Bagaimana Dapat Dikuasai Hawa Nafsu

Rate this item
(0 votes)
Bagaimana Dapat Dikuasai Hawa Nafsu

 
Kekhasan-kekhasan Hawa Nafsu

Untuk lebih mengenal peran positif dan negatif hawa nafsu dalam membangun dan meruntuhkan kehidupan manusia, maka semestinya kita terlebih dahulu mengetahui watak-watak terpenting hawa nafsu. Dalam uraian berikut ini akan saya paparkan watak-watak terpenting hawa nafsu melalui teks-teks keislaman.

1. Watak Ekspansif Hawa Nafsu

Termasuk paling menonjolnya ciri hawa nafsu adalah tuntutannya yang cenderung ekspansif atau meluas. Hawa-nafsu manusia memiliki derajat pemuasan yang berbeda-beda yang, pada gilirannya, memiliki tuntutan yang berbeda-beda pula. Sebagian syahwat ada yang tuntutan dan permintaannya bersifat mutlak, sehingga pemuasannya pun tak dimungkinkan. Namun ada sebagian lain yang pemuasannya dimungkinkan setelah sekian ekspansi dilakukan. Secara keseluruhan, hawa nafsu memiliki sifat ekspansif yang sukar terpuaskan dalam batas-batas yang masuk akal.

Dalam kaitannya dengan sifat di atas, Rasul SAWW bersabda: “Sekiranya anak Adam meinpunyai sebuah lembah emas, niscaya dia akan meminta tambah satu lagi. Sekiranya dia telah mempunyai dua lembah emas, niscaya dia akan meminta lagi (lembah yang ketiga). Tidak akan puas kantong mulut seseorang, kecuali jika sudah penuh dengan tanah”.

Dalam redaksi yang agak berbeda Nabi SAW bersabda: “Sekiranya anak cucu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya dia masih berhasrat pada lembah yang ketiga”.

Diriwayatkan dari Hamzah bin Humran cerita demikian: “Seorang mengeluh pada Abi Abdillah as (Imam Ja’far Ash-Shâdiq) tentang permohonannya yang selalu terkabul, tapi dia tak pernah terpuaskan. Kepada Imam dia merengek sembari berkata: “Ajarilah aku sesuatu yang berguna bagi diriku.”

Abu Abdillah berkata: “Jika sesuatu yang mencukupimu itu memuaskanmu, maka yang paling remeh dari dunia akau memuaskanmu. Jika sesuatu yang mencukupimu itu tidak memuaskanmu, maka segala apa yang ada di dunia tidak akan pernah memuaskanmu.”

Amir Al-Mukminin Ali as berkata: “Wahai anak Adam! Jika kamu ingin sesuatu yang mencukupimu dari dunia, maka sesungguhnya yang paling kecil (sedikit) darinya akan mencukupimu. Sebaliknya, jika kamu ingin sesuatu yang tidak akan mencukupimu (atau sesuatu yang memuaskanmu, peny.), maka segala apa yang terdapat di dalamnya tidak akan mencukupimu”.

Kalimat “mutlak tidak terpuaskannya hawa nafsu” dalam riwayat-riwayat di atas tidaklah hakiki. la hanya bermakna bahwa hawa nafsu memiliki sifat ekspansif yang berlebihan dan tidak mengenal batas.

Di usia senja, ada sebagian nafsu yang menurun, sementara ada sebagian lain yangjustru menunjukkan kerakusannya.

2. Daya Gerak dan Desak yang Dahsyat pada Hawa Nafsu

Hawa-nafsu adalah faktor terkuat yang menggerakkan manusia. Buktinya adalah sejarah peradaban-peradaban Jahiliah yang telah mencakup bagian terbesar sejarah dan geografi bumi.

Bila kita mengesampingkan peran marginal fitrah, dhamir dan akal dalam membentuk peradaban Jahiliah, maka hawa nafsu adalah faktor paling menentukan bangunan peradaban-peradaban tersebut. Baik dalam suasana perang atau damamya, dalam aspek ekonomis, pengetahuan dan kriminalnya, hawa nafsu tetap menduduki posisi paling sentral di dalamnya.

Dinwayatkan bahwa Zaid bin Shauhan bertanya kepada Amiril Mukminin Ali as, gerangan penguasa manakah yang paling digdaya? Imam Ali as menjawab: hawa nafsn.

Dengan ungkapan yang luar biasa indah, Alquran bercerita tentang istri Al-Aziz (raja Mesir) dan menunjukkan betapa kuatnya peranan hawa nafsu dalam kehidupan manusia.

Allab berfirman dalam surah Yusuf, “… karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh TuhanKu”. (QS.Yusuf 53.)

Amiril Mukminin Ali as berkata: “Dosa-dosa (syahwat) tak ubahnya kuda liar yang terlepas kendalinya, ia akan dengan kencang melarikan pengendaranya ke neraka. Ketahuilah, sesungguhnya taqwa ialah kendaraan yang patuh. Pengendaranya dengan santai dapat memegang kendali dan ia akan membawanya masuk ke surga.”

Asy-Syumus (kalimat yang dipakai Imam Ali) adalah bentuk jamak dari Syamus yang berarti kuda yang tidak mau dinaiki punggungnya dan dikendalikan tali kekangnya. Dengan kata lain, pengendara tidak bisa memegang dan memamkan tali kekang kudanya sama sekali. Kuda seperti itu akan membawa pemiliknya ke mana saja tanpa menentu. Demikianlah halnya hawa nafsu clan syahwat yang membawa pelakunya sehingga ia tidak bisa menguasainya dan tidak mampu mengarahkannya. Sebaliknya taqwa. la selalu membantu manusia menguasai hawa nafsu, membimbing dan mengarahkan jiwa menuju surga.

3. Tuntutan Hawa Nafsu akan Berlipat-ganda jika Dipuaskan

Sifat hawa nafsu yang ketiga ialah selalu lebih menuntut dan memaksa, setiap kali manusia mengabulkannya. Sifat mi bertolak-belakang dengan sifat tuntutan-tuntutan yang lam yang melemah dengan terkabulnya tuntutan, hingga akhirnya mendekati kepuasan.

Pelipat-gandaan tuntutan dan desakan hawa nafsu berbanding-lurus dengan pemenuhan yang dilakukan manusia. Dalam pada itu, sebagai konsekuensi logisnya, kontrol manusia terhadap hawa nafsu berkurang. Demikian juga sebaliknya, setiap-kali manusia mengekang tuntutan hawa nafsunya dengan tali akal, maka tuntutannya semakin berkurang dan kemampuan manusia untuk menguasainya semakin bertambah.

Syahwat bagaikan api. Semakin ditiup, semakin membara dan membahayakan.

Pemenuhan yang terkontrol di bawah syariat adalah lebih “memuaskan” nafsu manusia ketimbang pemenuhan secara mutlak yang tak terbatasi.

Dalam beberapa nash keislaman telah disebutkan dua bentuk pemenuhan ini:

1. Pemenuhan tuntutan hawa nafsu secara mutlak yang akan menambah gairah dan paksaan tuntutannya. Sebaliknya, bila pemenuhan tuntutannya dibatasi ketentuan-ketentuan syariat, maka akan cepat merasa puas dan cukup.

Imam Ali as berkata: “Menolak syahwat berarti memuaskannya, sedang memenuhinya akan menguatkannya.”

Maksud “menolak syahwat” adalah memenuhi tuntutannya dengan cara yang terkendali. Adapun maksud kalimat “memenuhinya” ialah memenuhi tuntutannya dengan tanpa batas dan kendali.

2. Memenuhi tuntutan (hawa nafsu) secara mutlak menyebabkan kelemahan sistem kontrol manusia terhadap hawa nafsu, sehingga seluruh kehendak dan kemampuannya terbelenggu. Pada akhirnya, dia menjadi budak nafsunya.

Sebaliknya, memenuhi tuntutan hawa nafsu secara terbatas atau terkendali lebih mendukung manusia untuk menguasai dan menundukkan hawa nafsu dan syahwat.

Dan Imam Al-Bâqir as berkata: “Orang yang rakus terhadap dunia bagaikan ulat sutera. Kian bertambah banyak siuteranya, kian jauh kemungkinannya untuk bisa keluar dari sarangnya. Sampai akhirnya dia mati (terjerat suteranya sendiri)

Read 2598 times