Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat

Rate this item
(0 votes)
Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat

“Bijak menyikapi perbedaan pendapat,” adalah diktum Habib Umar bin Hafidz yang kemudian diulas menjadi sebuah buku tentang pemikiran Habib Umar oleh Al Hamid Jakfar Al-Qadri. Habib Umar sendiri menulis karya berjudul Al-Wasatiyah fi al-Islam (Islam Moderat) yang mengulas tentang bagaimana menyikapi perbedaan pendapat dan bersikap moderat.

Bagi Habib Umar, perasaan yang harus selalu dijauhkan dari setiap muslim dan khususnya ulama adalah fanatisme atas pendapat atau golongan. Apa arti fanatik? Menjadikan pendapat seperti nash yang tak bisa diganggu gugat. Meskipun pendapat itu datang dari seorang ulama yang memiliki hak untuk berijtihad sekalipun. Sebab, bagaimanapun juga, pendapat itu muncul dari manusia yang tak luput dari kemungkinan salah, dan bisa saja di antara kesalahannya adalah pendapatnya itu. Pendapat itu bukan datang dari wahyu, maka ia bukan nash: bisa benar, bisa juga salah.

Perbedaan pendapat di antara kita adalah sesuatu yang bukan hanya biasa sejak Islam pertama muncul di zaman Nabi, tapi bisa jadi berdampak baik bagi perkembangan peradaban Islam lantaran perbedaan itu membangun dialektika yang konstruktif. Jangan sampai ia menjadi sumber petaka: kebencian, pertengkaran, dan lain-lain.

Sebuah riwayat dikutip dalam buku tersebut dari Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim bahwa Nabi bersabda: “Salat adalah tempat terbaik yang Allah letakkan agar hamba mendekatkan diri kepada-Nya. Barang siapa mau memperbanyak dipersilahkan, dan yang mau sedikit juga dipersilahkan.” Diriwayatkan bahwa ada dari sahabat Nabi yang melaksanakan salat dua puluh rakaat, ada yang tiga puluh rakaat, dan bahkan ada juga yang seratus rakaat semalem seperti dilakukan Sayyidina Utsman bin Affan. Di samping itu, dalam salat mereka juga ada perbedaan bacaan dan cara membacanya. Menurut riwayat Ibnu Umar, saat para sahabat salat bersama Nabi, ada yang membaca bacaan yang berbeda dengan bacaan Nabi. Lalu seusai salat, Nabi bertanya tentang siapa yang membaca itu. Di antara sahabat mengacungkan tangannya. Lalu Nabi bersabda: “Aku heran dengan bacaan itu. Telah dibukakan baginya pintu-pintu langit.” Sedangkan kita bahkan saling menuduh, benci, hingga berkonflik kadang karena hanya beda jumlah rakaat salat tarawih atau beda pendapat soal memakai atau tak pakai qunut dalam salat. Padahal, Nabi sendiri berbeda dengan sahabatnya dan Nabi justru memuji sesuatu yang berbeda dari sahabatnya itu, alih-alih bukan menuduh bid’ah sahabat yang berbeda itu sebagaimana sebagian kita kerap mudah menuduh bid’ah sebagian saudara muslim yang berbeda dengan mereka.

Maka, hindari fanatisme: menganggap pendapat lain bid’ah, salah, sesat, apalagi kafir. Sebab, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dalam Bukhari, Muslim, dan Ahmad bahwa dalam berpendapat –tentu yang berdasarkan ilmu dan ketulusan, jika ‘pun salah maka seseorang itu mendapat pahala di mata Allah. Sehingga, jika Allah saja menghargai pendapat yang salah, mengapa kita justru begitu bengis pada perbedaan?

Seorang ulama yang saleh, seperti dikisahkan dalam buku tersebut ditanya: “Sebuah kelompok muslim sedang membangun masjid, mengapa kelompokmu tak membangun juga?” Ulama saleh itu menjawab: “Kita semua butuh masjid, dan kita juga butuh jamaah untuk mengisinya. Mereka membangun masjid dan kita yang akan mendatangkan jamaahnya, sehingga di antara kita saling melengkapi.”

Lihatlah bagaimana sebuah perspektif diajarkan melalui kisah itu: perspektif untuk bersatu, melengkapi. Bukan bercerai, menggerogoti. Dengan perspektif persatuan, perbedaan dilihat sebagai kelebihan untuk saling melengkapi, bukan kekurangan untuk saling berkelahi. Sehingga lenyaplah gangguan nafsu dalam hati untuk saling bermusuhan.

Read 6018 times