Anak-anak dalam Islam memiliki hak khusus yang kami sebutkan dalam program sebelumnya. Namun, di samping hak-hak umum dan universal, beberapa anak memiliki hak tertentu karena keadaan dan karakteristik khusus mereka. Dalam program ini kami akan memeriksa topik anak-anak yang lahir dari hubungan tidak sah.
Dari sudut pandang agama Islam dan hukum disebutkan bahwa anak yang tidak sah adalah anak yang merupakan hasil dari hubungan terlarang dan ilegal antara pria dan wanita. Dari sudut pandang hukum, penisbatan hubungan darah adalah hubungan alami, kredit dan kontraktual antara dua individu, yang menurut beberapa ahli hukum, ada antara anak yang tidak sah dengan ayahnya dan anak-anak ini memiliki seluruh hak yang ada, kecuali warisan.
Di antara para ahli hukum Imamiyah, ada dua pendapat tentang anak yang lahir dari perzinahan; pertama adalah bahwa anak yang lahir dari perzinaan dapat dinisbatkan kepada orang tuanya yang tidak sah, hanya saja tidak saling mewarisi. Namun dalam kasus lain, ketentuan kerabat (kekerabatan) tetap terjaga di antara mereka. Misalnya, jika seorang pria melakukan hubungan tidak sah dengan seorang wanita dan wanita itu melahirkan seorang anak, maka ia termasuk muhrimnya.
Namun pendapat kedua menyebutkan anak itu tidak dapat dinisbatkan dengan pelaku zina baik itu perempuan maupun lakilaki. Tampaknya, hukum ini tidak berasaskan keadilan, dimaka secara umum kita mengatakan hubungan kekerabatan seorang anak yang lahir secara ilegal harus diputuskan dari ayah dan ibunya, padahal ia sendiri tidak punya kehendak dalam kelahirannya atau kita mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki yang melakukan kesalahan tidak memiliki tanggung jawab dan dapat meninggalkannya begitu saja, sehingga masyarakat yang harus bertanggung jawab.
Tentu saja, di beberapa negara Islam mengenai hak-hak sipil dan hukum pidana untuk orang-orang seperti ini, kecuali dalam beberapa kasus, mereka mendapatkan semua hak-haknya. Pengucualian ini dapat disimpulkan dalam masalah warisan. pengadilan, kesaksikan, imam shalat jamaah dan marji taklid. Di sini tepat untuk menyinggung sebuah hadis dari buku-buku Ahli Sunnah yang mengutip dari Nabi Muhammad Saw. Suyuthi dalam buku Durr al-Mantsur menukil, "Anak yang lahir dari perbuatan zina tidak menanggung dosa ayahnya."
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah ayah kandung anak dan terkadang ibu bertanggung jawab mengasuh, memberi nafkah dan pendidikan anak. Para ahli fikih kontemporer juga memperhatikan masalah ini.
Hak-hak anak yang lahir dari hubungan tidak sah dalam dokumen internasional juga telah dipertimbangkan. Menurut Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ibu dan anak memiliki hak untuk mendapatkan perawatan dan bantuan khusus. Anak-anak, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, memiliki hak untuk menikmati semua jenis perlindungan sosial.
Juga, sesuai dengan Klausul 3 Pasal 10 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam perlindungan dan bantuan kepada seluruh anak sangat penting dan tanpa mengurangi diskriminasi apa pun berdasarkan ras atau alasan lain, langkah-langkah tertentu harus diambil. Anak-anak terlantar harus didukung dari eksploitasi ekonomi dan sosial.
Semua hak yang diabadikan dalam Konvensi Hak-Hak Anak dapat diperluas secara merata ke semua anak. Pasal 1, paragraf 2 Konvensi menyatakan, "Negara-negara anggota Konvensi, hak-hak yang telah dipertimbangkan dalam konvensi ini diperuntukkan kepada semua anak-anak, yang hidup di wilayah hukum akan dihormati dan dijamin tanpa diskriminasi mulai dari ras, warna kulit, agama, bahasa, pendapat politik, kebangsaan, status etnis atau sosial, properti, ketidakmampuan, kelahiran atau status pribadi lainnya dari orang tua atau wali yang sah."
Secara umum, anak-anak yang berada dalam situasi khusus memerlukan perhatian dan dukungan khusus dan semua warga masyarakat dan pemerintah wajib melakukannya. Dalam konteks ini, kita menghadapi tiga masalah utama; pertama, anak-anak yang orang tuanya ingin berpisah atau terlibat konflik satu sama lain. Kedua, anak-anak pengungsi dan terlantar. Ketiga, status anak-anak dalam konflik bersenjata dan kebutuhan untuk melindungi mereka dari semua bentuk kekerasan, seperti penggunaan mereka dalam perang (tentara anak-anak).
Yang dimaksud dari perpecahan keluarga (ketidaksepakatan dan ketidaksepahaman antara suami dan istri) adalah terjadinya perilaku dari seorang wanita atau suami atau keduanya, yang mengarah pada konflik, ribut, ketidakpuasan dan terkadang berujung pada perpisahan dan perceraian.
Ketidakcocokan pasangan dalam al-Quran disebut sebagai "Nusyuz". Dalam berbagai interpretasi dari ayat-ayat yang berkaitan dengan pria dan wanita, kata ini berarti pemberontakan, pembangkangan, penolakan dan menentang untuk melakukan tugas serta ketidakcocokan. Masalah ketidakcocokan laki-laki dan perempuan telah disebutkan dalam al-Quran dan riwayat-riwayat Ahlul Bait as. Ayat 34 dan 128 dari surat an-Nisa telah menjelaskan tentang ketidakcocokan pria dan wanita dan secara eksplisit menjelaskan solusi untuk masalah ini. Wanita yang membangkang dan pria yang memberontak adalah wanita dan pria yang tidak melakukan tugas agama dan hukum mereka dalam hubungannya dengan satu sama lain.
Banyak pasangan berdebat dan menganggapnya sebagai masalah biasa dan itu dilakukan sering tanpa memperhatikan kehadiran anak-anak yang berada dalam usia, dimana mereka belum mampu memahami apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Mereka tidak memahami bahwa perselisihan yang terjadi, baik itu sepele atau serius bahkan berujung kekerasan, memiliki efek buruk pada pertumbuhan anak-anak.
Adalah wajar bahwa berapapun tingkat perselisihan dan cara orang tua menghadapi masalah semakin intens, yakni perselisihan akan semakin keras dan terkadang berujung pada saling pukul secara fisik. Dalam kondisi yang demikian, perselisihan kedua orang tua memiliki efek yang lebih negatif pada perkembangan normal anak-anak dan kadang-kadang pada periode usia yang lebih tua konsekuensi dari perselisihan ini menemukan pengaruhnya dalam banyak bentuk perilaku anak-anak.
Dalam situasi di mana perselisihan antara suami dan istri stabil dan orang tua menginginkan perpisahan, dalam lingkungan seperti itu kerentanan anak sangat tinggi karena berada dalam konflik yang mengerikan dan harus memutuskan untuk bersandar kepada satu dari mereka dan kehilangan kepercayaan yang lain. Selaini tu, harga yang harus dibayar sangat mahal. Kondisi ini bagi anak-anak akan menjadi malapetaka besar.
Ketika orang tua mengalami konflik dan telah datang ke pengadilan untuk hal-hal seperti proses perceraian, mereka telah mencampakkan anak dan dan karena tarik-menarik dan konflik orang tua, anak-anak mengalami kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karenanya, tampaknya harus dipikirkan soal mekanisme pendukung untuk melindungi anak dalam peraturan.
Dalam undang-undang beberapa negara, penunjukan pengacara khusus untuk melindungi kepentingan anak telah diadopsi dalam dalam proses perceraian orang tua. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat dan sesuai dengan hukum, dalam proses perceraian, penunjukan pengacara untuk melindungi kepentingan anak telah disebutkan. Misalnya, Bagian 310 UU Perceraian, yang telah disetujui di beberapa negara bagian Amerika Serikat, memberdayakan hakim untuk menunjuk seorang pengacara demi membela hak-hak anak.