Daras Akhlak: Kaya dan Miskin

Rate this item
(0 votes)

Kaya dan Miskin

Rasulullah Saw bersabda, "Ketika Allah Swt menganugerahi nikmat kepada seorang hamba, Dia senang menyaksikan pengaruh nikmat ini padanya dan Allah benci kemiskinan dan bergaya miskin."

Dalam Islam banyak riwayat yang mencela kemiskinan dan banyak juga yang memujinya. Tapi perlu diketahui bahwa riwayat-riwayat ini tidak saling bertentangan. Karena riwayat yang memuji kemiskinan mengacu pada kebutuhan manusia kepada Allah seperti ayat "Hai manusia, kalian yang membutuhkan Allah sementara Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji."

Sesuai dengan ayat ini, seluruh keberadaan manusia di sepanjang usianya membutuhkan Allah Swt atau ayat ini mengacu pada kemiskinan dengan arti kehidupan yang sederhana. Karena kemiskinan itu sendiri menjadi sumber dari beragam khurafat, keburukan dan kefasadan.

 

Kemiskinan dalam Pandangan Islam

Dalam ucapan Maksumin as disebutkan, "Kemiskinan merupakan wajah hitam di dunia dan akhirat."

Rasulullah Saw bersabda, "Seandainya tidak ada rahmat Allah kepada orang-orang miskin dari umatku, maka kemiskinan mereka lebih dekat pada kekafiran."

Kemiskinan merupakan masalah terbesar setiap bangsa. Karena kemiskinan memunculkan kebergantungan kepada negara lain dan yang lebih buruk lagi bangsa yang miskin terpaksa menerima budaya dan nilai-nilai negara lain. Itulah mengapa Rasulullah Saw bersabda, "Ketika Allah Swt menganugerahi nikmat kepada seorang hamba, Dia senang menyaksikan pengaruh nikmat ini padanya ..." Yakni, jangan menyembunyikan nikmat dengan bergaya seperti orang miskin. Karena miskin dan bergaya miskin sama buruknya. Dalam hadis ini kata Bu's dan Taba'us maknanya miskin dan bergaya miskin. Di hadis lain Rasulullah Saw bersabda, "Orang yang bergaya miskin, maka ia membutuhkan."

Ketika seseorang menampakkan nikmat yang didapatnya, itu sebenarnya bentuk lain dari rasa syukur. Manfaat yang lain dari menampakkan nikmat yang diterima adalah membantu orang lain yang membutuhkan dan berbuat baik.

Nikmat ini jangan ditafsirkan sederhana, tapi bermakna luas mencakup ilmu, pengarus sosial, harta dan lain-lain. Di sini, manusia harus memanfaatkan nikmat yang diterimanya, bukan memamerkannya kepada orang lain, sehingga terperosok pada sikap hidup yang berlebih-lebihan.

Sebagian riwayat menjelaskan kaya dan tidak butuh yang hakiki adalah jiwa yang kaya. Rasulullah Saw bersabda, "Orang kaya itu bukan yang memiliki banyak harta, tapi orang kaya adalah orang yang hatinya tidak membutuhkan."

Dalam hadis ini, ada kata ‘Aradh yang dipakai untuk harta dunia dikarenakan benar-benar sesuatu yang menempel dan tidak langgeng. Hal ini juga sesuai dengan sabda Nabi Saw bahwa kekayaan tidak didapatkan dengan harta, tapi kekayaan yang hakiki itu adalah jiwa yang kaya.

Ini masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena kita menyaksikan orang yang memiliki kekayaan, tapi ia masih saja rakus untuk mengumpulkan harta. Ia berusaha siang dan malam, tapi bukan saja ia tidak dapat memanfaatkan hartanya dalam kehidupannya, tidak juga orang lain dapat memanfaatkannya. Apa saja yang telah diraihnya, tapi tetap merasa tidak cukup. Sebaliknya, ada orang yang tidak memiliki harta duniawi, tapi tidak pernah menunjukkan dirinya miskin.

Dengan demikian, hanya kekayaan jiwa yang membuat manusia itu orang kaya atau miskin. Sebaliknya, yang membuat manusia itu senantiasa merasa miskin ada pada jiwanya. Benar, jiwanya miskin dan oleh karenanya ia senantiasa merasa miskin dan membutuhkan.

Dinukil bahwa Buhlul pergi menemui Khalifah Harun ar-Rasyid. Ia kemudian meletakkan sebuah uang logam berwarna hitam di telapak tangan Harun. Melihat itu, Harun berkata, "Apa ini?" Buhlul menjawab, "Saya telah bernazar bila masalahku terselesaikan, maka aku akan bersedekah kepada seorang miskin. Setelah masalahku selesai dan bagaimanapun aku berpikir, aku tidak mendapatkan orang yang lebih miskin darimu."

Orang-orang seperti ini hanya tampak lahiriahnya yang kaya, tapi batinnya lebih miskin dari orang sedunia. Sebaliknya, ada orang miskin, tapi batinnya kaya.

 

Akar Kemiskinan Spiritual

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menderita kemiskinan spiritual:

1. Harapan yang terlalu jauh yang membuat dirinya selalu membutuhkan.

2. Bergantung kepada dunia yang menstimulai manusia agar senantiasa lapar. Ini kebalikan dari zuhud, jiwa yang kaya.

3. Melupakan akhirat dan hanya membayangkan segala yang ada ini hanya berhenti di dunia.

4. Menilai uang adalah sesuatu yang paling bernilai. Padahal kebesaran jiwa, kehormatan dan ketenangan jiwa lebih mulia dari uang. Tapi dalam kenyataan banyak yang mengorbankan kehormatannya demi uang. Imam Ali as dalam khutbah Hammam berkata, "Orang bertakwa adalah orang yang menilai Allah itu agung dan memandang kecil selain-Nya."

Mereka yang mengenal Allah, maka selain-Nya akan dianggap tidak bernilai. Setetes air akan bernilai bagi seseorang yang tidak pernah melihat laut atau cahaya pelita dianggap bernilai bagi orang yang tidak pernah melihat cahaya matahari.

Mereka yang mengenal Allah juga memiliki jiwa yang kaya dan orang yang seperti ini tidak akan pernah menjual agama, kehormatan dan dirinya. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

 

Sumber: Makarem Shirazi, Naser, Goftare Masoumeen (1): Dars-e Akhlak Ayatollah Makarem Shirazi, Tadvin: Mohammad Abdollah Zadeh, 1388 Hs, Qom, Entesharate Emam Ali bin Abi Thalib as.

Read 2603 times