Susan Carland: Islam Begitu Damai, Begitu Egaliter!

Rate this item
(0 votes)

Sebelum memeluk agama Islam, saya kira saya hanyalah seorang anak muda biasa. Saya keluar bersama teman-teman, dan saya melakukan seperti apa yang dilakukan oleh kebanyakkan remaja sebaya saya. Saya senang sekali pergi ke konser. Saya pergi ke sekolah tinggi, saya hanyalah orang biasa. Semua terjadi biasa saja sehingga saya melangkah kaki ke universitas dan di sini saya mengambil keputusan untuk memeluk agama Islam.

 

Mengapa Islam?

Ketika berusia 17 tahun, saya mulai mempertanyakan diri saya; mengapa saya mempercayai apa yang saya yakini saat ini. Adakah saya mempercayainya karena dibesarkan untuk mempercayai seperti itu, atau karena saya memikirkan bahwa memang keyakinan itu sebagai kebenaran?

Saya akhirnya memutuskan untuk melihat agama-agama lain. Keinginan ini muncul pada tahun baru. Saya ingin melihat Judaisme, dan hal-hal yang sama. Saya tidak berminat langsung untuk memeluk agama Islam. Ketika saya membaca hal-hal berkaitan dengan Islam, saya menyadari bahwa Islam sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan selama ini. Islam terasa begitu damai, begitu egaliter, dengan penekanan terhadap layanan yang sama kepada wanita, dan sikap yang kuat terhadap keadilan sosial. Saya pikir bahwa Islam merupakan agama para intelektual, malah juga amat spiritual. Islam begitu menarik hati saya.

Beberapa tahun berlalu dan saya mulai melihat agama ini dan mengkajinya secara serius. Pada usia 19 tahun, saya menyadari bahwa inilah agama yang harus saya percayai.

Kehidupan sehari-hari saya tidak berubah sama sekali. Dengan kata lain, keseharian saya berubah secara mendatar saja. Apa yang berbeda ialah saya melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Saya menunaikan shalat dengan dedikasi, shalat subuh sebelum matahari terbit dan shalat-shalat lain sepanjang hari. Itulah yang berubah. Saya juga mengenakan kerudung seperti Muslimah lain.

Dengan kata lain, saya tidak merasa saya melakukan perubahan besar. Saya masih orang yang sama. Saya masih menyenangi hal-hal yang sama. Saya masih memiliki teman-teman yang sama seperti dulu, saya juga mempunyai teman-teman baru yang saya dapati selepas memeluk agama Islam, ada yang muslim dan ada yang tidak.

Hijab

Kami tinggal dalam masyarakat dimana wanita seringkali dijadikan objek. Berapa kali kita membuka televisi atau melewati papan iklan dimana wanita setengah telanjang dijadikan objek untuk menjual spaghetti,sikat gigi,permadani atau apa saja. Dengan mengenakan hijab, wanita-wanita ini menyuarakan bahwa mereka bukan bagian dari lingkaran itu dan saya ingin dipandang karena pikiran saya bukan karena dada atau berapa panjang kaki saya atau jenis rambut apa yang saya miliki, atau yang semisalnya. Tuhan telah memilih wanita dalam masyarakat ini untuk menjadi pembawa bendera atau duta untuk Islam, dan saya mendapati hal ini begitu menarik sekali karena Tuhan telah memilih wanita untuk peran itu bukan lelaki.

 

Datang bersama-sama

Saya pikir ada stereotip bagi umat Islam. Kebanyakan orang akan berasumsi bahwa saya tertindas/teraniaya atau saya tidak bisa berbahasa Inggris atau mereka menyangka suami saya teroris, atau yang seperti itu. Seandainya terdapat stereotip negatif berkaitan Muslim di luar sana, mereka akan menyalahkan umat Islam. Mereka sudah tentu tidak akan memikirkan atau mengaitkan perkara-perkara buruk terhadap kita andai saja umat Islam tidak melakukan perkara yang salah.

Muslim haruslah memiliki pikiran yang terbuka dan mengikuti dialog-dialog yang tidak mengancam, serta menyambut non Muslim di masjid-masjid dan mengenalkan mereka kepada Islam. Karena selagi terdapat pikiran tertutup maka keadaan akan terus seperti yang ada.

Hanya suatu hal sederhana seperti bertegur sapa dengan tetangga, atau orang yang duduk bersisian dengan anda di tempat kerja atau dengan wanita yang duduk dengan anda di dalam bus, anda hanya perlu beraksi normal dan ramah. Melakukan hal-hal sederhana sedemikian bisa mengubah anggapan orang terhadap Islam.

Read 2272 times