Perkembangan Situasi di Timur Tengah

Rate this item
(0 votes)
Perkembangan Situasi di Timur Tengah

 

Pekan lalu, tiga peristiwa penting meramaikan panggung politik di Timur Tengah yaitu KTT Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) di Riyadh, pemilu parlemen Israel, dan perayaan ulang tahun kemenangan Irak atas Daesh.

Para pemimpin Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) melakukan pertemuan di Riyadh, Ibukota Arab Saudi pada Selasa, 10 Desember 2019. Namun, pemimpin Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman memilih absen, padahal tujuan utama pertemuan ini adalah untuk mengakhiri konflik internal di tubuh P-GCC.

Berbeda dengan tahun lalu, kali ini Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz turun langsung untuk mengundang Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani ke Riyadh.

Level kehadiran Qatar di KTT P-GCC telah meningkat dari tahun 2018 dengan keikutsertaan perdana menteri negara itu di Riyadh, tapi Sheikh Tamim Al Thani lebih memilih menghadiri sebuah pertemuan yang tidak terlalu penting di Rwanda. Dengan demikian, konflik internal di P-GCC tetap belum terpecahkan.

Pemerintah Doha menuntut penghapusan semua sanksi sebagai syarat partisipasinya di KTT Riyadh. Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar sejak 2017 dan kemudian menerapkan berbagai sanksi dengan tujuan menekan Doha.

Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC).
Kegagalan KTT Riyadh untuk mengakhiri perseteruan Qatar dan tiga negara Arab lainnya, telah mendorong beberapa pihak menyebut dewan kerja sama tersebut sebagai "dewan anti-kerja sama."

Meskipun para pemimpin Qatar, UEA, dan Oman memilih absen, Arab Saudi kembali memanfaatkan pertemuan itu untuk menyerang kebijakan regional Republik Islam Iran. Raja Salman menyerukan persatuan negara-negara Arab untuk melawan Iran dan mengatakan, komunitas internasional harus menunjukkan reaksi terhadap program rudal dan nuklir Tehran.

Menanggapi klaim tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Sayid Abbas Mousavi mengatakan segelintir negara pendukung berlanjutnya kebijakan tidak rasional saat ini di kawasan, harus mendengar tuntutan publik dan mereka tidak berbuat apapun untuk mengurangi ketegangan di kawasan selain membentuk dan memperkuat kelompok-kelompok teroris dan takfiri di Irak, Suriah, dan Yaman, serta mengundang pihak asing ke Teluk Persia.

"Iran telah menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab selama bertahun-tahun. Di antara upaya Iran untuk mewujudkan kerja sama regional adalah mengusulkan pakta non-agresi, forum dialog regional, dan yang terbaru proposal perdamaian Hormuz," jelasnya.

Para anggota parlemen Israel pada hari Rabu (11/12/2019) kembali membubarkan lembaga legislatif itu untuk kedua kalinya dalam tujuh bulan terakhir. Pemilu ketiga dalam satu tahun terakhir akan dilaksanakan pada Maret 2020 untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik saat ini.

Pemilu parlemen Zionis (Knesset) pertama diadakan pada 9 April 2019. Usia parlemen ini hanya bertahan kurang dari satu bulan, karena Benjamin Netanyahu gagal membentuk kabinet. Sekutunya di Knesset kemudian memilih membubarkan parlemen sehingga presiden rezim Zionis tidak bisa menunjuk orang baru untuk membentuk kabinet. Pemilu Knesset ke-22 juga diadakan pada 17 September 2019, tetapi periode ini hanya bertahan kurang dari tiga bulan.

Netanyahu dan Benny Gantz gagal membentuk kabinet. Parlemen Israel juga tidak berhasil memanfaatkan tempo 21 hari untuk mengajukan tokoh baru untuk membentuk kabinet. Dengan demikian, para anggota Knesset untuk kedua kalinya dalam 7 bulan terakhir memilih membubarkan diri.

Pemilu Knesset ketiga dalam satu tahun terakhir kemungkinan akan diadakan pada 2 Maret 2020. Pemilu ini diharapkan akan berhasil menyusun kabinet baru dan mengakhiri kebuntuan politik, yang dihadapi rezim Zionis.

Situs The Times of Israel dalam sebuah laporan menulis, "Benny Gantz dalam satu pernyataan di Knesset pada hari Rabu (11/12/2019) mengatakan, Netanyahu sengaja membawa Israel melakukan pemilu untuk ketiga kalinya dalam satu tahun dengan harapan menguasai mayoritas parlemen dan memperoleh impunitas hukum."

Menurut Gantz, keinginan Netanyahu untuk memperoleh impunitas hukum dari Knesset adalah sesuatu yang tidak tepat. "Kami menentang cara itu… sama sekali tidak ada tempat untuk impunitas dan undang-undang impunitas di Israel harus direvisi dan harus digunakan dalam kasus-kasus yang diperlukan," tegasnya.

Kantor berita Reuters menyatakan bahwa sebuah pemilihan internal partai kemungkinan akan dilakukan untuk memilih ketua baru Partai Likud. Televisi berbahasa Ibrani, KAN juga melaporkan bahwa pemilihan internal Partai Likud akan diselenggarakan pada 26 Desember mendatang.

Gideon Sa'ar akan menjadi rival utama Netanyahu untuk memimpin Partai Likud. Jika Netanyahu gagal mempertahankan posisinya, ia akan disingkirkan dari kekuasaan oleh sekutunya di dalam partai.

Surat kabar Israel HaYom pada hari Jumat (13/12/2019) menyatakan jika pemilu Knesset ketiga digelar, maka aliansi politik Blue and White akan kembali menang untuk kedua kalinya, tetapi tidak ada koalisi yang barhasil meraih 61 kursi untuk bisa membentuk kabinet. Jika ini terjadi, maka kebuntutan politik di tanah pendudukan tidak akan berakhir.

Irak merayakan ulang tahun kedua kemenangan atas kelompok teroris Daesh pada 10 Desember 2019. Perdana Menteri Irak waktu itu, Haidar al-Abadi mengumumkan kemenangan atas Daesh pada 10 Desember 2017.

Hari itu ditetapkan sebagai Yaum al-Nasr dalam kalender Irak dan hari libur resmi. Bertepatan dengan hari penting itu, keluar seruan untuk menggelar demonstrasi di berbagai wilayah Irak.

Kubu penentang (internal dan negara asing) pemerintah Irak, berusaha mengubah demonstrasi menjadi konfrontasi warga dengan pasukan keamanan. Ahmad Mulla Talal, seorang presenter di televisi Alsharqiya, dalam sebuah tweet menyebut demonstrasi 10 Desember sebagai hari konfrontasi antara rakyat dan Najaf dengan kelompok milisi Hashd al-Shaabi.

Demonstrasi 10 Desember berlangsung damai dan rakyat Irak merayakan kemenangan mereka atas Daesh. Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Irak memanggil duta besar Inggris, Prancis, Jerman, dan Kanada untuk memprotes campur tangan mereka dalam urusan internal Irak. Mereka meminta pemerintah Baghdad untuk membiarkan demonstrasi rakyat, namun yang terjadi justru bukan demonstrasi, tetapi kekerasan yang terorganisir dan terarah.

Kamis lalu, seorang pemuda Irak, Haitham Ali Ismail (16t tahun) terlibat keributan dengan beberapa perusuh bersenjata di sekitar rumahnya. Keributan ini terjadi setelah perusuh membakar ban di sekitar rumah pemuda tersebut.

Beberapa media melaporkan bahwa Haitham Ali Ismail telah membunuh empat demonstran, sumber-sumber lain mengatakan pemuda itu hanya melepaskan beberapa tembakan ke udara.

Pernyataan resmi Komando Angkatan Bersenjata Irak menegaskan bahwa Haitham Ali Ismail tidak membunuh siapa pun dan hanya melepaskan tembakan ke udara.

Kejahatan terhadap pemuda tersebut mengundang berbagai reaksi. Marja' Syiah Irak, Ayatullah Sayid Ali Sistani menyerukan proses hukum terhadap para pelaku kejahatan itu. Dalam sebuah pernyataan, Ayatullah Sistani mengatakan, "Pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan mutilasi adalah sebuah kejahatan di mana pelakunya harus dihukum."

Read 908 times