Dalam pandangan Islam, mencintai masyarakat, Ahli Kitab dan orang lain harus berada di bawah cinta kepada Allah, sehingga cinta itu memiliki nilai. Cinta ilahi akan menjaga manusia tidak terjatuh dalam penyimpangan dan mampu mencegahnya dari penyakit sosial. Dari sini, Islam menekankan adanya niat ilahi dalam menjalin hubungan persahabatan dengan siapa saja. Imam Ali as berkata, “Persahabatan di jalan Allah akan melahirkan ukhuwah.”[1]
Langkah pertama dalam persahabatan ilahi adalah mengosongkan hati dari segala kebergantungan selain Allah. Manusia tidak dapat mencintai dua hal yang bertentangan dalam hatinya. Karena Allah Swt hanya menciptakan satu hati kepadanya. “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya...” (QS. al-Ahzab: 4)
Barangsiapa yang memiliki motivasi selain Allah dalam persahabatan dan kecenderungannya untuk melakukan perbuatan buruk, maka bagaimana ia dapat mencapai jalan ilahi dan menjadikan persahabatan di jalan Allah sebagai parameter segala persahabatan? Orang yang hatinya telah diarahkan pada hal-hal yang segera sirna dan kelezatan materi, bagaimana dapat menampung cinta ilahi yang tidak terbatas?
Manusia harus mengeluarkan cinta dan persahabatan selain Allah dari dalam hatinya dan pada saat yang sama cintanya kepada orang lain harus searah dengan cinta kepada Allah. Dengan ungkapan lain, manusia harus mencintai segala sesuatu karena Allah. Sekaitan dengan hal ini, al-Quran menyebutkan, “Katakanlah, ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. at-Taubah: 24)
Al-Quran mengumpamakan lemahnya persahabatan dengan selain Allah dengan rumah laba-laba. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah...” (QS. al-Ankabut: 41)
Allamah Thabathabai ketika menyinggung ayat ini menjelaskan apa yang menyebabkan persahabatan dan cinta selain Allah itu sangat lemah, “Rumah dibuat agar dapat melindungi pemiliknya dari lingkungan yang dingin dan panas. Ini yang tidak dimiliki oleh rumah laba-laba. Bila ada rumah yang tidak dapat menjaga pemiliknya dari hal-hal yang tidak diinginkan, maka itu tidak dapat disebut rumah. Mereka yang dijadikan wali oleh orang-orang Musyrik hanya wali atau persahabatan sekadar nama. Karena mereka tidak dapat memberikan manfaat dan tidak merugikan, begitu juga bukan pemiliki kematian dan kehidupan.”[2]
Persahabatan dengan selain Allah menjadi sebab bagi segala kerugian manusia. Hal itu membuat manusia menyesal di kemudian hari. Sesuai dengan pentakbiran al-Quran di Hari Kiamat, bersahabat dengan selain Allah akan membuat mereka begitu menyesali perbuatannya dan berharap tidak pernah bersahabat dengan mereka.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada kami (di Hari Kiamat) dia berkata, “Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka setan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (QS. az-Zukhruf: 36-38)
Mungkin saja para sahabat selain Allah itu memberikan rasa senang dan puas, tapi pada akhirnya akan menyesalinya dan memahami akan kesalahan yang dilakukannya. Di sisi lain, para sahabat ilahi memiliki masa depan yang cerah dan mendapat rahmat ilahi. Dalam sebuah riwayat dari Imam Zainul Abidin disebutkan:
“Ketika Allah selesai mengumpulkan awal dan akhir makhluk yang diciptakan-Nya terdengar suara berkata, ‘Di mana para sahabat Allah? Sekelompok manusia berdiri. Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian memasuki surga tanpa dihisab.’ Para malaikat yang menyaksikan hal itu melihat mereka dan bertanya, ‘Kalian hendak ke mana?’ Dijawab, ‘Kami menuju surga tanpa dihisab’. Para malaikat kembali bertanya, ‘Kalian dari kelompok manusia yang mana?’ Mereka menjawab, “Kami para pecinta dan sahabat Allah.’ Ditanya kembali, ‘Apa yang telah kalian lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Kami bersahabat di jalan Allah dan memusuhi di jalan Allah.’ Para malaikat mengatakan, ‘Sungguh baik balasan dari pelaku kebaikan!”[3]
Dengan demikian, bila mencermati ayat dan riwayat yang telah disebutkan, maka persahabatan hakiki dikhususkan pada persahabatan dan cinta kepada Allah dan pahala yang diberikan juga mencakup persahabatan yang seperti ini.
Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.
[1] . Ghural al-Hikam, hal 298, hadis 47.
[2] . Sayid Mohammad Bagher Mousabi Hamedani, Tarjomeh al-Mizah, jilid 16, hal 194.
[3] . Al-Kafi, jilid 2, hal 126, hadis 158.