itu harusnya dicari masalah-masalah mana yang rusak, yang diperbaiki itu mana, akar masalahnya apa, harus diteliti dulu baru direformasi.

Namun, sekarang yang terjadi, hiruk-pikuk reformasi itu ternyata melahirkan orang-orang yang seharusnya direformasi justru malah berteriak paling reformis. Jadi sebetulnya kan masalah itu terjadi pada saat dulu, yang akan kita reformasi.

Contohnya, Gus?

Dulu ada kecenderungan zaman Orde Baru untuk menyeragamkan semua. Bukan hanya pakaian seragam, menanam padi, sampai-sampai mengecat pagar rumah sendiri juga harus seragam. Bahkan masjid pun diseragamkan semua, dengan alasan harmonis.  Akibatnya masyarakat tidak bisa berbeda karena terlalu lama diseragamkan, akhirnya masyarakat kita kaget-kaget kalau ada perbedaan.

Dampaknya terhadap keberagaman dan kebinekaan?

Pertama, masyarakat kita susah menerima perbedaan. Beda sedikit marah, beda sedikit marah. Itu akibat menyeragamkan semua hal dan itu melawan fitrah. Padahal, Tuhan menciptakan alam semesta termasuk kita semua itu dalam kondisi berbeda-beda, jadi tidak akan bisa kalau memang mau disatukan atau diseragamkan.

Kedua, seperti burung yang lama dikurung dalam sangkar, ketika sangkar dibuka, dia malah kebingungan, nabrak sana-sini karena sudah lama tidak merasakan kebebasan. Ketika keran kebebasan dibuka, malah bingung. Padahal, dulu itu teriak saja susah, selalu bunyinya satu, setuju. DPR itu dulu kalau teriak ya setuju, apa saja pokoknya setuju. Sampai-sampai ada ledekan: ada kucing masuk parlemen, ngeong, langsung serempak setuju.

Setelah sekian lamanya hanya bisa bilang setuju, sampai saya bikin sajak 'Negeri Ya, Ya'. Terus sekarang, DPR isinya interupsi semua, ngomong semua, seperti burung yang baru dikeluarkan. Terus yang dulunya tiarap-tiarap, sekarang muncul semua.

Ini gara-gara berbagai macam permasalahan islah yang masih belum dilakukan. Jadi banyak persoalan ini yang sumbernya dari reformasi yang tidak sungguh-sungguh.

Sekarang banyak yang bertindak intoleran, menganggap diri paling benar. Ada pula yang mengatasnamakan Islam. Menurut Gus Mus?

Saya selalu mengatakan, harus terus belajar dan jangan berhenti belajar. Orang kalau mau terus belajar, nanti akan mengerti dan memahami apa-apa yang sebelumnya belum dimengerti dan dipahami. Namun, ini payahnya, orang berhenti belajar karena dia merasa sudah mengerti dan memahami. Padahal, sama sekali belum mengerti apa-apa, malah kadang-kadang sudah berfatwa ke sana kemari.

Caranya belajar?

Ya, ini jadi harus terus belajar. Belajarlah supaya mengerti yang menyeluruh, kalau mau bicara Islam, ya mengaji, jangan mengambil Islam dari buku-buku terjemahan, Alquran terjemahan, hadis terjemahan. Ini tidak mungkin. Terus kadang orang bilang kembali ke Alquran dan Alhadis, tapi orang salah memaknai maksud itu.

Maksudnya?

Orang mengatakan kembali ke Alquran dan sunah Rasul itu kok malah maknanya kembali ke Alquran dan hadis terjemahan Depag, itu bagaimana, itu kacau! Orang bisa membaca terjemahan Depag asal dia bisa baca Latin, dan dikiranya kebenaran yang dibaca dan dipelajarinya itu kebenaran mutlak.

Ia tidak tahu bahwa bahasa Arab Alquran tidak sama. Jadi teruslah belajar bahasa Arab, harus belajar ilmu Balagoh, ilmu Badia dan Bayan karena Alquran itu mengandung itu semua, sastranya tinggi sekali. Jadi, kalau orang hanya membaca terjemahan tidak tahu sastra ya tidak mungkin, tidak bisa, harus mengaji.

Jadi silakan mengatakan kembali ke Alquran dan hadis itu dijadikan semboyan, tapi ya kembali itu belajar dan terus belajar, harus mengaji. Tidak diartikan bacalah terjemahan Alquran, atau 40 hadis di buku-buku mutiara hadis, itu ngacau!

Menjelang pilkada, banyak konflik yang mengancam keberagaman dan berpotensi memecah kebinekaan. MUI sampai mengeluarkan fatwa. Menurut Gus Mus?

Kita sekarang lupa, bahwa yang menentukan orang menjadi kaya, menjadi miskin, menang dan kalah, memiliki kekuasaan atau kehilangan kekuasaan, dan menjadi penguasa atau tidak, menjadi pangkat atau tidak, itu semua Allah Subhanahu wata'ala. Disangka kalau kita ngotot, berarti pasti jadi?!

Bagaimana agar tidak terjadi perpecahan di pilkada, Gus?

Saya selalu mengatakan janganlah berlebih-lebihan dalam segala hal. Itu di Islam tidak boleh! Wala tusrifu, (jangan berlebihan), atau Ghuluw, banyak dalam ayat-ayat Alquran dan Sabda Rasullullah Sallahhu Alaihi Wassalam, menyatakan tidak boleh, alguluw fiddin (berlebihan dalam agama), berlebih-lebihan itu tidak boleh.

Karena berlebih-lebihan itu akibatnya orang tidak bisa berpikir adil, tidak bisa istiqomah, tidak bisa objektif. Jadi, kalau selama kita masih bersikap berlebih-lebihan dalam segala aspek kehidupan kita, sangat sulit kita untuk berpikir jernih, tidak bisa.

Sebab adil itu jejek (Gus Mus mengisyaratkan tangannya berdiri tegak, lurus), sedangkan berlebih-lebihan itu begini (Gus Mus mengisyaratkan tangannya berdiri condong ke kanan), atau begini (Gus Mus mengisyaratkan tangannya berdiri condong ke kiri), tidak bisa. Karena apa pun nanti akan dijadikan alasan untuk berkelahi. Jadi, kalau kita misalnya senang berlebih-lebihan, benci berlebih-lebihan, senang dunia berlebihan, senang kekuasaan berlebihan, senang pangkat berlebihan, senang kedudukan berlebihan, apa pun itu yang berlebihan, itu semua sumber malapetaka.

Read 770 times